28 - Kacau
Pemuda itu berdecak kesal, lantas memilih untuk menonaktifkan ponsel pintarnya, tak ingin lagi terusik oleh hal apa pun. Masa bodoh dengan orang tuanya yang terus berusaha menghubunginya. Ia pun tidak peduli bila jadwal kuliahnya akan berantakan dan berpengaruh pada nilainya. Yuta tidak ingin memikirkan itu semua, saat ini fokusnya hanya Asta.
Belum ada sebulan terpisah, tetapi jarak di antara mereka terasa begitu lebar. Yuta tidak menginginkan hal itu, sekalipun Asta telah kembali ke keluarganya. Ia sudah berlapang dada untuk mengizinkan Asta tinggal bersama orang tua kandungnya, tetapi tidak pernah rela melepas anak itu.
Ia jelas marah saat Asta mengabaikan panggilan masuk juga pesannya. Anak itu bahkan memblokirnya, meski Yuta berusaha menghubungi dengan nomornya baru. Namun, dibandingkan rasa marahnya, Yuta jauh lebih khawatir. Pemikiran buruknya tentang kondisi Asta, membuatnya kian resah.
Benar saja, apa yang dilihatnya sekarang tentang kondisi Asta membuatnya miris. Saudaranya itu kehilangan berat badan yang cukup signifikan. Pipinya semakin tirus, serta lingkar hitam di bawah mata yang semakin jelas. Parahnya, Asta saat ini sedang sakit, tetapi mereka yang berstatus keluarganya hanya mendiamkan, tak membawanya untuk segera ke rumah sakit.
Yuta mendengkus, kesal dengan situasi sekarang.
Sialnya, ia tidak bisa datang lebih cepat dari ini. Jadwal cukup padat, padahal ia masih terbilang masih baru. Ia pun kesulitan mendapatkan izin, terlebih dari kedua orang tuanya meminta ia untuk fokus kuliah.
"Yut, ...."
Suara yang memanggil dengan lirih itu sontak mengalihkan perhatiannya, sontak ia menjatuhkan lintingan tembakau yang baru terbakar beberapa. Ia cukup terkejut akan kehadiran Asta yang semestinya sudah tidur.
"Sejak kapan kamu ngerokok?" Asta bertanya dengan cepat, menyela Yuta yang baru saja akan berucap.
Ia benar-benar terkejut mendapati saudaranya itu berdiri di depan rumah sambil menghisap sebatang rokok. Ia pikir, Yuta hanya sibuk menerima panggilan yang entah dari siapa, karena itulah alasan Yuta keluar dari kamarnya.
"Yut, aku nanya! Sejak kapan kamu mulai merokok kayak gini?" tanya Asta kembali saat Yuta masih saja bungkam.
"Sejak kamu pergi dari rumah, teman kuliahku nawarin. Awalnya, nggak enak, tapi lama-kelamaan bikin ketagihan," balas Yuta pada akhirnya. "Apalagi kalau lagi stres, rasanya jauh lebih nikmat."
Asta mengepalkan kedua tangan yang berada di sisinya. Jawaban Yuta membuat emosinya berkecamuk, tetapi ia tidak memiliki hak untuk marah. Sebab, Asta cukup sadar diri bila alasan Yuta menjadi perokok juga karenanya. Andai ia tidak meninggalkan, mungkin Yuta tidak akan pernah menyentuh rokok sama sekali.
"Kamu kenapa keluar? Harusnya kamu tidur dan istirahat, ayo masuk!" seru Yuta yang kemudian menarik tangan Asta untuk segera masuk.
Namun, Asta menolak untuk melangkah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan dengan saudara seayahnya itu. Tidak tahan dengan situasi ini, jadi mumpung Yuta berada di sini, Asta ingin membicarakan semuanya.
"Aku baru bangun, Yut. Masa mau tidur lagi, lagian baru jam sepuluh," ucap Asta yang kemudian mendudukkan dirinya pada undakan di tangga kecil.
