32 - Hancur dan Rapuh
Berjam-jam berlalu, tetapi pemuda itu masih enggan untuk beranjak. Matanya yang tampak begitu lelah terus tertuju pada sang adik yang kini terbalut kain hingga sekujur tubuh. Lantunan ayat suci yang memenuhi ruangan kecil itu semakin membuat hati Yuta semakin patah, menghancurkan perasannya begitu parah.
Jerit tangis dari Rein kembali terdengar memilukan. Wanita itu semestinya bahagia atas pernikahan yang digelar beberapa jam lalu, tetapi tak ada senyum sama sekali di wajah ayunya. Rein akan bersikap seperti itu kala sadar dari pingsannya, berteriak histeris dan kembali jatuh tak sadarkan diri di pelukan semuanya. Entah sudah berapa kali siklus itu terus berulang, membuat para pelayat merasa iba dengan keadaan yang ada.
Yuta melihat kekacauan itu dalam diam. Ia tidak beranjak untuk membantu Regan menangani Rein yang kembali kehilangan kesadarannya. Jangankan memberikan bantuan, untuk berdiri saja Yuta bahkan tak sanggup. Tubuhnya terasa tak bertulang, begitu lemas dan hanya bisa menatap raga tak bernyawa adiknya dengan perasaan hancur.
Ia kembali memejam, berusaha untuk terlelap dan berharap akan bangun dengan keadaan yang berbeda. Namun, berulang kali ia melakukan hal serupa, hasilnya tetap sama. Semuanya bukan sekadar mimpi, Asta benar-benar meninggalkannya tanpa pamit.
Senyum yang ia lihat dari sang adik tadi adalah yang terakhir, padahal Yuta telah berharap adiknya akan mendapatkan begitu banyak kebahagiaan setelah ini. Yuta pun telah bertekad untuk menjaga dan melindungi sang adik, akan mengupayakan kesembuhan yang kata dokter peluangnya begitu tipis. Sayangnya, Asta pergi lebih dulu. Ia kalah, bahkan sebelum sempat berjuang.
Yuta kembali menjatuhkan air matanya dalam diam. Seandainya, tadi ia tidak meninggalkan adiknya, mungkinkah mereka masih bersama? Atau bila seandainya dirinya tahu semua kebenaran yang ada sejak awal, mungkinkah takdir adiknya akan berubah? Bisakah Asta tetap bersamanya dan membuat anak itu lebih bahagia dalam hidupnya?
Pikiran Yuta menjadi benar-benar kacau, berbagai perandaian yang memenuhi kepalanya membuat perasaannya kian berantakan. Sayangnya, semua yang terjadi saat ini tidak dapat untuk ia ubah satu pun. Ia telah kehilangan, sang adik meninggalkannya begitu saja dengan cara yang begitu tiba-tiba.
"Yuta ...."
Tepukan halus di pundak membuat Yuta yang tenggelam akan pikirannya sontak tersentak. Pandangannya kemudian beralih pada sosok yang kini duduk di sampingnya. Yuta mengerutkan keningnya, sedikit menyipit untuk melihat orang itu lebih jelas karena pandangannya yang tiba-tiba memburam.
"Kar," ucapnya dengan suara bergetar, begitu dapat melihat wajah kekasihnya dengan jelas. "Asta, Kar, .... dia pergi. Adik aku ... dia—"
Belum sempat Yuta menyelesaikan kalimatnya tangis Yuta lebih dulu pecah. Ia kembali menangis begitu keras, setelah hanya terpekur tanpa semangat sejak tadi. Ia menumpahkan seluruh tangisannya pada Kara yang menariknya ke dalam pelukan.
"Kenapa takdir begitu jahat sama dia, Kar? Kenapa dia harus seperti ini? Kenapa adikku harus menderita seperti ini?" racau Yuta dengan suara seraknya. Ia tergugu dalam pelukan Kara yang juga menangis bersamanya.
"Yut, istighfar. Tenang, Nak."
Yuta sontak melepaskan pelukannya dari Kara, berbalik menatap orang lain yang berada di sampingnya. Kini ia menyadari bila bukan hanya Kara yang datang, melainkan seluruh keluarganya. Termasuk pria berengsek yang menjadi penyebab kehancuran hidup adiknya.
