18 - Kebenaran
Pemuda kurus, beralis lebat itu belum juga mengalihkan pandangan dari sosok yang akhirnya dapat ia temui. Setelah sekian lama ia mempertanyakan tentang keberadaan, dan menebak-nebak seperti apa orang tersebut, kini mereka benar-benar berhadapan dengannya.
Ia pikir akan mendapatkan penolakan, kembali menuai kecewa setelah penyangkalan yang sempat diberikan. Nyatanya, Regan justru menerima kehadirannya. Regan bahkan masih terus mengulang kata maaf, tampak begitu menyesali, dan menyalahkan dirinya atas apa yang telah terjadi.
Asta sampai tidak tahu harus seperti apa lagi untuk menenangkan Regan yang terus-menerus memohon maaf. Iba rasanya melihat pria tersebut begitu hancur saat ini, membuat Asta tak ingin menuntut apa pun lagi dari Regan. Pemuda bahkan tak tega untuk mengungkit kembali dan mempertanyakan mengapa semuanya sampai seperti ini.
"Setelah Manda membaik, Ayah akan jelaskan semuanya."
"A-yah?" Asta tergugu, mengucapkannya dengan kaku. Tak menyangka dapat menyerukan panggilan itu pada sosok yang bertanggungjawab penuh atas hidupnya.
"Iya, Ayah. Sama seperti Manda, kamu juga bisa panggil Ayah. Karena kamu juga anak Ayah." Regan menggenggam tangan Asta, sedikit meringis saat menyadari betapa kurusnya jari-jari itu. "Maafkan Ayah karena telah membuat hidupmu sehancur ini."
Asta menggigit bibirnya, ia menggeleng. Tak ingin lagi mempermasalahkan apa yang terjadi sebelumnya. Semuanya cukup menjadi masa lalu yang kelam bagi mereka, saat ini Asta hanya berharap semua akan menjadi lebih baik ke depannya. Bersama keluarganya yang telah utuh.
"Sekarang kamu istirahat, ya, Nak. Besok semuanya akan lebih baik karena sekarang sudah ada Ayah." Regan berucap lembut sambil mengusap wajah tirus anak yang selama ini tak pernah ia ketahui kehadirannya.
Regan menatap lamat wajah Asta yang baru kali ini ia perhatikan dengan jelas. Ia kini baru menyadari bila mata pemuda itu cukup mirip dengan gadis yang dicintainya beberapa tahun lalu. Melihat hal itu membuat Regan kembali mengingat saat-saat kebersamaan mereka, hingga ia kembali menyesali segalanya.
"Ayah, ...."
Pria berantakan itu tersentak, panggilan yang terdengar begitu lembut terucap dari bibir pucat Asta. Regan meremang untuk sesaat, sedikit aneh mendengar panggilan itu bukan hanya dari Manda. Namun, ia merasa cukup nyaman dan hangat saat mendengarnya.
"Terima kasih karena telah menerimaku," ucap Asta dengan suara seraknya. Dibanding mempertanyakan berbagai hal, hanya itu yang ingin ia sampaikan pada Regan saat ini.
"Terima kasih juga karena telah memaafkan Ayah."
Regan menarik Asta dalam peluknya. Mendekap tubuh kecil itu sambil mengusap rambut belakangnya. Ia kembali menitikkan air mata mendengar kalimat tersebut. Alih-alih berterimakasih, bukankah semestinya Asta marah dan memaki?
Regan tak habis pikir. Sebenarnya, ia telah siap menerima kemarahan dari putra yang lahir karena kesalahannya. Ia bahkan rela bila harus meminta pengampunan sambil berlutut di hadapan anak itu. Namun, sepertinya kebaikan hati Rein menurun seratus persen pada Asta. Regan tak menemukan tatapan kebencian dari Asta, bahkan sejak anak itu mengkonfirmasi kebenaran hubungan ia dan Rein.