Yuta berdecak, menolak kegilaan Asta yang masih ingin bertahan di luar rumah. Wajah Asta teramat pucat, angin malam tentu tidak akan baik untuknya.
"Masuk, As! Ngapain malah duduk, sih?" Yuta mencoba menarik Asta, tetapi anak itu masih tetap bertahan di posisinya membuat Yuta mendengkus kesal. "Masuk, atau aku seret kamu ke rumah sakit sekarang juga!"
Yuta tak sekadar mengancam, bersungguh-sungguh atas ucapannya. Sejak tadi ia memang telah berniat untuk melakukan hal itu, hanya saja Asta terlalu keras kepala. Terlebih, keluarga Asta juga tidak memaksa sama sekali, membiarkan Asta tetap sakit tanpa mendapat penanganan dari ahlinya. Maka seolah-olah, mendapatkan kesempatan untuk membawa Asta ke rumah sakit, Yuta tentu tidak akan menyia-nyiakannya.
"Tenang saja. Aku akan ke rumah sakit setelah pernikahan Mama dan Ayah. Setidaknya, aku mau melihat Ayah ngucapin ijab kabul dulu," ucap Asta.
Ia pun telah menyampaikan hal serupa pada kedua orangtuanya, juga Manda. Lagi pula, Asta sadar bila kondisinya semakin menurun akhir-akhir ini. Berpura-pura untuk baik-baik saja akan percuma, karena ia tahu tubuhnya tidak akan bisa diajak kompromi.
Asta juga tidak ingin terlambat, takut bila memang dugaannya benar, dirinya memang perlu penanganan secepatnya mungkin. Kendati tidak ingin merepotkan, tetapi Asta tidak ingin kehilangan lebih banyak kesempatan dan waktu untuk bersama mereka.
"Duduk, Yut! Ada banyak hal yang mau kubicarakan. kamu juga, kan?" Asta menggeser sedikit tubuhnya, untuk memberikan Yuta ruang di sampingnya.
Yuta akhirnya menurut, tak ingin terlibat perdebatan yang hanya akan merusak kedekatan mereka saat ini. Ia pun duduk berdampingan dengan Asta setelah melepas jaketnya, dan memakaikannya pada Asta meski pemuda itu telah menggunakan sweater.
Asta tak menolak apa yang dilakukan Yuta. Ia justru tersenyum lebar dan mengucapakan terima kasih. Sudah cukup lama rasanya mereka tidak mengobrol berdua seperti. Terpisah selama nyaris sebulan, membuat Asta juga merindukan Yuta, rindu sosok yang begitu perhatian terhadapnya.
Akan tetapi, keadaan membuat ia dan sang kakak tidak dapat bersama. Padahal, seandainya Reyhan dapat menerimanya meski sedikit saja, Yuta pasti akan sangat bahagia bila mengetahui mereka memang memiliki ikatan darah. Sayang, Asta harus menutup kebenaran itu rapat-rapat dari Yuta. Sebab, sama seperti dirinya yang kecewa, Yuta pun pasti akan merasakan demikian. Terlalu banyak yang akan terluka bila seandainya Yuta tahu apa yang terjadi.
"Maaf, Yut." Asta memulai percakapan tanpa basa-basi, mengusik hening yang menenggelamkan mereka.
Asta mengigit bibir bawahnya, hidup Yuta selama beberapa hari ke belakang justru semakin berantakan karenanya. Tindakannya menghindari Yuta justru berdampak lebih buruk pada kakaknya itu.
"Kamu tentu tahu, As. Nggak mudah bagi aku untuk biarin kamu pergi. Tapi, saat itu aku sadar kalau aku nggak boleh egois untuk nahan kamu tetap tinggal di rumah," balas Yuta tanpa menatap Asta sama sekali, pandangannya tertuju pada langit yang kelam.
"Aku mati-matian ngeyakinin diri aku kalau semuanya akan baik-baik saja. Kita cuma pisah rumah, masih bisa saling menghubungi satu sama lain dengan teleponan, video call, dan hal lainnya."