Pemuda itu sontak berdiri, tanpa peduli Kara maupun mamanya yang berupaya menenangkannya tadi hampir terjatuh dengan pergerakan yang tiba-tiba itu. Ia menatap nyalang pria bajingan itu, sebelumnya menarik kerah baju dan menyeret Reyhan keluar dengan kasar.
"Yuta!"
Kara dan Giska sontak berteriak melihat tindakan Yuta. Kedua perempuan itu semakin histeris saat Yuta melayangkan pukulannya ke wajah papanya dengan begitu keras, berulang-ulang hingga Reyhan terkapar di tanah.
Apa yang dilakukan Yuta sontak menarik perhatian orang-orang di sana. Beberapa bahkan sampai ingin melihat lebih dekat apa yang telah terjadi. Namun, Yuta tidak peduli sama sekali dengan sekitarnya, teriakan Mama yang meminta untuk berhenti pun ia abaikan. Yuta tetap melayangkan tinjunya, meski Reyhan telah babak belur.
"Yuta, hentikan!"
Pergerakan Yuta terhenti begitu saja, lengannya ditahan dan digenggam erat oleh Ziel yang menatapnya dengan kening menukik. Akan tetapi, Yuta yang kepalang emosi belum ingin berhenti melampiaskan emosinya. Ia memberontak, berusaha melepaskan diri dari omnya.
"Lepaskan aku, Om! Biarkan aku menghajar pria berengsek itu, kalau perlu membunuhnya! Dia pantas mati! Bajingan itu nggak pantas untuk hidup! Seharunya dia yang mati, bukan adikku!" teriak Yuta berusaha keras melepaskan genggaman Ziel.
"Yuta!"
Suara keras itu menggema, jauh lebih kuat dari teriakan Yuta, membuat pemuda yang terlihat begitu kacau itu berhenti bergerak. Yuta tak mengalihkan pandangannya sama sekali dari Reyhan yang masih terkapar di tanah, tetapi tidak lagi memberontak seperti tadi. Ia hanya dapat menitikkan air mata, saat tangan kekar Regan menyentuh pundaknya.
"Jangan seperti ini, Nak. Asta pasti tidak mau kamu menjadi sekacau ini," ucap Regan dengan lembut sambil mengambil alih lengan Yuta yang sebelumnya digenggam Ziel. "Temani adikmu di dalam, hm."
Yuta menurut, tanpa sepatah kata pun dirinya mulai beranjak dengan langkah gontai hingga kembali ke dalam, bersama Kara di sampingnya. Ia menghela napas panjang begitu kembali duduk di samping tubuh adiknya yang terbujur kaku.
"Kamu mau semarah apa pun sekarang, nggak ada gunanya. Kak Asta sudah nggak ada, sekalipun kamu minta ayahmu untuk bertanggungjawab. Semuanya tetap sia-sia. Kak Asta udah nggak akan bisa terima apa-apa."
Yuta tertunduk, kalimat dari Manda yang sedari tadi hanya diam itu membuatnya kembali merasa hancur. Apa yang dikatakan gadis itu benar adanya, semua kemarahannya terhadap sang papa sama sekali tidak berguna. Adiknya tidak akan pernah mendapatkan apa-apa sekarang.
Sementara itu, para orang dewasa itu masih bertahan di tempatnya. Regan menatap Rayhan yang telah berdiri dibantu oleh Ziel, juga Giska di sampingnya. Ia berdesah, menahan diri untuk bertindak sama seperti Yuta.
"Bisakah kalian membawanya untuk pergi dari sini?" tanya Regan menatap Ziel, enggan untuk beradu pandang Reyhan. "Kehadirannya sama sekali tidak diharapkan di sini. Dia bahkan tidak pantas untuk menunjukkan wajahnya di depan jasad anak saya."
"Apa maksud kamu, Regan?" tanya Giska dengan suara halusnya. Ia cukup kebingungan dengan situasi sekarang. Kesalahan apa yang dilakukan suaminya sampai membuat Yuta maupun Regan semarah ini?
Regan menarik kedua sudut bibirnya dengan paksa, menatap istri sah dari Reyhan. "Kamu bisa tanya sama suamimu, Gis. Kalau bajingan itu masih punya hati, dia akan jujur dan mengakui kesalahannya. Tapi, kalau dia tetaplah seorang pecundang berengsek. Semua rahasia itu akan tetap tertutup rapat," ucapnya mengabaikan kehadiran Reyhan di sana.
