27 - Hubungan
Usapan lembut pada keningnya, membuat Asta tidak ingin beranjak sama sekali dari pangkuan sang mama. Katakanlah ia egois karena menahan wanita itu untuk bergerak jauh dari jangkauannya selama hampir setengah jam.
Asta begitu menyukai setiap sentuhan yang diberikan Rein dengan penuh kasih. Belain hangat dan lembut tersebut benar-benar memanjakan Asta hingga rasanya enggan untuk mengakhiri semua begitu cepat.
Ia tersenyum tipis, tanpa melepaskan pandangan dari Mama yang terlihat begitu cantik meski usianya tidak muda lagi. Asta menatap lekat wajah Rein, memperhatikan setiap lekuknya dengan begitu teliti. Semakin hari aura dan kecantikan wanita itu terus meningkat, tidak terlihat berantakan dan pucat sama seperti ketika ia masih dirawat pada rumah sakit jiwa di Bandung.
Wajah Rein semakin terlihat berseri-seri, sorot matanya tak lagi menampakkan luka, pun dengan bibir yang semakin sering melengkung ke atas. Aura wanita 43 tahun tersebut bahkan semakin menjadi-jadi, terlebih menjelang hari pernikahannya yang akan digelar besok.
Sebentar lagi, wanita itu akan dinikahi oleh pria yang dicintainya. Hal itulah yang membuat Rein terlihat sangat bahagia, tak pernah melunturkan senyumnya, benar-benar tidak sabar untuk hari esok.
"Nak, pindah ke kamar saja, ya, kamu masih harus istirahat."
Suara berat Regan tiba-tiba hadir memecah keheningan di antara Asta dan mamanya, sedikit merusak momen kebersamaan mereka. Pemuda berkaos merah yang dipadukan dengan kardigan abu-abu, juga celana olahraga panjang berwarna hitam itu sontak berdecak. Bukan karena terusik dengan kehadiran Regan di antara ia dan mamanya, hanya saja Asta bosan mendengar pertanyaan yang sama untuk sekian kalinya.
Ia sudah baik-baik saja dibandingkan pagi tadi. Badannya sudah lebih segar, suhu tubuhnya mulai menurun, jadi sudah tidak ada alasan baginya untuk kembali berdiam diri di kamar. Ia ingin menikmati kebersamaan dengan Rein, sebelum mamanya itu benar-benar menjadi milik Regan.
"Sekarang dia sudah baik-baik saja, Gan. Sudah tidak sepanas pagi tadi," ucap Rein lebih dulu sebelum Asta berbicara. Hingga membuat si kurus itu tersenyum puas.
"Tapi, dia masih harus istirahat," balas Regan yang kemudian beralih menatap Asta. "Jangan sampai kondisinya besok malah semakin parah. Bisa gagal, lho, dia lihat Mama sama ayahnya nikah."
Asta mendengkus mendengar kalimat sang Ayah yang terucap dengan mimik wajah menyebalkan. Namun, sialnya Asta tidak dapat mengelak dan akhirnya menurut. Besok adalah hari yang penting, Asta tentu tidak ingin melewatkan momen itu. Ia bahkan ingin menjadi saksi pernikahan Rein besok.
"Aku anterin ke kamar, ya, Kak." Manda yang sejak tadi duduk di samping Rein sambil sesekali memijat kaki Asta yang dingin, ikut bangkit dari duduknya.
Bukannya tidak ingin menikmati kebersamaan kedua orang tuanya dengan berada di antara mereka, tetapi Manda ingin selalu bersama sang kakak. Sejak kemarin, hingga detik ini ia merasa begitu takut akan kehilangan Asta.
Ia tahu masalah yang ada, mengerti tentang semua hal yang terjadi setelah mendesak ayahnya untuk bercerita saat Asta tak kunjung pulang. Mengetahui fakta bila sebenarnya mereka tidak terikat darah sama sekali membuat Manda merasa kecewa. Perasaannya ikut hancur dan terluka, takut bila Asta justru memilih pergi dari ia dan ayahnya.
