9 - Perempuan Idaman
Siang ini Anisa ingin ikut Bibi belanja keperluan dapur. Barangkali udara luar bisa membantunya untuk lebih cepat memahami sikap Elang. Tadinya dia ingin menelepon suaminya itu untuk minta izin, tapi takut mengganggu. Akhirnya dia hanya mengirim pesan. Dan sesuai dugaan, tidak dibalas.
Ditemani Mang Joko—sopir khusus keperluan rumah dan sebagainya—Anisa dan Bibi pun ke mal terdekat. Sebenarnya ada supermarket yang lebih dekat lagi, tapi Anisa mau sekalian ke toko buku. Dia tidak membawa satu pun koleksi bukunya, dan hari-harinya terasa hampa tanpa membaca.
Setibanya di mal, mereka langsung menuju ke supermarket di lantai satu. Tadinya Anisa ingin menemani Bibi belanja, sambil mencari tahu lebih banyak tentang Elang. Namun, tidak sengaja matanya tertuju ke spanduk besar berisikan iklan Gramedia yang memberikan diskon 30% untuk buku-buku dari penerbit tertentu. Dia pun jadi tidak sabar.
"Bibi bisa, kan, belanja sendiri?" tanya Anisa saat mereka sudah memasuki area supermarket bernuansa hijau kuning itu.
"Bisa, kok, Bu. Emangnya Ibu mau ke mana?"
"Mau ke toko buku dulu. Nanti setelah selesai, aku ke sini lagi."
"Ya udah." Bibi mengangguk pelan.
"Ibu mau saya temani?" tawar Mang Joko.
Anisa menggeleng. "Nggak usah. Mamang jaga Bibi aja."
"Baik, Bu."
Anisa pun bergegas ke lantai tiga. Mal ini ternyata jauh lebih besar dari perkiraannya. Rasanya dia sudah putar-putar sedari tadi, tapi Gramedia belum ketemu juga. Kalau tahu begini tadi dia tidak menolak tawaran Mang Joko untuk menemani.
Akhirnya Anisa bertanya ke orang-orang.
Setibanya di Gramedia, Anisa langsung menyusuri rak novel, mencari-cari judul yang sekiranya cocok dibawa pulang. Untuk bacaan fiksi dia tidak punya kriteria tersendiri. Selama gaya bahasanya tidak seronok, genre apa pun dilahapnya.
Setiap kali berada di toko buku seperti ini, Anisa selalu teringat Almarhumah Ummi. Semasa hidup beliau sangat suka membaca. Berkat sering mengutak-atik koleksi buku Ummi, akhirnya hobi itu pun menurun ke Anisa.
Langkah Anisa terhenti. Dia meraih novel bersampul merah yang tampak sangat mencolok dengan ilustrasi perempuan bercadar yang sangat menarik perhatiannya. Penerbit dan penulisnya masih asing, tapi blurb-nya lumayan bikin penasaran.
"Itu bagus. Aku udah baca berkali-kali tapi tetap aja baper." Sebuah suara tiba-tiba menyela.
Anisa mengangkat pandangannya. Sesosok lelaki berkemeja biru langit berdiri tepat di sampingnya, ikut melihat ke novel yang dipegangnya.
"Tentang perempuan yang rela mempertaruhkan nyawa demi cinta sejati," terangnya tanpa diminta.
Menurut Anisa, lelaki yang berkeliaran di toko buku 99% lelaki baik-baik. Karena itu dia menanggapi obrolan ini. "Kisah cinta sejati emang selalu menggugah, sih."
"Kamu punya cinta sejati?"
Anisa tercenung. Entah cintanya terhadap Elang sudah bisa disebut cinta sejati atau belum.
"Definisi cinta sejati yang paling dekat denganku adalah cinta Abi ke Ummi," katanya kemudian.
Lelaki itu mengangguk samar. Tentu saja dia tidak mengenal Abi dan Ummi Anisa, tapi ketegasan kata per kata perempuan ini berhasil meyakinkannya.
"Jadi, menurutmu ini recommended?" Anisa mengacungkan novel di tangannya.
"Banget!"
"Aku belum pernah baca novel dari penerbit ini, sih." Anisa kembali mengamati logo penerbit di sudut kanan atas. Logonya simpel, hanya berupa garis lengkung dan dua titik di atasnya. Sepintas seperti smile emoticon.