Ia terus mengusap lembut rambut Asta, tak menyangka memiliki putra sebesar ini. Walaupun semuanya cukup mengejutkan, bahkan awalnya sulit ia terima, tetapi ia telah bertekad untuk menerima dan menyayangi Asta sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Tak ada lagi kalimat yang terucap setelahnya. Ruang rawat VVIP yang dibayar Rayhan menjadi begitu hening. Regan tak melepaskan Asta, terus mengusap belakang kepala anaknya hingga dengkuran halus terdengar. Asta tampak begitu nyaman, hingga terlelap dalam rengkuhan ayahnya.
Regan pun perlahan-lahan membaringkan tubuh Asta, agar dapat tidur dengan posisi yang lebih baik. Ia mengusap lembut kening sang anak yang telah lelap. Untuk sekian kali, kata maaf kembali terucap dalam hati, menyesali kebodohannya pada malam itu. Seandainya, ia menahan diri lebih baik untuk meminum alkohol dan pergi begitu saja, maka Asta tidak akan menderita seperti ini.
"Anda benar-benar ayahnya?"
Regan tersentak, sontak menoleh pada pemuda yang sejak tadi hanya diam. Tatapan Yuta yang tajam dan tak bersahabat, membuktikan betapa anak itu membencinya.
"Bukannya tadi Anda mati-matian mengelak? Kenapa tiba-tiba?" Yuta kembali bertanya.
"Ayahmu sudah menjelaskan semuanya. Maaf karena tadi sudah membuatmu emosi." Regan berucap dengan pelan, sedikit menyesali atas sikapnya.
Yuta tak segera membalas, mencoba memahami semua ini. Pertanyaan mengenai apa yang papanya dan Regan bicarakan semakin membuatnya penasaran. Sebenarnya, apa yang papanya ketahui selama ini?
"Papa bilang apa?"
"Dia menceritakan semuanya, tentang Rein dan kejadian malam itu," ucap Regan. "Saya sebenarnya lupa apa yang terjadi malam itu karena terlalu mabuk. Saya kira tidak ada yang terjadi antara kami malam itu, tapi ternyata saya telah melakukan kesalahan fatal."
Yuta mengepalkan tangan, penjelasan Regan semakin membingungkan. Selama ini, Reyhan tak pernah membahas apa pun mengenai mama Asta. lantas kenapa papanya sampai tahu kejadian malam itu?
Tak ingin mempertanyakan hal itu seorang diri dan dibuat kebingungan. Ia lantas keluar dari ruang rawat Asta, mencari keberadaannya papanya hingga dipertemukan di koridor yang sepi. Yuta tak segera menghampiri, membiarkan papanya lebih dulu menghabiskan sisa rokoknya.
Butuh beberapa saat sampai lintingan tembakau di tangan Reyhan hanya menyisakan puntungnya. Yuta yang menunggu momen itu pun segera mendatangi papanya. Ia lantas berdiri di depan pria tersebut.
"Apa maksudnya semua ini, Pa? Bukannya Papa nggak tahu sama sekali tentang mamanya Asta? Tapi, kenapa Papa jutsru tahu semuanya?" Yuta bertanya dengan menggebu-gebu, menuntut penjelasan.
"Duduk dulu, Yut," balas Reyhan yang kemudian duduk di sampingnya.
"Regan sahabat Papa. Dia kerja di penerbitan kita waktu itu."
"Kalau Papa mengenalnya sebaik itu, dan penerbitan tempat Om Regan dan mamanya Asta ada tempat kita, terus kenapa Papa selama ini nggak bilang apa-apa? Kenapa justru Papa nggak kenal sama mamanya Asta, dan kenapa baru sekarang?" Yuta berucap begitu cepat, sedikit emosi dengan apa yang terjadi.
"Karena Papa nggak kenal sama Rein saat itu. Dia karyawan kakekmu, dan Papa tidak sering ke penerbitan dan mengenal siapa saja pekerjanya. Regan juga hanya menceritakan tentang kekasihnya, tapi kami tidak pernah bertemu secara langsung," balas Reyhan.
