14. JERITAN GHEA

Kamis sore, Suster Kay dan Suster Ririn masuk ke ruangan untuk membersihkan bilik di samping lemari pakaian. Linen putih yang membungkus ranjang, diganti dengan yang baru. Selimut salur hijau putih pun diganti. Dalam hati, Retno bertanya-tanya tentang pasien yang akan tiba.

Pertanyaan Retno terjawab setengah jam kemudian. Sebuah brankar didorong masuk ruangan. Retno yang sedang membaca artikel kesehatan, mengalihkan pandangannya pada rombongan yang dipimpin oleh Suster Kay. Ia memindai wanita berusia tiga puluhan yang terbaring lemah di atas brankar. Seorang ibu paruh baya menemani di sisinya.

Jaya, Suster Ririn dan Suster Kay bersama-sama memindahkan sang pasien ke ranjangnya. Setelah memastikan pasien baru beristirahat dengan tenang, rombongan petugas medis itu pun keluar ruangan. Sebelum mencapai pintu, Suster Kay sempat menoleh pada Retno. Jari telunjuk di letakan di depan bibirnya, mengisyaratkan agar Retno bisa menjaga suasana tenang. Retno mengangguk paham.

🏩🏩🏩

Pekat menyelimuti langit ibukota. Di tengah lelapnya, Retno terbangun oleh suara isak tangis. Retno yakin isak itu berasal dari bilik sang pasien baru. Isak pelan itu kemudian berangsur menjadi kencang. Ati yang juga merasa terganggu, mulai terbangun. Beberapa kali ia mengganti posisi tidurnya, namun tidak jua menemukan kembali kantuknya. Menyadari sifat putrinya, Ati perlahan duduk dan meraih lengan Retno. Retno terkejut dan menoleh pada ibunya. Dalam remang ia bisa melihat telunjuk sang ibu diletakan di depan bibirnya, sama seperti perintah Suster Kay. Retno kembali mengangguk paham.

🏩🏩🏩

Cahaya fajar mencairkan suasana di dalam ruangan. Pemilik ruangan di dekat jendela pun mulai menjalin komunikasi. Namun selain nama, Retno tidak berani bertanya hal lain pada Ghea dan ibunya, Citra. Mungkin Ghea baru selesai menjalani operasi penyakit rahim seperti Fariza, pikir Retno. Isak Ghea semalam serta peringatan dari Suster Kay membuat Retno urung berbasa-basi tentang sebab Ghea dirawat. Pertanyaan yang biasa ia lontarkan pada pasien-pasien di ruangan, urung ia tanyakan. Retno khawatir akan menimbulkan suasana yang kurang mengenakan di antara mereka.

🏩🏩🏩

Menjelang siang, Suster Kay kembali membersihkan bilik kosong yang tersisa di ruangan. Pasien baru lagikah? Retno bertanya-tanya. Pertanyaan itu terjawab saat Ahmad memimpin rombongan memasuki ruangan. Jaya mendorong brankar serta Suster Kay dan Suster Ririn berjalan di sisinya. Setelah membantu Ara untuk berbaring di ranjang, para petugas itu pun meninggalkan ruangan yang kini dipenuhi oleh enam orang.

Retno melongokkan lehernya ke bilik Ara.
“Gimana kabarnya, Teh?” tanya Retno pelan. Masih teringat pesan Suster Kay.

“Alhamdulillah, baik. Bekas jahitannya masih sakit, sih.” Tangan kanan Ara menyentuh bagian bawah perutnya, mengkonfirmasi bagian yang terasa sakit. Pandangan Retno berkeliling mencari sesuatu. Ia ingin bertanya, namun ragu. Melihat gelagatnya, Ara mengangkat alis, isyarat kenapa.

“Bayinya?” tanya Retno ragu, hampir menyerupai gumaman. Retno khawatir terjadi sesuatu pada bayi itu, hingga tak dibawa ke ruang rawat bersama Ara.

“Di ruang SCN. Nih, lagi dijemput sama Pak Jaya dan Suster Ririn,” jawab Ara. 

“Ooh. Dirawat di sana dulu, Teh?”
Ara mengangguk, “Bayinya nggak boleh ketemu saya di ICU dan HCU. Takut kena virus. Baru sekarang boleh rawat bareng.”

“Wahh, first meet, dong?”

Ara mengangguk sambil tersenyum lebar, memperlihatkan gigi gingsulnya. Bahagia terpancar dari wajah Ara. Retno ikut bahagia membayangkan bayi kecil Ara.

Tak berapa lama, Suster Ririn datang bersama Jaya, membawa boks bayi ke dalam ruangan. Retno menyaksikan tatapan haru Ara pada bayinya. Bayi yang ia perjuangkan dengan penuh resiko. Melihat pemandangan itu, Retno pun berniat ingin mempurnakan perjuangannya.
Kehadiran René, bayi Ara, mengundang keramaian saat jam besuk di sore harinya. Kerabat dan kolega silih berganti menjenguk dan menyampaikan ucapan selamat. Baru setelah mentari mulai tergelincir, bilik di samping jendela itu kembali sepi, menyisakan Ara, Ahmad, dan René.

