23 - Ingin Bersama

Gelak tawa menggema dalam bangunan sederhana itu. Keluarga yang sempat tercerai berai kini menikmati kebersamaan penuh suka cita. Kebahagiaan tampak jelas di wajah mereka yang tersenyum hingga tertawa lepas.

Candaan receh yang disampaikan sang kepala keluarga semakin mencairkan suasana, kian mempererat hubungan mereka yang sempat canggung satu sama lain. Kini, perlahan-lahan jarak itu semakin terkikis, tak ada lagi batas di antara mereka.

"Terus gimana, Yah?" Manda bertanya dengan antusias, menunggu kelanjutan cerita Regan yang terdengar lucu.

"Ya, mau nggak mau orangnya bayar. Walaupun sudah di rumahnya. Tetap aja harus diproses, selain tidak pakai helm, dia juga keluar tidak bawa surat-suratnya, mana melanggar pula," jelas Regan, masih merasa tergelitik dengan kejadian yang dilihatnya sore tadi.

Ia dibuat tak dapat menahan tawanya mengingat perdebatan seorang pengendara motor yang diciduk polisi di depan rumahnya sendiri. Tingkah dua pria tersebut sempat menarik perhatian orang-orang di sekitarnya, terdengar lucu karena keduanya sama-sama kukuh dengan pendapat masing-masing.

"Polisinya untung banyak, tuh," timpal Asta yang turut tersenyum. "Tapi, kasihan juga si pengendara itu."

"Ya, salahnya. Siapa suruh keluar nggak bawa SIM sama STNK, bahkan KTP.  Dia juga tidak pakai helm sama melawan arah juga. Mau bagaimana pun juga, aturan tidak boleh dilanggar. Lagi pula itu penting untuk keselamatan diri sendiri," imbuh Rein yang sembari menambahkan sesendok sayur pada piring Regan.

Asta yang melihat hal itu semakin tersenyum lebar. Perkembangan mamanya selama tiga pekan sungguh menunjukkan kemajuan. Mamanya mulai dapat berinteraksi dengan baik, mengulas senyum lebar, bahkan memperlihatkan perhatiannya. Asta sungguh mensyukuri hal tersebut, berterimakasih pada Tuhan yang membuatnya dapat melihat hal ini.

"Makan yang banyak, ya."

"Iya, Ma." Asta mengangguk penuh semangat. Ia tersenyum lebar dengan mata berbinar saat sentuhan lembut mengusap puncak kepalanya.  Entah kapan terakhir kali Mama melakukan hal ini, Asta sama sekali tidak dapat mengingatnya.

Asta sungguh bahagia dibuatnya. Kalimat syukur dan terima kasih pun tak henti-hentinya ia gaungkan dalam hati kepada sang pencipta yang mengizinkan merasa hal ini.

Berada di tengah keluarga yang utuh dan penuh kasih sayang. Dapat menikmati kebersamaan dan kehangatan keluarga, adalah impiannya sejak lama. Mimpi yang sempat Asta pikir tidak akan pernah terwujud sampai kapan pun. Namun, ternyata Tuhan sebaik itu untuk membuatnya dapat menikmati semuanya malam ini.

Senyumnya tak pernah luntur sampai acara makan malam selesai, meski Regan tak lagi melemparkan leluconnya. Melihat orang tuanya yang rukun dan tampak begitu menyayangi satu sama lain adalah anugerah terindah, terlebih Manda dan mamanya benar benar-benar sudah menerima satu sama lain.

Rein mulai menaruh perhatian pada Manda, bersikap ramah, akrab, dan peduli. Wanita itu bahkan dengan telaten menyuapi si bungsu. Manda tidak menolak sama sekali akan hal itu, ia malah tampak nyaman dengan segala afeksi yang diberikan calon ibu sambungnya. Keduanya bahkan kadang saling bergurau satu sama lain.

