31 - Tiba-tiba

Ia mengerutkan kening semakin dalam saat langkah Regan semakin cepat, seakan-akan begitu tergesa-gesa untuk menemui orang yang baru saja menelponnya. Kening Yuta semakin menukik, saat di sudut lorong langkah Regan terhenti hingga ia dapat menemukan papanya di sana.

Yuta semakin kebingungan, bukan hanya karena kehadiran papanya tiba-tiba, karena setahunya hanya Kara yang mengetahui keberadaannya saat ini. Ia belum mengabari keluarganya sama sekali tentang apa yang terjadi pada Asta karena enggan untuk diminta pulang.

"Suruh Yuta untuk segera keluar!"

Suara Reyhan yang cukup keras, membuat Yuta terkejut. Raut wajah Reyhan yang menampakkan emosi semakin membuat Yuta bertanya-tanya, merasa aneh dengan sikap sang papa. Mengapa papanya sampai semarah itu pada Regan dan ingin ia segera pulang?

Penasaran dengan apa yang terjadi, Yuta menahan langkahnya untuk mendekat. Ia memilih tetap diam menyaksikan perdebatan kedua pria itu, sehingga mendengar seluruh percakapan penuh emosi dari keduanya.

Jantung Yuta berdetak lebih cepat dari sebelumnya, bersama dengan perasaan yang berkecamuk saat mendengar kalimat demi kalimat yang terucap dari keduanya.

"Nggak akan lagi, sudah cukup gue biarin mereka saling kenal sampai-sampai Yuta begitu peduli dengannya. Seharunya, sejak awal gue nggak pernah ketemu lagi sama itu anak dan bikin semuanya jadi seperti ini."

Yuta mengepalkan tangannya semakin erat dengan penuh emosi. Pandangannya tertuju pada sang papa yang kini tampak benar-benar berbeda. Ia bahkan sampai merasa tidak lagi dapat mengenali pria itu saat ini.

"Saat itu mestinya gue biarin Rein benar-benar bunuh anak itu, dan larang Yuta buat nolong dia. Karena anak itu Yuta jadi seperti ini, dia—"

Pijakan Yuta seketika goyah, nyaris terjatuh bila tak mampu mengendalikan dirinya. Napasnya mendadak sesak, matanya terasa begitu panas, membuatnya tak sanggup menatap pergerakan kedua pria yang tak jauh darinya.

Yuta memejam, menghela napas panjang secara berulang-ulang dan berusaha untuk tetap berdiri dengan tegak hingga akhirnya melihat Reyhan tersungkur di lantai, dengan Regan yang terlihat begitu emosi di depannya.

"Rey, di dalam sana anak yang terlahir dari kesalahan lo itu sedang berjuang untuk hidup. Anak yang lo hina tadi sedang sekarat, gue bahkan nggak tahu apa yang akan terjadi ke depannya sama dia. Jadi, tolong jangan ganggu dia untuk saat ini. Biarkan Yuta tetap ada di sini, biarkan dia tetap sama saudaranya," ucap Regan dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya, membuat jantung Yuta semakin berdetak tak karuan.

Pemuda itu semakin mengepalkan kedua tangan. Tak tahan dengan semua perdebatan itu, ia pun membawa langkahnya semakin cepat menghampiri mereka, menghentikan kalimat dari orang tuanya  yang ternyata tidak lebih dari seorang bajingan.

Tatapan tajam ia tujukan pada sang ayah yang kini berada tepat di depannya. Keterkejutan Reyhan membuat kemarahan Yuta semakin menjadi, karena bukan itu yang ingin dilihatnya. Ia ingin melihat kebohongan, juga penyesalan dari sorot mata ayah kandungnya itu, berharap semua apa yang ia dengar ataupun dilihatnya hanya kesalahpahaman.

Namun, Yuta tidak sayangnya Yuta harus menelan kekecewaan. Reyhan kini tidak lagi sama, Yuta sama sekali tidak dapat mengenalinya. Sang papa yang selama ini begitu bijaksana, ramah, dan menjadi panutannya ternyata adalah pria berengsek. Sosok yang menjadi penyebab Asta harus menjalani hidup menyedihkan selama ini.

"Yuta—"

"Jangan pernah sentuh aku, Bajingan!" bentak Yuta menepis kasar tangan Reyhan yang ingin menyentuhnya. Masa bodo dengan sopan santun sebagai anak, Yuta sama sekali tidak peduli lagi dengan hal itu.

