3. KARENA KAU SANGGUP, FA.

Jam di atas pintu menunjukan pukul 09.25, saat sebuah brankar putih didorong memasuki ruangan. Seorang gadis muda bernama Fariza terbaring lemah di atasnya. Beberapa kali terdengar ia berusaha menahan cairan hidung yang mengalir bersama air mata. Selain porter yang mendorong brankar, ia juga ditemani Suster Ririn, Suster Kay, serta kedua orang tuanya.

Mereka berenam memasuki bilik kosong di depan Sri. Saat Suster Ririn dan Suster Kay memindahkannya ke ranjang, Fariza mengaduh berkali-kali. Kata sakit dan mama, terucap berulang kali. Terkadang ia menjerit ketika ada gerakan sedikit kuat saat proses pemindahan. Rintihannya membuat pilu hati seisi ruangan.

Seusai memurnakan tugas mereka, Suster Kay, Suster Ririn dan porter segera pergi, meninggalkan keluarga kecil itu di bilik barunya. Sang ibu mengiringi kepergian para petugas dengan ucapan terima kasih. Ia lalu melayangkan pandang ke arah Retno dan Sri. Senyum tipis tersungging di wajahnya yang kuyu. Kantung dan lingkaran hitam mewarnai indera penglihatnya. Setelah mengangguk pelan, ia mulai menutup tirai dengan rapat.

***

Seusai waktu sholat Jumat, tim dokter dari departemen obgyn dan onkologi mendatangi bilik Fariza secara bergantian. Dokter-dokter ini memeriksa kondisi Fariza, baik fisik maupun psikis. Berbait kata semangat terucap selama proses kunjungan. Selama itu pula, hanya dua kata yang terdengar lirih dari bibir Fariza, iya dan tidak.

Dari pembicaraan di balik tirai, Retno tahu bahwa Fariza baru saja menjalani operasi kanker ovarium. Setelah menghabiskan dua malam di ruang ICU, Fariza akhirnya dipindahkan ke ruang rawat di gedung A.

Sejak kedatangan Fariza, Sri dan Retno lebih banyak berdiam di bilik masing-masing. Selain karena kepatuhan pada kata-kata Suster Kay, mereka juga tidak tega membayangkan penyakit yang dialami Fariza. Tirai di bilik Fariza pun lebih selalu tertutup, membuat Retno maupun Sri menjadi canggung untuk berinteraksi.

***

"Mamaa, kenapa? Kenapa harus Fa?" isak pilu Fariza kembali terdengar.

Ini adalah malam ketiga Fariza berada di ruang rawat. Setiap malam isaknya menggema di ruangan. Di waktu-waktu tertentu, isak itu berubah menjadi tangis yang menderas, yang membuat Aiman, sang ibu, gelagapan.

"Sabar, Sayang. Sabar." Hanya kalimat itu yang terdengar dari mulut Aiman. Kalimat yang disampaikan dengan suara bergetar, antara sedih dan berusaha tegar.

Isak tangis itu kerap membuat Retno ikut terbangun. Hatinya teriris mendengar kata-kata dari anak-beranak itu. Hanya ketika Fariza mulai lelah, dia akan berhenti menangsis dan tertidur dengan sendirinya. Suasana ruangan pun kembali tenang.

***

Senin pagi, Ati datang dengan kerinduan teramat pada putri sulungnya. Ia mengabaikan kondisi kesehatannya sendiri. Dimas membantu ibunya yang tertatih memasuki ruangan. Asam urat dan rematik yang diderita membuat Ati harus bergantung pada tongkat kaki tiga saat berjalan. Ketika menyadari kedatangan Ati, Retno segera mengulurkan tangan manja menyambut sang ibu.

"Maafin Retno ya, Bu. Udah bikin ibu repot. Padahal harusnya ibu istirahat di rumah," isak Retno pelan dalam pelukan Ati.

"Jangan ngomong gitu. Ibu senang bisa nemenin kamu di rumah sakit. Yang sabar, ya. Memang beginilah perjuangan seorang ibu. Insyaallah, pahalanya besar."