Helaan napas berat dan panjang terdengar jelas dari Yuta. Mahasiswa baru itu, tampak berusaha keras untuk menenangkan diri agar tak terpancing emosi. Asta menyadari hal tersebut, sangat memahami bila Yuta mati-matian tak menumpahkan emosinya.
"Tapi, sejak kamu pergi dari rumah. Kamu juga seakan-akan melepaskan semuanya begitu saja. Kamu kayak melarikan diri dari aku, sampai-sampai aku kesulitan buat hanya sekedar tahu kabarmu.
Kenapa, sih, As? Segitu nggak berartinya aku sebagai saudaramu? Segitu muaknya, kah, kamu sama aku? Sampai-sampai kamu nggak mau lagi kita saling berhubungan?"
Asta tertunduk, kembali menggigit bibir bawahnya tanpa peduli akan meninggalkan luka. Yuta tidak meninggikan suaranya, setiap kalimat yang terucap begitu lirih dan terdengar frustrasi. Namun, hal itu justru membuat Asta tak kuasa menahan air matanya.
"Yut." Asta berucap begitu pelan, nyaris tak terdengar karena tenggorokannya terasa tercekat. "Maaf, ...."
"Aku nggak butuh maaf kamu, As. Aku cuma minta penjelasan dari semua ini. Kenapa? Kenapa kamu menghindar seperti ini? Apa alasan kamu sampai bertindak kayak gini?" Yuta akhirnya berbalik menatap Asta.
Tatapan mereka bertemu, tetapi dengan cepat Asta mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin Yuta menyelami perasaannya jauh lebih dalam. Sebab, pemuda itu mampu memahaminya dengan baik, meski hanya dari tatapannya.
"As—"
"Aku sudah bilang, Yut. Kalau kita memiliki hidup masing-masing. Kamu dengan hidupmu, dan aku dengan hidupku. Kalau kamu masih terus peduli dan mengutamakanku, lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?" sela Asta.
"Aku juga sudah bilang akan menata hidupku, As. Kamu nggak perlu khawatir dengan hal itu. Dan, jangan jadikan itu alasan buat kamu menghindar. Justru, karena sikapmu yang seperti ini aku jadi semakin kacau. Kamu tahu betapa paniknya aku saat kamu nggak bisa dihubungi, blokir nomor aku dan orang-orang lainnya?!"
Yuta berdiri, menatap Asta lebih tajam dari sebelumnya. "Sekarang jelasin sama aku apa alasan kamu sebenarnya, hah? Aku yang mati-matian peduli sama kamu selama ini, apa nggak pernah ada artinya, sampai dengan gampangnya kamu menghindar kayak gini?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi.
"Atau karena mereka? Karena mereka larang kamu buat berhubungan lagi dengan aku dan orang-orang yang ada di Bandung? Karena kamu sudah terlalu nyaman sama mereka sampai kamu lakuin ini?"
"Karena aku kecewa sama kamu dan keluargamu, Yut," balas Asta dengan cepat. Ia yang semula menghindari tatapan Yuta, kini menatap pemuda itu dengan tajam.
Perlahan ia bangkit dari duduknya, memupus jarak antara mereka hingga berhadapan. "Semuanya nggak akan seperti ini kalau seandainya Papamu nggak nutupin apa yang terjadi, bukan? Aku bisa hidup dengan baik, jika saja papamu menemui Ayah dan memaksanya bertanggungjawab. Mama juga nggak harus masuk rumah sakit jiwa, kalau seandainya papamu nggak mikirin perusahaannya!" ucap Asta dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.
Tak ada balasan dari Yuta. Pemuda itu bungkam di tempatnya dengan sorot mata yang berbeda dari sebelumnya.
Asta berdesah, mengalihkan pandangannya secepat mungkin dari Yuta. Mati-matian ia menahan air matanya untuk tidak tumpah, setelah mengucapkan kalimat yang sebenarnya tak ingin disampaikan. Asta sama sekali tidak ingin mengungkit hal itu, terlebih saat tahu bila semuanya hanya kebohongan Reyhan. Ia pun tidak semestinya menyalahkan Yuta akan hal tersebut.
