14: Hampir Lulus

Dua kipas angin yang menggantung tepat di atas kepala seketika tidak berpengaruh. Hawa panas terus-menerus menyerang gadis yang kini mencengkeram pahanya sendiri. Bulir keringat buah dari kepanikan muncul menghiasi kening. Poni superkeriting sepanjang alis pun semakin berkerumun.

Rara menelan ludah dan tersenyum tipis. Iris cokelatnya menyorot papan tulis dengan indah diiringi kedipan manja. Ia berdeham lalu mengusap tengkuk. Belasan pasang mata yang menatap membuat perutnya terasa mulas.

"Udah lulus belum? Berapa minggu, nih!"

Tomi selaku wasit adu panco lekas menghentikan pertandingan. Pergerakan di bangku Rara yang tidak jauh dari posisinya sungguh menyita perhatian. Gadis yang asyik menawarkan diri itu hanya direspons dengan gelengan dan anggukan. Geram, ia pun menyela aktivitas mereka dengan menanyakan pertanyaan yang seharusnya telah terjawab tempo hari.

"Iya, ih. Kok lama banget?"

"Tau tuh! Nyusahin ya, Ra?"

"Masak ngomong aja ribet banget!"

"Gak asik!"

"Dih!"

Satu per satu siswa menimpali pernyataan sebelumnya dengan semangat. Mata Rara kian bergerak liar 'tuk memandang mereka bergantian. Jantungnya bermaraton berkat naiknya nada suara kawan-kawannya.

Gadis itu mengusap daun telinganya. Kaki yang masih mengentak itu lekas bergetar hebat. Ia pun melirik ke arah Kahvi, menginjak kaki kiri laki-laki itu seakan meminta bantuan. Namun, teman sebangkunya tersebut hanya melirik dan mendengkus.

Kahvi mengeluarkan headset dan memakainya tanpa memutar lagu apa pun. Ia menopang dagu lalu miring ke kanan menjauhi tatapan Rara. Tangan basahnya kembali menyilang jawaban mulai dari b, d, d, hingga b lagi. Semua berhasil didapatkan, meski membacanya hanya sekilas dan penuh tekanan.

"Gimana, Ra?"

"Iya, gimana?"

"Jawab, Ra."

Tomi mengangkat tangan kanannya guna memberi isyarat. Seluruh kalimat yang menggantung di ujung lidah terpaksa ditelan kembali. Laki-laki yang cukup ditakuti oleh penghuni IPA 1 itu mendekati bangku Rara dan berdiri di depan BK andalan tersebut.

"Kenapa dia pindah ke sini, Ra?"

Rara tak lekas mendongak. Batinnya berkecamuk mencari alibi. Tatapannya kosong sebelum melirik sosok yang cukup mempersulit nasib. Embusan napas panjang pun kembali lolos. Punggung Kahvi terlihat tenang tanpa beban.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam lalu mengucap dengan yakin, "Orang tuanya pindah kerja di daerah ini."

Alis Tomi spontan bertaut ketika Rara melipat kedua tangan di depan dada. Bahkan ia juga menyilangkan kakinya seraya meniup poni. Senyum yang masih menyembunyikan kawat gigi begitu tipis dan mengejek.

"Pindah kerja? Di tengah semester?"

Rara mengangguk cepat. Ia memejamkan mata dan menelan ludah. Mati, mati, mati, umpatnya dalam hati.

"Ya anehnya di mana? Orang kerja ya seenak mereka-lah, Tom," elak gadis itu sebisa mungkin.

Mata Rara terus menghindar dengan menatap buku paket Kahvi. Laki-laki itu masih berlagak polos sembari menuntaskan soal uraian. Ia bahkan telah menyelesaikan 20 soal pilihan ganda di tengah situasi seperti ini.

Dasar gak berperikecurhatan, kesal Rara yang tak terucap.

"Terus kenapa milih sekolah di sini?"

"Nah!"

"Kan ada SMA Nusa sama SMA Merdeka."

Tomi menoleh sambil mengangguk, "Iya juga, kenapa ke sini?"

Sial, Rara kembali terpojok. Jawaban yang terucap sekian detik yang lalu saja penuh keraguan, apalagi kali ini. Ia bahkan belum sempat bertanya.

"Emm," Rara mendongak dan mengabsen manik Tomi dengan sinis, "ya itu udah pilihan dia dong. Gue gak perlu tau."

"Kok gitu?" protes Tomi.

Rara berkilah, "Ya … selama gue udah tau alasan dia pindah ke sini berarti MOS selesai, 'kan?"

"Gak bisa gitulah, gak ikhlas namanya!"

