11. BYPASS TO JANNAH
Roda waktu berputar begitu cepat. Tak terasa, hari Jumat segera tiba. Retno tidak sabar ingin segera bertemu dengan Rafi, untuk berbagi cerita tentang perawatan bayi di gedung perinatologi. Beberapa hari ini, Retno sering mendengar cerita Cintya maupun Sigit, suami Cintya, tentang kondisi bayi mereka.
Malam semakin kelam. Lampu-lampu di ruangan pun sudah temaram. Namun nidera belum juga menjemput Retno. Ia gelisah, membayangkan ketika esok Cintya pulang ke rumah. Suasana ruangan yang ramai akan kembali senyap.
Neon utama sudah dipadamkan sejak pukul 9 malam. Ini merupakan kesepakatan tak tertulis di antara para pasien. Jika ada yang masih ingin terjaga, mereka bisa menyalakan lampu pribadi di bilik masing-masing. Tirai bilik yang tebal menjaga agar sinar lampu pribadi tidak mengganggu sekitar.
Setiap bilik dilengkapi dengan dua buah lampu pribadi. Lampu pertama berwarna kuning redup, berada di tengah langit-langit bilik. Sedangkan lampu kedua adalah neon putih yang terletak horizontal pada furnitur kayu di dekat kepala ranjang. Tiga buah stop kontak berjajar di samping neon. Ketiganya disiapkan untuk penggunaan alat medis atau sekedar mengisi daya ponsel pasien.
Neon di bilik Retno masih menyala. Sudah hampir tengah malam namun ia masih terjaga. Retno mengundang kantuknya dengan horor dari Stephen King. Ketika sang kantuk akhirnya tiba, Retno bergegas menekan sakelar neon di atas kepalanya. Gelap mulai merambat.
Namun sedetik kemudian, Retno mendengar pintu ruangan berderit. Pikirannya seketika mengembara pada adegan horor yang baru ia baca. Decit roda yang bergulir memecah keheningan di malam itu. Bunyi tirai yang disibakkan, membuat Retno semakin bergidik. Ia segera menenggelamkan sekujur tubuhnya dalam selimut biru bergambar Mickey Mouse.
Retno memasang indera pendengarannya. Bunyi sakelar lampu, ranjang yang berderit, dan langkah-langkah, silih berganti. Bulu kuduk Retno kompak berdiri ketika teringat bahwa malam ini adalah malam Jumat. Ia pun melantukan ayat-ayat Al-Qur’an hingga tertidur nyenyak.
🏩🏩🏩
Tidur yang kurang membuat Retno kembali terlelap setelah melaksanakan sholat subuh. Ia baru terbangun saat Suster Ririn memasuki biliknya untuk mengganti tabung infusnya di pagi hari. Retno memindai tirai hijau muda yang masih tertutup rapat. Ia tahu, sang ibu sengaja tidak menyibakkan tirai tersebut, agar putrinya bisa melanjutkan mimpi.
Retno lalu melirik pada sarapan yang belum tersentuh. Nasi goreng, telur dadar, susu, dan buah apel, berbaris manis di atas meja kabinet krem. Biasanya sarapan diantarkan pukul enam pagi. Retno melirik jam digital di ponselnya, sudah hampir pukul delapan. Ia pun menyeringai saat membayangkan nasi goreng dan susu yang sudah dingin.
“Makanannya belum dimakan, ya?” tegur Suster Ririn saat melihat nampan Retno masih terbungkus plastik dengan rapi.
Retno mengangguk pelan. “Iya. Saya ngantuk berat, Sus. Semalam nggak bisa tidur.”
“Kenapa?” Suster Ririn bertanya acak sambil menyuntikan beberapa obat ke dalam botol infus baru yang sudah tergantung.
“Jangan bilang-bilang orang ya, Sus.” Retno mengecilkan volume suara. Retno lalu melambaikan tangan, meminta Suster Ririn untuk mendekat.
