25 - Kecewa

Ia mengerjap berulang kali, silau dari lampu pada langit-langit ruangan tersebut membuatnya merasa semakin pusing. Tak tahan akan hal itu, Asta memilih kembali memejam dengan menutup mata menggunakan lengannya.

Bising di sekitar terdengar jelas, menyadarkan di mana tempatnya berada saat ini. Ingatannya pun terputar ke beberapa saat lalu, di mana ia mendengar dan melihat perdebatan kedua pria yang selama ini dianggap baik, kenyataannya berbeda.

Asta mengepalkan tangan yang menutupi mata. Dadanya naik turun, bersama dengan pundak yang bergetar. Ia tak mampu menahan air matanya untuk jatuh. Fakta yang baru didengarnya berhasil menorehkan luka begitu dalam, membuat Asta merasa sakit luar biasa.

Detik hingga beberapa menit berlalu Asta habiskan dengan posisi yang sama. Menyalurkan kesaktian melalui tangis yang mati-matian ia tahan. Hingga pada akhirnya ia merasa lebih tenang.

Ia menurunkan lengannya, membuka mata secara perlahan, dan pelan-pelan bangun dari tidurnya. Asta berdesah, merasa sedikit lega saat tidak ada siapa pun di sampingnya dalam bilik penanganan di ruang gawat darurat ini. Sebab, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat ini pada orang lain.

Menatap tangannya yang tertusuk jarum membuat pikiran Asta semakin berkecamuk. Bila dugaannya benar, kondisinya saat ini pasti sudah cukup parah. Ia bahkan tidak tahu seberapa banyak waktu yang dimiliknya sekarang. Sialnya, Asta tidak dapat bernapas lega. Beban yang dipikirnya telah hilang, ternyata masih begitu berat.

Takdir mempermainkannya dengan kejam. Menghancurkan Asta hingga begitu berantakan. Ia pikir telah mencapai akhir dari pencariannya, sudah menemukan sosok ayah yang bertanggungjawab atas hidupnya dan Mama. Namun, pada kenyataannya ia tidak mendapatkan apa pun.

Orang yang selama ini ia anggap bak pahlawan, ternyata adalah penyebab kehancuran hidupnya. Asta sungguh tak menyangka, tidak pernah menduga bila dirinya dipermainkan seperti ini. Pria itu dengan pandainya bermain peran, berpura-pura peduli dan ramah terhadapnya.

Asta menggigit bibir bawahnya begitu keras,  apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana dengan mamanya yang ternyata salah mengenali seseorang yang semestinya bertanggungjawab?

Ia menghela napas, merasa sesak dengan semuanya. Asta tidak tahu harus apa setelah ini. Bila pada kenyataannya Regan tak pernah pantas untuk dimintai pertanggungjawaban terhadap ibunya, lalu haruskah ia memohon pada Rayhan?

Namun, semua itu tentu tidaklah mudah. Melihat bagaimana sikap Rayhan tadi, sudah jelas bila pria itu tidak pernah menerimanya. Asta bahkan berani bertaruh, bila Reyhan pasti merasa tidak nyaman dan terancam atas dirinya. Hingga pada akhirnya menemukan kesempatan untuk menyingkirkan dirinya, dan membuat Regan menjadi kambing hitam.

Kenyataan bila Regan bukanlah ayah kandungnya terasa lebih menyakitkan, dibandingkan mengetahui kebenaran tentang sosok yang bertanggungjawab atas hidupnya. Mimpi untuk hidup bersama, dan memiliki keluarga bahagia, kini terasa hanya sekadar angan-angan.

Pada kenyataannya, Regan bukanlah siapa-siapa. Hanya sebatas mantan Mama beberapa tahun silam. Ia tidak memiliki hak untuk meminta sebuah pertanggungjawaban dan hidup bersama pria itu. Mereka hanya sebatas orang asing, yang tak seharusnya Asta repotkan.

Asta kembali menghela napas, memikirkan semuanya membuat dirinya merasa sesak. Ia mengusap dadanya, berusaha untuk tetap tenang dalam masalah hal ini.

"Asta!"

