Lelaki Berkarisma

Sore itu jalanan kota Shanghai cukup padat. Seorang lelaki berkacamata dengan tinggi 175cm terlihat duduk sendiri di sebuah bangku taman. Pikirannya dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang ia alami beberapa tahun terakhir. Kejadian tidak terduga yang membuatnya harus kehilangan seorang kekasih hati.

Peristiwa itu akhirnya membuat ia mengambil keputusan besar dalam hidupnya. Ia ingin menenangkan diri dan berhenti dari pekerjaannya untuk sementara. Lelaki dengan lesung pipi ini bahkan sudah lama tidak tersenyum.

Senyuman lelaki itu hilang bersama terkuburnya jasad sang kekasih. Lelaki yang terlihat begitu tegar, sesungguhnya menyimpan banyak luka di dalam hati. Di kota kelahiran kekasihnya ini, ia mencoba mencari jawaban atas sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.

“Maaf, Tuan. Boleh saya duduk di sini?” tanya seorang anak laki-laki berumur sekitar sembilan tahun itu padanya.

“Tentu, duduklah.” Anak itu pun langsung duduk dan menikmati es krim yang dibawanya.

“Kamu sendirian?” tanya lelaki itu.

“Bersama mama, tapi dia menyuruhku menunggu di sini sebentar,” jawab anak itu sambil menjilati es krim miliknya.

“Paman sendiri ngapain duduk melamun di sini?” sambungnya.

“Aku tidak melamun, hanya sedang menikmati udara segar,” kilah lelaki berkacamata itu.

“Apa yang sudah berlalu biarkanlah berlalu, karena semua yang terjadi adalah takdir Tuhan. Manusia hanya sebuah pion yang jalannya sudah diatur oleh Sang pengendali kehidupan.” Lelaki itu tercengang mendengar perkataan anak kecil di sampingnya. Belum sempat ia bertanya tentang maksud perkataannya, anak itu sudah pergi karena dipanggil oleh seorang wanita.

Ucapan anak kecil itu seolah menjadi pemantik semangat dalam dirinya. Entah kenapa tiba-tiba seolah ada setitik harapan untuk kembali menyelidiki kasus kematian kekasihnya. Lelaki itu bangkit dan memutuskan kembali ke sebuah rumah yang selama ini ditempatinya sebagai tempat menenangkan diri.

“Kamu sudah pulang? Ayo makan dulu,” sambut seorang wanita paruh baya saat melihatnya memasuki rumah.

Setelah menggelandang beberapa hari saat tiba di kota ini dulu, ia bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang saat itu sedang menjajakan dagangannya. Wanita itu lantas mengajak ia tinggal bersama. Bibi Jingmi, begitu orang memanggilnya. Selama ini wanita itu tinggal seorang diri karena suaminya telah lama meninggal dan mereka tidak memiliki seorang anak.

Bibi Jingmi merasa ada sesuatu yang menggerakkan hatinya saat melihat seorang pemuda tidur di tempat yang tidak layak. Sudah beberapa hari ia mengawasi pemuda asing itu, hingga akhirnya memberanikan diri untuk mengajaknya tinggal bersama. Pemuda itu hanya menyebutkan nama panggilannya adalah Edzhar, tanpa memberitahu dari mana ia berasal. Begitulah awal mula mereka saling mengenal.

Bibi Jingmi menarik tangan lelaki itu untuk duduk, membuat ia tersentak dari lamunannya. Edzhar pun duduk dan mulai menikmati makanan yang disajikan oleh wanita paruh baya itu. Di sela-sela makan mereka, Edzhar mencoba mengutarakan keinginannya untuk kembali ke kota asalnya.

“Bi, terima kasih karena selama ini bersedia menampungku di sini,” ucap Edzhar membuka pembicaraan.

“Sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Aku sudah menganggapmu seperti anakku sendiri,” jawab wanita itu.

“Aku tidak pantas dianggap anak karena tidak jujur padamu selama ini.” Lelaki itu melepas kacamatanya dan menghentikan suapan ke mulutnya. Bibi Jingmi memfokuskan diri mendengarkan ucapan pemuda di depannya.

“Sebenarnya aku ada seorang detektif kepolisian, tetapi aku sengaja mengundurkan diri karena sesuatu hal.” Terlihat sedikit penyesalan dari sorot mata lelaki itu.

“Aku datang ke sini untuk menenangkan diri, lebih tepatnya menghindari kenyataan pahit yang mungkin terjadi,” sambungnya.

“Lalu tadi aku bertemu dengan seorang anak kecil yang tiba-tiba mengatakan sesuatu dan membangkitkan kembali semangat diri yang telah lama padam. Sepertinya aku harus kembali dan mengungkap misteri yang selama ini masih menghantui,” ucap Edzhar hati-hati agar tidak menyakiti wanita yang selama ini berbaik hati padanya.

Bibi Jingmi tersenyum kemudian berkata, “Pergilah, kembalilah ke tempat di mana semua orang membutuhkanmu.”

Edzhar menggenggam tangan wanita yang sudah mulai penuh dengan guratan halus karena termakan usia. Ia bersyukur bisa bertemu dengan seseorang seperti Bibi Jingmi. Entah bagaimana nasibnya dulu jika tidak ada wanita itu, mungkin ia akan menjadi gelandangan di kota ini.

Dulu ia meninggalkan kota Kowloon tanpa membawa bekal yang cukup. Pikirannya benar-benar kacau, hingga akhirnya pergi ke kota ini dengan meninggalkan semua barang-barang berharganya begitu saja, termasuk kartu ATM dan dokumen lainnya.

Semua orang pun tercengang dengan keputusan Edzhar yang tiba-tiba mengundurkan diri dari kepolisian, bahkan keberadaannya pun bagai ditelan bumi kala itu. Akses komunikasi pun terputus karena lelaki itu menonaktifkan ponselnya.

Edzhar yang kalut kala itu tidak berpikir panjang saat mengambil keputusan. Pikirannya sudah dikuasai oleh amarah. Ia terlalu cepat menyimpulkan sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Menyesal pun sepertinya percuma, nasi sudah terlanjur menjadi bubur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top