🍂13. Aku belum siap🍂

💕💕 Yang mau baca lebih dulu bisa ke karyakarsa ya. Sudah sampai bab 29💕💕
***

Barat baru saja selesai mandi. Ia berjalan menghampiri sang istri yang kini duduk menunggunya. Rubi mencoba memaksakan senyum, tak bisa dipungkiri kalau ia jelas merasakan kecemburuan.

Barat mendekat kemudian ia memeluk sang istri dengan erat. Bisa mengerti apa yang dirasakan oleh Rubi dengan segala pikiran buruknya.

"Kamu yakin aku harus lakuin ini hari ini juga?" Barat bertanya rasanya juga jadi enggan.

Rubi anggukan kepala sambil merapikan kemeja Barat. "Kamu harus lakukin ini sekarang juga sayang. Aku enggak mau menunda lagi, kita udah dikejar waktu."

"Perasaan kamu itu, yang terus jadi pertimbangan aku." Barat ungkapkan sambil masih menatap dengan cemas.

"Okay, aku agak cemburu, tapi akan terbiasa. Ini lebih baik daripada aku harus kehilangan kamu. Yang lebih buruk, aku harus lihat kamu kehilangan segalanya," kata Rubi menjelaskan.

Banyak hakl yang menjadi pertimbangan Rubi setelah ia memutuskan meminta Rasya. Perlahan ia bisa meredakan perasaannya, berusaha untuk menjalankan semua sampai keinginannya untuk memiliki buah hati terkabul.

"Sayang, aku minta maaf." Barat katakan, merasa bersalah.

"Okay Bar, jangan merasa bersalah. Apa yang kamu lakuin itu adalah satu-satunya cara supaya kita bisa terus sama sama." Rubi memeluk Barat sekilas, kembali merapikan pakaian dan rambut sang suami.

"Pastikan dia makan makanan yang sudah aku siapkan. Kamu juga minum ini dulu," kata Rubi samil memberikan segelas dingin americano yang dibelinya.

Banyak yang mengatakan salah satu cara agar bisa memiliki anak laki-laki adalah dengan minum kopi. Mungkin terdengar begitu tradisonal. Namun, Rubi akan melakukan apapun agar keinginannya tercapai.

Barat meneguk kopi pemberian Rubi. "Aku harap kamu enggak terluka karena aku. Hal aku benci adalah, buat kamu sedih."

"Aku tau kamu enggak akan buat aku sedih. Semua ini adalah rencana aku."
Rubi sudah siap dengan semua dan segala kemdungkinannya. "Ya udah, kamu ke kamar Rasya. Kamu harus bisa kasih keluarga kecil kita bayi itu sayang, cuma itu cara supaya kita bisa terus sama-sama. Dan juga supaya kamu enggak kehilangan segalanya."

Barat kemduian berjalan keluar dari kamar setelah memberikan kecupan pada bibir  istrinya. Berjalan dengan malas sambil meneguk americano dingin yang diberikan oleh Rubi. Ia masuk ke dalam kamar Rasya, dengan meudah menekan kode. 

Melangkahkan kaki masuk,  ia melihat Rasya yang tidur dengan tubuh yang meringkuk memeluk bantal. Barat berdiri cukup lama, menatap Rasya. Kemudian memilih menunggu Rasya terbangun.

Suasana hening hanya ada suara embus napas keduanya. Barat menatap, sedikit cemas kemduian berjalan mendekat, melihat kening Rasya yang berkeringat. Barat memegang kening Rasya untuk memeriksa.

"Demam," gumam Barat.

"Ma, pa,' lirih Rasya.

Barat iba, lirihan yang terdengar cukup menyayat hatinya. Pilu dan menyedihkan. Barat duduk di samping Rasya, menepuk-nepuk bahu Rasya. Ia tau kalau kedua orang tua Rasya meninggal saat covid-19. Sementara ia tau betul bagaimana hubungan Rasya dengan kedua orang tuanya, terutama dengan sang ayah.

Jika ada yang mengatakan bahwa ayah adalah cinta pertama dalam hidup seorang anak perempuan, itu adalah benar adanya. Barat ingat kalau sampai SMA ayah Rasya sering kali menjemput, sambil membawakan jajanan sederhana, tapi Rasya selalu suka. Rasya tak segan memeluk dan menggandeng tangan sang ayah, tak malu jika dicemooh anak papa.

Begitupun dengan sang ibu, Rasya sering kali dibawakan bekal. kadang membawa  bnayak seklai untuk dibagikan kepada Barat juga. Rasya devinisi anak keluarga cemara. Kadang itu bahkan buat Barat merasa iri. Tentu saja ia tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Rasya ketika kehilangan keduanya bersamaan.