“Hmm?” Suster Ririn menjadi penasaran. Ia mengerutkan keningnya lalu mulai duduk di tepi ranjang Retno.
“Saya nggak tahu ini mimpi atau nyata. Tapi, real banget, Sus.” Retno memalingkan kepala, mengintip sang ibu yang sedang sarapan. Retno belum memberi tahu sang ibu tentang insiden semalam.
Ati mengabaikan bisik-bisik antara putrinya dan Suster Ririn. Ia tetap menikmati bubur ayamnya di karpet. Setiap hari, petugas cleaning service akan menolongnya membeli makanan di kantin rumah sakit. Tentu saja, hal itu dilakukan di jam bebas sang cleaning service. Keterbatasan fisik Ati membuatnya sulit menempuh jarak jauh.
“Semalam ada kejadian horor, Sus?”
“Masa, sih?”
“Iya. Pas mau tidur, ada bunyi pintu, bunyi roda, terus bunyi tirai. Ada juga bunyi tombol-tombol gitu.” Retno berkata pelan.
“Serius?”
“Serius, Sus. Kayanya dari bilik bekas Mbak Sri.” Volume suara Retno mulai mengeras.
“Hussh!” tegur Ati. Retno melirik pada sang ibu yang menghentikan suapannya.
Senyum tersungging di sudut bibir Suster Ririn. Dengan gerakan acuh, perawat itu berdiri dan meraih tirai di samping kanan, lalu menyibakkannya. Seketika, pantulan sinar mentari yang berasal dari jendela menyeruak masuk ke bilik Retno. Awalnya, Retno sedikit mengernyit. Ia pun mulai mengadaptasikan pupil matanya pada arus cahaya yang masuk. Wanita itu tersentak, bukan karena cahaya mentari yang silau, namun siluet di samping jendela.
“Bu Ara,” panggil Suster Ririn pada wanita yang duduk di bekas ranjang Sri.
Retno masih menyesuaikan retina. Beberapa kali ia mengerjapkan kedua kelopaknya. Ia memindai seorang wanita muda dengan daster bercorak sakura merah muda dan jilbab senada, sedang duduk bersila sambil menikmati apel dari piring di pangkuannya. Suster Ririn melirik Retno sambil menahan tawanya.
“Ya, Sus.” Ara menghentikan suapannya demi mendengar panggilan Suster Ririn.
“Jangan lupa, jam sembilan nanti Dokter Nadine mau visite,” lanjut Suster Ririn.
Retno tahu, kalimat Suster Ririn ditujukan sebagai jawaban atas ceritanya barusan. Matanya tak bergeming saat menatap Ara. Ia lalu menatap pada perut besar tetangga barunya. Ada headphone melingkar di sana. Terapi musik untuk janin, gumam Retno dalam hati.
“Oke, Sus.” Ara mengangkat jempol kanannya. Lalu tiba-tiba seorang pria yang duduk di kursi samping, menutup mulut, mencoba menahan tawa.
Retno bisa melihat Ara mencubit lengan pria tersebut, mengisyaratkannya untuk berhenti tertawa. Ia pun mengerutkan kening penuh kecemasan. Khawatir pasangan tersebut mendengar kisah yang ia sampaikan pada Suster Ririn.
Retno merutuk dalam hati atas kesalahpahaman yang terjadi. Ia menyesali hipotesanya yang terlalu dini. Wanita itu pun berpikir keras untuk meleburkannya.
“Hai, saya Retno. Ibu hamil dengan autoimun.” Retno tiba-tiba memperkenalkan diri untuk mengalihkan perhatian. Perjalanan sepotong apel menuju mulut Ara terhenti, lima centimeter di depan bibir. Wanita itu lalu sedang menoleh pada Retno, hendak menjawab salam perkenalan.
“Saya Ahmad, ini istri saya Ara. Ibu hamil dengan Ebstein Anomaly.” Pria di samping Ara memperkenalkan dirinya dengan sigap. “Dan kami … manusia!” serunya, lalu kembali menahan tawa. Ara mendelik pada suaminya.
