19 - Menerima dan Melepas

Ruang rawat yang semestinya tenang, kini menjadi gaduh. Gadis di atas ranjang rumah sakit itu histeris, meraung, dan melempar apa pun di sekitarnya. Ia tidak dapat menerima semua yang diceritakan sang ayah. Kekecewaan mendalam dirasakan Manda saat mengetahui bila ayahnya sempat berbuat tidak senonoh dengan wanita lain, bahkan beberapa hari sebelum pernikahan kedua orang tuanya.

"Manda, tenang, Nak." Regan berusaha merengkuh sang putri, tetapi Manda terus mendorongnya untuk menjauh.

"Lepas! Aku nggak mau sama Ayah! Lepas!" teriak Manda kembali memberontak, tanpa peduli perih di punggung tangannya akibat jarum infus yang tak lagi berada di tempatnya.

Regan yang melihat darah menetes semakin banyak dari tangan anaknya dibuat panik. Tak ingin semua semakin kacau, ia terpaksa membawa Manda dalam peluknya secara paksa. Tak lagi melepaskan putrinya meski tubuhnya harus mendapatkan pukulan bertubi-tubi, hingga terdorong beberapa kali.

"Ayah minta maaf. Tolong maafkan Ayah, Nak." Regan berucap dengan suara bergetar yang terdengar jelas, tak kuasa menahan air matanya. Merasa benar-benar gagal menjadi seorang ayah. 

"Ayah memang mencintai orang lain sebelum menikahi ibumu. Tapi, Ayah sama sekali tidak pernah berniat menyakiti ibumu. Sekalipun kami dijodohkan waktu itu, Ayah selalu berusaha untuk mencintai, dan jadi suami yang baik untuknya, terlebih dengan adanya kamu," ucap Regan yang terus-menerus mengusap punggung Manda hingga lebih tenang. "Maafkan Ayah, Nak."

Perlahan ruangan itu menjadi lebih hening dari sebelumnya, hanya tersisa suara isak-isakan dari Manda yang mulai lemas, tetapi terlihat nyaman dalam pelukan ayahnya. Manda tidak lagi memberontak, tenaganya seakan habis setelah berteriak dan menangis sejak tadi. Ia kini hanya dapat diam dan  mendengar segala kalimat ayahnya yang terdengar parau.

Kata maaf yang terus terucap membuatnya merasa muak, tetapi ia tidak mampu menyalahkan sang ayah. Semua memang kesalahan ayahnya sebagai laki-laki, tetapi Manda pun paham bila Regan saat itu tak dapat mengendalikan diri sepenuhnya. Ia tahu ayahnya sebaik apa selama ini, dan mungkin bila saja pria itu menyadari dan tahu kesalahannya sejak awal, maka bisa jadi dirinya tidak akan menjadi putri dari seorang Regan. Sebab, Regan pasti akan lebih memilih wanita yang dicintainya, terlebih setelah mengetahui perbuatannya.

Manda kembali menjatuhkan air matanya. Ia kini tidak lagi berusaha mengusir ayahnya. Perlahan kedua lengannya pun terangkat dan mulai melingkar di tubuh kekar sang ayah. Ia tidak memiliki pilihan, meski berat terpaksa menerima apa yang terjadi saat ini.

"Ayah tidak akan meninggalkan aku, kan, setelah tahu punya anak dari perempuan yang pernah Ayah cintai?"

Regan sontak menggeleng dengan cepat, melepaskan pelukan Manda, dan menatap wajah putrinya. "Tidak akan, kamu anak Ayah. Anak dari perempuan yang Ayah juga cintai," ucapnya sambil mengusap rambut Manda.

Ia kemudian berbalik mencari keberadaan putranya yang sejak tadi hanya diam menyaksikan semuanya. Asta berdiri di belakangnya dengan raut wajah yang membuat Regan merasa semakin sesak. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang.

"Sini, Nak."

Asta tak serta-merta mematuhi Regan. Ia masih bertahan di posisinya, menatap sang ayah dan Manda yang terlihat begitu terluka. Melihat betapa terpukul dan kacaunya mereka membuatnya perasaannya berantakan. Ia telah menorehkan luka yang begitu dalam pada adiknya. Seandainya, ia bisa menjaga ibunya untuk waktu yang lama, tentu Asta tidak akan melakukan hal ini. Mengacaukan keluarga Regan yang penuh kasih sayang demi mendapatkan pertanggungjawaban.