"Anak-anak, ada yang ingin Ayah sampaikan." Regan berucap pada seluruh keluarganya setelah mereka menghabiskan makanannya.

Mendengar nada suara Regan yang lebih tegas, serta wajah seriusnya membuat Asta menjadi tegang. Ia mendadak cemas, takut mendengar hal buruk yang akan mengacaukan bahagia yang baru dirasakannya. Akan tetapi, pemikiran itu perlahan hilang saat melihat bagaimana orang tuanya menggenggam tangan satu sama lain dengan erat.

"Karena kondisi Mama kalian semakin membaik, jadi hari Jumat nanti, Ayah dan Mama akan menikah."

Pernyataan tersebut membuat Asta tak kuasa menahan air mata dengan kedua sudut bibirnya yang terangkat. Kalimat itu akhirnya dapat benar-benar ia dengar. Harapan yang selama ini selalu terucap dalam hati akhirnya arak dan menjadi nyata.

"Kalian tidak keberatan, kan?" tanya Regan yang dengan cepat dijawab gelengan oleh Asta.

"Sama sekali tidak, justru semakin cepat lebih baik, Yah. Besok mungkin," ucap Manda yang membuat mereka terkejut dan terkekeh kemudian.

"Masih ada beberapa hal yang perlu diurus, Sayang," balas Regan pada putrinya.

Manda hanya diam menganggapi hal tersebut, cukup paham dengan semuanya. Lagi pula, cepat atau lambat semuanya pasti terjadi. Mereka akan menjadi keluarga.

"Makasih, Sayang. Walaupun Mama belum sepenuhnya sembuh, tapi Mama akan berusaha untuk jadi orang tua yang baik untuk kalian." Rein  beralih menggenggam tangan Manda, sambil menatap Asta.

"Iya, Ma. Pelan-pelan saja," balas Asta yang tak hanya dianggukki oleh mamanya, tetapi semua anggota keluarga lainnya. Manda pun tersenyum, meski tak mampu menatap calon ibu sambungnya.

Tak ada percakapan lagi setelahnya, Regan memutuskan untuk membereskan tempat lebih dulu. Regan tentu tidak ingin ruang tamu yang disulap menjadi ruang makan semakin kotor hingga mengundang semuat ataupun serangga lainnya. Tak ingin Asta yang akan tidur di sana akan terganggu.

"Biar Mama, Nak," ucap Rein saat akan menyusun piring kotor.

"Nggak usah, Ma, biar aku saja. Mama sama adek istirahat di kamar saja." Asta menahan gerak mamanya, mengambil alih tumpukkan piring tersebut.

Rein tak menolak, terlebih saat mendapat anggukan dari Regan yang memegang sapu dan pengki. Ia pun beranjak bersama Manda memasuki kamar putri bungsunya, membiarkan kedua laki-laki itu beberes.

"Ayah saja yang cuci piring. Kamu istirahat saja." Regan menggenggam lengan putranya yang akan membawa piring kotor ke dapur.

Ia cukup khawatir melihat wajah anaknya yang semakin pucat, bahkan setelah makan pun rona wajahnya tak berubah. Terlebih, saat pulang dari rumah sakit, ia mendapati anak itu nyaris tak sadarkan diri setelah keluar dari kamar mandi.

Tadi, begitu tiba di rumahnya ia mendapati Manda dengan wajah panik, berteriak frustasi memanggil kakaknya. Regan yang khawatir pun segera menghampiri setelah mengantar Rein istirahat di kamarnya.

Entah apa yang terjadi saat itu, sampai Manda dibuat menangis di depan kamar mandi. Hingga tak lama kemudian Asta keluar dari sana dengan mengenakan handuk dan rambutnya yang basah.

Sialnya, baru saja anak itu menyapa, tubuh kurusnya tiba-tiba limbung. Asta nyaris terjatuh menghantam lantai bila Regan tak tanggap menahannya. Untuk beberapa saat ia bahkan tak merespons panggilan Regan, membuat pria itu panik setengah mati. Ia bahkan nyaris membawa Asta ke rumah sakit.