"Tolong untuk segera pergi dari sini. Biarkan keluarga saya tenang untuk malam ini."
"Maaf, tapi saya tidak akan pergi dari sini." Ziel berucap tegas, mengambil jarak dari Reyhan dan menghampiri Regan. "Saya tidak paham dengan apa yang terjadi saat ini, tapi bukan itu yang penting sekarang. Saya datang kemari untuk menemui Asta, mendampingi Yuta yang terpukul, dan mungkin bisa membantu Anda menangani Rein yang saat ini pasti sangat terguncang."
Regan mengangguk, tak menolak setiap kalimat Ziel. "Terima kasih," katanya dengan suara bergetar menahan air mata. "Asta pasti senang dengan kedatangan omnya."
Ziel yang baru saja akan memasuki rumah kecil itu sontak terhenti. Ia mengepalkan tangannya, berusaha untuk tetap tenang. Tak butuh penjelasan lebih lanjut untuk ia memahami semuanya, sikap dari Regan ataupun Yuta sudah cukup menjelaskan semuanya.
Ia membawa langkahnya perlahan, hingga mendudukkan diri di sisi kanan tubuh Asta yang terbaring dengan damai. Tatapannya, sekilas menyorot pada Yuta dan Manda yang tampak begitu kacau di depannya, bersama dengan Kara, juga Nindy. Para remaja itu, pastilah sangat terpukul dengan kepergian saudaranya.
Ziel lantas dengan hati-hati membuka kain yang menutupi wajah Asta, menahan tangis saat melihat betapa tenang wajah anak itu. Tangannya yang gemetar pun perlahan mengusap wajah teduh Asta, kini ia benar-benar tidak dapat lagi melihat senyum anak itu.
"Bukannya kamu bilang akan bahagia? Kenapa seperti ini?" tanya Ziel. Ia padahal menunggu kabar bahagia datang dari anak itu, tetapi yang didapatkan justru sebaliknya.
"Om," ucap Yuta lirih, menatap Ziel dengan tatapan sendu. "Dia ternyata benar-benar adik aku, Om. Dia ... juga ponakan Om."
Ziel mengangguk, tak lagi terkejut karena telah menduga sebelumnya. Berbeda dengan reaksi yang ditunjukan oleh Nindy juga Kara yang berada di samping Yuta. Kedua gadis itu menatap Yuta tak percaya.
"Kak, maksudnya?" Nindy bertanya. Ia yang telah dibuat bertanya-tanya dengan keadaan yang terjadi sejak tadi semakin dibuat kebingungan dengan kalimat kakaknya.
"Dek, ... Asta benar-benar saudara kita. Dia juga anak dari Papa. Anak dari pria berengsek yang sudah merusak hidup Tante Rein, dan bikin Asta harus hidup menderita," jelas Yuta dengan suara yang pelan juga tercekat, menahan tangisnya untuk kembali pecah.
Tak hanya air mata Ziel yang jatuh, Nindy maupun Kara tak mampu menahan kesedihannya. Mereka menatap wajah pucat yang terpejam itu dengan perasaan hancur. Bersimpati dengan nasib yang dijalani pemuda malang itu.
"Asta!" Teriakan melengking itu kembali menggema. Mengejutkan mereka yang ada, terkecuali Manda dan Yuta yang telah merasa terbiasa.
Tak lama setelah, sosok Rein datang dengan keadaan yang begitu kacau. Rein tampak sangat berantakan, jejak air mata, dan rambut tak lagi tertata menandakan betapa hancurnya wanita tersebut.
"Anakku!" teriak Rein yang duduk di samping Ziel. Ia mengusap wajah Asta, lantas memeluk raga putranya. "Nak, ayo bangun. Sudah, yuk, tidurnya. Mama mau ajak kamu jalan-jalan. Kita jalan-jalan sama adek, sama Ayah. Ah, sama Yuta juga."
Pemandangan memilukan itu membuat orang-orang yang menyaksikan tak mampu menahan air matanya untuk jatuh. Termasuk ketiga orang yang masih berada di depan rumah itu. Regan kembali menghela napas dengan berat, berusaha menahan perasaannya yang hancur berantakan, dan segera menghampiri istrinya.
Sementara itu, Reyhan dan Giska masih bertahan di sana, terdiam mendengar kalimat memilukan dari Rein. Giska tak kuasa menahan kesedihannya, air matanya ikut jatuh mendengar racauan pilu Rein. Sebagai seorang ibu, ia memahami jelas sakitnya perasaan Rein saat ini.
