5. ZIGOT YANG TERJEBAK

Fajar telah berganti. Suasana diantara ketiga penghuni ruang rawat 305 perlahan mencair. Tangis Fariza tidak lagi terdengar. Tangis itu kini mulai berganti tawa ceria. Sekarang Fariza pun sering berbincang dengan Sri dan Retno.

Obrolan yang seru dimulai saat Fariza tahu bahwa Sri sedang menggandrungi drama Korea. Sebagai pecinta drama Korea, Fariza dengan senang hati merekomendasikan beberapa serial drama yang bagus pada Sri. Tak jarang mereka juga berbagi pendapat tentang tokoh-tokoh dan alur cerita suatu drama.

Sementara Retno, walaupun awalnya ia tidak mengerti apa yang dibincangkan oleh Sri dan Fariza, ia berusaha ikut dalam obrolan mereka. Dengan begitu, ia bisa sejenak melupakan penyakitnya. Beban pikiran sangat mempengaruhi kondisi tubuh Retno. Hampir tiap berkunjung, dokter selalu memintanya untuk melepaskan beban pikiran.

***

Rabu tiba, hari yang dijadwalkan untuk sesi konsultasi Retno dengan Dokter Pasha. Ini merupakan pertemuan kedua Retno dengan dokter kandungan tersebut. Pertemuan perdana berlangsung dua minggu setelah Retno mendapatkan hasil konferensi dari Dokter Yoga. Dokter Pasha adalah dokter fetomaternal terkenal, baik di lingkungan rumah sakit maupun di Jakarta. Banyak kasus sulit di rumah sakit ini yang diserahkan kepadanya.

Jam baru menunjukan pukul 8 lewat 5, namun Rafi sudah tiba di rumah sakit. Ia tak lupa membawakan bubur kampiun langganan Retno, agar sang istri tidak bosan dengan menu makanan rumah sakit. Hari itu, ia sengaja izin untuk datang terlambat ke kantor, demi menemani sang istri menjalani pemeriksaan dan konsultasi.

Pukul 9.40, Suster Ririn tiba dengan sebuah kursi roda. Kursi roda inilah yang akan menjadi alat transportasi Retno menuju poliklinik yang ada di gedung D. Penggunaan kursi roda merupakan salah satu prosedur untuk mengantarkan pasien rawat inap ke poli dokter yang bersangkutan. Jika kondisi pasien tidak memungkinkan, maka pasien akan dibawa dengan menggunakan ranjang dorong bernama brankar.

Meskipun Dokter Pasha baru tiba di poli pada pukul sepuluh pagi, namun antrian pasiennya sudah membludak. Dari sekian banyak pasien yang mengantri, hanya beberapa dari mereka yang melakukan pemeriksaan kehamilan normal. Selebihnya adalah pasien dengan berbagai masalah kehamilan (obstetri) resiko tinggi dan pasien yang memiliki masalah pada bagian organ reproduksi (ginekologi). Pasien-pasien ini umumnya  adalah pasien rujukan dari RSUD di ibukota maupun di daerah.

Retno memindai pasien yang berada ruang tunggu. Terdengar samar-samar obrolan sesama pasien. Seorang ibu paruh baya dengan perut yang besar, tertawa terbahak saat bercerita tentang tetangga dan kerabatnya yang mengira ia sedang hamil. Ia selalu menjawab bahwa ia memang hamil tapi yang ada diperutnya bukan bayi, melainkan daging jadi.

Ada ibu hamil yang sedang menjelaskan pada kawan di sampingnya, tentang parasit toksoplasma yang sedang ia idap. Ada juga seorang wanita muda yang sudah dua kali menjalani operasi miom. Ia sedang berbagi pengalaman operasinya pada pasien lain yang juga memiliki miom.

Pukul 10.05, petugas administrasi mulai memanggil satu persatu nama pasien untuk memasuki ruangan Dokter Pasha. Berdasarkan kebijakan rumah sakit, pasien rawat inap seperti Retno akan mendapatkan prioritas antrian tanpa perlu mengantri dari pagi. Retno menunggu gilirannya di urutan ketiga sembari berbincang santai dengan Rafi. Mereka menyeleksi beberapa nama anak perempuan untuk bayi mereka.

Beberapa waktu kemudian, pasien pertama keluar dari ruangan Dokter Pasha. Ia bergegas menuju arah Retno, menghempaskan tubuhnya di sebelah. Isaknya menarik perhatian, hingga membuat Retno menghentikan obrolannya dengan Rafi. Berulang kali tangannya menyeka cairan bening yang mengalir di pipi sambil menunggu panggilan terhubung di ponselnya. Dari seragam yang dikenakan, Retno mengidentifikasi bahwa wanita muda itu adalah salah satu pegawai di rumah sakit ini.

“Mas, kata Dokter Pasha, positif hamil ektopik lagi.”

Pasien wanita di samping Retno memulai pembicaraan dengan seseorang melalui ponselnya. Suaranya dibuat sekecil mungkin agar tidak mengganggu pasien lain. Namun Retno masih bisa mendengar sayup-sayup kalimatnya.

“Iya, posisinya sama seperti kehamilan sebelumnya. Zigot berkembang di saluran tuba, bukan di rahim. Zigotnya terjebak di sana.”

Jeda beberapa detik.

“Kata Dokter Pasha, harus segera dikeluarkan. Kalau bisa, dalam minggu ini. Mumpung masih lima minggu.”

“ ….”