“Tadi pagi, Ahmad yang beliin ibu bubur ayam.” Ati tiba-tiba berkata, menambah kesungkanan di hati Retno.
“Nanti siang ibu juga mau nitip makanan ke Ahmad,” tambah Ati. Retno melirik pada ibunya yang disambut dengan senyum ledekan dari Ati.
“Saya tinggal dulu, ya. Silahkan dilanjutkan obrolannya.” Suster Ririn beranjak dengan senyum geli yang masih tersisa. “Sarapannya segera dihabiskan. Sebentar lagi petugas pantry datang untuk ngambil piring kotor,” tambah Suster Ririn sebelum beranjak dari bilik Retno. Ekor mata Retno mengantar kepergian Suster Ririn hingga pintu keluar.
“Mbak Retno hamil berapa minggu?” Ara tiba-tiba bertanya, menetralisir suasana.
“Jalan 27 minggu,” jawab Retno. “Mbak Ara?”
“Menuju 38 minggu,” sahut Ara. “Oh iya, panggil Teh Ara aja. Saya biasa dipanggil gitu,” sambung Ara. Retno mengangguk.
“Sambil sarapan, ya, Teh. Saya belum sarapan.” Retno tersenyum pada Ara.
“Mangga.” Ara mengangguk.
Retno meraih nampan di samping ranjangnya. Ia mengambil cangkir berisi susu yang sudah dingin. Jari lentiknya membuka penutup berbahan aluminium foil. Setelah menyesap beberapa teguk dan mengembalikan cangkir di meja, Retno beralih pada sepiring nasi goreng.
Sesudah mendaratkan beberapa suap nasi goreng ke mulutnya, Retno kembali berpaling pada Ara. Retno mengamati tetangga barunya, sambil mencari topik untuk meleburkan suasana. Ia mencoba meluruhkan kesan pertama yang ternoda.
“Bayinya lagi dengerin apa, Teh?” tanya Retno. Sebuah pertanyaan yang terlintas acak di pikirannya. Ara menoleh pada tetangga dengan kening berkerut. Meski terkejut mendengar pertanyaan dadakan dari Retno, dia tak urung mengambil headphone yang melingkari perut. Wanita itu kemudian mendekatkannya ke telinga, mendengarkan suara yang tercipta.
“Oh, murrotal Qur’an,” jawab Ara.
“Emang selain murrotal, ada rekaman lain, Teh?” sergah Cintya dengan nada yang akrab.
Retno melirik Cintya yang duduk sendiri di bilik. Tangan kanannya menggenggam pensil warna hijau muda. Sebuah buku mewarnai Art Therapy terhampar di pangkuan. Cintya memilih kegiatan mewarnai untuk menurunkan tingkat stressnya.
“Ada rekaman musik klasik juga, sih. Tapi nggak banyak,” sahut Ara.
Retno kembali mengamati bilik Cintya. Dua duffle bag tersusun rapi di bawah jendela. Selain nampan bekas sarapan, di meja kabinet hanya terdapat satu botol air mineral.
“Cintya jadi pulang hari ini?” tanya Retno.
“Jadi, tapi belum tahu jam berapa. Lagi nunggu dokter, buat surat persetujuan pulang.”
“Bu Nuri sama Sigit, di mana?”
“Ibu lagi di kamar mandi. Bang Sigit lagi ke perinato. Tadi dapat telepon dari sana.”
“Ohh ….” Retno menganggukan kepalanya, lalu kembali mengambil beberapa suapan nasi goreng.
“Teh Ara, tadi anomali apa, ya? Saya baru dengar. Kelainan di rahim juga, ya?” Retno tiba-tiba teringat pada kata-kata Ahmad.
Ara menggeleng. “Ebstein anomaly. Kelainan katup jantung,” jawab Ara.