"Mas, sebenarnya apa yang telah terjadi? Apa yang sudah kamu lakukan?"
Giska pada akhirnya mengajukan pertanyaan, tak tahan dengan situasi yang ada. Ia ingin masuk, menguatkan Rein sebagai sesama perempuan, juga ingin melihat Asta yang telah ia anggap anak selama ini.
"Mas, tolong jelaskan sama aku apa yang terjadi?" tanyanya yang kali ini menatap intens pada suaminya.
Reyhan menghela napas, lalu mengigit bibirnya begitu kuat. Jerit tangis Rein di dalam sana membut perasaannya berkecamuk. Ia pun merasa sesak, saat tadi melihat raga Asta tertutup sempurna oleh kain. Pukulan Yuta, serta kalimat tajam Regan tadi pun semakin membuatnya tak nyaman. Menimbulkan sesak, akan rasa bersalah.
"Mas!" Giska meninggikan suaranya, saat suaminya malah diam dengan raut wajah yang tak dapat ia tebak.
"Aku adalah ayah kandung Asta, Giska. Orang yang memperkosa Rein di gudang malam itu, adalah aku," terang Reyhan yang membuat Giska terkejut luar biasa.
"Kamu? Bagaimana mungkin?" tanya Giska yang kemudian membungkam mulutnya menggunakan tangan. "Teganya kamu, Mas!"
Giska mengambil langkah menjauh dari Reyhan. Air matanya jatuh, teramat kecewa dengan suami yang selama ini banggakan. Ia pun dengan tergesa-gesa membawa langkahnya menjauh dari Reyhan, memilih memasuki rumah Regan.
Langkah tertatih ingin menghampiri Rein yang menangis begitu keras di pelukan Regan. Melihat betapa hancurnya wanita itu membuat Giska kembali menitikkan air mata, dan merasa bersalah karena perbuatan suaminya.
"Rein, Astaga!" Regan berseru saat istrinya kembali tak sadarkan diri untuk sekian kalinya. Ia pun lantas membawa Rein ke kamar, bersama Ziel di belakangnya.
Giska lantas semakin mendekat pada Asta, kemudian duduk di sampingnya, menggantikan tempat Ziel tadi. Tangannya bergerak perlahan, menarik kain penutup wajah Asta yang belum kembali pada tempatnya. Tak tahan rasanya melihat wajah pucat itu.
Namun, tiba-tiba saja gerakannya terhenti. Lengannya digenggam oleh Yuta. Gelengan pelan dari Yuta membuat Giska mengurungkan niatnya, membiarkan Yuta menatap wajah Asta lebih lama.
Giska pun tak dapat mengalihkan pandangannya dari wajah tanpa rona Asta. Air matanya kembali jatuh, saat semakin lama ia menatap Asta, dirinya kini menyadari kemiripan wajah anak itu dengan suaminya. Hal yang selama ini luput dari pandangnya.
"Ma," panggil Yuta pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari Asta. "Tolong, ceraikan Papa. Aku nggak bisa lagi untuk menganggapnya sebagai orang tua. Dia bajingan, dia sudah bikin adikku menderita seperti ini."
"Nak, ...."
"Kalau Mama nggak bisa lakuin itu, maka aku nggak akan berpikir dua kali untuk menyusul Asta."
Tak hanya Giska yang terkejut dengan kalimat Yuta, semuanya pun dibuat tak percaya dengan kalimat pemuda itu. Reyhan yang berada di ambang pintu pun menahan napas setelah mendengar kalimat putranya.
"Aku nggak akan pernah maafin Papa sampai kapan pun, Ma. Nggak akan, bahkan bila dia bisa membuat Asta kembali hidup, aku nggak akan pernah lagi menganggapnya sebagai orang tuaku," ucap Yuta dengan tegas, membuat Reyhan lemas di tempatnya.
Pria itu mengusap wajahnya, lantas memilih pergi dari rumah Regan. Reyhan tak menyangka Yuta akan meminta hal seperti itu. Sungguh, ia tidak ingin kehilangan keluarganya. Akan tetapi, Reyhan sadar bila dirinya tidak akan mudah untuk kembali bersatu. Kekecewaan anak dan istrinya, tidak semudah itu untuk ia hilangkan.