Namun, Asta tidak memiliki pilihan lain untuk membuat Yuta paham alasannya menghindar. Ia tidak mungkin mengatakan hal sebenarnya pada sang kakak. Ia telah berjanji pada Reyhan untuk menutup rapat-rapat rahasia mereka, juga tak ingin Yuta merasa hancur karena kecewa.
"Tapi itu bukan kesalahanku. Kenapa aku yang harus kamu hindari seperti ini? Kamu pikir aku nggak marah dengan apa yang Papa lakukan? Kalau kamu mau marah, ya, cukup sama Papa, jangan sama aku."
Yuta menahan tangan Asta yang akan beranjak. Tak terima perlakukan Asta yang seperti ini hanya karena kesalahan papanya. Ia tidak terlibat sama sekali, jadi mengapa dirinya harus menanggung kekecewaan Asta saat ini?
"Asta!" teriak Yuta saat setelah Asta berusaha melepaskan tangannya dan kembali berjalan.
"Cukup, Yut! Aku muak! Kamu emang nggak terlibat dan nggak tahu apa-apa soal itu, tapi apa menurutmu aku akan baik-baik saja setiap lihat kamu? Nggak, Yut!" Asta menarik napas sejenak, guna mengenyahkan sesak yang terasa menikam.
"Sejak aku tahu apa yang terjadi, ngeliat Papa kamu dan semua keluargamu rasanya sakit. Apalagi papamu, dia yang aku anggap malaikat, justru adalah orang yang menyebabkan semuanya!"
Napas Asta tersengal setelahnya. Ia merasa benar-benar lelah setelah berbicara cukup panjang dengan penuh emosi. Tak hanya tenggorokannya yang terasa sakit, tetapi sekujur tubuhnya pun terasa remuk. Pandangannya bahkan sampai berbayang dengan denyut menyakitkan.
"Kalau kamu mau nginap di sini, silakan. Tapi, aku harap besok kamu sudah kembali ke Bandung. Aku benar-benar tidak ingin terlibat lagi dengan kalian. Terlalu menyakitkan, Yut," ucap Asta sebelum membuka pintu rumahnya dan segera masuk. Tanpa menoleh pada Yuta sedikit pun.
Air matanya semakin tidak tertahan begitu tiba dalam rumah. Di depannya, ada seluruh keluarganya yang tampak khawatir. Asta tertunduk, tubuhnya bergetar dengan tangisan hebat yang tidak mampu ia tahan.
Melihat putranya yang begitu rapuh, membuat air mata Rein kembali jatuh. Hatinya ikut hancur, setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ia telah mendengarkan penjelasan Regan sore tadi, tak lama setelah Yuta datang.
Ingatan kelam tentang masa lalu pun sempat mengguncangnya, tetapi keberadaan Regan juga Manda di sampingnya membuat ia lebih tenang dan perlahan menerima semuanya. Rein pun paham bila tidak hanya dirinya yang terluka karena semua kejadian itu, tetapi putranya lah yang paling hancur saat ini.
Rein segera menghampiri Asta, membawa sang putra ke dalam peluknya. Tak ada yang mampu ia ucapkan sebagai kata penenang, bahkan sejuta kata maaf pun tak dapat ia utarakan. Hanya usapan lembut yang dapat Rein berikan saat ini pada putranya yang benar hancur.
Andai malam itu dirinya mampu menjaga diri dengan baik, maka semua ini tidak akan terjadi. Ia terlalu bodoh kala itu, mempercayai seseorang yang berpura-pura menjadi Regan hingga melakukan tindakan tidak senonoh. Rein pun merutukki yang tak mampu mengendalikan diri hingga sempat kehilangan kewarasannya.
Air mata Rein semakin jatuh. Ia memeluk putranya erat, merasa begitu bersalah kepada buah hatinya. Regan sempat menceritakan bagaimana anaknya itu tumbuh selama ini, membuat Rein merasa benar-benar gagal menjadi seorang ibu untuk Asta.
