26 - Ayah dan Anak

Benda pipih persegi panjang di sampingnya kembali bergetar, memunculkan nomor asing pada layar. Tanpa minat untuk menjawab panggilan tersebut, Asta lagi-lagi hanya mendiamkan sampai ponsel itu mati.

Ia berdesah, menghela napas panjang untuk sekian kalinya. Ia masih belum sepenuhnya tenang, hati maupun pikirannya masih berantakan. Terlebih, setelah mendengar suara Yuta melalui sambungan telepon beberapa saat lalu.

Seandainya tahu bila telepon masuk dari nomor asing itu adalah Yuta, tentu Asta menolak panggilan pemuda itu. Sama seperti panggilan-panggilan Yuta sebelumnya, Asya akan mengabaikannya.  Sayangnya, ia terjebak dengan siasat Yuta yang menghubunginya menggunakan nomor lain.

Tidak ada pembicaraan berarti pada panggilan yang hanya berdurasi dua menit itu. Asta dengan cepat memutus sambungan, dan segera memblokir nomor tersebut, sama seperti nomor Yuta,  juga orang-orang di sekitar pemuda itu. Ia benar-benar menghindari untuk berbincang dengan Yuta, atau siapa pun yang dekat dengannya.

Ia yang sebelumnya hanya menjaga jarak agar Yuta fokus pada kuliahnya, sekarang benar-benar memilih untuk menghindar. Setelah rahasia yang disembunyikan Reyhan terungkap, Asta tidak ingin lagi menjalin hubungan apa pun lagi dengan Yuta. Ia memutuskan untuk mengakhiri segala hal tentang mereka.

Seperti yang ia katakan pada Reyhan, ia tidak akan mengusik pria itu beserta keluarganya. Asta tidak akan memberitahukan siapa pun tentang kebenaran ini, terutama pada Yuta.  Pemuda itu memilih menutupi semua fakta yang ada, melepas Reyhan tanpa menuntut pertanggungjawaban apa pun. Asta mengalah, membiarkan ayah biologisnya itu hidup bahagia. Lagi pula, ia tidak ingin membuat Yuta akan merasakan kekecewaan yang sama saat semuanya terungkap.

Yuta akan hancur, emosinya akan tidak terkendali hingga kemungkinan berdampak dengan kehidupan sehari-harinya. Asta tidak ingin mengacaukan hal apa pun. Dirinya yang meminta Yuta untuk mulai menata hidupnya, fokus pada kuliah tanpa harus memikirkannya. Tentu Asta tidak ingin membuat hal itu berantakan bila melibatkan Yuta dalam masalah ini.

Ponsel di genggaman kembali bergetar, mengembalikan kesadaran Asta yang termangu di kursi sebuah taman. Tempat yang sebelumnya ramai   itu, kini hanya menyisakan dirinya. Entah di mana posisi tepatnya ia sekarang, tadi dirinya hanya melangkah tanpa tentu arah hingga berakhir di tempat ini.

Asta menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan secara perlahan. Kali ini bukan lagi dari nomor yang tidak dikenal, tetapi panggilan dari Regan. Waktu yang tertera pada layar ponselnya sudah menunjukkan pukul 19. 15, pantas saja pria tersebut kembali menelponnya.

Tidak ingin membuat Regan semakin terbebani, Asta memilih untuk menjawab panggilan tersebut. Ia yakin bila pria baik hati itu pasti sudah sangat khawatir, karena dirinya belum juga kembali.

"Pulang, Nak."

Asta menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, miris mendengar kalimat pertama dari Regan begitu menerima panggilan. Getar suara yang terdengar jelas membuat Asta tahu seberapa gusar pria itu sekarang.

"Sudah cukup menenangkan dirinya sendirian, ya. Ayo pulang, Nak. Ada Mama, adik, sama Ayah yang tunggu kamu di rumah. Kamu tidak sendirian, hm"

Air mata Asta jatuh begitu saja. Kalimat Regan yang terucap begitu lembut, membuatnya jantungnya berdebar. Namun, kali ini bukan merasa tak nyaman seperti sebelumnya.Asta merasakan desiran yang berbeda, hangat dan nyaman.

"Nak, kenapa diam saja? Kamu tidak apa-apa, kan? Kamu baik-baik saja? Kamu dengar Ayah, kan? Asta! Jawab, Nak, kamu—"

"Ayah," sela Asta pada akhirnya. Tidak tega membuat Regan yang di sana semakin khawatir. Ia sudah cukup mereka pria tersebut. Akan sangat tidak tahu diri bila ia semakin berulah.

"Aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir.  Aku pasti pulang, tapi mungkin terlambat dari waktu yang Ayah kasih. Mama dan Adek sudah makan?" ucap Asta yang mencoba mengalihkan topik, tetapi Regan sama sekali tak menanggapi pertanyaan terakhirnya.

"Ini sudah sangat terlambat, Nak. Pulang, ya. Sudah malam, kamu sudah terlalu lama di luar. Ayah jemput, ya, bilang sama Ayah kamu ada di mana?"

Suara Regan terdengar begitu lembut, tulus, dan penuh perhatian. Asta tidak mengelak bila hal tersebut membuatnya merasa begitu nyaman. Ia dapat merasakan kasih sayang yang begitu hangat dari pria yang rela mengambil alih tanggung jawab terhadap dirinya.

"Asta, tolong. Jangan seperti ini, Nak. Kalau kamu mau marah, menangis, atau apa pun, kamu bisa meluapkan semua emosimu sama Ayah. Jangan menghindar seperti ini, Nak." Suara Regan kembali terdengar dari ponsel yang Asta tempelkan pada telinganya. Kali ini terdengar lebih frustrasi dari sebelumnya.

"Sebentar lagi aku akan pulang, Yah," ucap Asta yang dengan cepat ditanggapi Regan.

"Tidak! Biar Ayah yang jemput. Kamu ada di mana sekarang? Bilang sama Ayah, hm." Kepanikan, dan kecemasan tampak jelas dari getar suara pria 45 tahun tersebut.

Asta tersenyum tipis, tampaknya calon suami mamanya itu tak sabar untuk membawanya pulang. Seakan-akan takut bila ia akan berbohong untuk kembali, hingga ingin menjemputnya sendiri.

"Di taman, aku nggak tau tepatnya di mana.  Aku cuman berjalan gitu aja sampai akhirnya ada di sini. Ayah nggak perlu jemput, aku—"

"Tetap di sana! Jangan ke mana-mana. Ayah akan segera ke sana!"

Asta yang baru saja akan menolak, sontak bungkam saat melihat sambungan telepon telah berakhir. Perlahan-lahan cahaya benda pipih di tangannya pun padam, membawa Asta kembali tenggelam dalam pikirannya. Namun, berbeda dengan sebelumnya kali ini Asta merasa lebih tenang.

Kalimat Regan membuat perasaannya lebih baik dari sebelumnya. Pria yang rela bertanggungjawab terhadapnya itu berhasil memberikan rasa nyaman, di saat dirinya merasa benar-benar terpuruk. 

Helaan napas panjang kembali berembus dari belah bibir pucatnya. Ia kini beralih menatap langit malam, mencari bintang-bintang yang akan muncul di sana. Sayangnya, kali ini ia tidak menemukan satu pun. Namun, bukannya mengalihkan pandangan, Asta tetap mendongak, hingga perlahan memejam.

Bising dari kendaraan di sekitar yang berlalu-lalang tak mengusiknya sama sekali. Asta terpejam menikmati hembusan angin menerpa wajah dan tubuhnya, mengabaikan dingin yang terasa menusuk.

Ia berusaha untuk berdamai dengan semua yang terjadi hari ini, tak ingin lagi terbelenggu dalam lara. Kendati begitu berat, tetapi Asta memiliki pilihan selain menerima semua kenyataan yang ada.

Pada akhirnya, ia benar-benar gagal untuk mendapat tanggung jawab dari sosok yang telah menghancurkan hidup mamanya. Namun, dari kenyataan pahit itu pula, Asta dapat menemukan pria yang tulus menyayanginya dan mencintai Mama sepenuh hati. Pria yang benar-benar memiliki tanggung jawab.

"Asta!"

Seruan keras tersebut membuat Asta tersentak hingga mengalihkan pandangannya. Tak jauh dari tempatnya ia dapat melihat Regan yang tersenyum lebar, meski tampak begitu lelah. Suara tarikan napas ayahnya bahkan sampai terdengar begitu jelas.

Asta berdiri dari duduknya, berjalan perlahan menghampiri dengan perasaan berkecamuk. Tak menyangka bila Regan benar-benar akan menyusulnya, bahkan datang begitu cepat.

Namun, baru beberapa langkah ia berjalan. Kakinya terasa begitu lemah, hingga membuat keseimbangannya goyah. Ia limbung, tubuhnya nyaris terjatuh menghantam tanah bila tak ada tangan yang menahan.

Jantung Asta berdegup kencang saat mendapati wajah Regan tepat di depannya. Tatapan pria tersebut menyorotnya begitu dalam, sarat akan kekhawatiran yang tampak jelas.

