21 - Rencana

Asta menghela napas yang terasa berat. Perjalanan dari Bandung cukup membuatnya kelelahan. Ia memejam sesaat, berusaha mengumpulkan tenaga sebelum turun dari mobil yang dikendarai Pak Yudi. Merasa lebih baik, ia pun segera membantu Manda menuju rumahnya.

Meski sempat terkejut dengan sentuhan Asta, tetapi Manda menerima genggaman yang kemudian menuntunnya. Asta tersenyum tipis, perlahan hubungannya dengan sang adik mulai membaik, meski Manda masih kerap tampak tak nyaman.

"Aku bantu Pak Yudi turunin beberapa barang dulu," ucap Asta setelah membuat Manda duduk dengan nyaman di ruang tamu, bersampingan dengan mamanya.

"Biar Ayah saja." Regan baru saja akan bergerak, tetapi tertahan oleh Rein yang memeluk lengannya erat. Wanita itu sama sekali tidak melepaskan Regan meski hanya sesaat.

"Nggak apa-apa, Yah. Aku saja. Nggak banyak juga. Kata Pak Reyhan sisanya akan dikirim besok." Asta tentu tidak ingin mengganggu kenyamanan mamanya, terlebih hanya Regan yang bisa membuat Rein tenang. 

Rein menerima Regan dengan begitu baik, tanpa penolakan sama sekali. Asta sampai dibuat takjub, tak percaya akan hal itu, padahal dirinya selama ini mati-matian membuat mamanya dapat merasa nyaman dan lebih baik.

"Ayah tolong bawa Mama untuk istirahat saja. Sepertinya Mama capek banget," ucap Asta, tak tega melihat mamanya lemas dan menguap lebar. 

Regan menyetujui hal itu, kemudian membawa Rein memasuki kamarnya. Namun, sebelum jauh melangkah ia kembali berbalik menatap anak-anaknya. Lebih tepatnya Manda yang hanya diam dengan tatapan kosongnya.

"Manda juga ke kamar, ya, buat istirahat," ucapnya sebelum benar-benar memasuki kamar.

Manda berdecak, kesal dengan sang ayah yang hanya menyuruh. Biasanya, pria itu tidak akan meninggalkannya seperti ini. Ayahnya selalu menemaninya, memberikan kalimat semangat dan penenang, serta mengecup keningnya sebelum tidur. Namun, semenjak Asta dan mamanya muncul, Manda tidak pernah lagi mendapatkan hal seperti itu.

"Dek, Kakak antar ke kamar, ya."

"Nggak perlu! Aku bisa sendiri," ucap Manda setelah menyentak tangan Asta.  Ia lantas berdiri, dan kemudian berjalan menuju kamar dengan bantuan tongkat.

Asta tidak melakukan apa pun. Ia hanya diam di tempat, mengawasi setiap langkah Manda yang kemudian hilang di balik pintu kamar. Ia tidak akan  memaksa Manda untuk langsung menerimanya juga Mama dengan baik. Ia tahu jelas bila adiknya butuh waktu dengan semua ini.

Sama seperti bersikap terhadap mamanya sekarang, Asta juga menerapkan hal serupa terhadap Manda. Asta tidak akan terburu-buru untuk mendekat agar dapat segera diterima. Ia biarkan semua berjalan apa adanya.

Usai memastikan Manda telah di kamarnya,  Asta bergegas membantu Pak Yudi menurunkan barang-barang. Tidak banyak, hanya beberapa tas berisi pakaian, sisanya akan dikirimkan Reyhan besok.

"Sudah semuanya, ya, Den?" tanya Pak Yudi memastikan sebelum menutup pintu bagasi mobilnya.

"Iya, Pak. Terima kasih banyak," balas Asta, "istirahat di dalam dulu, Pak."

"Ah, saya sepertinya mau langsung balik, Den. Sebelum semakin malam. Besok juga Bapak ada jadwal, jadi nggak bisa lama-lama."

Asta mengangguk, tentu paham dengan posisi Pak Yudi. Sebagai supir pribadi, pria itu tentu harus siap melayani Reyhan. Termasuk perintah mengantar Asta ke Jakarta kali ini, mau tidak mau membuat pekerjaan Pak Yudi bertambah.

"Ya, udah, deh. Makasih banyak, ya, Pak. Bapak udah nganterin saya. Maaf juga karena merepotkan Bapak." Asta tersenyum kikuk, merasa canggung dan bersalah.

