10: Teman
"Dia dateng, dia dateng!"
Tiga gadis yang berbisik di bangkunya menoleh serentak. Sikap mereka berubah santai dan berlagak mengalihkan pandang. Ada yang pura-pura menghaluskan ujung kuku, menyilangkan kaki sambil membaca buku hingga mengetukkan jarinya di atas meja sambil bersiul. Semua itu dilakukan tanpa menghilangkan fokus utamanya.
Mata tukang rumpi itu sesekali melirik sosok berkacamata dengan ransel hitam tanpa label. Rambut yang tak serapi biasanya cukup menyita perhatian. Langkahnya yang sedikit gontai sukses mengundang hasrat 'tuk kembali bergunjing.
Rara menelan ludah. Rona pucat yang menghiasi wajah Kahvi tidak jauh berbeda dari hari kemarin. Dadanya berdegup kencang ditambah sensasi yang cukup aneh di dalam perut, bagai ratusan kupu yang tengah beterbangan panik. Gejolak itu cukup membuatnya gila sampai menggeleng tanpa suara dan menampar pipi kiri secepat kilat.
Lidah gadis yang tidak pernah memotong rambut itu terasa kelu hingga relungnya meronta. Ia berperang dengan kuasa yang mengontrol hasrat. Sekuat tenaga Rara mengusir kata 'apa', 'mengapa', dan 'bagaimana' yang gentayangan di alam pikir.
Tanpa mengindahkan sekitar, Kahvi menarik kursi dan duduk dalam diam. Ia menenggelamkan wajah dengan miring ke kanan, menghindari iris cokelat Rara yang tidak berkedip menatap. Meski tak acuh, anak itu masih dapat merasakannya.
Melihat keheningan di bangku depan, Meta menepuk bahu Rara berulang kali. Tanpa suara, bibirnya komat-kamit mengatakan 'cepatlah bertanya' yang diikuti sebuah anggukan dari Sinta. Kedua gadis itu mengangguk yakin dan mengepalkan tangan memberi semangat.
Rara menggeleng ragu. Ia mengatupkan bibir dan menjambak rambut. Ia takut, sangat takut. Meski jauh dalam lubuk, ia masih mencari jati diri akan rasa itu.
Gadis itu berkedip pelan. Teduh matanya tidak beralih pada bulir keringat yang menumpuk di pelipis. Punggung yang tak selebar laki-laki seusianya itu bergerak teratur. Tiba-tiba, hatinya kian menghangat.
Rara mengembuskan napas panjang lalu melirik Meta dan Sinta yang terus menyemangatinya. Ia pun tersenyum dan mengangguk. Udara segar pagi ini kembali ia hirup dalam-dalam guna menenangkan benih-benih kekhawatiran.
"Emm ..., Vi," panggil Rara seraya menyentuh punggung teman sebangkunya tersebut.
Tiada jawaban yang menyambut, spontan Rara menarik tangannya. Ia berbalik dan mendapati kedua kawannya tengah mengalihkan pandangan. Kesal, gadis itu pun mendengkus dan mengentak lantai.
Belum menyerah, Rara menelan ludah dan kembali berusaha. Kali ini hanya suaranya yang berjuang menunjukkan empati. "Vi, udah baikan?" ucapnya entah dari mana. Rara lekas menepuk mulut. Bodoh, pikirnya.
Sosok yang sempat bodo amat mulai mengangkat kepalanya. Ia menoleh dan menatap Rara dengan tajam. Namun, alis yang sempat bertaut lekas terpisah kala bertemu dengan kawat gigi gadis itu.
"Apa gunanya Kahvi ikut kamu kalau dia masuk rumah sakit saja gak ada yang tau?"
"Kamu ibunya dan kamu tau. Kenapa harus dibesar-besarkan? Dia sudah baik-baik saja dan sudah waktunya untuk pulang."
"Enak saja, bagaimana kalau aku gak mengetahuinya? Kamu pasti gak akan sudi menginjak rumah ini."
"Tentu, lagipula untuk apa aku di sini kalau bukan karena Kahvi?"
Laki-laki itu tenggelam tanpa menutup mata. Raut tanpa dosa milik Rara membuat memorinya terputar kembali. Segala hal yang ingin dipendam menyeruak tanpa permisi.
Perseteruan orang tuanya sesaat setelah ia pulang dari rumah sakit menuntunnya 'tuk mengepalkan tangan. Gadis yang menjadi alasan kedatangan ibunya di pintu IGD itu sukses memperkeruh keadaan. Lagi-lagi Kahvi harus menyaksikan opera musiman yang datang saat dirinya bermasalah.
Tak tahan akan tatapan yang mengoyak hati, Kahvi memundurkan kursi lalu beranjak keluar kelas. Rara pun terperanjat dan mengelus dada. Ia menelan ludah dengan batin penuh tanya. Matanya terkunci pada bangku kosong yang ditinggal tanpa pamit.