"Tapi kenapa Papa tau kejadian malam itu? Kejadian yang bahkan Om Regan lupakan?"
Reyhan menghela napas panjang, sebelum memulai ceritanya, mengingat kembali apa yang telah terjadi saat itu. "Karena malam itu, Papa bersama dengannya. Kami sempat minum bersama, sampai akhirnya Regan pulang lebih dulu. Papa yang khawatir karena malam itu dia benar-benar kacau, memutuskan untuk mengikutinya. Sampai di gudang kantor. Papa nggak tau apa yang terjadi di dalam, sampai mendengar teriakan perempuan yang begitu keras."
"Lalu?" Yuta bertanya dengan cepat saat Reyhan justru menunduk begitu dalam dan terdiam setelahnya.
"Begitu Papa masuk. Papa lihat Rein sudah tidak baik-baik saja. Papa juga tidak menyangka kalau Regan akan melakukan hal seperti itu sama pacarnya."
Yuta mengerutkan keningnya semakin dalam. "Jadi, apa yang Papa lakukan setelah itu? Kalau memang Papa melihat dan tau semua perbuatan Om Regan, kenapa Papa nggak paksa dia untuk bertanggungjawab saat itu juga?"
"Regan langsung kabur begitu Papa masuk. Papa kehilangan jejaknya, bahkan hingga bertahun-tahun," sahut Reyhan dengan cepat
"Lalu, Tante Rein, apa yang terjadi setelah itu. Apa yang Papa lakukan dengannya setelah semuanya? Kenapa Papa justru—"
"Papa sama sekali tidak mengenalnya, Yut. Papa bahkan nggak melihat wajahnya dengan jelas malam itu. Setelah Papa berusaha mengejar Regan, Papa kembali ke gudang, tapi di sana sudah kosong." Reyhan, sedikit terpancing karena merasa tersudutkan.
"Dan Papa nggak ngelakuin apa-apa lagi? Papa nggak berusaha nyari Tante Rein atau bahkan Om Regan?"
"Saat itu Papa nggak bisa ngelakuin apa-apa, Yut. Usaha penerbitan kita sedang krisis waktu itu. Mamamu butuh perawatan karena penyakit jantungnya, dan Papa lagi sibuk-sibuknya ngurus kamu yang sudah mau masuk TK, dan semuanya butuh biaya.
Papa terpaksa menutupi masalah itu rapat-rapat, sebab bila ketahuan usaha penerbitan yang kakekmu mati-matian pertahankan akan benar-benar hancur saat itu, dan Papa pun nggak akan sanggup menanggung biaya pengobatan mamamu, juga yang sekolahmu. Lagi pula, Regan dan perempuan itu sudah pergi," jelas Regan.
Yuta menegang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Papanya melakukan sampai sejauh itu menutupi aib demi menjaga perusahaannya. Menutup mata dengan semua yang terjadi, hingga membuat Asta dan mamanya menderita seperti ini.
"Asta selama ini menganggap Papa adalah penyelamatnya, tapi kenyataannya Papa yang sudah bikin hidupnya sehancur itu," ucap Yuta dengan penuh penekanan, menatap papanya dengan tajam. "Seandainya Papa nggak menutupi masalah itu, membiarkan orang-orang tahu apa yang terjadi, mungkin Asta tidak akan hidup seperti ini."
"Maafkan Papa. Tapi, Papa tidak memiliki pilihan selain itu. Papa nggak bisa membiarkan semuanya hancur saat itu," ucap Reyhan yang membuat perasaan Yuta semakin tak karuan.
"Ternyata bukan hanya Om Regan yang berengsek, tapi Papa juga! Papa sudah bikin hidup Asta dan mamanya hancur!"
Yuta menatap ayahnya dengan penuh kebencian, sebelum akhirnya memilih untuk pergi. Ia tidak pernah berpikir bila keluarganya pun turut andil dalam kehancuran Asta dan mamanya. Sekarang, bagaimana ia harus menemui Asta? Akankah Asta membencinya bila tahu hal ini?
________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top