Asta terkesiap akan kehadiran Regan yang tiba-tiba datang menyibak tirai biliknya. Untuk beberapa detik mereka sempat beradu pandang, sebelum Asta dengan cepat menghindar dan lebih memilih menunduk. Terlalu malu dengan Regan yang tidak seharusnya bertanggungjawab atas hal yang bukan menjadi kesalahannya.

"Nak, apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" tanya Regan yang kemudian meraih tangan putranya, tetapi belum sempat menyentuh, Asta menepisnya lebih dulu.

"Asta—"

"Maaf, saya mau pulang saja ..., Om." Asta berucap pelan, tanpa menatap Regan sama sekali.

Regan terdiam untuk sesaat, kalimat yang diucapkan Asta terasa begitu menyakitkan. Sudah cukup ia merasa terluka saat Asta menolak sentuhannya, sekarang anak itu memanggilnya berbeda dari pagi tadi.

"Nak, kamu—"

"Saya mau pulang, Om. Saya nggak apa-apa. Tolong bilang sama dokter untuk lepasin ini. Saya mau pulang saja, Om." Asta kembali menyela, sambil menatap tangannya yang tertusuk jarum infus.

"Tidak! Kamu tidak boleh pulang. Kata dokter, kamu harus dirawat dan menjalani pemeriksaan lebih dulu," ucap Regan dengan tegas, berusaha mengabaikan sakitnya dampak dari Asta yang memanggilnya Om, bahkan enggan menatapnya.

"Nggak perlu dirawat, apalagi diperiksa. Aku baik-baik saja. Aku mau pulang!" ucap Asta yang kali ini menatap Regan lebih tajam dari biasanya.

"Tidak. Ayah nggak izinin kamu untuk pulang sekarang. Kamu baru saja pingsan, kamu pasti tahu seperti apa kondisimu saat ini, Nak. Kamu—"

"Berhenti bersikap kalau Om adalah orang yang bertanggungjawab terhadap hidup saya. Karena pada kenyataannya Om bukan siapa-siapa." Asta kembali menyela untuk sekian kalinya. Kendati tak dapat mengendalikan getar suaranya, tetapi ia mati-matian menjaga air matanya untuk tidak tumpah di hadapan Regan.

Tidak ada kalimat yang Regan ucapkan sebagai balasan, bahkan saat seorang perawat datang dan Asta dengan kukuh meminta infusannya dilepas ia hanya diam. Tenggelam dalam pikirannya yang berkecamuk, hingga teriakan seseorang di depannya kembali membawa kesadaran Regan kembali.

Ia dibuat panik dan terkejut melihat punggung tangan Asta yang siap menarik jarum infus di punggung tangannya. Beruntung, aksi nekat anak itu dihentikan oleh perawat yang tadi berteriak keras.

Regan menghela napas, berusaha untuk tenang dengan situasi ini. Ia pun menggenggam tangan Asta, ikut menahan anak itu untuk tidak mencabut paksa jarum yang menusuk tangannya.

"Tolong dilepas saja, Sus," ucapnya pada perawat yang masih terlihat begitu panik dan terkejut.

Penolakan sempat diutarakan perawat tersebut, tetapi Regan tetap berkeras meminta agar jarum infus tersebut lepas sepenuhnya dari Asta. Tidak ingin putranya merasa semakin tertekan.

Butuh waktu beberapa menit sampai Asta akhirnya benar-benar bebas dari jarum pada punggung tangannya. Pemuda yang masih mengenakan seragam itu pun memilih untuk segera beranjak, mengabaikan Regan, juga beberapa orang yang menatapnya.

Ia berusaha membawa langkahnya secepat mungkin untuk keluar dari bangunan itu. Mengabaikan rasa tak nyaman pada seluruh tubuhnya,  ia bahkan tidak peduli dengan dirinya yang berjalan tanpa menggunakan alas kaki. Entah di mana sepatunya, Asta tidak peduli. Saat ini, ia hanya ingin pergi secepat mungkin.

"Asta!"

Pemuda yang baru saja meninggalkan bangunan rumah sakit itu terhuyung, nyari terjatuh bila ia benar tidak mampu menyeimbangkan tubuhnya. Ia menatap pria yang menarik lengannya hingga membuat langkahnya terhenti.