Namun, hal itu urung ia lakukan karena di detik berikutnya sang putra bangkit dan berkata baik-baik saja. Asta beralasan bila dirinya baru saja mandi dan mungkin karena terlalu lama, jadi masuk angin hingga membuatnya agak pusing.

Regan saat itu nyaris percaya, tetapi pertanyaan Manda selanjutnya membuat ia kembali curiga. Pasalnya, putrinya mengatakan bila kakaknya beralasan ingin mengambilkan makanan. Namun, hingga bermenit-menit berlalu, Asta tidak juga kembali.

"Kakak ketumpahan sayur tadi, jadi milih mandi dulu. Maaf, Dek, kamu pasti nungguin, ya. Kakak siapin, ya," ucap Asta kala itu dengan begitu cepat.

Regan yang melihat tentu tahu kebohongannya. Ia dapat melihat jelas bila dapur baik-baik saja, tak ada bekas tumpahan sayur sama sekali. Lagi pula, separah apa tumpahan sayur tersebut mengenai Asta sampai harus keramas?

Sayangnya, Regan tidak dapat mengutarakan pertanyaan atas rasa ingin tahunya karena Asta langsung pergi, bahkan sebelum Manda mengiyakan tawarannya.  Ia juga tidak ingin membuat Manda cemas bila dirinya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi saat itu.

"Nggak apa-apa, kok, Yah. Aku baik-baik saja," ucap Asta melepas dengan pelan tangan ayahnya.

Regan tersentak, kembali tersadar dengan keadaan sekarang setelah mengingat kejadian tadi. Ia ingin kembali menahan, tetapi Asta telah ke dapur lebih dulu, membawa piring-piring kotor itu.

Pria tersebut menghela napas, mencoba percaya bila memang putranya baik-baik saja. Sayangnya, kepercayaan yang baru saja ia bangun harus patah secepat kilat. Suara gaduh dari arah dapur membuatnya seketika panik, hingga berlari ke dalam sana.

"Asta!"

Si pemilik nama itu hanya terdiam di tempatnya, terduduk lemas pada lantai depan kamar mandi. Ia menatap gamang piring-piring yang pecah di depannya. Napasnya tersengal, dengan tangan kirinya yang menggenggam erat jari-jari di tangan kanannya.

Ia tidak tahu apa yang terjadi, benda-benda itu masih  dipegang dengan baik beberapa saat lalu, sampai semuanya terjatuh begitu saja. Asta menatap tangan kanannya, mencubit, hingga meremas jari-jarinya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Ia tidak merasakan apa-apa pun.

"Asta! Hei, kamu kenapa? Nak, jawab Ayah!"

Regan berseru, sedikit berteriak di telinga sang anak. Pasalnya, ia telah berulang kali memanggil anak itu, tetapi Asta tak memberi tanggapan sama sekali. Asta masih tertunduk menatap tangannya.

"Kenapa? Tangannya kenapa? Sakit? Apa yang kamu rasakan, Nak? Bilang ke Ayah apa yang kamu rasakan?" tanya Regan panik, sambil menggenggam tangan Asta, menghentikan anaknya yang mulai menyakiti diri sendiri.

Asta tak seketika menjawab, tatapannya masih tertuju ke bawah. Melihat tangan Regan yang menggenggam kedua tangannya, membuat perasaannya semakin kacau. Terlebih saat mendengar sang ayah bertanya dengan nada khawatir.

Asta menggigit bibir bawahnya, rasanya ingin mengadu tentang segalanya. Namun, mengingat rencana indah yang terucap beberapa saat lalu membuat Asta urung mengatakan apa pun. Ia tentu tidak ingin mengacaukan segalanya, takut bila hal itu akan membebani sang ayah dan menghancurkan segalanya.

"Nak, bilang sama Ayah kamu kenapa? Tangannya sakit atau apa? Apa yang kamu rasakan, hm?"