"Seandainya, kamu nggak pernah terlahir. Seandainya, Rein memilih untuk menggugurkanmu. Kamu pasti tidak akan menderita, hidupku juga tidak akan menjadi serumit ini," ujar Reyhan sambil menatap langit yang mulai gelap.
"Luar biasa!"
Reyhan tersentak saat mendengar suara asing yang disertai dengan tepukkan tangan. Ia sontak berbalik, dan terkejut saat melihat orang telah berada di belakangnya.
"Ziel—"
"Bajingan!" Ziel bergerak cepat, menghardik saudaranya dengan tinjuan keras hingga Reyhan kembali terjerembab di tanah yang lebih becek. "Setelah apa yang kakak lakukan, setelah semua yang terjadi sama Asta, kakak masih bisa berpikir seperti itu?" tanyanya dengan emosi.
Ziel kemudian menarik kerah baju Reyhan dengan kasar, menyeret kakaknya itu memasuki rumah Regan dan menjatuhkannya di samping jasad Asta. Ia bahkan memaksa Reyhan untuk menatap wajah anak tak bersalah yang menjadi korban atas perbuatan keji Reyhan.
"Om!" Yuta berteriak tak terima dengan apa Ziel perbuat.
"Apa yang kamu lakukan, hah!" teriak Regan yang baru saja keluar dari kamar, terkejut akan tindakan Ziel saat ini yang membuat keadaan semakin runyam.
"Biarkan dia melihatnya! Biarkan bajingan ini melihat anak yang sudah dia hancurkan hingga menjadi seperti ini!" Ziel yang semakin menekan kepala Reyhan untuk menatap Asta.
"Lihat! Kamu masih ingin menyalahkannya? Masih tidak tahu diri dengan kesalahanmu? Bukan dia yang menghancurkan hidupmu, tapi kamu yang telah membuatnya hidup dalam kehancuran!" ucap Ziel dengan menggebu-gebu.
"Tahu, dengan apa yang selalu Asta katakan tentangmu?" Ziel merendahkan suaranya, dan berbisik di telinga sang kakak. "Dia selalu bilang kalau dia benar-benar bersyukur mengenalmu, dia selalu merasa bangga dan menyayangimu sebagai penyelamatnya," ucapnya yang kemudian mendorong tubuh Reyhan dengan kasar.
"Mulai sekarang! Mulai detik ini, jangan pernah lagi mencoba untuk mendekati Yuta ataupun Nindy. Aku akan mengambil alih tanggung jawabmu dari mereka!"
"Apa? Kamu tidak pernah punya hak untuk itu, mereka anak-anakku!"
"Tidak akan lagi! Aku akan mengurus perceraian kita, dan akan mengambil hak asuh terhadap Yuta juga Nindy!" ujar Giska dengan cepat, "kamu gagal sebagai orang tua mereka, Mas."
"Giska!"
"Cukup!" teriak Regan dengan keras, "berhenti kalian membuat keributan di rumahku!"
Ia menatap orang-orang di depannya, sampai tatapannya tertuju hanya pada Regan. "Dia sudah sangat menderita, tolong biarkan malam ini dia tenang. Dia bahkan memilih menyimpan rahasia ini, karena tidak ingin melukai siapa pun. Jadi, tolong jangan membuat kekacauan lagi."
Regan tak kuasa menahan air matanya, bahkan sampai harus berlutut di hadapan orang-orang yang ada di sana. "Tolong pergi dari rumah ini, cukup saya dan keluargaku yang mengiringi kepergiannya, jika kalian hanya akan membuat keributan," ucapnya sambil tertunduk begitu dalam.
Tak ada kalimat yang terucap setelahnya, keadaan menjadi lebih hening dari sebelumnya. Ziel memilih keluar dengan membawa Reyhan bersamanya. Ia memaksa kakaknya untuk masuk ke dalam mobil.
"Pergi dari sini. Jangan tunjukkan wajahmu sampai pemakaman Asta selesai!"
Ziel membanting pintu mobil dengan keras, kemudian kembali ke rumah Regan. Sialnya, ia yang baru mencoba untuk tenang kembali dibuat tak karuan saat melihat Yuta kehilangan kesadarannya.
__________________
Yuhu!
Gimana-gimana?
Makasih banyak buat kalian yang udah mengapresiasi cerita ini.
Kita menuju endingnya, nih.
Siap berpisah?
_________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top