"Emang penerbit baru. Fokusnya juga mengorbitkan penulis-penulis potensial yang selama ini selalu dikesampingkan karena minim followers. Padahal secara kualitas sangat bisa diadu dengan penulis-penulis yang followers-nya ratusan ribu."
"Kok, kayaknya kamu tahu banyak?"
"Karena suka dengan misinya itu, aku ikutin perkembangannya. Dari buku terbitan pertama sampai yang terbaru, semuanya udah aku baca. Dan benar-benar no kaleng-kaleng. Genre apa pun, mereka selalu punya warna tersendiri yang tidak dimiliki penerbit-penerbit lain."
"Sebagus itu?"
Lelaki itu mengangguk. "Cobain, deh. Kamu harus merasakannya sendiri untuk benar-benar tahu."
"Oke, deh. Aku beli ini dulu. Kalau cocok, nanti yang lain nyusul."
Lelaki itu pun tersenyum seraya mengangguk samar. "Aku Samuel." Dia mengulurkan tangan.
Sebenarnya Anisa bukan tipe orang yang gampang berkenalan dengan orang-orang yang ditemuinya di tempat umum, tapi selama tindak-tanduknya tidak aneh-aneh, dia juga tidak menolak pertemanan. Dia pun mengatupkan kedua tangannya di depan dada sambil menyebutkan nama.
"Oh ...." Samuel terkekeh pelan. Agak canggung jadinya. Dia pun lekas menarik tangannya yang tidak bersambut itu.
"Kalau gitu, aku duluan, ya. Makasih, atas rekomendasinya."
"Sama-sama. Semoga kapan-kapan kita bisa ngobrolin buku lagi."
Keduanya bertukar senyum, lalu berpisah. Lebih tepatnya Anisa yang beranjak lebih dulu. Sementara Samuel, terpaku dengan senyum yang belum usai. Obrolan singkat dengan perempuan berhijab itu menimbulkan nuansa asing di hatinya yang sulit dibahasakan.
***
"Bro, nggak makan siang dulu?" Suara itu hadir bersama tepukan pelan di pundak Samuel.
Tatapan lelaki berambut ikal dan agak gondrong itu beralih dari layar laptop ke mata teman sekaligus rekan kerjanya. "Kamu duluan aja, ya. Aku ada perlu lain soalnya."
Lelaki bernama Ridwan itu malah duduk di tepi meja kerja Samuel. "Jangan kebiasaan makan sendiri, ntar makin stres, loh."
"Apa, sih? Nggak nyambung, banget!" ujar Samuel sambil menutup laptopnya.
"Kamu pernah dengar ini nggak, di balik kesuksesan seorang lelaki, ada perempuan hebat."
"Ngaco! Yang benar itu, di balik kesuksesan suami, ada istri yang hebat."
"Sama aja. Bedanya cuma halal dan belum halal."
Samuel hanya geleng-geleng. Kalau soal debat unfaedah, Ridwan memang jagonya.
"Eh, serius, deh, cari pacar, gih. Udah kelamaan jomlo, kan?"
"Status jomloku segitu ganggunya, ya?" Samuel mengempaskan punggungnya di sandaran kursi, lalu bersedekap.
"Ini namanya peduli, Bro."
"Kayak kisah cintamu udah bener aja." Samuel terkekeh ringan.
"Setidaknya aku udah coba. Nggak kayak kamu, udah kayak mati rasa. Itu hati atau batu? Kok, nggak bisa jatuh cinta?"
"Ini hati limited edition, makanya nggak sembarangan orang bisa masuk."
Detik selanjutnya tampang Ridwan malah berubah serius. Tubuhnya agak condong ke arah Samuel. "Bro, sebenarnya udah lama aku pengin nanya ini, tapi ...." Dia tampak ragu.
"Apaan, sih?" Samuel malah tidak sabaran.
"Kamu nggak suka sesama batangan, kan?"
"Kampret!" Samuel langsung meraih buku panduan bisnis di samping laptopnya dan memukul bahu temannya itu berkali-kali.
Ridwan terkekeh sambil berusaha menahan serangan Samuel. "Santai, woi! Kan, cuma nanya."
"Nanya kayak gitu sekali lagi aku pecat kamu!"