Sadar, gadis itu lekas berbalik menatap ambang pintu. Namun sayang, Kahvi 'tlah lenyap dari pandangan. Meta dan Sinta yang sejak tadi diam di tempat lekas berdiri dan mengusap punggung Rara dengan lembut.
"Sebenarnya gue kudu gimana, sih?"
||
"Jadi, persilangan antara ...."
Embusan panjang lolos 'tuk kesekian kali. Sudut bibir yang biasanya terangkat sempurna kala pelajaran biologi kini menurun dan memprihatinkan.
Papan tulis penuh coretan itu tak lagi menarik. Arah pandang Rara tetap setia pada pintu yang separuh terbuka. Harapnya masih sama, melihat kedatangan anak yang lima menit sebelum jam masuk malah pergi entah ke mana. Seketika memorinya berkelana.
"Ok, kalau lo emang gak mau curhat, gue gak masalah."
Setelah sempat berjalan, Kahvi kembali menghentikan langkah berkat kalimat yang bertentangan dengan prinsip Rara selama ini. Ia menatap heran dan memastikan, "Iya?"
Rara mengangguk yakin. Tekadnya setuju dengan berbagai macam komentar yang menjurus pada satu konklusi, ia harus menyelam lebih dalam.
"Iya, asal lo mau temenan ama gue. Deal?" tawarnya seraya mengulurkan tangan.
Kahvi terdiam sekian detik. Ia pun menyeringai lalu tertawa lepas. Tangannya menekan perut yang terasa geli hingga kaki turut mengentak gemas.
Laki-laki itu berhenti dan berubah dingin. Sudut bibir yang sempat tertarik lekas datar mengiringi tatapan tajamnya. Kahvi mendekati Rara tanpa menyambut uluran manisnya.
"Em, jadi sekarang lo mau berteman?" Kahvi bertanya dengan alis bertaut.
Gadis yang menelan ludah itu mengangguk, "He'em. Berminat?"
Kahvi menatap tangan kanan Rara dan berdecak, "Ck, lo pasti berharap cara ini bikin gue leluasa buat curhat, 'kan?"
Skak. Rara terpaku tanpa anggukan maupun gelengan. Ia terlalu bimbang akan jawaban yang terngiang. Ingin membenarkan, tetapi tidak sepenuhnya benar, begitu pula sebaliknya. Gadis itu lekas menurunkan uluran tangannya dan mundur dua langkah.
Kahvi kembali tertawa. Ia sekilas menatap langit-langit sebelum menjatuhkan perhatian pada gadis yang sibuk menunduk dan menautkan tangan di atas perut. Gelagat Rara membuatnya mendengkus pilu.
"Hei!"
"Hem?" Rara terkesiap dan spontan mendongak.
Dengan rona dan aura yang masih sama, Kahvi mendekat dan berbisik, "Kalau berteman bagi lo seperti ini, gue gak ngerti seberapa penting makna dari kata itu. Dan lagi, gue jadi penasaran ... apakah teman di sekitar lo benar-benar layak mendapat sebutan itu?"
Rara menggeleng berkali-kali. Ia mengusap wajahnya gusar saat mengingat kejadian di IGD. Gadis itu memukul pipi dan jidat hingga mencubit pipi serta lengan tangannya secara bergantian 'tuk menyadarkan. Ia tak lagi peduli dengan bekas merah kebiruan yang ditimbulkan.
"Ish!" kesalnya.
Kalimat terakhir dari laki-laki itu membuatnya uring-uringan. Sekuat apa pun Rara mencoba, memori itu belum juga hilang. Untaian kata yang tidak menjawab rasa penasaran dan tawarannya itu kian menambah daftar pertanyaannya.
"Ah, bodolah!"
Gadis itu memundurkan kursi dengan kasar. Seluruh mata pun tertuju padanya secara spontan.
"Ada apa, Rara?" tanya Bu Umi, salah satu guru senior yang terkenal dengan rambut ubannya.
Hening, Rara dengan tatapan kosongnya berlalu begitu saja tanpa izin dan penjelasan apa pun. Pintu yang sebelumnya separuh terbuka pun ia tutup dengan rapat. Siswa-siswi IPA 1 pun bergunjing dalam bisik hingga gaduh mengambil alih suasana.
"Diam! Kembali ke papan tulis!"
Seakan disihir, mulut-mulut mereka sontak menutup. Kepala turut tunduk dan tangan kembali menyalin tulisan.
Meta menyenggol lengan Sinta dan menuliskan sesuatu pada buku tulisnya. Gadis itu lekas membaca dan mengangguk mengiyakan. Keduanya saling tatap, menelan ludah hingga mengangkat bahu dengan kompak.
Rara nyari Kahvi?
See you next time 😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top