Asta menggeleng dengan cepat menjawab pertanyaan yang sama dari ayahnya. "Nggak apa-apa, Yah. Maaf, tadi kaki aku nggak sengaja keserimpet," ucapnya yang kemudian tertawa pelan.

"Bohong!" Regan berucap cepat, menatap putranya dengan serius.

"Beneran, Yah!  Masa iya, aku sengaja jatuhin ini?"

"Ya, jelas! Kamu tidak akan sengaja. Tapi, Ayah tidak percaya dengan alasan kamu," ucap Regan, "kalau memang kamu keserimpet yang harusnya kamu  pegang sekarang itu kaki, bukan tangan. Lagi pula muka pucat kamu tidak bisa bohong!"

Asta menggigit bibir bawahnya, mengalihkan pandangan dari Regan yang menatapnya begitu dalam. Sialnya, saat berbalik ia justru mendapati Mama dan adiknya. Asta merasa seperti seseorang yang tertangkap basah.

Namun, untuk jujur akan apa yang dirasakan belum menjadi pilihannya. Ia lantas bangkit dengan cepat, memaksa kakinya yang juga terasa lemas dan lemah untuk berdiri tegak.

"Aku nggak apa-apa, beneran. Tadi aku keserimpet, doang. Kaget, terus nggak sengaja kena beling sedikit, makanya pegang tangan. Sakit, Yah."

Asta menunjukan tangan kanan pada keluarganya.
Untung saja ia menyadari akan luka itu, tidak parah. Namun, alasan bagus untuk berbohong dan mengalihkan perhatian mereka. Ia pun mensyukuri karena tangan kanan mulai kembali terasa lagi.

"Astaga, Nak. Kamu nanti hati-hati, sini Mama obati," ucap Rein yang kemudian membawa putranya menjauh dari dapur, meninggalkan kekacauan di sana untuk dibereskan Regan.

Senyum Asta mengembang akan hal itu. Selain karena dapat menjauh dari ayahnya yang terus bertanya, ia juga senang mendapat perhatian dari mamanya. Hal yang selama ini selalu ia inginkan.

"Untung lukanya nggak lebar. Lain kali hati-hati, ya. Mama tidak mau liat kamu luka kayak gini, lho. Sekecil apa pun, Mama sedih liatnya.'

Kalimat yang terucap begitu lancar dari mamanya, membuat Asta merasa terharu. Ia tak mampu menahan perasaannya. Tanpa berkata apa pun dirinya langsung memeluk Mama dengan erat, mengabaikan tangannya yang belum selesai diobati. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan ini, tak ingin semuanya berakhir begitu cepat.

Asta terisak di pelukan mamanya. Butuh waktu cukup lama untuk bisa merasakan hal ini, sehingga Asta tidak ingin semua berlalu begitu saja. Asta masih mau menikmati segala kenyamanan, kebersamaan, kehangatan, dan cinta keluarganya. Oleh karena itu, untuk sekian kalinya, ia kembali meminta pada Tuhan agar semuanya tetap seperti ini.

Di sisi lain, Regan dan Manda masih terdiam di tempatnya. Manda tahu bila mamanya telah beranjak sejak tadi bersama sang kakak. Namun, ia enggan untuk menyusul. Ia ingin memberikan waktu untuk keduanya, membiarkan Asta menikmati kasih sayang Mama lebih banyak. Lagi pula, ada beberapa hal yang ingin ia katakan pada sang ayah yang ia sadari masih berada di sampingnya.

"Ayah, aku memang nggak bisa melihat, tapi aku bisa merasakan dan tahu apa yang terjadi. Kakak tidak baik-baik saja," ucapnya yang tanpa ia sadari berhasil membuat Regan menegang di tempatnya.

"Ini bukan pertama kalinya Kakak terjatuh, atau jatuhin barang." Manda kembali berucap mengingat hal-hal yang janggal setiap bersama Asta.