"Kamu lupa pakai sepatu, Nak. Nanti kakimu bisa luka."

Asta yang baru saja akan bersuara kini menggigit bibir kuat-kuat, menahan air matanya untuk tidak tumpah. Ia memilih memalingkan wajahnya, enggan melihat Regan yang berjongkok untuk memakaikan sepatunya.

Ia sempat menolak, berusaha menjauhkan kakinya dari sentuhan Regan. Namun, pada akhirnya Regan tetap berhasil memasangkan sepasang sepatu tersebut. Melihat betapa keras usaha Regan, membuat perasaan Asta semakin tak karuan.

"Kita pulang sama-sama, hm." Regan berucap lembut setelah kembali berdiri tegak.

"Kita bukan siapa-siapa, Om," ucap Asta yang tak mampu lagi menahan air matanya.

"Kamu anak Ayah, Nak. Putra dari wanita yang Ayah cintai, apa itu masih belum cukup?" balas Regan yang tanpa sedikit pun mengalihkan tatapannya dari Asta. 

Mereka memang tidak terikat darah sama sekali. Namun, Regan telah menyayangi Asta begitu dalam. Meski sempat marah karena Reyhan menipunya dengan cerita palsu, tetapi Regan tetap memilih mengambil alih tanggung jawab tersebut, berperan sebagai ayah Asta.

Hingga kini, Regan sama sekali tidak menyesali keputusannya. Semakin hari, ia justru semakin menyayangi Asta sebagai putranya. Tak lagi peduli dengan kenyataan yang ada, terlebih ada Rein di sampingnya.

Regan benar-benar mencintai Rein. Meski sempat terpisah selama belasan tahun lamanya, bahkan ia sempat jatuh hati pada wanita lain, tetapi perasannya pada Rein masih tetap sama. Oleh karena itu, sangat tidak sulit menyayangi Asta. Sebab, ia juga sangat menyayangi mama dari anak itu.

"Asta," panggil Regan pelan saat Asta tak berkata apa pun. Jujur saja, ia khawatir melihat betapa kacaunya anak itu.

Ia kemudian meraih tangan Asta, hingga dapat merasa betapa dingin kulit putranya. "Lupakan apa pun yang kamu lihat dan dengar tadi. Cukup percaya kalau Ayah, memanglah ayahmu. Bukan orang lain," ucapnya.

Asta semakin tertunduk dengan tubuh yang bergetar hebat. Ia tidak kuasa menahan air matanya. Asta merasa bersalah terhadap Regan yang harus bertanggungjawab dengan dirinya, padahal itu bukanlah kesalahannya.

"Seharusnya, seharusnya ... seharusnya dia yang bertanggungjawab. Bukan Om," ucap Asta dengan suara bergetarnya.

Regan menggeleng, menarik tubuh ringkih itu dalam dekapannya. Ia mengusap lembut punggung bergetar itu agar lebih tenang, tanpa peduli tatapan orang lain yang berlalu lalang.

Tidak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan setelahnya. Regan membiarkan Asta menangis dalam peluknya, tanpa peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan anak itu agar dapat lebih tenang. Ia paham bagaimana hancurnya perasaan Asta saat ini, merasa begitu dipermainkan oleh takdir.

"A---yah, ...."

Regan tersenyum mendengar panggilan itu kembali diucapkan Asta. Ia bersyukur dalam hati karena anak itu perlahan mulai menerima. "Iya, Nak," ucapnya.

Asta melepas diri dari pelukan Regan. Bukan karena merasa tidak nyaman, melainkan ingin mengatakan sesuatu. Ia mengusap wajah, menghapus jejak air matanya dengan kasar sebelum berbicara, "Aku mau bicara sama Pak Reyhan."

Regan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya atas kalimat itu. Namun, detik berikutnya ia tersenyum dan mengangguk. Regan tidak memiliki hak untuk melarang pertemuan mereka. Lagi pula, ia tahu banyak hal yang ingin ia sampaikan pada pria itu.

"Baiklah, tapi setelah kamu tenang. Besok mungkin," ucap Regan yang ingin Asta berisitirahat dulu hari ini.