“Katupnya kenapa, Teh? Bocor? Anak teman saya ada yang katupnya bocor. Kasihan, deh, Teh. Bibirnya, kuku-kukunya, biru semua. Kulitnya pucat banget. Eh, tapi bibir Teh Ara masih merah, ya?” cecar Cintya.
“Bukan.” Ara menggeleng. “Ada katup yang posisinya nggak sejajar. Jadi, nggak menutup sempurna dinding antara serambi dan bilik jantung,” sambung Ara sambil memperagakan dengan kedua telapak tangannya. Jari-jari telapak tangan itu saling berhadapan pada posisi vertikal, di mana posisi salah satu telapak lebih rendah dari yang lain.
“Pengobatannya, Teh?”
“Harus dibenerin katupnya. Bahasa dokternya, harus dikoreksi.” Ara menjawab pertanyaan Cintya dengan senyum yang terkembang lebar.
“Pengaruhnya pada kehamilan atau kelahiran, Teh?” kejar Cintya.
“Mmm … secara teori kedua-duanya, sih.”
“Tapi, kehamilan Teh Ara udah masuk bulan akhir, berarti kehamilannya lancar dong?” Cintya memindai perut besar Ara.
“Alhamdulillah,” jawab Ara pelan. “Sebenarnya waktu usia kehamilan 32 minggu, dokter udah minta untuk terminasi. Saya nggak diijinin hamil lebih dari 33 mingggu,” lanjut Ara.
“Kenapa ga boleh, Teh?”
“Kata dokter, semakin besar usia kandungan semakin berat juga kerja jantung untuk menyuplai asupan darah saya dan janin. Kalau pada satu titik jatung saya nggak sanggup, ada resiko gagal jantung.”
“Tapi, kok bisa sampai 37 minggu, Teh? Dokter ngijinin?” tanya Retno penasaran.
“Sebenarnya karena kami yang sedikit keras kepala.” Ara menyeringai sambil melirik pada Ahmad yang sedang berkutat dengan notebook di meja. “Waktu itu saya kekeh untuk ngelanjutin karena yakin Allah akan nolong saya. Saya cuma ingin berjuang semaksimal yang saya bisa,” terang Ara. “Waktu nolak saran dokter, kami harus tanda tangan surat pernyataan siap menerima resiko terburuk, loh.”
“Teh Ara nggak takut dengan resiko terburuk?”
“Mm … resiko terburuk menurut dokter kan, saya nggak selamat. Mati syahid, dong? Jalan bypass to jannah,” ucap Ara tenang. “Saya pernah nyaksiin bayi pertama saya di ruang perinato. Saya nggak mau bayi kedua saya juga mengalaminya. Kalau saya masih sanggup, tanpa kedaruratan medis, saya ingin terus berjuang untuk bayi saya,” sambung Ara pelan.
Ara menatap dalam pada Retno, lalu dengan tiba-tiba berpaling pada Cintya. Ia terlupa pada satu hal. “Tapi kasus saya beda dengan kasus Cintya. Maaf ya, Cintya.” Ara menambahkan sambil menatap Cintya, teringat bahwa bayi wanita di depannya lahir di usia belum matang.
“Nggak apa-apa, Teh. Kasusnya memang beda. Kalau waktu itu bayi saya nggak segera dilahirkan, mungkin dia akan ngejalanin perjuangan yang lebih berat lagi. Soalnya volume air ketuban udah menyusut, asupan nutrisi juga terhambat.” Cintya menanggapi dengan santai.
“Dokter ngebolehin Teh Ara ngambil resiko?” Retno masih terkesima pada kenekatan Ara. Mendengar cerita sang tetangga, tumbuh secercah harapan di hatinya. Ia mengandaikan peluang negosiasi ulang dengan pihak dokter, agar mereka bersedia memberikan penambahan waktu kehamilan.