"Dia sering seperti itu, Yah. Tangannya sering dingin, suaranya kadang aneh, ada bau aneh yang kadang aku cium darinya. Seperti ... bau anyir?"

Regan terdiam, cukup terkejut. Selain wajah Asta semakin pucat tiap harinya, lingkar mata yang semakin hitam, hingga mendapati anak itu kadang begitu lemas. Ia sama sekali tak menyadari akan hal itu.

Kedua tangannya terkepal tanpa Manda ketahui. Ia mati-matian menahan diri untuk tetap tenang. Berusaha percaya bila putra yang baru ditemuinya baik-baik saja, menepis semua prasangka buruknya. Ia telah mengupayakan segalanya untuk memberikan anak itu kebahagiaan, berusaha menebus dosa dan kesalahannya di masa lalu. Ia tentu masih ingin membahagiakan dan bersama anak itu lebih lama. Tak ingin sesuatu yang buruk sampai terjadi.

Namun, ia tidak memiliki kuasa apa pun terhadap takdir. Ia tidak dapat menghindar bila hal yang tak diinginkan memang terjadi. Lantas, apa yang harus ia lakukan bila memang kenyataannya Asta tidak baik-baik saja? Sanggupkah ia menopang seluruh anggota keluarganya jika memang Asta dalam kondisi buruk?

Regan menggeleng, ia menghela napas berat nan panjang. Ia bukannya tidak ingin bertanggungjawab terhadap putranya, apalagi sampai lepas tangan. Hanya saja, bila memang itu yang akan terjadi nantinya, Regan tak mampu menghadapi semuanya sendiri. Meski berat, ia harus melibatkan orang lain. Terlebih dalam hal materi.

"Semua akan baik-baik saja, Nak. Kamu nggak perlu khawatir. Nanti Ayah bawa Kakak untuk pergi periksa, biar kita tahu apa yang terjadi tanpa harus menebak-nebak."

Manda mengangguk, percaya ayahnya mampu melakukan yang terbaik. Ia pun membawa langkahnya kembali ke kamar. Meski sebenarnya ingin memastikan kondisi kakaknya saat ini, tetapi ia tidak ingin mengusik kebersamaan Asta dan mamanya.

Sementara itu, Regan yang telah membersihkan kekacauan di dapur lantas bergegas memasuki kamar mandi. Ia dengan cepat merogoh ponselnya. Kendati enggan untuk kembali bertegur sapa dengan orang itu, tetapi ia tidak memiliki pilihan selain melibatkannya.

Masa bodoh bila dirinya akan ditertawakan, atau dianggap remeh. Hal terpenting sekarang adalah masa depan keluarga kecilnya. Bila memang Asta tidak baik-baik saja, ia ingin anaknya segera mendapatkan penanganan. Tak ingin terlambat suatu saat nanti. Regan hanya ingin keluarga kecilnya bahagia dan tetap utuh sampai maut memisahkan mereka.

"Sialan, orang ini!" geram Regan menatap ponselnya saat panggilannya yang ketiga masih tak mendapat jawaban.

Tak memiliki pilihan lain, ia lantas membuka aplikasi WhatsApp, mengirimkan pesan pada orang tersebut. Ia percaya pria itu tidak akan mengabaikan pesannya.

Kita perlu bicara, tentang Asta. Gue harap lo masih peduli, sekalipun gue udah ambil alih tanggung jawab lo terhadapnya dan juga Rein.

Hubungi gue secepatnya, karena gue nggak mau sampai terlambat. Gue ingin jaga anak gue, Rey. Jadi, tolong lo jangan abaikan soal ini.

________________

Bab ini cukup panjang, ya.
Aku senang, meski nggak terlalu ramai, setidaknya ada yang baca, hehehe.

Terima kasih buat kalian yang bertahan sampai di Bab ini, tapi maaf banget kalau cerita ini masih banyak kurangnya. 🙏

Sampai jumpa!

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top