Asta menggeleng, tak ingin membuang waktu. "Dia ada di sini," kata Asta yang tak mengalihkan pandangannya.

Regan mengerutkan kening, sambil berbalik mengikuti arah pandang Asta hingga menemukan Reyhan yang tidak jauh darinya. Entah sejak kapan pria itu berdiri di sana dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia pikir, Reyhan telah kembali ke Bandung, melarikan diri dan kembali lepas tanggung jawab.

Asta membawa langkahnya menghampiri Reyhan bersama Regan. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, saat dirinya berhadapan dengan pria yang telah membuatnya ada di dunia ini.

"Ada banyak hal yang harus dibicarakan, kan, Pak?" tanya Asta tanpa melepaskan pandangan dari Reyhan yang kini tampak berbeda.

"Tidak! Jangan salah paham, Asta. Saya ada di sini bukan untuk menjelaskan apa-apa. Saya cuma mau memperingatkanmu untuk tidak memberitahu siapa pun tentang ini, apalagi keluarga saya. Utamanya Yuta, dia harus mengurus hidupnya sendiri. Saya muak melihat dia yang terlalu peduli denganmu."

"Reyhan!" bentak Regan. Emosinya tak tertahan melihat Reyhan yang masih bersikap seperti itu.

Sementara itu, Asta hanya dapat mengigit bibir dalamnya. Merasa bodoh karena sempat berpikir kehadiran Reyhan di sini untuk menjelaskan semuanya dengan baik-baik. Setidaknya, mengakui kesalahannya.

"Sudah cukup selama enam tahun saya menghidupi kamu, jadi jangan pernah usik saya, Yuta, ataupun yang lainnya. Saya sudah membantumu menemukan orang yang dapat bertanggungjawab, jadi berhenti meminta tanggung jawabku."

Regan menggeram, sorot matanya penuh kebencian terhadap Reyhan yang benar keterlaluan. Ingin rasanya ia menghajar Reyhan sejak tadi, tetapi Asta menggenggam tangganya dengan begitu erat.

"Tenang saja, Pak. Saya tidak akan meminta apa pun lagi. Saya juga tidak akan memberitahukan ini pada siapa pun, terutama Yuta. Dia nggak akan tahu apa pun tentang ini, bahkan hingga saya mati. Rahasia ini akan tetap aman," ucap Asta yang kemudian melengkungkan bibir pucatnya.

Tak ada balasan apa pun dari Reyhan. Pria itu hanya berdecak, kemudian bergegas menuju mobilnya dan pergi begitu saja. Meninggalkan Asta yang menatap kepergian dengan tatapan pilu, merasa benar-benar kecewa dengan pria itu.

"Ayo pulang, Nak."

Regan mengeratkan genggamannya pada sang putra yang tampak begitu terguncang. Sungguh, melihat betapa kacaunya anak itu membuat Regan khawatir. Ia ingin segera membawa anak itu pulang agar dapat mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.

Namun, bukannya menurut, Asta justru menggeleng. Pemuda itu melepaskan genggamannya dari Regan secara perlahan. Hingga membuat Regan mengerutkan kening begitu dalam dan tampak gusar .

"Beri aku waktu untuk sendiri, Yah. Ayah pulang duluan saja, Mama sama Adek nggak ada yang jaga," ujar Asta yang berusaha mengulas senyumnya.

Regan sejujurnya ingin menolak, tetapi Asta terus memaksa, terlebih mengingatkannya pada dua wanita yang sudah mereka tinggalkan cukup lama. Regan pun dengan terpaksa membiarkan Asta pergi.

"Jangan berpikir macam-macam. Jam tujuh, kamu harus sudah sampai rumah, kalau tidak Ayah bakal cari. Telpon dari Ayah harus dijawab, awas kalau tidak!"

"Iya, Yah. Jangan khawatir. Aku pasti pulang," balas Asta dengan tatapan sendunya.

Regan mengusap rambut putranya yang basah karena keringat. Ia sebenarnya enggan untuk kembali lebih dulu, tetapi tidak dapat memaksa Asta saat ini. Meski dengan berat hati, ia pun meninggalkan Asta untuk pulang lebih dulu.

__________

Rajin banget aku hari ini, wkwkwkw.
___________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top