René, menurut Ara, nama itu diambil dari bahasa Prancis, yang berarti dilahirkan kembali. Entah apakah di mata Ara, René adalah anak pertamanya yang dilahirkan kembali ataukah bayi kedua yang diberikan lagi. Retno tidak bertanya lebih lanjut. Pipi tembam René telah mengalihkan perhatiannya.

🏩🏩🏩

Dini hari, di sepertiga malam akhir, tidur Retno terganggu karena tangisan bayi Ara. Retno tidak terkejut akan hal ini. Ia pernah menemani kakak iparnya selama seminggu pasca sang kakak melahirkan bayi pertama. Biasanya diminggu-minggu awal, bayi sering terjaga dimalam hari. Kata Ati, mungkin karena rasa sakit dari tali pusar yang belum puput atau proses adaptasi dengan kondisi di luar rahim.
Retno mendengar suara gaduh dari bilik Ara. Ara sedikit panik karena tangis bayinya tidak kunjung mereda. Walaupun bayi itu adalah anak kedua Ara, Retno menduga bahwa Ara sama sekali belum berpengalaman menangani bayi diminggu awal kelahiran.

“Berisiiik!” Retno terkejut, refleks terduduk. Sebuah teriakan menggelegar memecah di antara tangis bayi. Retno mengenalinya sebagai suara Ghea. Ati juga ikut terbangun saat mendengar suara terikan. Ia segera menyentuh tangan Retno, memastikan putrinya tidak bertindak apa-apa.

“Ooeek, ooeeekk.” Suara tangis René terdengar semakin keras saat mendengar teriakan keras itu.

“Ssst, sssstt.” Ara mendesis pelan, berusaha menenangkan René. Namun tangis bayi itu tak kunjung mereda.

“Tidur ya, Nak,” bujuk Ahmad pelan.

“Ooeek, ooeeekk.” René tidak mau bekerja sama. Tangisnya tak kunjung berkurang.

“Beriisiiiik! Diemin kek, tuh bayi! Ganggu orang tidur aja!” Jeritan Ghea makin menjadi. Namun itu malah membuat tangis bayi Ara semakin menjadi juga. Retno hendak memberi pertolongan, namun Ati makin mengeratkan genggamannya pada tangan Retno.

“Gheaa, udah,” bujuk Citra lirih, berusaha  menenangkan putrinya.

“Ooeek, ooeeekk.”

“Diemin, nggak?” Nada suara Ghea makin meninggi. Entah apa yang membuat Ghea histeris mendengar suara René. “Atau mau gua yang diemin?” ancam Ghea, membuat suasana terasa mencekam.

Retno meraih tirai di sampingnya, mengintip apa yang terjadi. Lampu di dalam bilik Ara dalam posisi menyala, sayangnya tirai di bilik Ara dan juga Ghea dalam kondisi tertutup. Retno ingin sekali turun dari ranjangnya dan memberikan bantuan.

“Ooeek, ooeeekk.”

“Berisik! Bisa ngurus bayi, nggak sih?” teriak Ghea diiringi jeritan tangis.

“Gheaa, udah! Ayo tidur, Sayang.”

“Sst, sssstt.”

Silih berganti suara Ara, René, Ghea, dan Citra bergema menyesaki ruangan. Bingung harus berbuat apa, Retno segera menekan tombol pemanggil perawat yang ada kepala ranjang. Ia pun menyalakan sakelar lampu di samping tombol tersebut.

Kurang dari semenit, pintu terbuka. Tangis René dan Ghea masih terdengar. Suster Dessy, yang malam itu bertugas jaga malam, menyibakkan tirai Retno. Tatapan penuh tanyanya disambut dengan kerlingan mata Retno ke arah samping. Suster Dessy mengerti apa yang terjadi. Setengah berlari, ia menuju bilik Ara. Retno mengintip dari balik tirai. Dilihatnya Suster Dessy menggendong René keluar ruangan, disusul oleh Ahmad. Suara tangis René pun perlahan menghilang dibalik pintu.

Lima menit kemudian, Suster Dessy kembali masuk dengan jarum suntik di tangan. Ia bergegas menuju bilik Ghea.

“Tenang ya, Bu. Saya kasih obat biar bisa tidur, ya.” Terdengar suara Suster Dessy.

Berangsur-angsur suara tangis Ghea mulai mereda, hingga hanya hening yang tersisa. Suster Dessy lalu beranjak keluar ruangan. Retno masih belum melihat Ahmad dan René kembali. Namun suasana di dalam ruangan sudah lebih tenang. Retno menarik nafas panjang, hendak kembali tidur.

Saat mulai memejamkan mata, terdengar suara tirai dibuka. Retno menajamkan telinganya, mencuri dengar apa yang sedang berlangsung.

“Nak, maafin anak saya, ya,” kata Citra pelan.

Meski disampaikan dengan volume rendah, Retno masih bisa mendengar tiap kalimatnya.

“Anak saya baru kehilangan bayinya. Jadi, agak sensitif. Tolong dimaklumi.” Suara Citra kembali terdengar.

