12: Keluarga dalam Buku


'Ya, Ara. Memang begitu hidup. Tidak semua yang kita cintai bisa kita dapatkan.'

Lembar demi lembar Kahvi lewati sembari mengangguk pelan. Sesekali ia membersihkan kacamata yang dipenuhi embun dari napasnya sendiri. Begitulah nasib bila mulut dan hidungnya tertutup masker.

Perpustakaan tengah sepi pengunjung. Selain menghabiskan stok makanan kantin, para siswa lebih memilih memanggang badan di bawah terik matahari. Tidak sedikit pula yang bergosip di gazebo bersama camilan ringan. Hitung-hitung berburu Wi-Fi gratis.

Kahvi mendengkus. Meski sunyi, pemandangan di balik jendela itu tetap menggodanya. Berulang kali matanya kehilangan fokus, terlebih saat teriakan 'gol' menggaung hingga lantai dua.

Raut muka yang semula datar itu kian menurun. Bola, lari, dan terik adalah perpaduan yang ingin Kahvi rasakan. Namun, semua terkubur sebelum dicicipi. Anak itu lekas menggeleng dan melepas kacamata. Ia mengusap wajahnya lalu mengembuskan napas panjang.

"Gak ada gunanya berandai-andai."

" 'Andai' apa?"

Tubuh Kahvi terperanjat. Matanya terpejam erat diiringi dengan tangan mengurut dada. Napasnya tersengal sampai ia harus menurunkan masker. Rona yang semula putih itu seketika berubah merah padam.

Alis standar Kahvi bertaut kesal. Laki-laki itu mengepalkan tangan kirinya lalu menggebrak meja. Bola mata yang membulat itu menatap gadis yang masih berdiri di depannya dengan sinis.

"Andai apa?" ulang Rara seraya menarik kursi. Betapa santainya ia duduk lalu menopang dagu dan tersenyum mengamati garis wajah Kahvi.

Kahvi melonggarkan genggamannya dan kembali memakai masker dengan benar. Ia juga mengambil kacamata dan mengenakannya. Dengan cepat anak berambut klimis itu meraih novel yang ia baca dan menggunakannya 'tuk menutup sebagian wajah.

"Yah, kok dipakek lagi kacamatanya? Lo cakep tau kalau gak pakek itu," goda Rara dengan nada yang tak biasanya.

Kahvi berdeham tanpa mengalihkan perhatiannya pada untaian kisah Abah dan anak-anaknya. "Gak bisa baca kalau gak makek."

Hanya dengan mendengar hal tersebut senyum Rara merekah indah. Kahvi menimpali pertanyaannya. Sekali lagi, si anak baru superdingin yang selalu membawa amarah di setiap kalimatnya itu menjawab ucapannya dengan lembut. Gerbang pertama telah terbuka dan hati Rara kian menghangat.

"Emm btw, makasih, ya."

Kahvi mengintip sekilas lalu menatap bukunya lagi. "Buat?"

"Udah accept pertemanan di FB."

Kahvi kembali melirik dan kini lebih lama. Netra kedua insan itu berhasil bertemu sekian detik sebelum mengalihkan perhatian ke hal lain. Kahvi pada bacaannya dan Rara dengan aksinya menenggak minuman bersoda.

Gadis yang lidahnya berubah merah itu refleks menutup mulut dan bersembunyi di bawah meja saat bersendawa. Suara yang ditimbulkan masih cukup keras hingga membuat Kahvi terkikik di tempatnya. Namun, tepat saat Rara kembali duduk rapi, laki-laki penyuka angka itu berdeham dan berlagak tak terjadi apa-apa.

Kikuk, Rara menelan ludah dan menopang dagunya lagi. Matanya beralih membaca judul buku yang dibaca Kahvi lalu bersuara, "Gue pengen nanya lo lagi baca apa, tapi goblok banget karena gue bisa baca judulnya dari sampul."

"Ya lo bisa nanya hal lain."

"Apa dong?" Rara mengerucutkan bibir.

"Emm," Kahvi menurunkan bukunya dan mendongak seakan berpikir, "ceritanya mungkin. Pesan atau apa gitu," jawabnya sembari menatap Rara tanpa jeda.

Rara berkedip pelan. Bulu kuduknya berdiri hingga kelu menggelut lidah. Ia pun tersenyum tipis lalu menerima tawaran Kahvi.

"Ceritanya tentang apa?"