Asta ingin mengatakan bahwa dia baik-baik saja, tetapi lidahnya terasa kaku. Ia pun semakin terlebih kehilangan kata Regan saat Regan memeluk tubuhnya, kemudian memberikan usapan lembut.

Tak ada kalimat yang mampu Asta sampaikan. Ia bungkam dalam pelukan Regan yang terasa begitu hangat dan nyaman. Asta kembali memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan Regan pada tubuhnya.

Perlahan tangannya terangkat membalas pelukan Regan. Ia mungkin tidak akan pernah mendapatkan perhatian dari ayah kandungnya, tetapi dirinya akan mendapatkan limpahkan kasih sayang dari Regan.

"Ayah," ucap Asta pelan dengan suara seraknya, semakin mengeratkan peluk pada tubuh kekar Regan. "Terima kasih karena telah bersedia menerimaku sebagai anak."

Tak ada balasan dari Regan, tetapi pria tersebut memberikan berkali-kali kecupan pada puncak kepala Asta. Memeluk anak tersebut lebih erat, seakan-akan tidak pernah ingin melepaskannya.

Ia sungguh menyayangi Asta, benar-benar ingin menjaga dan melindungi anak itu selamanya. Tak peduli dengan bagaimana cara anak itu akhirnya hadir di dunia ini, Regan berjanji akan menyayangi Asta sepenuh hati. Bila perlu, ia akan membawa putranya pergi sejauh mungkin agar Reyhan tidak akan pernah lagi mampu mengambilnya.

Cukup lama keduanya berada di posisi yang sama, hingga kadang menarik perhatian beberapa orang yang melintasi taman tersebut. Namun, mereka masih enggan untuk beranjak. Ingin menikmati lebih lama momen mengharukan tersebut.

Ayah dan anak yang sama sekali tak memiliki hubungan darah itu masih saling memeluk satu sama lain, hingga bermenit-menit berlalu. Regan  pada akhirnya melepaskan diri terlebih dahulu, meski menikmati, tetapi ia tidak bodoh untuk mengabaikan kondisi sekarang.

Ia mengeluarkan sebuah jaket dari kantongan yang dibawanya, kemudian memakaikannya pada tubuh kurus sang anak. Kulit Asta tidak lagi terasa dingin, melainkan hawa panas begitu terasa. Angin malam yang menerpa telah membuat kesehatan Asta semakin memburuk, hingga terserang demam yang cukup tinggi.

"Kita ke rumah sakit lagi, ya, Nak." Regan mengusap peluh yang membasahi wajah pucat Asta. Anak itu benar-benar kehilangan ronanya, membuat Regan sangat khawatir.

Asta menggeleng, tak ingin kembali ke tempat itu dan mungkin akan terjebak di sana dalam waktu yang lama. Ia menyadari betul keadaan tubuhnya saat ini, semua akan menjadi lebih rumit bila dirinya mendapatkan perawatan di sana.

Ia tidak inginkan semuanya semakin berantakan, bila harus terjebak di sana. Pernikahan Regan dengan mamanya akan berlangsung dua hari lagi, ia juga baru merasakan hangatnya kasih sayang seorang ayah dari Regan. Asta tidak ingin merusak itu semua dengan mengeluh dan terbaring di rumah sakit.

"Katanya mau bawa aku pulang, kok, malah nawarin ke rumah sakit?" ucap Asta dengan nada sedikit kesal, tak ingin Regan malah mengingkari ucapannya.

Regan berdesah, tak ingin membuat keadaan kembali rumit. Ia lagi-lagi pada akhirnya mengalah dan menuruti kemauan Asta.

"Mau Ayah gendong?" tanya Regan setelah membantu anaknya berdiri.

Tak tega rasanya melihat betapa lemas dan pucat anak itu saat ini. Seandainya, ia tidak mempertimbangkan masalah mental anak itu, Regan pasti telah memaksa Asta kembali ke dalam rumah sakit. Sayangnya, Regan harus menahan diri.

"Memang boleh?" tanya Asta yang berhasil membuat Regan tersenyum.

"Boleh, dong," balas Regan yang mengusap rambut lepek Asta kemudian berjongkok di depannya.

Asta menatap tidak percaya apa yang Regan lakukan di depannya. Ia pun melangkah perlahan, berhati menempelkan tubuhnya pada punggung Regan kokoh Regan yang terasa benar-benar nyaman. Saking nyamannya, Asta bahkan sampai tak merasakan apa-apa di sepanjang perjalanan, hingga tiba di rumah.

_______________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top