10. KAKAK TERCINTA, DALAM MEMORI CINTYA
Pukul sembilan pagi, Suster Kay dan Jaya membantu proses pemindahan Nindy ke ruang rawat penyakit dalam. Dari kursi roda hitamnya, wanita muda itu melayangkan pandang pada Retno dan Sri. Dia tidak sanggup berkata-kata, hanya sutas senyum yang sanggup tercipta.
Selepas kepergian Nindy, Sri kembali duduk di ranjangnya bersama suami yang sudah tiba sedari tadi. Baju-bajunya di lemari bersama sudah tersusun rapi di tas besar yang terletak di bawah jendela. Nakas juga sudah bersih dari berbagai barang miliknya.
Meskipun Awank sudah datang sejak pukul delapan pagi, namun Sri masih menanti surat persetujuan pulang dan resume medis yang harus ditandatangani oleh Dokter Pasha. Penantiannya mereka baru terjawab ketika matahari mulai meninggi.
“Bu Sri, mohon maaf agak terlambat. Tadi pagi, Dokter Pasha ada operasi dadakan.” Dokter Nadine memasuki ruangan setengah berlari.
“Ini surat persetujuan pulang dan resume medisnya. Terus ada juga pengantar untuk kontrol ke poliklinik obgyn dan gastroenterologi. Kontrolnya dua minggu lagi. Jangan lupa ya, Bu.” Dokter itu menyerahkan beberapa dokumen ke tangan Sri.
“Ini obat untuk tiga hari kedepan. Kalau sudah habis, ini resep untuk selanjutnya. Resep obatnya cukup sampai jadwal kontrol ke poli.”
Sri menerima obat yang sudah sangat familiar baginya. Dua jenis tablet berwarna putih dan satu tablet kecil berwarna merah muda.
Seperti teringat pada sesuatu, Sri tiba-tiba bertanya, “Dokter, tahu tentang induksi laktasi?’
“Tahu. Ibu berencana untuk menyusui bayi ibu?”
Wanita itu sejenak ragu, tapi mulai mengangguk pelan. Sebenarnya, dibenak Sri sudah terancang rencana untuk menyusui bayinya saat pulang dari rumah sakit. Dia berharap ASI yang sudah mengering akan kembali mengalir. Seperti cerita yang pernah dia baca tentang seorang ibu yang bisa menyusui anak adopsinya melalui teknik induksi laktasi.
“Obat yang Ibu minum, punya pengaruh ke ASI. Kami tidak menyarankan Ibu untuk menyusui selama mengkonsumsi obat ini.” Dokter Nadine mengerti keraguan yang dirasakan oleh Sri.
Sri menatap suaminya, kemudian menatap obat-obatan di tangannya. Harapan yang pernah tumbuh subur di hatinya, kini pupus sudah.
“Jika perawatan Ibu bisa berlangsung cepat dan ibu sudah bebas dari obat-obatan, Ibu bisa langsung induksi laktasi.” Dokter Nadine menenangkan Sri.
Sri menengadah dengan antusias saat mendengar untaian kalimat dari bibir Dokter Nadine. Senyum terkembang dari bibir wanita itu saat asanya menemukan muara.
“Boleh, Dok?” tanyanya.
“Hmm.” Dokter Nadine mengangguk sambil tersenyum. “Sudah, ya. Saya ada tugas lain lagi. Sampai ketemu lagi di poliklinik obgyn,” pamit Dokter Nadine.
Suster Kay dan Suster Ririn memasuki ruangan tidak lama setelah Dokter Nadine pergi. Di tangan Suster Kay terdapat setumpuk arsip administrasi. Setelah menyerahkan arsip-arsip tersebut pada Sri, Suster Kay tak lupa melepaskan gelang plastik merah muda yang merupakan tanda pengenal pasien.
Sementara di bilik depan Sri, Suster Ririn sedang mengganti sepraii dan membersihkan laci-laci nakas.
“Ada pasien lagi, Sus?” tanya Sri pada Suster Kay.
“Iya. Dari HCU. Baru lahiran. Jadi, nanti ibu kost baru punya teman. Nggak sendirian.” Suster Kay mengerling pada Retno. Yang dituju mesam-mesem mendengar canda sang perawat.