"Nak, ...."
Rein berucap dengan suara bergetar, memanggil nama Asta yang terasa semakin berat dalam pelukannya. Belum sempat Rein memahami apa yang terjadi, tubuh putranya merosot begitu saja dari dekapan.
"Asta!" teriak Rein panik. Beruntung ia dapat menahan tubuh kurus itu sebelum benar-benar jatuh menghantam lantai.
Teriakan Rein berhasil mengejutkan Manda yang terdiam di tempatnya. Begitu juga dengan Regan yang baru saja akan menghampiri Yuta yang berada di luar.
"Kakak kenapa, Ma?" tanya Manda yang mendekat dengan tongkatnya sambil berusaha meraba sekitar. Jantungnya berdegup kencang mendengar teriakan mamanya.
Tak ada jawaban yang didapatkan atas pertanyaan Manda. Kegaduhan justru semakin terdengar; teriakan Mama, kepanikan ayahnya yang menyerukan nama sang kakak, serta suara Yuta yang tak kalah kerasnya. Hal tersebut membuat Manda gemetar di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dirinya merasa begitu ketakutan.
"Biarkan saya bawa dia ke rumah sakit, Tante. Asta butuh penanganan!" Yuta meninggikan suaranya, cukup kesal dengan Rein yang menahannya.
"Tidak! Jangan sentuh anak saya! Jangan pernah bawa dia! Pergi kamu dari sini!"
Rein berseru keras, menepis tangan Yuta, bahkan mendorong pemuda itu. Rein tak mengizinkan Asta tersentuh oleh Yuta sedikit pun.
"Tante!"
"Tenang!"
Regan berteriak tak kalah kencangnya dari Yuta. Ia lantas menatap anak muda itu dengan tajam, sambil menggenggam tangan Rein yang gemetar hebat. Hingga beberapa detik kemudian pandangannya beralih pada Asta yang berada di pangkuan Rein yang kacau. Ia berusaha untuk tetap tenang menghadapi situasi saat ini.
"Kita harus bawa Asta ke rumah sakit diantar sama Yuta, Rein," ucap Regan dengan lembut sambil menatap calon istrinya, hingga wanita itu akhirnya mengangguk dan lebih tenang.
Yuta menghela napas panjang, kemudian mendekat pada Asta dan ingin mengangkat tubuh adiknya. Namun, pergerakannya terhenti saat tangannya ditepis dengan begitu lemah.
Pemuda pucat itu menatap orang-orang di sekitarnya dengan pandangan berbayang. Tubuhnya terasa tidak karuan, tarikan napasnya pun terasa begitu berat, bersama nyeri pada kepala yang sangat menyiksa. Namun, Asta tidak ingin ke rumah sakit saat ini juga. Ia tidak ingin melewatkan hari esok.
"Kita ke rumah sakit, ya, Nak." Regan berucap lembut sambil mengusap rambut putranya.
Asta memejam, lantas mengangguk pelan. "Tapi, besok," ucapnya lirih, "setelah ... Ayah sama Mama nikah."
"Asta!" Yuta membentak, tak setuju dengan kalimat itu. Asta terlihat benar-benar mengkhawatirkan, bahkan untuk bernapas saja sulit.
Asta kembali memejam saat merasa pusing, teriakan keras Yuta membuat telinganya berdenging. Namun, ia berusaha mengabaikan itu. Tangannya yang lemas ia gerakkan untuk menggenggam tangan Rein dan Regan.
"Besok mau lihat kalian nikah," ucapnya dengan begitu susah payah.
Detiknya selanjutnya ia merasa napasnya semakin tercekat hingga membuatnya kesulitan. Tubuhnya mendadak tegang, hingga tersentak hebat. Asta tak tahu apa yang terjadi berikutnya, semuanya terasa semakin samar, baik pandangan juga pendengarannya. Hingga pada akhirnya ia tidak merasakan apa-apa lagi.
_____________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top