“Iya. Tapi mungkin karena dokter juga ngeliat kondisi saya masih stabil. Setelah itu, setiap kunjungan ke rumah sakit, saya selalu ditanya, masih sanggup bertahan atau tidak. Alhamdulillah, Allah ngasih kekuatan untuk bertahan sampai hari ini.”
Rasa cemburu terbesit di hati Retno karena dokter mendukung keputusan Ara. Wanita itu berharap mampu membuktikan hal yang sama pada para dokter, bahwa ia sanggup bertahan.
Pembicaraan di antara ketiganya terhenti ketika Nuri keluar dari kamar mandi dan meminta Cintya untuk membersihkan diri. Retno pun kembali melahap nasi goreng dinginnya, sementara Ara terus menghabiskan buah di piringnya.
🏩🏩🏩
Selesai menandaskan sarapan, Retno teringat pada kesalahpahaman yang terjadi sebelumnya.
“Ehm ….” Retno sengaja berdehem untuk mengundang perhatian dari Ara dan Ahmad, namun keduanya tidak menggubris.
“Teh,” Retno memanggil pelan, Ara berpaling sambil menjawab dengan ‘mm’ singkat.
“Semalam nyampenya larut banget. Maaf, ya. Saya jadi salah sangka,” ucap Retno sambil tersipu malu.
“Nggak apa-apa, kok.”
“Emang dari rumah jam berapa? Kok masuk ruang rawatnya selarut itu?”
“Dari rumahnya sih hari Selasa. Tapi sampai sini sekitar jam 7 malam,” sela Ahmad, mengambil alih pembicaraan.
Retno mengernyitkan dahi. Ia mencerna kata-kata Ahmad. Waktu tempuh selama tiga hari terasa janggal di benaknya. Ia menunggu pria itu menyelesaikan kalimat, tapi sia-sia. Penjelasan tambahan yang dinanti tidak kunjung tiba. Ahmad kembali memandangi layar 10 incinya.
“Kamu tuh, kalau cerita jangan tanggung-tanggung. Kasian Mbak Retno. Jadi kebingungan, kan.” Ara mencolek lengan Ahmad yang dijawab dengan cekikikan.
“Sebelumnya saya dirawat di RSAB Huffnongen, Mbak. Kemarin sore baru ditransfer ke sini. Tapi saya stay di IGD dulu, nungguin Dokter Pasha untuk meriksa kondisi saya. Darurat atau nggak,” cerita Ara. “Dokter Pasha datangnya agak larut. Jadi saya masuk ruangan ini juga larut,” sambungnya.
“Bukannya RSAB Huffnongen itu bagus ya, Teh? Yang di Jakarta Timur, kan? Teman-teman saya banyak yang dirujuk ke sana.” Cintya yang baru keluar dari kamar mandi langsung mengikuti pembicaraan yang sedang terjadi.
“Iya. Sebenarnya, RSABnya bagus. Dokter obgynnya juga bagus-bagus. Banyak ahli fetomaternal terkenal di sana. Selama hamil, saya periksa di sana.”
“Terus, kenapa ditransfer ke sini, Teh? Nggak lahiran di sana?”
“Fasillitasnya kurang lengkap. ICCU buat saya nggak ada.”
“Bukannya ada, Teh? Ada teman saya yang preeklampsia, lahiran dan masuk ICU di sana,” sanggah Cintya.
“ICCU. ICU untuk pasien kardio. ICU Huffnongen nggak didukung fasilitas untuk pasien jantung.”
“Bukannya RSAB Huffnongen itu satu kompleks sama rumah sakit jantung nasional, Teh? Nggak bisa kerjasama, ya?”
Ara menggeleng mendengar pertanyaan Cintya, sementara Retno hanya menonton diskusi di antara keduanya. Ia tidak begitu tahu tentang RSAB ataupun rumah sakit nasional yang sedang dibicarakan, walaupun ia pernah mendengar nama rumah sakit tersebut.