"Dih! Sok bossy."
Samuel memelotot. "Sana, cari makan. Otakmu makin tumpul kalau lagi lapar."
Ridwan melompat turun dari meja. "Siap!" katanya sambil berdiri tegak dan hormat. "Kamu jangan lupa cari pacar juga, ya," imbuhnya, lalu lekas berlari keluar saat Samuel mengancam hendak melemparkan buku tebal di tangannya.
Sepeninggal Ridwan, Samuel menghela napas panjang sambil geleng-geleng. Meskipun modelan begitu, dia tidak pernah menyesal berteman dengan Ridwan sejak SMA, dan sekarang jadi partnernya membangun usaha penerbitan buku.
Bukan sebuah kebetulan Samuel memilih usaha ini, alih-alih menyambut tawaran bisnis dari papanya yang secara profit jauh lebih menjanjikan. Sejak kecil dia suka membaca. Namun, makin ke sini dia makin prihatin dengan dunia penerbitan buku di negeri ini, yang semata-mata hanya mengutamakan keuntungan.
Samuel sadar, semua itu detak agar bisnis tetap hidup. Hanya saja, seni dan tujuan sebuah buku diterbitkan semakin redup.
Penerbit berlomba-lomba menjaring naskah yang sudah dibaca jutaan kali di platform, yang followers penulisnya banyak. Soal kelayakan naskah nomor sekian. Padahal, kalau mau benar-benar ditelusuri, di luar sana masih banyak penulis dengan kualitas yang jauh lebih mumpuni. Mereka hanya kurang beruntung dari segi branding.
Akhirnya Samuel tergerak untuk menyelamatkan penulis-penulis semacam ini, sebelum mereka menyerah karena merasa dunia tidak berpihak pada mereka. Bersama Ridwan dan beberapa teman sepemikiran, Samuel pun mendirikan Ceria, penerbit yang tidak hanya berfokus pada jumlah pembaca dan followers penulisnya.
Mempertahankan idealis tentu saja bukan hal mudah. Selama delapan bulan beroperasi, Ceria sudah menerbitkan 14 novel. Memang tidak rugi, Samuel juga masih bisa menggaji karyawannya tepat waktu, hanya saja profitnya belum menggembirakan.
Namun, balik lagi, Samuel melakukan semua ini untuk misi tertentu, bukan semata-mata kejar laba. Jika semesta memang mendukung, akan ada saatnya dia berada di atas dengan semua prinsip yang dianutnya.
Samuel melajukan mobilnya ke mal terdekat. Dia memutuskan cari makan di sana, karena setelahnya ingin mampir ke Gramedia mengecek perkembangan buku-buku Ceria. Sambil makan pun, Samuel terus saja memikirkan strategi apa yang harus dilakukan agar nama penerbitannya bisa segera mendapat tempat di benak pembaca. Dia memang setotal itu untuk dunia yang benar-benar dicintainya.
Selesai makan, Samuel langsung ke Gramedia yang berada di lantai tiga. Saat menyusuri lorong novel sambil mengecek tampilan displai buku-buku Ceria, tiba-tiba tatapan Samuel tertuju pada seorang perempuan berhijab yang ... Masyaallah .... Samuel bingung menggambarkan keindahan yang sedang terpatri di hadapannya saat ini. Ibarat sekuntum bunga langka yang keindahannya masih terlindungi dari hiruk pikuk dunia luar.
Tak ingin kehilangan momen, Samuel pun mengeluarkan ponsel dan memotret perempuan itu diam-diam. Dia sadar, tindakannya ini tidak terpuji, tapi foto ini akan sangat membantu kalau nanti Ridwan, atau siapa pun, lagi-lagi bertanya soal kriteria perempuan yang dicarinya.
Netra Samuel melebar saat perempuan itu meraih salah satu novel terbitan Ceria. Dia lekas mendekat. Ini kesempatan emas untuk berkenalan dengan perempuan itu sambil mempromosikan brand penerbitannya.
Ah, perempuan ini, baru dilihat sekilas saja sudah mampu membuat hati Samuel berdesir. Untuk pertama kalinya dia sangat gugup saat akan mendekati perempuan.
***
[Bersambung]
Mulai ada orang ketiga nih.
Samuel atau Elang, nih? 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top