“Kalau beres-beresnya sudah selesai, Bu Sri sudah boleh pulang. Kalau masih di sini sampai sore, kepulangannya saya batalkan, ya.” Suster itu berlagak mengancam.
“Jangan Sus. Ini udah mau jalan, kok. Jangan diperpanjang lagi kontrak saya. Sudah cukup,” jawab Sri tergesa sambil mengangkat dua tangannya.
“Yuk, Aa.” Sri melompat dari ranjang dan menarik tangan suaminya. Tingkahnya membuat seisi ruangan tergelak.
🏩🏩🏩
Ketika senja mulai menjelang, terdengar suara roda brankar memasuki ruangan. Seorang wanita muda, dengan rambut terikat di puncak kepala, berbaring di atasnya. Di lubang hidungnya terpasang nasal kanula, selang yang berfungsi untuk mengalirkan oksigen.
Seorang perawat terus menjajari brankar yang melaju pelan. Dia mendorong tabung oksigen hijau yang terhubung pada selang pernapasan. Selain seorang perawat dan porter, pasien itu juga didampingi seorang pria muda dan wanita paruh baya.
Brankar terus bergulir menuju bilik di samping kulkas. Retno melihat sekilas saat pasien baru tersebut dipindahkan ke ranjang yang sudah dipersiapkan. Ia berbaring dengan tubuhnya terkulai lemah.
Setelah seluruh tugas purna dan suster hendak beranjak, sang pasien berkata lirih, “Sus, kapan saya bisa ke perinato? Saya mau ketemu bayi saya.”
“Secepatnya. Istirahat dulu, ya, Bu,” pungkas suster diiringi senyuman. Dia pun beranjak keluar ruangan, menyusul porter yang sudah berlalu.
🏩🏩🏩
Cicit burung gereja mulai terdengar saling bersahutan, menambah riuh suasana di ruangan. Semilir angin pagi menggantikan kesejukan pendingin yang sudah dimatikan. Demi kualitas ventilasi, daun jendela akan terus tersingkap hingga pukul 9 pagi. Saat itu, pendingin mulai difungsikan kembali.
Seperti biasa, ketika matahari mulai terbit, dokter residen akan bersebaran untuk melakukan visite pada pasien yang ditanganinya. Demikian pula di ruangan itu. Dokter Anggi yang ditemani Suster Ririn, sudah siap untuk melakukan pemeriksaan harian pada pasien-pasiennya. Selain Dokter Nadine, ada beberapa dokter obgyn residen yang bergantian memeriksa kondisi pasien di ruangan itu. Dokter Anggi salah satunya. Dokter-dokter ini lalu melaporkan kondisi pasien kepada masing-masing DPJP.
Setelah mengunjungi Retno, Dokter Anggi beranjak menuju bilik Cintya, pasien yang baru semalam tiba. Suster Ririn membuntuti sambil mendorong troli stainless dengan tiga susun rak. Di atasnya berjejer rapi plester, gunting, kapas, larutan antiseptik, dan wadah untuk larutan.
Tirai di sekeliling bilik Cintya, segera ditutup ketika Dokter Anggi masuki. Setelah memeriksa tekanan darah, dokter yang dibantu oleh Suster Ririn, mulai melakukan perawatan luka sayatan di perut Cintya.
“Sudah lihat bayinya, Bu?” tanya Dokter Anggi sambil mengenakan handscoop putih di tangannya. Dia kemudian menuangkan larutan antiseptik pada sarung tangan latex yang membungkus kedua tangan.
“Sudah Dok. Kemarin lihat fotonya di HP suami saya.”
“Gimana keadaannya sekarang?”
“Masih pakai alat bantu napas, Dok. Sekarang, suami saya lagi di perinato, katanya mau ada tindakan. Pasang infus kalau nggak salah.”
“Oh, mungkin PICC. Selang infus yang kecil banget dan lebih tahan lama.”
Cintya mengangguk sambil memperhatikan dengan saksama saat Dokter Anggi membubuhkan larutan antiseptik di sepanjang bekas jahitannya. Setelah selesai, sebuah plester anti air ditempelkan di luka sepanjang 10 centimeter itu.
“Kira-kira berapa lama bayi saya di inkubator, ya, Dok?”