"Iya, gak ikhlas!"

"Niat gak tuh?"

"Terpaksa banget kayaknya."

"Yah gak tulus dong jadinya?"

"Payah!"

Rara bergerak gusar. Matanya lelah berpindah ke sisi kiri dan kanan tanpa jeda. Sekelilingnya terus berteriak melayangkan kekecewaan. Ada yang terang-terangan duduk di atas meja dan menyumpahinya, ada pula yang berbisik di tempat. Semua lirikan itu semakin menghakimi.

"Setop!" seru Rara hingga memundurkan kursi dan berdiri tegap. "Santai aja bisa gak, sih?"

Kalimat yang bersahutan itu seketika sirna. Tajamnya tatapan Rara mengedar ke seluruh penjuru hingga membuat kepala kawan-kawannya tertunduk diam. Hanya Tomi yang menyeringai dengan dagu yang terangkat. Laki-laki itu masih setia berdiri di depan Rara.

"Jadi?" Tomi menepuk bahu Rara agar menatap kedua matanya. "Lulus, belum?"

Rara berdecak. Ia menoleh ke arah Kahvi yang entah sejak kapan juga menatapnya dengan lekat. Keduanya melempar senyum setipis mungkin sambil berkedip pelan.

"Kahvi masih ujian sama dirinya sendiri. Tenang aja, bentar lagi lulus kok."

||

Rara tidak pernah menyadari bahwa duduk di teras tata usaha bersama laptop akan seasyik ini. Meski pahanya terasa panas, ia tidak begitu peduli. Layar yang menunjukkan ratusan status di facebook itu hanya dijadikan pajangan. Kedua matanya memilih 'tuk memperhatikan sosok berkacamata di dalam sekretariat klub debat.

Laki-laki berambut klimis itu tengah berdiskusi dengan tampannya. Walaupun tidak dapat mendengar pembahasan mereka, Rara yakin 100% bahwa Kahvi dapat melahap semua pendapat yang diutarakan. Sorot mata yang terhalang lensa itu tampak menggebu-gebu. Rara terus tersenyum kala melihat aura yang terpancar. Indah dan berbeda.

Bersyukurlah pada hujan yang telah menggagalkan latihan rutin dari Gita Surya Nada, klub marching band kebanggaan SMA Bakti. Rara bisa menghela napas lega dan bersantai ria. Namun, bukannya pulang menerjang tetesan rahmat, ia malah mengikuti ke mana pun kaki Kahvi melangkah.

Laki-laki yang mengetahui aksi pembuntutan itu sesekali melihat Rara lalu kembali berbincang dengan anak klub. Ia hanya menggeleng tanpa mengusir. Lagi-lagi terserah saja, ia telah lelah melarang.

Bosan, Rara memutar musik dari laptop. Seperti biasa, lagu-lagu Vierra-lah yang menjadi pilihannya. Ia menaikkan volume karena lupa membawa headset. Hanya sedikit, mengingat jika terlalu kencang akan mengganggu aktivitas orang lain.

"Emm, mau nulis apa, ya?"

Sudah sepuluh menit jarinya tertahan di atas keyboard. Rara kehabisan kalimat puitis dan tidak ada kasus dari curhatan yang menarik 'tuk dibahas. Lengkap sudah penghambatnya.

Sosok yang beranjak dari duduknya itu berhasil menyita perhatian. Dengan santai, Kahvi menjelaskan hasil diskusi yang ditulis di selembar kertas pada anggota lainnya. Gerakan tangan yang spontan muncul begitu terbiasa dan lancar. Hal tersebut cukup menggugah selera Rara hingga menelan ludah.

Gadis itu mengambil ponsel yang tersimpan di kantong tas dan secepat kilat mengabadikan momen tersebut. Rara mengentak-entak riang lalu membuka aplikasi facebook. Tanpa disadari, pipi tembamnya merona merah. Ia pun terkikik sendiri.

Cowok pinter selalu ganteng, ya?

Baru saja. Publik
10 Suka. Tanggapi. 4 Komentar. Berita Lengkap. Simpan. Lainnya

Meta Bukan Metal
Lo ngapain di sana?

Tomi and Jerry
Itu di mana?

Mayang Sari Selalu Di Hati
Niat banget sih, Ra.

Ita Itu Bukan Sembarang
Lo beneran suka, ya?

"Eh?"

Senyum yang semula mengembang itu lekas menyusut. Dahi pun mengernyit heran menatap salah satu komentar yang mengundang tanya. Refleks, Rara menggaruk kepala dan merapikan rambut ke belakang telinga.

"Emang iya, ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top