13. JALAN MEMUTAR

Gerimis di awal Desember menjadi penyejuk alami di Rabu pagi. Jendela yang terbuka mengantar semilir angin musim penghujan ke dalam ruangan. Udara dingin membuat Retno betah membenamkan dua kakinya dalam selimut tebal kesayangan. Aroma tanah yang baru terbasuh hujan, membawa selaksa rasa di hati Retno.

Tepat pada pukul 6, seorang dokter berjalan dengan langkah besar menuju bilik Ara.

“Bu Zahra,” sapanya ramah. “Saya Dokter Stevanus dari departemen kardio.”

Dengan senyum terkembang, Dokter berkulit putih dan bermata sipit itu memperkenalkan diri.

Tirai bilik Retno dan Ara yang tersingkap lebar, membuat Retno dapat mengamati setiap dokter yang mengunjungi Ara. Sebuah tontonan gratis yang ia lakukan sambil menikmati sarapan. Di sisi lain, Ara tidak menyantap sarapan karena harus berpuasa selama enam jam sebelum tindakan.

“Saya hanya ingin menyampaikan, tindakan yang dilakukan hari ini hanya sectio caesario, untuk mengeluarkan bayi ibu,” tutur Dokter Stevanus.

“Tapi, dokter kardiologi akan tetap observasi kondisi ibu beberapa hari pasca operasi. Dari ruang ICU, HCU sampai nanti pindah lagi ke ruang rawat. Kita harus mastiin, nggak terjadi apa-apa dengan jantung ibu,” lanjut dokter itu.

“Jadi, di operasi hari ini nggak akan ada pembedahan dada untuk memasang alat pacu jantung, kan, Dok?” Ahmad mengkonfirmasi.

Dokter Stevanus menggeleng. “Tindakan untuk jantung Bu Zahra itu, operasi koreksi katup jantung. Nanti akan kita jadwalkan. Mungkin sekitar enam bulan dari sekarang,” jawab Dokter Stevanus.

“Tapi, saya rencana ngasih ASI sampai dua tahun, Dok.” Ara menegaskan.

“It’s okay. Kalau begitu koreksinya kita jadwalkan setelah dua tahun nanti. Tapi ingat, sebelum koreksi katup, ibu tidak diperbolehkan hamil dulu.” Dokter Stevanus memperingatkan Ara dengan tatapan tajam sambil mengacungkan jari telunjuknya. “Pasca operasi, ibu harus kontrol ke poli jantung. Nanti kita bicarakan tentang jadwal selanjutnya di sana,” tambah Dokter Stevanus, yang dijawab dengan anggukan Ara.

“Okey, sekarang fokus untuk operasi, ya. Kita ketemu lagi jam sembilan di OK.” Dokter Stevanus menunjukan isyarat oke menggunakan tangan kanannya. Ia lalu beranjak meninggalkan bilik Ara.

Sepeninggal Dokter Stevanus, Ara kembali tertunduk sambil memainkan jari jemarinya. Retno membaca kegelisahan di raut wajah Ara. Dengan ragu-ragu, Retno bertanya, “Gimana perasaannya, Teh?”

Ara berpaling pada Retno dan tersenyum kecut.

“Dag dig dug.”

“Insyaallah lancar, Teh. Udah nyampe hari ini, kan? Jadi, nggak perlu khawatir tentang gagal jantung lagi.”

Ara menarik nafas panjang.

“Kemarin Dokter Pasha jelasin tentang kemungkinan back flow pasca operasi. Saya jadi kepikiran. Waktu caesar pertama sih, nggak terjadi. Tapi untuk yang sekarang, kemungkinannya lebih besar.”

“Back flow?” Retno mengerutkan kening.

Ara mengangguk pelan, lalu meluruskan kedua kakinya ke depan. Sambil menatap ujung-ujung jari kakinya, Ara mulai menjelaskan, “Saat seseorang hamil, darah akan mengalir ke janin melalui plasenta. Semakin besar usia kehamilan, semakin banyak pula darah yang mengalir.” Ara berhenti untuk menarik nafas panjang, memenuhi paru-parunya dengan udara sejuk.

“Ketika plasenta dipotong saat proses melahirkan, aliran darah yang deras itu akan terputus hilirnya,” lanjut Ara sambil membentuk jari telunjuk dan tengah menyerupai gunting yang memotong sebuah benda.

“Aliran darah yang nggak menemukan hilirnya, akan kembali ke hulu. Ke jantung. Itu namanya back flow. Arus balik.” Ara mengayunkan telapak kanannya dari depan perut ke arah dada. Retno menyimak dengan saksama setiap kalimat Ara.

“Bagi pasien jantung, fase back flow termasuk masa kritis. Kalau jantung tidak sanggup menahan arus balik, maka akan terjadi gagal jantung.” Sambil melirik Retno, Ara mejelaskan dengan intonasi yang datar, menggambarkan kepasrahan total. Ara lalu menutup matanya, bersandar pada bantal di bagian kepala ranjangnya.

“Semoga jantung Teh Ara sanggup ya, Teh.” Retno menyemangati.

“Aamiin. Saya berdoa agar Allah tolong saya. Agar saya dikasih kesempatan untuk membesarkan anak saya ini.” Ara menghela napas panjang lalu mengambil kitab suci di mejanya. Mencoba menenangkan hati dengan membaca kalam-Nya.

