🍂14. kemana?!🍂
Barat membuka pintu apartemen dengan perlahan. Langkah kakinya berat, seperti membawa beban yang tak kasatmata. Aroma roti panggang dan kopi menyambutnya, menguar dari ruang makan kecil di sudut apartemen. Di sana, Rubi duduk dengan santai, mengenakan gaun rumah berwarna krem yang membalut tubuhnya sempurna. Senyumnya merekah, tapi mata Rubi tak bisa menyembunyikan tatapan tajam yang mencoba menembus pikiran Barat.
“Kau pulang pagi banget?" tanya Rubi sambil meletakkan cangkir kopinya. Suaranya terdengar ringan, namun setiap kata mengandung teguran terselubung.
Barat menghela napas, berjalan mendekat sebelum akhirnya duduk di kursi seberang. “Aku hanya... butuh waktu untuk ngelakuin sama Rasya. Kami belum siap.”
“siap? Kalian belum siap?” Nada suara Rubi terdengar seolah menuntut jawaban, namun ekspresinya tetap lembut. Dia tidak ingin terlihat terlalu menekan, meski pikirannya berputar liar.
Barat menatap istrinya dalam diam, tak mampu menyangkal. Malam tadi, ia dan Rasya menghabiskan waktu hanya dengan berbicara. Rasya lebih tenang dari yang ia bayangkan, bicaranya santun, namun ada kilau kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Mereka tidak melakukan apa pun, hanya berbagi cerita—tentang hidup, tentang perasaan yang sulit ia ungkap pada Rubi.
“Malam itu... kita ngobrol. Sulit buat aku Sayang,” akhirnya Barat berucap, mencoba jujur. “Aku enggak bisa jug memaksa Rasya begitu saja. Dia terlihat sangat enggak siap untuk semuanya.”
Rubi mengerutkan kening. Ada rasa lega karena Barat bisa menahan diri, tapi juga rasa cemburu yang membakar. Pikiran tentang suaminya berbicara berjam-jam dengan wanita lain menusuk hatinya, seolah ada ruang di antara mereka yang mulai diisi orang ketiga.
“Barat,” ucap Rubi dengan suara pelan namun tegas. “Aku tahu ini sulit untuk kmu. Untuk kita semua. Tapi kamu tahu dengan sangat jelas kan, kenapa ini penting, ini buat hubungan kita kan?”
Barat mengangguk, tapi ia tak menjawab. Hatinya bergejolak, tak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaannya. Di satu sisi, ini adalah permintaan Rubi, namun di sisi lain, ia merasa mengkhianati ikatan mereka.
Rubi bangkit, melangkah mendekat, lalu menyentuh bahu suaminya. “Malam ini, aku mau kamu mencoba lagi. Ini masa subur Rasya. Waktu kita tidak banyak.”
“Tapi aku...” Barat tergagap, namun Rubi menghentikannya dengan tatapan penuh tekad.
“Kamu hanya perlu melakukannya, Barat. Jangan terlalu memikirkan hal lain. Aku —” potong Rubi. Senyumnya samar, tapi ada sesuatu di baliknya—keputusasaan yang terbungkus rapi. “Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar.”
Barat menatap istrinya dalam kebingungan. “Apa maksud kamu?”
Rubi tidak menjawab. Ia hanya berjalan kembali ke meja, menyelesaikan sarapannya dengan tenang. Di dalam benaknya, ia sudah memikirkan cara agar malam ini menjadi momen yang tak bisa dihindari. Rasya dan Barat harus bersama melakukan hubungan itu— dengan atau tanpa rasa nyaman.
***
Udara malam di Seoul terasa menusuk kulit Rasya. Meski dingin, ada sesuatu yang hangat di hatinya. Jalanan kota ini penuh dengan lampu-lampu berwarna-warni, orang-orang berlalu-lalang, dan suara hiruk-pikuk yang menenangkan dengan caranya sendiri. Ini adalah malam pertamanya benar-benar keluar, mencoba merasakan kebebasan di negara yang asing.
Ia berdiri di tepi Sungai Han, melihat pantulan gemerlap lampu kota di permukaannya yang tenang. Angin bertiup lembut, membuat rambutnya sedikit berantakan. Rasya menarik napas panjang, menikmati aroma kota ini yang khas— kombinasi antara aroma makanan jalanan dan udara musim dingin.
“Korea ternyata indah banget,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Ia merasa sejenak melupakan beban berat yang ia bawa sejak menerima permintaan Rubi.
Setelah beberapa saat, Rasya memutuskan untuk mencari taksi. Hal yang sama saat ia berangkat tadi, dia naik taksi dan minta diantarkan ke Sungai Han dengan uang yang diberikan oleh Rubi. Ia ingin melihat lebih banyak tempat sebelum kembali ke apartemen. Tapi satu hal menjadi tantangan besar—ia tidak bisa berbahasa Korea. Dengan ragu, ia mencoba menyampaikan tujuannya pada sopir taksi menggunakan bahasa Inggris seadanya.
“Excuse me, can you take me to Dongdaemun?” tanyanya sambil menunjukkan peta di ponselnya. Sopir itu mengangguk setelah beberapa detik kebingungan. Rasya tersenyum lega.
Di sisi lain, suasana di apartemen Barat jauh dari tenang. Saat kembali, ia mendapati ruang tamu kosong. Tidak ada jejak Rasya. Pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Ia menghubungi ponsel Rasya, tapi panggilannya tak diangkat.
“Rasya, kemana?" desisnya kesal.
Ia berjalan mondar-mandir, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Bagaimana bisa Rasya pergi tanpa mengatakan apapun? Apalagi ini kota asing baginya. Rasa khawatir bercampur dengan kemarahan.
Ketika akhirnya pintu apartemen terbuka, Rasya muncul dengan senyum kecil di wajahnya. Ia tampak lelah tapi puas, membawa kantong plastik berisi beberapa makanan jalanan yang ia beli di perjalanan pulang.
“Rasya!” seru Barat dengan nada tajam.
Rasya terkejut melihat wajah Barat yang terlihat tegang. “Ada apa?” tanyanya dengan polos.
“Kamu pergi ke mana sih? Kenapa enggak bilang apa-apa? Bahkan enggak meminta izin?” Barat mendekat dengan ekspresi kesal, tapi ada sorot khawatir di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Aku cuma nau jalan-jalan. Aku tidak mau mengganggu kamu, jadi aku pergi sendiri,” jawab Rasya pelan, menundukkan pandangan.
“Sendiri? Di kota yang bahkan kamu tidak kenal? Kalau sesuatu terjadi, apa yang bisa kamu lakukan?”
Rasya menggigit bibirnya, merasa bersalah. “Aku baik-baik saja, Barat. Aku okay, cuma ingin menikmati malam.”
Barat menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Ia tahu Rasya tidak sepenuhnya salah, tapi rasa tanggung jawabnya terhadap wanita itu membuatnya sulit menerima hal seperti ini.
“Kamu enggak sendirian di sini, Rasya. Mulai sekarang, apa pun yang kamu lakukan, beri tahu aku dulu,” ucapnya dengan nada lebih lembut, meski sorot matanya tetap tegas.
Rasya mengangguk pelan. “Aku ngerti. Maaf.”
Barat menatapnya beberapa detik, lalu berbalik menuju dapur, mencoba mengalihkan perasaan gugup dan marahnya. Sementara Rasya hanya berdiri diam di tempatnya, menyadari bahwa apa yang sederhana baginya ternyata menjadi masalah besar bagi Barat.
---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top