"Bar?" Rasya terbangun terkejut ketika ia melihat Barat di sampingnya.

"Kamu sakit," kata Barat.

Rasya memegangi kening, ia lalu gelengkan kepala.

"Kamu demam Nda."

"Ah, cuma demam, biasa Bar." Rasya menjawab enteng. Sudah sering terjadi, jika ia terlalu sedih.

"Biasa gimana?" tanya Barat lagi. Tak suka dengan seseorang yang terkesan mengabaikan kesehatan.

Rasya terdiam, menimbang apakah ia harus menceritakan pada Barat. "Ya biasa aja." Hanya itu jawaban yang diberikan rasya, enggan menjelaskan. Menurutnya Barat tak seharusnya tau masalahnya.

"Kamu panggil mama dan papa tadi. Aku tau kamu kangen banget sama mereka." Barat hanya ingin Rasya berbagi apa yang ia rasakan walau sedikit. Bagaimana pun ia tau bagaimana kehidupan Rasya dulu bersama kedua orang tuanya.

"Hubungan kita enggak lebih dari kalian sewa aku, untuk mengandung anak kalian berdua. Aku enggak mau hubunngan kita lebih dekat lagi." Rasya menekankan.

Barat menautkan kedua alisnya. "Kenapa?"

"Aku enggak mau melibatkan perasaan. Kamu mungkin bisa untuk lebih jaga perasaan kamu, karena kamu punya Rubi. Aku udah lama kesepian, dan ketika aku berbagi kisahku sama kamu, aku takut selipkan perasaan aku juga di sana." Rasya jelaskan, ia tak mau ada perasaan yang terlibat. Takut jatuh cinta, takut patah hati nantinya.

Barat gelengkan kepala. "Kita cuma share cerita Nda."

"Iya, aku tetap takut."

Barat mencoba memahami, ia akan menghargai Rasya. Karena ia sendiri yakin kalau ia tak akanberpaling dari Rubi. Selama ini ia sangat mencintai wanitanya itu.

"Kamu udah makan semua makanan yang tadi dipesan Rubi kan?" tanya Barat menghargai apa keinginan Rasya.

Rasya mengangguk kemudian beranjak dan duduk di tepi tempat tidur. "Aku makan semua."

Rasya duduk bersampingan dengan Barat. Canggung dan suasana kaku  sekali. Sudah lama tak dalam kondisi seperti ini.

Rasya menatap Barat. "Aku harus apa?" tanyanya polos.

Barat hanya gelengkan kepala, ia sendiri juga bingung karena selama ini pun hanya melakukan bersama dengnan Rubi. Dan ia tak memiliki ketertarikan secara fisik pada Rasya.

"Kita ngobrol aja dulu," kata Barat lagi.

Lagi, keduanya saling diam. barat dan rasya sama- sama bingung dengan situasinya. Beberapa waktu mereka hanya duduk tanpa bicara. Seperti sepasang pengantin baru yang tak tau bagaimana harus memulai.

"Gue harus snage dulu enggak sih?" tanya Rasya.

Barat  menoleh cepat lalu membulatkan matanya, kaget juga dnegan apa yang dikatakan rasya barusan.

"Kamu dari dulu enggak berubah."

'"Iya gimana, kayak dulu aja biar bisa cepat akrab?" Rasya bertanya sambil mengulurkan tangan. "Kak Barat?" Rasya kemudian tersenyum.

Barat terkekeh kecil. "Iya, ada apa ya?"

"Gue Ayunda, mau ambil absen disuruh pak Tri." Rasya berkata sama seperti pertama kali ia bertemu dengan Barat.

Pria itu geleng-geleng kepala. "Habis itu aku jawab apa?"

"Absennya gak sama saya, kamu minta sama Robi." Rasya mengingatkan.

"Kamu ngatain aku kaku dan jadul kan?"

"Iya, soalnya kakak jawabnya pakai saya," jawab Rasya lagi.

"Lucu juga kamu panggil aku kakak." Barat mengacak rambut Rasya. Hal yang dulu sering ia lakukan.

Sejak perkanalan itu Rasya sering kali mengganggu Barat dan akhirnya membuat barat kesal dan penasaran. Mereka menjalin hubungan dalam delapan bulan. Lalu Barat harus ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya.

Sejak itu tak ada komunikasi dari keduanya. barat jatuh cinta dengan Rubi dan menikah karena perjodohan.  Dan ini adalah saat mereka bertemu lagi setelah bertahun-trahun berpisah.

"Nda, kamu tau kan malam ini kita harus—"

Rasya anggukan kepala. "Aku bingung dan belum siap kak."

"Aku juga."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top