Pelukan hangat dan air mata tumpah dari mata Ati, melihat jarum intravena terpasang di tangan Retno. Tidak disangkanya, begitu payah perjuangan sang anak saat mengandung. Kepayahan jenis lain yang tidak ia rasakan saat mengandung Retno dan Dimas. Di sisi lain, Retno begitu terharu melihat ibunya. Di tengah kondisi kesehatan yang terbatas, sang ibu yang dulu sudah berpayah mengandungnya, harus kembali mengalami kepayahan untuk menemani putrinya yang sedang mengandung.

"Bu, Rafi ke kantor dulu, ya." Rafi memotong momen kebersamaan ibu dan anak itu. "Hari Rabu nanti, Rafi ke sini lagi. Nemenin Retno USG," sambungnya.

Meskipun ingin terus menemani Retno, tapi Rafi harus memenuhi kewajibannya bekerja. Setelah melalui diskusi keluarga, diputuskan bahwa setiap Senin hingga Jumat, Ati akan menemani Retno di rumah sakit, agar Rafi bisa fokus bekerja. Pada Jumat sore, Rafi akan kembali ke rumah sakit untuk menggantikan Ati.

"Makasih banyak ya, Bu. Maaf karena ngerepotin sampai hari Jum'at." Rafi mencium takzim tangan mertuanya.

"Hush! Jangan ngomong gitu. Berangkat, gih! Nanti terlambat," perintah Ati sampil menepuk punggung Rafi.

Rafi pun segera berjalan beriringan dengan adik iparnya. Mereka beranjak meninggalkan Retno dan Ati.

Sepeninggal Rafi dan Dimas, Ati mulai beristirahat di lantai berlapis karpet Turki berwarna hijau. Rafi sudah menyiapkan karpet tersebut, untuk kenyamanan sang mertua. Ati lebih senang duduk melantai dibandingkan duduk di kursi. Melihat sang ibu sudah mendapatkan posisi yang nyaman, Retno pun melanjutkan sarapan.

***

Pukul 09.10 tim dokter mulai melakukan visite atau kunjungan pasien. Kegiatan visite rutin dilakukan oleh dokter residen untuk memantau kondisi pasien yang sedang dirawat inap. Hasil dari visite akan menjadi laporan kepada masing-masing DPJP. Pada hari-hari tertentu, visite dilakukan dengan pendampingan dari DPJP maupun professor sesuai bidang spesialisasi. Mereka akan memantau langsung kondisi para pasien.

Kali ini, tim yang terdiri dari satu orang professor dan dua dokter muda akan melakukan visite di ruangan tempat Retno berada. Dengan langkah tenang, mereka memasuki ruangan. Pasien pertama yang mereka kunjungi adalah yang terdekat dengan pintu.

"Pasiennya yang mana?" canda dokter yang berusia paling tua. "Kok, pasiennya tiduran di lantai?" lanjutnya.

Sambil tersipu malu, Ati mengerling pada putrinya. Ia pun mulai duduk dan memberi ruang pada para dokter.

"Prof, pasiennya yang di ranjang," ucap Dokter Nadine setengah berbisik.

Profesor Ronally melirik sambil menyeringai, mengkonfimasi bahwa ia sedang bergurau, membuat Dokter Nadine tertunduk malu.

"Bu Retno Pramesti. G1P0A0, hamil intrauterine 24 minggu. Ibu dengan autoimun. Dirawat hingga terminasi, tapi belum ada kepastian waktu terminasi dari Dokter Pasha," Dokter Nadine mengalihkan suasana dengan membaca data pasien yang ada di genggamannya.

Profesor Ronally menyimak dengan seksama, sedangkan Dokter Bagas yang berdiri di belakang, mencatat apa yang dikatakan Dokter Nadine.

"Ibu dengan autoimun," gumam Profesor Ronally. "Hamil pertama, belum pernah melahirkan dan belum pernah aborsi," lanjutnya mengkonfirmasi. "Gimana rasanya kehamilan pertama, Bu? Senang, ya?" selidik profesor itu.

"Senang, Dok. Dreams come true banget. Setelah tiga tahun penantian. Tapi, kayanya perjuangan berat ya, Dok?" tutur Retno.