Meski sempat merasa marah dan kecewa, tetapi Manda jauh lebih khawatir bila Asta menolak kenyataan dan malah mengejar ayah kandungnya. Manda tentu tidak ingin hal tersebut terjadi. Ia telah sangat menyayangi Asta sebagai kakaknya, meski awalnya sempat sulit menerima.
Manda mengeratkan genggamannya pada jari-jari Asta. Keduanya melangkah perlahan memasuki kamar hingga terhenti tepat di depan ranjang.
"Dek, ...."
Manda menggeleng, enggan untuk melepaskan genggaman Asta. Entahlah, rasanya ia begitu takut untuk melepas, tak ingin Asta benar-benar pergi dari hidupnya. Walaupun Regan bilang Asta telah menerima kenyataan dan menerima sang ayah sebagai orang tuanya. Manda masih saja merasa resah.
"Kakak benar-benar menerima Ayah, kan? Kakak tidak ingin mengejar pria itu untuk bertanggungjawab, kan?" Manda akhirnya bertanya, ingin mendapat jawaban langsung dari kakaknya.
Asta terdiam untuk beberapa saat, tak menyangka bila sang adik tahu masalah ini. Sekarang, ia paham mengapa sikap adiknya tampak berbeda sejak semalam hingga beberapa saat lalu. Manda jauh lebih diam dari biasanya, terlihat tenang, tetapi tidak mampu mengendalikan raut wajahnya yang cemas.
"Kakak tidak akan pergi untuk tinggal sama dia, kan?" tanya Manda dengan suara yang kian bergetar.
"Tenang, jangan khawatir." Asta membawa Manda dalam peluknya, berusaha memberi ketenangan pada sang adik. "Kakak tidak akan pernah pergi ke mana-mana," ucapnya.
"Beneran?" Manda berusaha memastikan, benar-benar tidak ingin berpisah dari Asta.
Pemuda itu mengangguk, ia tidak akan pergi ke mana-mana. Penolakan sudah jelas-jelas diberikan Reyhan, membuat Asta sadar akan posisinya. Ia tidak ingin lagi berharap pada hal semu, yang tak akan pernah terwujud. Lagi pula, ia telah bahagia bersama keluarga kecilnya.
Tak ada percakapan apa pun lagi dari kedua saudara itu. Mereka masih betah di posisinya hingga beberapa menit berlalu. Manda menikmati setiap detik kebersamaannya dengan sang kakak. Hubungan persaudaraan mereka telah terjalin cukup erat, walaupun dalam waktu singkat.
Asta pun merasa demikian, merasa begitu mensyukuri keberadaan Manda sebagai saudara. Jujur ia tidak menyangka bila mereka akan sedekat ini, Asta bahkan sempat berpikir bila Manda tidak akan mudah menerimanya sebagai saudara.
Ia mengeratkan peluknya pada tubuh mungil sang adik, dan menggoyang-goyangkannya. Asya merasa gemas dengan sikap manja gadis itu saat ini.
Manda yang mendapat perlakuan tersebut semakin tersenyum. Hingga akhirnya ia menghentikan pergerakan itu, saat sadar bila kakaknya perlu beristirahat saat ini. Ia tentu tidak ingin kondisi Asta kembali menurun, cukup semalam mereka sekeluarga dibuat kalang kabut karena Asta demam tinggi, bahkan sampai mimisan hebat.
Manda memang tidak dapat melihat betapa lemah dan payahnya Asta saat itu, tetapi rintihan yang terdengar memilukan dan menyiksa, sudah cukup membuatnya paham dengan kondisi kakaknya semalam. Ayahnya bahkan sampai berinisiatif untuk membawa Asta ke rumah pada dini hari tadi, tetapi Asta dengan keras kepala menolak.
Beruntung kondisi Asta berangsur membaik setelah meminum obat. Satu jam setelahnya, Asta pun dapat terlelap dengan tenang, suhu tubuhnya perlahan turun dan mulai kembali normal. Kakaknya juga dapat terbangun dengan kondisi lebih baik di keesokkan harinya, membuat mereka dapat bernapas lega.