"Asta, sini, Nak. Pelan-pelan adekmu pasti akan terima," ucap Regan begitu lembut.

Asta pun perlahan memupus jarak dari ayah dan adiknya, berdiri tepat di samping Regan. "Mamaku mungkin perempuan yang ia cintai. Tapi, itu sebelum dia mencintai ibumu sepenuh hati," ucap Asta pada akhirnya dengan sedikit tercekat.

"Kamu nggak usah takut, Dek. Ayah akan selalu menyayangimu kamu seperti dulu, sekarang, hingga nanti. Aku nggak akan rebut dia sama sekali. Cukup dia menerima aku dan Mama, serta mengakui kesalahannya, itu sudah lebih dari cukup."

Manda termangu di tempatnya saat kalimat dengan nada yang begitu lembut itu tersampaikan. Ia tidak tahu seperti apa rupa saudara beda ibunya itu, tetapi mendengar suaranya, Manda cukup yakin bila laki-laki yang berbeda dua tahun dengannya itu adalah orang baik. Getar suara darinya pun sudah membuat Manda dapat memahami bila bukan hanya dirinyalah yang terluka saat ini.

"Maafkan Ayah, Kak. Dia pasti sudah bikin Kakak sama mama Kakak menderita selama ini," ucap Manda.

Asta menarik kedua sudut bibirnya, lantas mengusap puncak kepala sang adik. Ia tidak lagi ingin menyalahkan siapa pun, hal yang terpenting sekarang adalah bagaimana ke depannya.  Dapat diterima oleh Ayah dan adiknya, itu semua lebih dari cukup.

"Tolong bantu Ayah memperbaiki semuanya, Nak. Kalian berdua anak-anak Ayah. Ibu dan Mama kalian adalah wanita yang Ayah cintai. Mereka punya tempat masing-masing di hati Ayah. Begitu juga dengan kalian," ucap Regan yang kini menggenggam telapak tangan anak-anaknya.

"Terima kasih, Ayah, Adek," balas Asta dengan pandangan yang memburam, menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ia tersenyum sambil membalas genggaman ayahnya, dan juga memegang tangan Manda.

Tiga orang dalam ruangan itu saling memegang satu erat sama lain. Asta dengan rasa syukurnya, Manda yang berusaha menerima segalanya dengan lapang dada, sementara Regan berjanji dalam hatinya akan berusaha membahagiakan anak-anak serta wanita yang pernah ia sakiti.

"Permisi, ...."

Momen haru biru itu seketika berubah saat sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka. Seorang perawat memasuki ruangan dengan beberapa alat medis dan obat-obatan. 

Asta sontak bergeser dari tempatnya, membiarkan perawat yang dipanggilnya beberapa menit lalu untuk mengobati punggung tangan Manda yang berdarah, serta memasang kembali jarum untuk cairan infus.

Sementara Manda ditangani, Asta memilih untuk keluar sebentar, teringat Yuta, Kara, dan Rayhan yang berada depan. Ketiganya sepakat untuk menunggu di luar. Katanya, untuk memberikan ruang pada Asta dan keluarganya untuk mengobrol lebih dulu.

"Gimana, sudah?"

Kara bangkit lebih dulu, bertanya dengan penuh semangat. Tampak wajahnya yang begitu penasaran dengan apa yang terjadi di dalam, terlebih dengan adanya suara gaduh, dan perawat yang baru saja masuk.

"Udah. Semuanya lancar, makasih, Kar," jawab Asta yang kemudian mengalihkan pandangannya pada Yuta maupun Rayhan.

"Yut—"

"Syukurlah mereka benar-benar menerimamu," sela Yuta begitu cepat, bahkan sebelum Asta menyelesaikan kalimatnya.

"Iya. Nggak ada penolakan sama sekali. Kupikir Ayah akan kembali menyangkal, apalagi Manda. Tapi, ternyata mereka menerimaku, Yut."