"Sabar ya, Bu. Kita usaha yang terbaik. Ibu juga bantu usaha yang terbaik. Makan yang baik, istirahat yang baik. Jangan banyak pikiran. Semoga hasil yang kita dapatkan juga terbaik." Profesor Ronally menepuk pelan telapak kaki Retno. "Oh iya, ibunya istirahat yang baik juga. Jangan sampai ikutan jadi pasien." Profesor Ronally berpesan pada Ati sebelum meninggalkan bilik. Pesan yang dijawab dengan senyuman Ati.

Meninggalkan bilik Retno, tim dokter pun memasuki bilik Sri. Sri segera melepaskan earphone di telinganya, dan mulai duduk tegak. Ia tersenyum pada professor yang sudah sering menyambanginya.

"Bu Sri Rahayu. P2 post histerektomi karena plasenta previa dan perkreta. Saat ini sedang menjalani kemoterapi. Masih dalam pengawasan bersama dokter gastroenteritis. Belum ada rencana hingga kapan dirawat," terang Dokter Nadine. Dokter Bagas kembali mencatat dengan tekun.

"Wah-wah, masih disini ya, Bu?" Profesor Ronally tersenyum ramah pada Sri. "Sabar, ya. Semoga cepat pulang ke rumah," tambahnya.

"Aaminn. Iya, Dok. Semoga bisa cepat pulang. Saya sudah kangen rumah dan anak-anak," jawab Sri pelan. Ada getir di nadanya.

"Sabar, Bu. Tetap bersyu-"

"-kur." Sri melengkapi kalimat professor Ronally. Kalimat yang sudah sering ia dengar dari bibir sang professor.

"Saya sudah pernah bilang, kan? Ibu masih hidup hingga hari ini ... itu aja sudah keajaiban dari Allah," lanjut Profesor Ronally, berusaha menenangkan Sri. "Oke?" tambahnya. Sri mengangguk pada Professor Ronally yang mulai beranjak.

Dengan langkah perlahan tim dokter beralih menuju bilik Fariza. Satu-satunya bilik di ruangan itu yang tirainya masih tertutup rapat. Dokter Nadine memimpin di depan. Setelah mengucapkan salam, ia mulai menjelaskan kondisi pasien yang sedang dikunjungi.

"Fariza Nafisha Koto. Post BO. Pasien dengan kanker ovarium stadium 1B." Dokter Nadine memaparkan kondisi Fariza.

Profesor Ronally mendengarkan Dokter Nadine sambil berjalan mendekati Fariza. Ia lalu mengambil posisi duduk di tepi ranjang Fariza. "Gimana kabarnya, Nak?" tanya Profesor Ronally.

"Masih sakit, Dok," jawab Fariza singkat.

"Iya, pasti sakit. Soalnya perut kamu dibedah dari sisi kanan sampai kiri. Lebih panjang dari pembedahan sesar biasa," terang Profesor Ronally.

"Nangis terus, Dok. Mikirin masa depan." Aiman menyela pembicaraan.

Profesor Ronally memandang Aiman. Sebuah anggukan menandakan ia mengerti maksud sang ibu. Kening Profesor Ronally berkerut, saat ribuan neuron di otaknya saling memancarkan gelombang listrik. Setelah menemukan informasi yang tersimpan, ia pun berpaling pada Fariza.

"Sabar ya, Nak." Profesor Ronally termenung sejenak, lalu menambahkan. "Saat ini, di luar negeri sudah ada teknologi yang namanya cangkok ovarium. Mungkin kedepannya ada penemuan teknologi baru yang lebih canggih."

Profesor Ronally menepuk pelan betis Fariza. "Masa depan kamu masih panjang. Terima takdir dan terus bersyukur. Allah kasih ujian ini karena kamu dianggap sanggup." Profesor Ronally memberikan nasihat yang cukup panjang. Fariza mengangguk.

Profesor Ronally lalu bangkit dan meninggalkan bilik Fariza diikuti kedua muridnya, berjalan lurus menuju pintu keluar.

"Sudah dicatat semua, Gas? Siang ini kita bahas tiap kasus dengan teman-temanmu. Kasus-kasus yang rumit bisa memperluas dan memperdalam ilmu kalian." Suara Profesor Ronally terdengar sayup-sayup saat tim tersebut melangkah keluar ruangan.

🤰🤰🤰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top