"Yuta! Kamu salah paham, apa yang kamu dengar itu nggak benar, Nak. Dia—"

"Dia apa? Dia apa, Pa? Papa mau bilang apa? Aku nggak tuli, aku nggak nggak bodoh buat ngerti semuanya! Nggak mungkin Om Regan akan semarah itu kalau ternyata ini salah paham!" Yuta lagi-lagi menyela, menatap sang papa dengan emosi.

Ia menarik napas dalam-dalam, meraup udara yang terasa menipis. Aie matanya tak mampu tertahan, terlalu sakit akan fakta yang baru diketahuinya. "Aku nggak nyangka kalau Papa sebajingan ini."

Yuta lantas mengalihkan pandangannya pas Regan. "Asta tahu ini?" tanya dengan suara bergetar.

"Dia tahu semuanya, Yut," balas Regan apa adanya membuat air mata Yuta kembali tak tertahan.

"Sama sepertimu, dia juga hancur saat tahu akan fakta yang ada. Kecewa yang kamu rasakan saat ini, mungkin sama dengan apa dia rasakan saat itu. Karena itu, dia tidak mau kamu mengetahui semuanya dan memilih merahasiakannya darimu, juga keluargamu yang lain."

Kalimat Regan membuat perasaan Yuta semakin berantakan. Ia bahkan sampai tak tahu harus bereaksi seperti apa saat ini. Air matanya semakin luruh, bersama teriakannya yang tak mampu ia tahan.

"Yuta, ....."

"Pergi!" Yuta kembali menyentak tangan Reyhan, mendorong pria yang sempat menyentuh pundaknya itu depan cukup kasar. "Setelah apa yang Anda lakukan, jangan pernah lagi untuk menganggap diri anda sebagai seorang ayah! Anda, Berengsek!" ucapnya penuh penekanan di setiap kalimatnya.

Tak ingin berlama-lama menatap pria yang telah membuatnya kecewa begitu dalam, Yuta memilih untuk beranjak. Ia tidak sanggup lagi menghadapi Reyhan sekarang.

Langkah Yuta berayun cepat meninggalkan tempat itu, mengakibatkan sang papa yang berteriak memanggil namanya. Masa bodoh dengan pria itu sekarang, ia tidak akan memaafkannya dengan mudah. Sebab, gara-gara dia, hidup Asta menjadi sehancur ini.

"Yuta!"

Yuta menghentikan langkahnya saat lengannya digenggam erat oleh Regan yang ternyata mengejar. Tak ada penolakan dari Yuta oleh tindakan itu, bahkan ketika Regan memeluknya.

"Om tahu ini berat, tapi Om minta tolong untuk kamu lebih tenang, apalagi di depan Asta. Adikmu pasti akan lebih terluka kalau lihat kamu sekacau ini." Regan berucap lembut setelah Yuta akhirnya melepas pelukannya dan terlihat lebih tenang.

Yuta berdesah, kemudian mengangguk perlahan. Ia pun mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha menghapus jejak air matanya. Kondisi Asta saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan membiarkan adiknya semakin terbebani dengan masalah yang ada bukanlah hal baik. Terlebih, Yuta tidak ingin mengusik kebahagiaan adiknya. Untuk masalah ini, akan ia pikirkan sendiri bagaimana ke depannya.

"Sebelum ke kamar Asta, mau ke kantin atau kamar mandi? Tenangkan diri kamu sepenuhnya dulu, Nak," tawar Regan yang tak tega melihat Yuta benar-benar kacau.

Yuta menggeleng, sudah merasa lebih baik. Terlebih, sejak tadi ia rasanya ingin untuk segera bertemu dengan Asta. Lagi pula, Asta tidak akan curiga bila dirinya mampu menutupi semuanya dengan terlihat biasa saja.

Ia pun kembali membawa langkahnya menuju tempat sang adik, ingin segera untuk menemuinya. Setelah mengetahui mereka benar-benar memiliki hubungan darah, Yuta kali ini akan benar-benar menjaga dan melindungi adiknya, terutama dari papanya yang berengsek.

Bersama Regan ia pun semakin dekat pada bangsal rawat adiknya. Ia membuka pintu ruangan dengan sedikit tidak sabar, ingin segera untuk melihat Asta dan memeluk saudaranya.