Retno menyadari Ara tidak ingin berbicara lagi. Ia pun mengambil nampan sarapannya. Ia menikmati sarapan yang masih hangat, bubur oat dengan kuah santan dan gula merah. Ia lalu memandang ibunya yang sedang menikmati roti manis dengan segelas susu lanjut usia.

Beberapa saat kemudian, pintu kembali terbuka. Seorang dokter cantik mungil masuk menuju bilik Ara. Retno mengenalinya sebagai Dokter Kirana, dari departemen anastesi. Siang kemarin, ia bersama rekannya berkunjung ke bilik Ara untuk menjelaskan prosedur tindakan operasi dan jenis anastesi yang akan diberikan beserta resikonya. Dokter Kirana juga meminta persetujuan Ara untuk jenis anastesi yang akan digunakan.

“Selamat pagi, Bu Zahra,” sapa Dokter Kirana.

“Selamat pagi, Dok.”

“Saya cuma mau mastiin, Bu Zahra puasa kan?”

Ara mengangguk. “Dari jam dua malam, Dok.”

“Sip. Rileks aja ya, Bu. Jangan banyak pikiran. Kita ketemu lagi sekitar jam 8.30 di ruang tunggu OK. Ada beberapa persiapan untuk ibu sebelum masuk OK. Saya siap-siap di sana dulu, ya.” Dokter Kirana mengelus lembut kaki Ara sebelum meninggalkan ruangan.

Sepeninggal Dokter Kirana, Retno melihat kegelisahan yang bertambah pada Ara. Namun, ia juga tidak tahu harus berkata apa. Retno belum memiliki pengalaman melahirkan apalagi menjalani operasi dengan kemungkinan resiko yang besar. Walaupun Retno cemburu pada Ara, jauh di lubuk hatinya, Retno tetap memanjatkan do’a terbaik untuk sahabat barunya.

Menit demi menit terus berlalu. Sudah hampir pukul delapan, namun Suster Ririn yang akan mengantar Ara ke ruang OK belum juga hadir. Operasi Ara hari itu akan dilangsungkan di ruang OK, operatie kamer, istilah yang diambil dari bahasa Belanda untuk menamai ruang operasi.
Pintu kembali terbuka. Kali ini Dokter Anggi yang memasuki ruangan. Setengah berlari, Dokter Anggi menuju ke arah Ara.

“Bu Zahra, maaf saya terlambat. Sudah siap, kan?” tanya Dokter Anggi dengan terengah-engah.

Ara mengangguk. Dokter Anggi lalu menarik beberapa nafas panjang, menstabilkan sistem pernapasannya.

“Sebelum operasi hari ini, saya mau menyampaikan sesuatu.” Dokter Anggi menjeda. Dia berjalan pelan mendekati Ara.

“Saya menyampaikan permohonan maaf kami untuk kasus bayi pertama ibu. Kami mohon maaf.” Dokter Anggi menundukan kepalanya dalam-dalam ke arah Ara dan Ahmad. Dokter Anggi lalu mengenggam tangan Ara.

“Kita semua berdo’a, semoga operasi hari ini sukses. Ibu dan bayi sehat dan selamat. Semua tim sudah siap dan akan berusaha yang terbaik.” Dokter Anggi mengeratkan genggamannya, sembari tersenyum. Ara membalasnya dengan senyum tipis, air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Kenangan pada bayi pertamanya kembali hadir.

“Kita ketemu di OK ya, Bu.” Dokter Anggi membalikkan tubuhnya. Setengah berlari, ia bergegas meninggalkan ruangan.

Retno melihat Ara menghapus bulir bening di pipinya. Rasa penasaran menyelimuti Retno. Ia memandang Ara lekat, menunggu momentum Ara menoleh padanya. Ketika itu terjadi, satu pertanyaan singkat segera terlontar.

“Kenapa, Teh?”

“Bayi pertama saya lahir di rumah sakit ini juga. Waktu itu DPJPnya bukan Dokter Pasha. Tim dokter di rumah sakit ini yang minta saya untuk terminasi di usia kehamilan 31 minggu.” Pandangan Ara menerawang.

“Karena alasan itu, saya memilih RSAB Huffnongen untuk kelahiran anak kedua saya. Harapannya, kejadian yang sama nggak terulang lagi.” Ara menjeda. “Ternyata saya masih berjodoh dengan rumah sakit ini,” ucap Ara dengan senyum kecut.

“Waktu minggu lalu saya nyampe ke sini dengan usia kehamilan 37 minggu, tim dokter kaget. Mungkin itu sebabnya Dokter Anggi minta maaf.”

Ara menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi. Ahmad memegang tangan Ara, seolah ingin memberinya kekuatan.

“Udah, Ra. Mungkin itu jalan memutar yang dipersiapkan Allah untuk kita lalui.” Ahmad menatap dalam melalui mata Ara. “Nggak bisa dipungkiri, pengalaman di perinatologi juga mempengaruhi kita sehingga lebih berani untuk mengambil resiko pada kehamilan sekarang. Kamu siapin diri aja untuk operasi nanti. Ikhlasin semuanya,” lanjut Ahmad, berusaha menenangkan Ara. Ara mengangguk pelan.

“Semangat, Teh!” seru Retno. “Kan sebentar lagi bisa ketemu sama bayi ganteng,” sambungnya.

Bincang-bincang ringan antara Retno dan Ara terus berlanjut hingga Suster Ririn datang ke ruangan. Bersiap mengantarkan Ara menuju Operate Kameer.

🏩🏩🏩🏩🏩

Jangan lupa vote dan komen, ya. 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top