Akan tetapi, walaupun sudah lebih baik mereka tetap menyuruh Asta untuk berisitirahat. Regan melarang Asta untuk ke sekolah, Rein terus menemani putranya di kamar, pun dengan Manda yang tidak ingin jauh dari Asta.
Asta yang mendapatkan perhatian dan perlakuan seperti itu dari keluarganya benar-benar merasa bersyukur. Selama ini hanya Yuta yang begitu perhatian dan peduli terhadapnya bila sedang sakit. Namun kini, ia mendapatkan begitu banyak cinta dari keluarganya.
"Kakak istirahat yang benar. Besok kita harus jadi saksi Mama dan Ayah menikah, lho," ucap Manda yang telah membuat kakaknya berada di ranjangnya. Meski memiliki keterbatasan, tetapi bukan berarti ia tidak mampu melakukan apa-apa.
Asta mengangguk, lantas berbaring dengan nyaman. Ia tidak akan keras kepala dan berpura-pura baik-baik saja. Sudah cukup semalam ia merepotkan keluarganya hingga mereka harus begadang untuk memantau kondisinya. Asta pun tidak ingin bila dirinya sampai mengacaukan hari bahagia besok. Ia ingin menyaksikan bagaimana Regan mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan napas.
Usapan lembut di keningnya kembali terasa, tetapi kali ini bukan dari Rein. Manda yang dengan telaten melakukannya. Asta menarik senyumnya semakin lebar, menikmati setiap sentuhan dari sang adik hingga perlahan merasa semakin mengantuk.
Namun, di saat nyaris terpejam, kegaduhan di luar kamar membuat ia sontak bangun dari posisinya. Jantungnya berdegup cepat saat mendengar seseorang yang mencari dan memanggil namanya dengan keras. Ia tentu tidak lupa tentang siapa pemilik suara itu. Seseorang yang ia hindari selama ini.
"Kak, jangan keluar. Kakak istirahat saja."
Manda menggenggam erat pergelangan tangan Asta, tak ingin kakaknya turun dari ranjang. Ia mengenal suara itu, tahu jelas siapa yang datang. Manda tentu tidak mengizinkan Asta untuk menemuinya. Sebab, Manda tahu bila sosok itu juga menjadi bagian dari orang yang telah menyakiti Asta.
"Jangan temui dia, Kak!"
Asta dapat melihat kekhawatiran yang begitu jelas dari getar suara Manda. Namun, ia tidak dapat untuk menghindar lagi saat ini. Mau tidak mau Asta harus menemui Yuta yang datang dengan penuh emosi, begitu marah dengan sikap Asta yang mengabaikannya.
"Dek, Yuta tidak tahu apa pun tentang ayahnya. Dia datang ke sini bukan karena hal itu. Dia pasti hanya marah karena aku menghindar selama ini," ucap Asta sambil melepas genggaman Manda dengan lembut.
"Kalau begitu jangan menemuinya. Kakak ingin menghindar darinya, kan? Jadi, jangan temui dia."
"Yuta itu keras kepala. Kakak sudah tidak bisa lagi menghindarinya kalau seperti ini. Dia akan tetap datang walaupun kakak bahkan mengusirnya berkali-kali." Asta mengusap rambut Manda dengan lembut, lalu kembali berucap," jangan khawatir, Kakak akan selalu sama kamu."
Asta kemudian benar-benar bangkit meninggalkan ranjangnya setelah mengucapkan kalimat tersebut. Ia melangkah perlahan meninggalkan Manda yang termangu di tempatnya. Namun, belum sempat dirinya keluar dari kamar, langkahnya tiba-tiba tertentu.
Tepat di depannya Yuta berdiri, sorot mata pemuda tersebut begitu tajam, pun dengan wajah yang tak mampu menahan emosinya. Asta kembali merasakan bila jantungnya berdetak begitu kencang saat dirinya kembali di pertemukan dengan Yuta.