Namun, langkah penuh semangatnya itu sontak terhenti, bahkan sebelum ia mencapai tempat adiknya. Isak tangis Manda dan Rein di sisi ranjang membuat perasaannya tak karuan, jantungnya berdetak kencang saat melihat Asta justru terpejam dengan begitu tenang di antara mereka.

"Ada apa ini?" tanya Regan pada anak dan istrinya, jantungnya berdetak kencang melihat situasi yang ada.

"Kalian dari mana?"

Rein bertanya dengan suara bergetar, menatap kedua laki-laki di depannya. Genggamannya pada tangan sang putra pun semakin erat, sayangnya sekeras apa pun ia melakukannya, putranya tak akan membalasnya lagi.

"Dia pergi, Gan. Dia meninggalkan aku begitu saja! Dia Pergi begitu saja, Gan!" tangis Rein kembali pecah.

Regan tak mengatakan apa-apa, langkahnya justru semakin mendekat pada putranya yang tertidur nyenyak. Mati-matian ia menepis pikiran buruk, tetapi anaknya yang tertidur tanpa selang oksigen, selimut yang membungkus hingga dada, juga tangisan istri dan anaknya membuat Regan dihadapkan oleh kenyataan. Terlebih, putranya begitu dingin dan tak lagi bernapas.

"Nak, ...."

Regan tak kuasa melanjutkan kalimatnya, tangisnya seketika pecah sembari memeluk tubuh Asta yang kini telah kaku, padahal beberapa saat lalu anaknya masih baik-baik saja. Ia bahkan masih melihat senyumnya sebelum meninggalkan ruangan ini.

"Gan, kamu bilang anak kita baik-baik saja. Dia masih bisa sembuh. Tapi, Kenapa ... dia pergi seperti ini?" tanya Rein tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah pucat sang putra.

Yuta tak mampu menahan air matanya. Pijakannya goyah, hingga ia terjatuh begitu saja tepat di depan ranjang adiknya. Jantung berdetak kencang, menatap tak percaya apa yang ada di depannya.

"Kenapa? Kenapa semuanya jadi seperti ini?" tanyanya entah dengan tatapan kosong, tak mengerti akan apa yang terjadi. Tidak mempercayai semua keadaan ini.

"Ini nggak mungkin. Nggak! Nggak mungkin! Asta, bangun, Dek! Ini kakak, bangun, Dek!" Yuta berdiri dengan cepat, menggeser posisi Manda, tanpa peduli gadis itu akan terjatuh.

"Hei, bangun! Kakak di sini! Kamu bercanda, kan? Ini nggak mungkin! Kamu tadi baik-baik saja, Dek! Bangun!"

Yuta meracau, mengguncangkan tubuh adiknya cukup keras, hingga mengangkat kemudian memeluknya begitu erat. Sayangnya, apa pun yang ia lakukan, Asta tetap tidak terbangun.

"Asta!" teriak Yuta dengan histeris membuat Manda semakin terisak, begitu pun dengan Rein dan Regan.

Ruangan yang sebelumnya dipenuhi kebahagiaan, kini penuh dengan isak tangis. Tak hanya keluarga kecil itu yang menangis akan kepergian Asta yang begitu tiba-tiba, tetapi para penghuni ruangan lainnya.

Semua terjadi begitu cepat. Asta yang merintih kesakitan mendadak mengejang hebat. Dokter yang datang segera berusaha memberikan penanganan, tetapi kondisi Asta yang menurun drastis dan tiba-tiba, tak mampu mereka selamatkan.

Sementara itu di depan pintu ruangan seorang pria terpaku di tempatnya. Ia tertahan di sana dengan perasaan berkecamuk, juga jantung berdetak kencang. Jerit tangis dari dalam sana, juga teriakan putranya membuat Reyhan tak mampu bergerak. Ia yang semula ingin memaksa Yuta untuk pulang, justru dibuat tak dapat berkutik.

"Permisi, Pak."

Tubuh Reyhan sedikit bergeser, membiarkan beberapa perawat memasuki ruangan. Reyhan tak mengalihkan pandangannya dari mereka yang mendekat ke orang-orang yang menangis hebat itu.

"Tidak! Jangan sentuh adikku!"

Yuta berteriak kencang, mendorong seorang perawat yang ada di sana. Tak mengizinkan adiknya tersentuh siapa pun. Ia memeluk adiknya begitu kuat, menyangkal bila tubuh itu tak lagi bernyawa.

_____________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top