“Iya, Bu,” sahut Ara.

Retno makin menajamkan telinganya. Namun, tidak terdengar apapun kecuali suara tirai yang disibakkan. Citra sudah kembali ke bilik Ghea.
Terdengar suara gagang pintu yang diputar. Retno melirik melalui tirainya. Ahmad berjalan di samping Suster Dessy dengan René yang tertidur pulas di dekapannya. Masalah malam ini teratasi, namun entah esok hari, batin Retno.
Mata Retno hampir terpejam, ketika Ati menyentuh tangannya, memberi beberapa isyarat tanpa suara dengan jari dan wajahnya. Retno mengangguk paham.

[Teh Ara, udah tidur?]

Retno mulai mengetik di layar ponselnya. Retno menunggu lebih dari satu menit, sebelum notifikasi balasan muncul.

[Belum]

[René?]

[Udah tidur.Di samping saya]

Retno menarik nafas lega, lalu melirik ibunya. Retno menepuk pelan ruang kosong di samping tempat tidurnya, memberi isyarat pada Ati tentang posisi tidur René.

[Kata ibu,Teh Ara & Mas Ahmad tidurnya gantian aja]
[René jangan ditinggal tidur]

[Iya.Ahmad lagi tidur]
[Nanti kalo saya ngantuk, gantian Ahmad yang bangun]
[Jagain René, takut nangis lagi]

Retno kemudian berpikir keras saat hendak melanjutkan pesannya. Ia berjuang meramu kalimat untuk menyampaikan titipan pesan dari ibunya.

[Ibu takut René diapa-apain.hehe…]

Setelah beberapa menit berpikir, kalimat itu yang akhirnya ditulis oleh Retno. To the point.

[Iya.Saya tau rasanya kehilangan bayi]
[Ada rasa marah pada takdir.Kenapa harus saya yang kehilangan bayi bukan org lain]
[Ada rasa cemburu liat ibu lain bahagia sama bayinya]
[Ada rasa sedih ngingat bayi yang sudah pergi]

Retno menerima pesan panjang dari Ara. Ia membacanya dengan seksama. Sebelum Retno sempat membalas, pesan lain kembali masuk.

[Saya sampe ga mau pergi ke tempat yang ada bayinya. Liat gambar bayi aja ga mau]

Tangan Retno bergetar membaca pesan Ara.

[Suka nangis kalo ada tmn yang posting foto bayinya]
[Liat perlengkapan bayi di mall aja bikin saya nangis]

Retno mengernyitkan dahinya, membaca kalimat demi kalimat yang dikirimkan Ara. Matanya berkaca-kaca membayangkan perasaan ibu yang kehilangan bayinya. Retno membayangkan hari-hari yang mereka lalui. Ia pun membayangkan perasaan Ghea saat ini.

[Berapa lama kaya gitu,teh?]

[Tergantung masing-masing. Ada yang cepat,ada yg lama]

[Kalo Teh Ara, berapa lama sedihnya?]

[6 bulanan. Dibantu psikolog. Lama ya?hehe…]

Retno membalas dengan emotikon senyum. Bingung hendak berkata apa. Refleks Retno membelai perutnya. Jika kejadian itu menimpa dirinya, mungkin ia perlu waktu yang lebih lama untuk move on. Benarlah kata pepatah, suami adalah belahan jiwa, tapi anak adalah seluruh jiwa. Tiba-tiba air mata Retno jatuh satu persatu. Retno segera menghapusnya, sambil melirik ke arah ibunya yang sudah mulai kembali terlelap. Ia tak ingin mengganggu lelap sang ibu.

[Mudah-mudahan besok malam Ghea udah ga kaya gini lagi ya, Teh]

[Semoga. Besok kami mau pindah ke VIP. Ga apa-apa kantong bolong. Biar semua nyaman]

Retno mengerutkan kening saat menerima pesan Ara. Retno teringat bahwa di ruang kelas tiga, keluarga tidak diperkenankan menemani saat malam. Kondisi ini pasti sulit untuk ibu yang baru melahirkan. Mungkin itu sebabnya Ara memilih pindah ke ruang VIP.

[Ga nunggu sampe jadwal pulang aja, Teh?]

[Kata dokter Anggi, pulangnya mungkin Selasa. Nunggu ttd dokter Pasha dulu]

Retno lalu teringat bahwa hari Senin adalah hari libur nasional. Ia mengangguk tanda mengerti walaupun Ara tidak melihatnya.

[Mba Retno tidur aja]

Sebuah pesan kembali masuk ke ponsel Retno.

[Teh Ara ga apa-apa sendirian?]

[Ga apa-apa. Bismillah. Kalo ngantuk, saya bangunin Ahmad]

Retno sebenarnya ingin menemani Ara, tapi ia juga menyadari kondisinya. Retno harus menjaga kesehatan demi bayi yang ada di rahimnya.

[Ok. Saya tidur duluan ya, Teh]

Retno meletakan ponsel di samping meja, lalu mematikan sakelar lampu. Lampu di bilik Ara dan Ghea masih tetap menyala.

🏩🤰🏩🤰🏩🤰🏩🤰🏩
Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top