"Keluarga." Kahvi merespons semangat lalu menurunkan masker yang baru saja ia naikkan, "kisah sederhana dari Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Setiap hari Abah tuh narik becak, sedangkan Emak bikin opak gitu. Anaknya--si Euis--masih SMP, tapi ikut bantuin orang tuanya jualan opak di terminal. Kalau Ara--"

Rara menarik kursinya agar semakin dekat dengan suara Kahvi. Ia lantas kembali mendengarkan penjelasan tersebut seraya menyangga pipi yang lumayan tembam. Kepalanya manggut-manggut setiap Kahvi menjeda kalimatnya.

"Si Agil yang paling kecil ke mana-mana ikut kakak-kakaknya," terang Kahvi selanjutnya. Ia menutup buku tersebut dan menyodorkannya pada Rara. "Mau nyoba?"

"Emm, bagusnya apaan? Kovernya lumayan jadul. Gue gak minat."

Kahvi meletakkan dagunya di atas meja. Tatapannya datar sejajar buku lalu berpikir keras. Ia belum tuntas, lantas mengapa mulutnya menawarkan? Dahinya berkerut hingga membentuk tiga garis.

Laki-laki itu menggaruk tengkuk. "Apa, ya?"

"Lah," heran Rara. "Gimana, sih?"

"Konfliknya sih sederhana, masalah kehidupan sehari-hari. Mungkin karena adaptasi diri dari Abah, Emak, dan anak-anaknya yang semula kaya lalu jatuh miskin yang bikin menarik."

"Ikhlas?" tebak Rara sedikit tidak nyambung.

Kahvi mengangguk kecil, "Iya, salah satu isi pesannya."

Tanpa ragu, Rara mengambil alih buku tersebut. Sontak peminjam sebelumnya tersentak kaget. Gerakan gadis itu terlalu tiba-tiba hingga membuat Kahvi terduduk sempurna.

"Gue pinjem."

"Kenapa jadi tertarik?"

Rara memamerkan kawat giginya sembari berkata, "Semua hal yang berhubungan sama lo terdengar menarik buat diselami."

||

Satu per satu siswa keluar kelas dengan semangat. Mereka melangkah tepat di belakang guru kimia yang menutup kegiatan belajar-mengajar hari ini. Mata yang terkantuk-kantuk kala melihat laju reaksi itu lekas bersinar terang.

Rara berjalan bersama kedua kawannya--Meta dan Sinta--meninggalkan Kahvi yang masih sibuk memasukkan buku ke dalam tas. Laki-laki itu menata barangnya dengan rapi, mulai dari lembar kerja yang lebih panjang lalu buku paket supertebal dan diakhiri dengan buku tulis serta tempat pensil.

Sebelum beranjak, Kahvi mengambil ponsel yang ia simpan di kantong depan. Ia membuka kunci layar dan mengecek satu per satu pesan yang masuk. Anak itu mendengkus kala tak mendapati nama kedua orang tuanya.

Ekskul debat jangan telat!

Laki-laki itu spontan menepuk jidat. Ia baru ingat bahwa hari ini adalah pertemuan pertama dari klub debat. Kahvi bersyukur atas kebiasaan uniknya, yaitu memberi alarm di setiap kegiatan sehingga ia tidak akan absen di hari pertama.

Tas ransel yang telah tertutup rapi itu ditenteng begitu saja. Langkah kaki yang terbiasa santai berubah tergesa. Jam tangan analog yang jarang dilihat pun tiba-tiba dilirik. Kahvi benar-benar terburu-buru.

"Eh!"

Kahvi menghentikan langkah kala seorang laki-laki yang lebih besar darinya berdiri di ambang pintu. Anak dengan seragam serupa dengannya itu merentangkan tangan 'tuk menghalang-halangi. Ia bahkan menyeringai dan mengentak-entak seakan menggertak.

Kahvi pun mendengkus. "Kenapa, Tom?"

Siswa bernama Tomi itu lekas menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia berdecak dan memutar bola matanya malas. "Kok buru-buru banget? Mau ke mana?" tanyanya berbasa-basi.

"Klub debat."

Kahvi berniat melanjutkan langkah dengan mengambil sisi kiri, tetapi dengan cepat Tomi mengadangnya. "Eits, sabar dong."

"Apa lagi?" kesal Kahvi sampai menghela napas panjang.

"Udah lulus belum?" Tomi berbisik lirih lalu mengangkat alisnya.

Kahvi tak segera merespons. Ia memilih untuk kembali melangkah, tetapi lagi-lagi Tomi mengikuti arah geraknya. Ia pun menatap lelaki bertubuh lumayan kekar itu dengan serius hingga tangannya mencengkeram tali ransel.

"Kalau lo mau tau, kenapa gak nanya ke Rara? Bukannya kalian lebih percaya kalau kata 'lulus' itu keluar dari mulutnya langsung?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top