10 - Dari Mana Asalnya Badai?

Belanga Grup. Orang-orang yang baru pertama kali mendengar nama induk perusahaan Elang mungkin akan mengernyitkan dahi, karena kata semacam itu memang kurang lazim untuk dijadikan nama perusahaan. Namun, Elang memilih kata itu bukan asal-asalan. Sesuai makna kata "belanga" itu sendiri, dia ingin menampung dan mematangkan nasib banyak orang. Selain itu, ada namanya di tengah kata itu.

Kantor Belanga Grup berlokasi di kawasan bisnis terkemuka. Elang membangun gedung berlantai enam itu khusus untuk menampung para general manager dan petinggi-petinggi perusahaan lainnya. Data-data penting perusahaan dari segala bidang dikelola di sini.

Elang bukan tipe atasan yang mau menoleransi kekeliruan sekecil apa pun. Karena itu dia tidak segan memecat bawahannya yang tidak becus. Formasi timnya tidak pernah bertahan lama. Selalu ada pertukaran demi menemukan tim inti yang benar-benar solid, bersinergi, dan bisa dipercaya.

Lampu koridor dan sebagian besar ruangan mulai redup. Jam kantor berakhir dua jam yang lalu, wajar kalau suasananya mulai sepi.

Namun, hal itu tidak berlaku di ruangan Elang. Lampu utama masih menyala, seolah jam kerja tidak berlaku di sini. Nyaris tidak ada batasan antara kerja dan istirahat.

Dalam hening dan senyap, Elang masih saja terpaku pada rancangan bisnis di laptopnya. Rancangan yang awalnya hanya berupa sketsa kasar itu, kini semakin komplit dan detail. Bahkan, Elang sudah punya nama untuk proyeknya ini. Dia sudah tidak sabar untuk merealisasikannya.

Suara ketukan pintu mengalihkan fokus Elang. Sedetik kemudian, seseorang di luar sana pun membuka pintu sebelum dipersilakan. Hanya ada satu orang yang berani melakukan itu, Roni, papanya.

"Kalau Papa nggak inisiatif mampir, Papa nggak akan tahu kalau kamu sudah pulang," ujar lelaki bertubuh tinggi besar itu sambil mendekat. "Itu juga karena Papa nggak sengaja lihat ruangan kamu terang benderang dari bawah sana."

Ruangan Elang berada di lantai paling atas. Salah satu sisinya memang berupa kaca-kaca besar yang menghadap ke jalan raya, dilapisi tirai kerai yang sewaktu-waktu dibiarkan terbuka.

"Jadi, kapan rencananya kamu akan ngasih tahu Papa soal kepulanganmu ini?" tanya Roni sambil mengisi kursi yang tersedia di depan meja kerja Elang.

Elang terkekeh. "Elang ingin membuat seolah-olah dua bulan itu nggak pernah ada."

"Loh, kenapa?"

"Nggak penting juga, kan?"

"Jelas penting, dong. Percaya atau nggak, dua bulan itu akan menciptakan sejarah besar di hidupmu."

Elang tercenung. Papa benar. Dua bulan itu salah satu keputusan terbesar sekaligus tergila di hidup Elang. Dan hingga detik ini rasanya masih seperti mimpi, bahwa dia benar-benar telah melaluinya.

"Jadi, kamu benar-benar menemukan perempuan itu?"

Elang mengangguk.

"Dan menikahinya?"

Elang kembali mengangguk.

"Artinya, sekarang Papa punya menantu?"

"Begitulah."

"Kapan akan dikenalin ke Papa?"

"Harus ya?"

"Pada umumnya begitu."

Elang merapat ke sisi meja, menumpukan kedua sikunya. "Sayangnya Elang nggak berminat jadi kaum pada umumnya. Elang ingin menciptakan dunia Elang sendiri, Pa."

Roni menghela napas perlahan. Dia bisa melihat kilatan benci di mata putra sulungnya ini saat berkata seperti itu.

Selama sekian detik Roni bingung harus berkata apa lagi. Akhirnya dia memutar laptop Elang dengan maksud ingin menjaili. Namun, dia malah terpukau dengan rancangan proyek yang kini terpampang di hadapannya.

"Wow!" Satu kata itu mengiringi tatapan Roni semakin lekat. "The Kingdom of Sultan?" Dia membaca judul proyek yang tersemat di pojok kanan atas dengan nada bertanya.

"Yup!" Elang mengangguk tegas. "Elang akan menciptakan dunia baru untuk orang-orang berduit."

Roni mengangguk samar sembari masih memperhatikan rancangan itu lebih detail. "Baru bayangin aja Papa udah merinding. Ini benar-benar proyek mengerikan."

"Pokoknya siap-siap aja jadi buruan media. Karena kalau ini sukses, Papa pasti kecipratan juga. Dari sekarang boleh mulai dipikir kalimat-kalimat elegan yang akan Papa katakan nanti di depan para wartawan."

"Kedengarannya menyenangkan. Tapi ... Papa nggak nyangka kamu akan segila ini."