"Aduh tidak apa-apa, Den. Sudah tugas Bapak. Selain itu, Bapak juga senang bisa mengantar Aden ke keluarganya. Semoga bahagia terus, ya, Den."

Senyuman Asta melebar saat menanggapi kalimat tersebut, mengaminkannya dalam hati. Ia sungguh berharap setelah ini akan ada berbagai kebahagiaan yang akan menghampirinya. Sebab, dirinya kini telah memiliki keluarga yang benar-benar utuh, tidak lagi harus merasa kesepian dan merasa iri saat melihat keharmonisan keluarga Yuta.

Beberapa menit kemudian, Pak Yudi benar-benar melajukan mobilnya. Meninggalkan Asta yang terus melambaikan tangan sampai tak terlihat lagi. Asta berdesah setelahnya, membuang napas dengan keras. Ia merasa benar-benar letih, lemas, bahkan tubuhnya semakin tidak nyaman.

Perlahan ia pun membawa langkahnya kembali ke rumah yang akan ditinggalinya mulai sekarang. Bangunan ini tentu sangat berbeda dari rumah megah Yuta, tetapi jauh lebih baik dari tempat tinggal ia dan mamanya sebelum bertemu keluarga Wijaya.

"Lho, Pak Yudi sudah pulang?"

"Iya, Yah. Takut makin kemalaman," jawab Asta pada sang ayah yang kini ikut duduk di sampingnya. "Mama tidur?"

"Iya, capek banget kayaknya. Kamu bersih-bersih juga sana, terus istirahat. Ayah mau cari makanan dulu. Kalian pasti lapar, kan?"

Asta dengan cepat menahan Regan yang baru saja akan kembali berdiri. Entah hanya perasaannya, atau memang dua hari ini Regan menghindarinya. Oleh karena itu, Asta ingin berbincang dengan ayahnya lebih lama. Sebab, ia tidak ingin menebak-nebak dan terjebak dalam resah.

Namun, hingga beberapa detik berlalu, Asta justru tak mengatakan apa-apa. Ia kebingungan untuk merangkai kalimat yang akan disampaikan. Takut bila salah kata, dan menyebabkan semuanya justru menjadi runyam. Terlebih, keduanya masih belum terlalu akrab.

"Kenapa?" Regan bertanya, cukup bingung terhadap sang putra yang malah tertunduk.

Asta tak langsung menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya untuk beberapa detik. Butuh waktu untuk menyampaikan keingintahuannya, takut bila mendapatkan jawaban yang menyakitkan.

"Ayah, ...."

"Hm?" sahut Regan cepat, sedikit khawatir pada anaknya. "Kenapa?"

"Ayah, benar-benar menerimaku sebagai anak Ayah, kan? Ayah benar-benar menerima mama, kan?" Asta bertanya cepat dan menatap mata Regan.

Sejenak Regan tertegun, terkejut akan pertanyaan itu. Ia terdiam, tak langsung menganggapi pertanyaan itu. Percakapan dengan Reyhan beberapa waktu lalu masih mengusiknya, bahkan menyisakan sesak yang terasa menyiksa.

"Kalau Ayah tidak menerimamu, mana mungkin Ayah membawa kalian untuk tinggal di sini?" Regan mengulas senyum, sembari mengusap rambut Asta. "Kamu meragukan Ayah?"

Asta menggeleng cepat, tak sekalipun meragukan Regan. "Hanya saja, Ayah dua hari ini tampak berbeda. Ayah kayak menghindar, bahkan sempat natap aku dengan tajam."

Regan kali ini dibuat bungkam lebih lama, tak menyangka bila Asta menyadari perbedaan sikapnya. Padahal, Regan telah berusaha untuk terlihat biasa saja setelah berbincang dengan Reyhan.

"Kamu salah paham, Nak. Ayah nggak pernah menghindari kamu, apa lagi natap kamu seperti itu. Ayah nggak punya hak untuk bersikap kayak gitu. Maafkan Ayah sudah membuatmu merasa tidak nyaman."

"Terus kenapa Ayah dua hari terakhir ini keliatan kesal?" Asta kembali bertanya, penasaran penyebab ayahnya bersikap demikian.

Regan menghela napas, sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini pada putranya. Namun, Asta yang telah salah paham dan berpikir begitu, membuatnya harus mengutarakan semuanya.