“Tergantung perkembangan bayi Ibu. Kalau kondisi keseluruhan stabil, BBnya juga sudah cukup, bayi Ibu bisa dibawa pulang,” jelas Dokter Anggi tanpa memalingkan wajahnya dari perut Cintya. Keseluruhan proses perawatan berakhir ketika Suster Ririn membereskan alat medis yang telah digunakan.
“Kondisi Ibu sudah mulai stabil. Kemungkinan hari Jum’at, Ibu sudah boleh pulang,” tutur Dokter Anggi seraya melepaskan handscoop.
“Bayi saya, Dok?”
“Bayinya ditinggal di sini dulu. Nanti Ibu bisa nengokin tiap hari.”
“Saya nggak boleh tinggal di sini aja, Dok? Sampai bayi saya pulang. Jadi gampang kalau mau nengokin. Soalnya rumah saya jauh banget.”
“Nggak boleh, Bu.” Dokter Anggi menggeleng. “Kalau ada pasien yang butuh ruangan ini, gimana?”
Tanpa menunggu jawaban Cintya, Dokter Anggi mengalihkan pandangannya ke rekam medis. Dengan lancar, dokter itu menulis laporan tentang kondisi pasiennya.
Cintya tertunduk pilu. Walaupun masih tersisa tiga hari lagi, hatinya sudah terasa teriris ketika membayangkan bayinya harus ditinggalkan di rumah sakit. Di benaknya juga terbayang adegan tetangga yang saling berbisik, ketika mengetahui seorang ibu pulang tanpa membawa bayi.
“Jangan lupa untuk terus mompa ASI, ya, Bu.” Sebelum membuka tirai, Dokter Anggi mengingatkan Cintya. Dokter itu kemudian meninggalkan bilik pasiennya. Tirai hijau yang tergayut pun disibakkan.
Retno yang mendengar pembicaraan antara Cintya dan Dokter Anggi, menjadi tertarik. Rencana kelahiran di usia tiga puluh minggu, akan mengharuskan bayinya untuk tinggal beberapa waktu di inkubator. Wanita itu ingin mendengar pengalaman Cintya agar mendapatkan gambaran tentang perawatan bayi di inkubator.
Sambil tetap duduk di ranjangnya, Retno menatap Cintya lama, berharap mata mereka bertemu pandang. Dia terus mengawasi sang tetangga yang sedang menikmati sarapan bersama Nuri, ibunya. Hingga ketika mata mereka bersirobok, Retno tidak menyiakan kesempatan tersebut.
“Halo Mbak,” sapa Retno hangat. “Gimana kabarnya?”
“Baik.” Cintya tersenyum.
“Saya Retno. Udah lama dirawat di sini. Mbak habis lahiran ya?”
“Iya,” jawab Cintya singkat. “Panggil Cintya aja. Nggak usah pake mbak.”
“Retno sakit apa?”
“Autoimun,” jawab Retno. Dia lalu menjelaskan tentang penyakitnya kepada Cintya, sama seperti ketika menjelaskan pada siapa pun yang bertanya.
“Oh, saya baru dengar tentang penyakit itu,” ujar Cintya.
Retno tersenyum mendengar pernyataan Cintya. Wanita itu maklum bahwa penyakitnya masih asing di telinga masyarakat umum. Dia sendiri baru mengetahui tentang autoimun setelah penyakit itu menjangkitinya.
“Tadi saya dengar, bayi Cintya ada di inkubator ya?”
“Iya.” Cintya mengangguk. “Bayi saya lahir premature. Usia 28 minggu. Soalnya saya kena preeklampsia. Pernah dengar, kan?”
“Pernah. Saya sering dengar tentang preeklampsia. Penyakit yang diduga jadi penyebab meninggalnya Ibu Kartini, kan? Tapi saya nggak terlalu paham, sih.”
Cintya menganggukan kepalanya, kemudian berkata, “Banyak banget perempuan hamil yang mengidap preeklampsia, tapi kadang nggak sadar.”
“Sejak kapan ketahuan preeklampsia?”