Kalimat itu membuat alis Elang bertaut.

"Apa lagi yang kamu cari? Kalau sekadar pembuktian, bukannya semua pencapaian kamu selama ini sudah cukup?"

"Papa yang ngajarin Elang kayak gini. Dan Elang nggak akan berhenti sebelum melampaui pencapaian si berengsek itu." Lagi-lagi kilatan kebencian memenuhi mata Elang.

"Tapi soal perempuan itu—"

"Papa sendiri yang bilang, bahwa dunia bisnis itu keras. Orang-orang bisa menghalalkan segala cara."

"Apa kamu nggak kasihan? Apa kamu nggak mikirin masa depannya?"

Tadinya Elang memotong ucapan Papa untuk mengalihkan topik. Namun, ternyata Papa masih saja melanjutkan bahasan soal Anisa. Elang tidak suka seperti ini.

"Sudah terlambat untuk mikir, Pa."

"Padahal kamu benar-benar suka, kan, sama dia? Sampai-sampai waktu kita pindah ke sini galaumu berhari-hari karena tidak sempat pamit sama dia."

"Itu dulu banget, Pa. Nggak usah diungkit lagi."

Kendati berkata demikian, pikiran Elang tetap saja terlempar ke momen 10 tahun silam. Waktu itu dia menunggu Anisa di telaga untuk sekadar bilang bahwa dia dan kelurganya akan pindah ke Jakarta. Namun, hingga Papa datang dan menyuruhnya pulang karena mereka akan segera berangkat, Anisa tidak muncul.

"Setidaknya kenalkanlah ke kami. Ajak dia ke rumah."

Elang diam saja.

Roni mengembalikan laptop Elang ke posisi semula, lalu beranjak meninggalkan ruangan itu tanpa kata pamit. Hal itu memang salah satu ciri khasnya.

***

Anisa mondar-mandir sambil sesekali melihat ke arah jam dinding dengan tampang yang semakin kacau.

"Nggak usah khawatir, Bu, Pak Elang emang sering pulang telat, kok," terang Bibi yang sedang menemaninya. Makan malam sudah tersaji di meja sedari tadi.

Bahkan setelah isya, Elang belum juga pulang. Bibi mulai khawatir juga karena ini kali pertama majikannya itu seterlambat ini.

"Gimana, dong, Bi?" Anisa kembali ke ruang makan tanpa melepas mukenanya.

"Coba telepon aja, Bu."

Anisa mengangguk, lalu lekas men-dial nomor Elang, tapi tidak diangkat. Percobaan kedua dan ketiga pun sama saja. Hal itu tentu saja membuat Anisa semakin khawatir.

Sekitar pukul 21.30, akhirnya Elang pulang juga. Anisa tergopoh-gopoh menyambutnya.

"Kok, pulangnya telat banget, Mas?" tanyanya sambil berusaha mengambil alih tas kerja sang suami, tapi tidak digubris.

"Macet." Jawaban Elang sesingkat itu, sangat tidak sepadan dengan kekhawatiran Anisa, yang bahkan mulai pucat. Sambil tetap berdiri, dia melepas sepatunya dengan menginjak tumitnya bergantian, lalu melanjutkan langkahnya ke arah tangga.

Anisa sigap memungut sepatu kulit berkualitas premium itu dan menaruhnya ke rak sepatu.

"Mas nggak makan dulu?" tanya Anisa sambil menyusul langkah tergesa-gesa Elang.

"Aku udah makan di luar," jawab Elang sambil menaiki tangga.

Anisa merasakan sesuatu di dadanya kembali berdenyut perih. Setibanya di dalam kamar, akhirnya Anisa mencegat pergelangan tangan suaminya itu. Dia benar-benar tidak tahan dengan situasi tak beralasan ini.

"Sebenarnya apa yang salah, Mas?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa aku seolah tidak diinginkan di rumah ini?"

Elang melempar tas kerjanya ke atas tempat tidur sebelum menjawab, "Nggak ada yang salah, kamunya aja yang terlalu ribet."

Kata-kata itu membuat netra Anisa melebar. Gelengan pelannya dibarengi rasa tidak percaya yang kian kental. Tatapan Elang sepenuhnya sudah asing. Tidak ada lagi keteduhan yang selama ini Anisa rindukan.

"Aku hanya berusaha menjalankan peranku sebagai istri, Mas."

"Nggak usah!"

Bantahan itu menyentakkan jantung Anisa. Dia butuh kejelasan, tapi Elang sudah beranjak ke pojok ruangan untuk melepas pakaian, lalu mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.

Anisa terduduk di tepi tempat tidur karena kedua lututnya mendadak lemas. Dari mana sebenarnya asal badai yang tiba-tiba menerjang langkah awal pernikahannya ini?

***

[Bersambung]

Di bab ini mulai ada petunjuk kenapa tiba-tiba Elang berubah. Namun, jangan terburu-buru menyimpulkan, ya, karena cerita ini bakal penuh kejutan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top