“Nggak, Mas. Nggak usah nunggu Mas pulang dari Malaysia. Kalau janin semakin besar, khawatir tubanya pecah seperti kehamilan yang dulu.”

“ ….”

“Tapi aku nggak mau kejadian pecah tuba yang kemarin terulang lagi. Aku masih trauma sama pendarahan, apalagi kehilangan satu tuba. Kalau yang sekarang pecah lagi dan tubanya diangkat lagi, kita nggak bisa punya anak kecuali program bayi tabung.”

“ ….”

“Iya, Mas, nggak apa-apa. Ada ibu yang nanti nemenin. Maaf, ya. Hati-hati di sana.”

Ponsel ditutup. Pemiliknya masih tersedu pelan. Ia menghapus air mata yang terus mengalir, seraya membuka konten media sosial di ponselnya. Sang wanita muda mencoba menenangkan hati sebelum kembali ke tempatnya bertugas. Retno memilih diam, memberi ruang pada ibu muda di sampingnya untuk meredakan nestapa.

Beberapa menit kemudian, petugas administrasi memanggil nama Retno. Dengan sigap, Rafi membantu Retno berdiri dari kursi rodanya, berjalan memasuki ruang pemeriksaan. Dokter Pasha yang sedang mempelajari rekam medis pasien, mengalihkan perhatiannya pada Retno dan Rafi yang memasuki ruangan.

“Bu Retno Pramesti.” sapa Dokter Pasha. “Gimana kabarnya, Bu?”

“Alhamdulillah baik, Dok.”

“Sekarang rawat inap di sini, ya?” Dokter Pasha tersenyum ramah. “Nggak apa-apa, Bu. Jadi lebih mudah dipantau sama dokter, perawat dan ahli gizi,” sambungnya.

“Ayo berbaring! Kita USG janinnya dulu,” perintah Dokter Pasha sambil menunjuk ke arah ranjang periksa.

Dengan bantuan Rafi, Retno menaiki ranjang. Sudah paham dengan apa yang akan dilakukan, Retno segera berbaring dan mengangkat tunik kuningnya agar Dokter Pasha dapat melakukan pemeriksaan USG. Sejumlah gel dioleskan ke ujung probe USG.

“Sudah konsul lagi dengan Dokter Yoga?” tanya Dokter Pasha sambil menggerak-gerakan probe di permukaan perut Retno.

“Belum, Dok. Rencananya Senin depan.”

“Selama rawat inap, dokter imunologi sudah pernah visite?”

“Sudah, Dok. Kemarin ada dokter residen yang visite. Dokter Diah.”

“Apa katanya?” tanya Dokter Pasha singkat sambil terus menatap layar monitor.

“Masih terus observasi, Dok,” jawab Retno. Ia memperhatikan dokter berambut cepak yang ada di sampingnya. Obrolannya dengan pasien tidak menghilangkan konsentrasi Dokter Pasha saat melakukan USG.

“Harusnya usia kehamilan saat ini, 25 minggu ya?”

“Iya Dok.”

“Normalnya, BB janin sekitar 600 gram. Tapi BB janin ibu masih 410 gram. Ini BB janin usia 21-22 minggu,” tutur Dokter Pasha.

Ia lalu meletakkan alat USGnya, kemudian beranjak ke meja dan memberi isyarat pada asistennya untuk membersihkan gel di permukaan perut Retno. Rafi yang duduk di depan Dokter Pasha, tidak sanggup menahan pertanyaannya.

“Istri saya kurang makan ya, Dok?”

Dokter Pasha termenung, “Kemungkinan besar karena faktor autoimun yang diidap istri bapak.”

“Terus, apa tindakan selanjutnya, Dok?”

“Kita akan pertahankan janinnya hingga usia tiga puluh minggu. BB janin saat itu seharusnya sekitar 1,3 kilo.” Dokter Pasha menjeda sambil mengetuk-ngetukan pulpen di mejanya. Otaknya berputar melakukan perhitungan.

“Tapi untuk janin bu Retno, kita berharap BBnya … paling nggak satu kilo-lah. Setelah lahir, janinnya akan kita rawat di inkubator. Dengan berat 1 kilogram, peluang hidupnya bisa di atas 70%,” terang Dokter Pasha.

“Kalau BBnya belum sampai satu kilo, Dok?” sela Retno. Ia menjatuhkan tubuhnya pada kursi di samping suaminya. 

“Tetap akan kita lahirkan di usia tiga puluh minggu,” sahut Dokter Pasha tegas.

“Nggak boleh diundur, Dok?” sergah Retno. Peluang 70% baginya sudah sangat kecil. Ia tidak mau angka peluang itu semakin kecil lagi.

Dokter Pasha menggeleng. “Saya rasa minggu ke 30 adalah win-win solution yang bisa kita tempuh. Saya khawatir kondisi Bu Retno semakin tidak stabil dan akhirnya juga berpengaruh terhadap janin.”

“Baik, Dok. Yang terbaik saja,” sahut Rafi. Sementara Retno membisu.

“Saya sudah melampirkan lembar konsul bersama di sini.” Dokter Pasha menunjuk rekam medis Retno. “Semoga saat konsul imunologi Senin depan, Dokter Yoga akan menyetujui usul saya untuk mempertahankan janin hingga tiga puluh minggu,” ucap Dokter Pasha.

“Mungkin nggak, Dok, Dokter Yoga memberikan usul perpanjangan waktu?” Retno masih belum kehilangan harapannya.

Bersambung.

🏩🏩🏩🏩🏩

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top