Yuta mengepalkan kedua tangan yang berada di dalam saku jaketnya. Menahan gejolak dalam dada yang terasa menyesakkan. Ia berusaha untuk tetap tenang, tak menunjukkan perasaannya yang berantakan.

"Baguslah kalau begitu," ucapnya sambil menarik kedua sudut bibirnya.

Asta membalas dengan senyum yang sama lebarnya. Ia merasa bahagia akan semua yang terjadi saat ini. Semua beban di pundaknya benar-benar terasa lenyap.

Melihat kebahagiaan yang begitu terpancar dari sorot mata dan senyum lebar Asta, membuat perasaan Yuta semakin tidak karuan. Andai ia tidak mengetahui fakta bila orang tuanya-lah yang membuat Asta harus mengalami semua ini. Semestinya, sejak awal Asta dapat merasakan memiliki keluarga yang utuh dan bahagia, bila saja papanya tidak menutupi kasus itu dan berkeras mencari Regan saat itu.

"Yut!"

Yuta terkesiap, terkejut dengan tepukan di pundaknya. Ia sontak menatap Asta dengan kebingungan yang tak dapat ditutupinya untuk sesaat, sebelum paham apa yang terjadi.

"Kenapa?" Asta khawatir melihat Yuta yang lemas dan kurang fokus sejak tadi. "Kamu sakit?" tanyanya akan meraba kening Yuta yang berkeringat.

"Nggak, kok. Aman, kan?" ucap Yuta langsung mengambil tangan Asta yang baru saja menyentuhnya.

Asta mengangguk, cukup lega setelah memastikan Yura sehat-sehat saja. Ia tidak ingin sampai Yuta jatuh sakit. Bukan karena merasa direpotkan, tetapi setiap melihat Yuta tidak baik-baik saja, Asta selalu membencinya. Ia lebih ingin Yuta memarahi atau bertindak seenaknya, dibandingkan harus terbaring dengan lemas.

"Oh, iya. Masuk, yuk!" ajaknya setelah melihat perawat keluar dari ruangan adiknya.

Tidak ada penolakan dari Yuta, Kara, maupun Reyhan. Mereka pun mengikuti Asta memasuki ruang rawat Manda, hingga dapat melihat gadis itu lebih dekat lagi.

"Hai, Man. Gimana? Merasa lebih baik?" Kara bertanya lebih dulu dengan ceria dan penuh semangat seperti biasa.

"Iya, Kak," balas Manda sekenanya. Ia belum cukup akrab dengan gadis sok dekat yang sempat mengejutkannya pagi tadi.

"Syukur, deh. Kalau kalian sudah kenalan dan kayaknya cukup akrab." Asta tersenyum lebar, meski respons yang diberikan kedua gadis itu berbeda.

"Oh, iya, Dek. Kenalin dia Yuta dia—"

"Yang semalam ngamuk-ngamuk maki Ayah?" sela Manda dengan cepat dengan sedikit emosional.

"Hm, maaf buat yang semalam. Aku kelepasan," ujar Yuta yang tidak lagi mengubah gaya bahasanya dari semalam.

"Ya, udahlah." Manda membalas dengan malas. Ia lelah untuk meladeni, apalagi berdebat. Tak ingin terjebak percakapan apa pun, ia memilih untuk berbaring dan memejam.

Yuta berdecak kesal, tak menyukai gadis seumuran Nindy itu. Asta mengangguk kepalanya, mendadak canggung dengan situasi sekarang. Sedangkan Kara tampak kecewa karena kembali terjebak dengan para laki-laki, padahal ia telah berharap punya teman mengobrol.

Sementara itu kedua pria yang duduk pada sofa di belakang mereka tampak serius. Perbincangan mereka cukup dalam, tetapi tetap terlihat tenang. Regan tidak lagi emosional seperti semalam. Pun dengan Reyhan yang seperti biasa.

"Gue bakal bawa Rein juga Asta tinggal di Jakarta," ucap Regan yang berhasil menyita perhatian penghuni ruangan itu, termasuk Manda.

Yuta menegang di tempatnya, menggigit bibir bawahnya. Ia tidak pernah siap untuk melepaskan Asta, tetapi juga tak berhak untuk menahannya.

______________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top