“ICU di rumah sakit jantung itu, dikhususkan untuk pasien-pasien post operasi. Pasien-pasien ini sudah terjadwal dari dua tahun lalu. Kalau saya tiba-tiba pakai fasilitas ICU di sana, berarti saya nyerobot antrian yang sudah terjadwal. Belum lagi, kita nggak tahu tingkat kegawatan pasien jantung yang sedang antri operasi itu.” Penjelasan Ara disambut dengan ‘oh’ panjang dari Cintya. “Makanya, saya dirujuk ke sini. Karena fasilitasnya terintegrasi untuk pasien yang punya komplikasi seperti saya,” lanjutnya.
“Memang harus ada persiapan ICU ya, Teh?” Kali ini Retno angkat bicara.
“Iya.” Ara mengangguk pasti. “Rencananya, pas SC nanti saya pake general anestesi. Bius umum. Sama seperti kelahiran pertama. Jadi, butuh ICU. Terus, harus ada juga pemantauan kondisi jantung pasca SC nanti.”
Retno menganggu ketika mendengar penjelasan Ara. Sebelum Retno bertanya lebih lanjut, derit pintu ruangan terdengar. Dari balik pintu yang terbuka lebar, sosok Dokter Anggi terlihat memasuki ruangan. Suster Kay menjajari di samping, sambil membawa sepaket dokumen.
Dengan langkah pelan, mereka berjalan lurus menuju bilik disampingnya lemari. Suster Kay menyerahkan dokumen kepulangan ke tangan Cintya. Selanjutnya, Dokter Anggi memberikan tiga plastik bening berisi obat, seraya menjelaskan dosis dan pemakaiannya. Tak lupa ia mengingatkan jadwal kunjungan ke poliklinik, untuk memeriksakan luka jahitannya.
Kunjungan tersebut berlangsung lebih dari 10 menit. Berbagai pertanyaan seputar perawatan pasca sectio caesario terlontar dari bibir Nuri, dari makanan hingga pembersihan luka. Dokter Anggi dengan sabar menjawab soal-soal tersebut hingga wanita paruh baya itu merasa puas.
🏩🏩🏩
Pukul 9.30, Dokter Nadine, Profesor Ronally dan Dokter Bagas memasuki ruangan. Tim sama yang bertandang pekan sebelumnya. Kali ini, mereka melangkah langsung menuju bilik Ara.
“Selamat pagi, Bu Zahra.” Dokter Nadine menyapa singkat. Ahmad segera bangkit dari kursinya, menyambut para dokter yang mengunjungi istrinya.
“Bu Zahra Khadijah. G2P1A0. BSC satu kali. Hamil intrauterine 37 minggu. Ibu dengan ebstein anomaly. Rencana SC hari Rabu pekan depan.” Dokter Nadine membaca data di tangannya.
“Ebstein anomaly?” Dahi Profesor Ronally berkerut.
“Malposisi katup, Prof. Triskupid yang membatasi bilik dan serambi kanan.”
“Oh, saya pernah dengar.” Profesor Ronally mengangguk pelan. “Gimana kabarnya, Bu?” tanya Profesor Ronally.
“Alhamdulillah, baik, Dok.”
“Siap untuk caesar pekan depan?”
“Insyaallah, siap, Dok,” jawab Ara.
“Waktunya sudah tepat. Jangan lebih dari 38 minggu. Khawatir kontraksi. Nanti malah membahayakan ibu dan janin,” terang Profesor Ronally yang dijawab Ara dengan anggukan pelan.
“Ada yang mengganggu?”
“Sedikit, Dok.” Ada jeda panjang sebelum Ara melanjutkan kalimatnya. “Di IGD semalam, beberapa dokter diskusi di dekat saya. Samar-samar saya dengar kalau selain perut saya yang dibedah untuk mengeluarkan bayi, kemungkinan dada saya juga dibedah untuk dipasang alat pacu jantung. Benar, Dok?” Ara bertanya dengan ragu.
🏩🏩🏩🏩🏩
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top