Perasaannya berkecamuk, cukup senang melihat Yuta kembali setelah sekian lama. Akan tetapi, di saat yang sama ia merasa takut, khawatir bila Yuta akan mengamuk karena tindakannya selama ini.
"Yut, aku—"
Belum sempat Asta menyelesaikan kalimatnya, tetapi tubuhnya terhuyung lebih dulu. Asta cukup terkejut akan tindakan tiba -tiba dari Yuta yang memeluknya begitu erat.
"Kamu baik-baik saja? Kamu nggak apa-apa, kan?" Yuta bertanya sambil memeriksa tubuh Asta usai melepaskan pelukannya, memastikan bila saudaranya itu baik-baik saja.
"Kenapa kamu mengabaikanku? Kenapa nomorku diblokir? Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar, dan menghindar seperti ini, hah!" cecar Yuta yang tidak mampu menahan emosinya.
Asta mengigit bibir bawahnya, pertanyaan yang terucap dengan suara bergetar Yuta membuatnya merasa jahat. Yuta yang tampak frustrasi saat ini menunjukkan betapa menyakitkannya sikap Asta selama ini.
"Maaf, Yut, aku—"
"Aku sama sekali nggak keberatan kalau kamu mau memang menikmati kebersamaan dengan keluargamu, tapi setidaknya jangan pernah menghindar dariku. Sudah kubilang untuk selalu kasih kabar, bukan? Tapi, kenapa nggak ada satu pun telepon ataupun pesanmu? Bahkan, kamu sampai memblokir nomorku, ataupun orang-orang di sekitarku. Kenapa, sih, As?" tanya Yuta penuh emosi, membuat Asta semakin merasa bersalah.
Melihat Yuta sampai semarah ini membuatnya sadar bila tidak seharusnya Asta melakukan hal itu terhadap Yuta. Pemuda itu telah melakukan begitu banyak hal untuknya. Namun, ia tidak membuat Yuta menjadi lebih baik, tetapi justru malah mengacaukan Yuta.
Asta dapat menebak bila saat ini Yuta pasti membolos dari jadwal kuliahnya. Berangkat dari Badung dengan penuh emosi. Apa pun akan Yuta lakukan demi menemuinya.
"Sebaiknya duduk dulu, Nak. Bicarakan semuanya dengan baik-baik. Asta punya alasan untuk tidak mengabarimu selama ini. Lagi pula, sekarang Asta sedang sakit, dia butuh istirahat."
Yuta menatap tajam pria di sampingnya, tetapi tidak dapat menolak saran Regan. Sejak menyentuh Asta, ia sadar bila saudaranya itu sedang sakit. Ia pun membawa Asta kembali memasuki kamar, dan membuatnya duduk di atas ranjang.
"Kamu kenapa bisa sampai seperti ini? Kenapa makin kurus, hm?" tanya Yuta yang menatap lekat wajah Asta. Miris rasanya melihat Asta yang lebih kurus dari terakhir mereka bertemu.
Jujur saja, ia benar-benar mempertanyakan apa yang terjadi pada Asta saat ini. Saudara tak sedarahnya itu menghindar darinya tidak main-main, mengabaikan pesan hingga memblokir nomornya. Ia pikir, Asta melakukan itu karena telah hidup dengan baik, mampu baik-baik saja meski tanpanya.
Namun, apa yang ia dapati sekarang berbeda dari ekspektasinya. Emosi Yuta yang sempat menggebu-gebu bahkan lenyap seketika melihat keadaan Asta saat ini. Yuta padahal telah berharap begitu banyak pada Regan untuk dapat membuat hidup Asta lebih baik, tetapi yang ia dapati berbeda.
"Yut, maaf."
Asta berucap pelan, tanpa berani menatap Yuta. Merasa bersalah dengan sikapnya yang telah menghindari Yuta, padahal pemuda itu tak melakukan kesalahan sama sekali.
Namun, ia benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Terus terikat dengan Yuta juga bukan hal baik. Ia tidak ingin melibatkan dan mengacaukan hidup Yuta semakin jauh, terlebih setelah mengetahui kenyataan yang ada.
_________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top