“Waktu hamil 24 minggu. Preeklampsia baru bisa dideteksi saat hamil di atas dua puluh minggu. Waktu kontrol, ternyata tekanan darah saya tinggi. Langsung deh, cek lab buat tahu kadar protein dalam urin, dan hasilnya positif preeklampsia,” tutur Cintya.
“Emang dokter nyuruh lahir di usia 28 minggu, ya?”
“He-eh.” Cintya mengangguk. “Kalau dilanjutin, berbahaya buat saya dan janin. Preeklampsia itu kan kelainan pada plasenta. Jadi, suplai makanan dan oksigen ke janin terganggu. Bisa ningkatin tekanan darah ibu, komplikasi ginjal dan jantung juga. Bahaya banget untuk ibu dan janin.”
“Ooh.” Retno kembali mengangguk saat mendengar penjelasan Cintya.
“Sebenarnya, preeklampsia itu tahap awal dari eklampsia. Retno tahu tentang eklampsia?”
Retno menggeleng.
“Kakak saya kena eklampsia.” Cintya berkata pelan.
Cintya sambil melirik Nuri yang sedang menikmati lontong sayur. Ia ingin meminta persetujuan sang ibu untuk melanjutkan cerita. Suapan sang ibu terhenti, dia menatap balik ke arah putrinya dan kemudian mengangguk, isyarat setuju.
“Ketika ibu hamil kena preeklampsia dan tekanan darahnya terus naik, akan ada satu titik di mana tubuh nggak sanggup bertahan. Pasien akan kejang. Nah, saat itu namanya eklampsia. Waktu itu kakak saya kejang, sempat koma juga. Tiga hari di ICU,” lanjut Cintya.
“Terus?” kejar Retno penasaran.
“Kakak saya nggak ketolong, soalnya penanganannya udah terlambat. Katanya, paru-paru kakak saya kerendam air. Tapi, Alhamdulillah, bayinya masih bisa diselamatkan.” Volume suaranya memelan. Cintya menatap lekat pada Nuri. Sang ibu menghentikan suapannya demi menghapus air bening di sudut matanya.
Retno terdiam ketika mendengar kelanjutan cerita Cintya. Wanita itu merasa bersalah karena telah mengungkit kesedihan yang menimpa keluarga sang tetangga. Pikirannya berputar, mencari topik untuk mengalihkan. Namun, tiba-tiba Cintya melanjutkan cerita dengan volume suara yang kembali normal.
“Awal divonis preeklampsia, saya udah stress berat. Ini kan kehamilan pertama saya. Saya jadi ingat kakak. Makanya, saya nurut apapun yang dokter sarankan. Soalnya, preeklampsia itu prosesnya bisa cepat banget.”
“Sebelum lahiran, Cintya nggak dirawat dulu? Seperti saya. Dirawat sambil menunggu usia kehamilan tiga puluh minggu.” Dengan hati-hati Retno menanggapi cerita. Dia melirik pada Nuri yang mulai kembali menikmati sarapan walaupun dengan ritme yang lebih lambat.
“Saya sempat dirawat di HCU, kok. High Care Unit, di lantai lima. Tiga hari diinfus buat matengin paru-paru janin. Dikasih obat buat nekan laju tekanan darah.”
“Obat yang buat tekanan darah, nggak bisa dilanjutkan sampai usia kehamilan matang?”
Cintya menggeleng. “Untuk kasus saya, obatnya cuma ngebantu biar tekanan darah nggak melejit. Jadi ada batasnya. Ada faktor pertimbangan lain juga, sih. Setelah tiga hari dirawat, ternyata cairan ketuban saya rembes, hampir habis. Berat janin juga turun, makanya segera dicaesar.”
“Volume air ketuban juga terpengaruh?”
“He-eh.” Cintya menganggukkan. “Makanya segera dilakukan tindakan. Kalau ditunda, kondisi janin bisa berbahaya.”
“Umm….” Retno bergumam pelan mendengarkan kisah Cintya. Kepalanya tertunduk menatap janin yang ada di perut. Dengan mata terpejam wanita itu mencoba membayangkan, apakah dia dan janinnya bisa melewati fase-fase ini. Hingga nanti sang bayi lahir dengan sehat dan selamat.
Di seberang, Cintya mengalihkan pandangan ke jendela, mengamati cuaca cerah di luar. Sinar mentari yang masuk, menghangatkan seisi ruang, tapi tidak dengan hatinya.