"Ayah nggak nyaman dengan Reyhan dan keluarganya. Mereka seolah-olah tidak percaya dengan Ayah. Kalimat untuk menjagamu dengan baik terus terulang, seakan-akan Ayah tidak mampu bersikap sebagai Ayah dan menebus semuanya. Reyhan bahkan sampai menawarkan rumahnya untuk ditempati, karena merasa rumah ini tidak layak untuk kalian."

Asta cukup terkejut akan hal itu. Ia pikir tawaran untuk tinggal di rumah milik Reyhan hanya disampaikan Yuta padanya. Itu pun langsung Asta tolak mentah-mentah, karena tidak ingin lagi berhutang budi begitu banyak pada Yuta. Ternyata, Reyhan pun menawarkan hal serupa pada ayahnya.

Pantas saja ayahnya merasa kesal, karena diremehkan secara langsung. Meskipun Asta sebenarnya tau Yuta dan keluarganya tidak bermaksud demikian. Mereka hanya terlalu peduli terhadapnya.

"Ayah bukannya bersikap sombong, tapi benar-benar tidak ingin menerimanya. Ayah mungkin tidak punya apa-apa, tetapi Ayah akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian. Ayah akan kerja keras dan mencari rumah yang lebih besar untuk kita."

Kalimat Regan yang terucap lembut dengan tatapan begitu tulus, membuat Asta merasa terharu. Tak pernah mengira bila ayahnya akan sebaik dan bertanggungjawab seperti ini.

"Ayah nggak perlu lakuin itu. Rumah ini cukup nyaman, jadi Ayah nggak perlu maksain diri untuk kasih yang terbaik buat aku dan Mama. Tinggal sama kalian, sudah lebih dari cukup."

"Kamu nggak keberatan? Reyhan mungkin melakukan hal itu karena selama ini kamu hidup dengan baik di sana."

Asta menggeleng cepat, sama sekali tidak keberatan memilih untuk tinggal di sini. Ia pun menolak Yuta dengan tegas saat itu. "Aku bahkan pernah tinggal di tempat yang lebih buruk dari ini," ucapnya yang untuk sekian kali berhasil membuat dada Regan terasa nyeri.

"Aku nggak butuh apa-apa lagi, Yah. Cukup menghabiskan waktu bersama kalian, itu sudah lebih dari cukup. Ayah nggak perlu mikirin apa pun, nggak harus mati-matian berusaha. Sebab, apa pun yang Ayah berikan, aku akan menerima semuanya dengan senang hati."

Regan tak kuasa menahan perasaannya. Air mata jatuh begitu saja, bersamaan dengan tangan kekarnya yang kemudian memeluk putranya. Ia merasa begitu bersyukur dan beruntung atas status ayah dari anak itu.

"Ayah akan membahagiakanmu. Ayah akan menebus semuanya. Kita tata semuanya dari awal, ya. Menjadi keluarga yang bahagia," ucap Regan setelah melepas peluknya dan menatap wajah sang putra.

Asta mengangguk penuh semangat, matanya yang berbinar menunjukkan kebahagiaan. "Pelan-pelan saja, Ayah."

"Iya," sahut Regan. "Kita mulai dari Ayah yang akan menikahi mamamu lebih dulu. Kemudian membuatnya pulih, menjadi dirinya yang dulu dan bisa menerimamu sebagai anaknya."

Asta kembali mengangguk untuk sekian kalinya, membayang hal-hal indah itu akan segera terwujud. Ingin mamanya bersikap selayaknya seorang ibu kepadanya, tidak lagi mengabaikan, atau kadang ketakutan bila bersamanya.

"Bukan hanya aku yang harus Mama terima, Manda juga harus mendapatkan hal yang sama. Semoga, pelan-pelan Manda dan Mama bisa benar-benar saling menerima," kata Asta yang disetujui Regan.

"Semuanya hanya butuh waktu. Pelan-pelan kita mulai semuanya. Ayah akan wujudkan keluarga yang kamu impikan."

Asta tak tahu harus mengatakan apa lagi. Air matanya jatuh, ia tak mampu menahan tangis dengan perasaan bahagia ini. Ia lantas memeluk erat ayahnya, mengucapkan begitu banyak terima kasih dan bersyukur atas hadirnya.

_______

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top