Seolah bergumam Cintya melanjutkan, “Saya sedikit lebih beruntung dibanding Kakak. Waktu Kakak hamil, preeklampsia masih jadi istilah asing buat keluarga kami. Tapi waktu saya hamil, saya punya banyak teman yang pernah kena preeklampsia. Jadi, punya banyak teman buat diskusi. Penanganan saya juga lebih cepat karena pengalaman dari Kakak.”
Retno mengangkat kepalanya demi mendengar sayup-sayup kalimat dari seberang. Cintya melanjutkan kalimatnya tanpa mengalihkan pandang ke arah lawan bicara. Ia seolah sedang bercerita pada daun jendela.
Selepas baris-baris kalimat samar, ruangan kembali hening. Bahkan Ati menghentikan suara lirihnya yang sedang membaca Al-Qur’an. Di ruangan, hanya terdengar suara sendok dan piring yang beradu. Lontong di piring Nuri sudah berubah bentuk menjadi kotak dadu kecil, tapi urung masuk ke dalam mulutnya.
Tersadar dari lamunan, Cintya menatap ke arah Retno. “Retno rencana lahiran prematur juga kan ya?”
“Heem.”
“Nanti kalau bayi Retno lahir, akan dirawat gedung perinatologi juga. Seperti bayi saya sekarang,” ucap Cintya.
“Iya. Dokter obgyn pernah bilang, nanti bayi saya dirawat di sana dulu,” lirih Retno.
“Kira-kira berapa lama ya, bayi prematur dirawat di sana?” Retno tiba-tiba teringat tujuan awalnya mengajak Cintya bicara.
Cintya menggeleng. “Nggak bisa dipastiin. Dokter cuma bilang, minimal berat badannya harus 2,9 kilo, udah nggak pakai alat bantu nafas dan bisa minum ASI dengan volume tertentu.”
“Oh.” Retno bergumam. “Bayi Cintya sekarang beratnya berapa?”
“Kemarin, baru 920 gram. Padahal waktu masih di perut, BBnya udah sekilo. Waktu air ketuban rembes, beratnya juga nyusut jadi 850 gram.” Cintya tersenyum getir.
Dahi Retno mengernyit. Wanita itu mulai melakukan perhitungan di dalam kepalanya. “Berat badannya naik banyak, ya?” tebak Retno.
“Standar sih. Lima hari naik 70 gram,” jawab Cintya.
“Hah? Cintya udah hampir seminggu lahirannya? Saya kira baru kemarin.” Retno terkejut yang disambut dengan tawa Cintya.
“Ini hari keenam saya dirawat pasca operasi,” ucap Cintya.
“Sebelum pindah ke sini, saya dirawat di HCU lagi. Soalnya, preeklampsia itu bukan hanya menyerang saat ibu hamil. Beberapa hari setelah lahir pun, masih ada resiko terkena preeklampsia. Makanya, kondisi saya masih dipantau intensif,” sambungnya.
“Oh.” Retno kembali menganggukkan kepalanya.
Preeklampsia dan eklampsia, baru hari ini Retno memahami keduanya. Selama ini ia menganggap bahwa penyakit tersebut hanyalah penyakit lazim ibu hamil yang tidak berbahaya. Ternyata, keberadaannya yang kadang tidak disadari, membuat preeklampsia dan eklampsia menjadi pembunuh nomor satu pada ibu hamil.
Retno masih ingin menggali cerita tentang kondisi bayi-bayi yang berada di gedung perina. Namu, keinginan itu diurungkan saat Suster Kay datang masuk ke ruangan. Suara nyaring pantofelnya, mengalun dengan irama teratur. Suster itu menyeberangi ruangan, menuju bilik Cintya.
“Bu Cintya, ikut saya ke ruang sebelah, ya. Sudah ditunggu sama dokter untuk lepas kateter.” Suster Kay berdiri di depan ranjang Cintya dan langsung mengutarakan maksudnya.
“Iya Sus.” Cintya perlahan membuka selimut salur hijau putih yang menutupi sebagian tubuhnya. “Retno, cerita tentang perina disambung nanti, ya.”
🏩🏩🏩🏩🏩
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top