17 - Maaf
Belum ada sepatah kata pun terucap dari mereka karena terlalu kalut dan sibuk mengurusi dua remaja yang membutuhkan perawatan. Baik Asta ataupun Manda harus menginap di rumah sakit, setidaknya untuk malam ini.
"Yut, kamu temani Asta di ruangannya. Nanti Papa nyusul," ucap Rayhan yang berusaha mengendalikan situasi saat ini. "Kara, tolong kamu temani Manda? Ada yang ingin kamu bicarakan."
Kara cukup terkejut atas permintaan itu, tetapi Regan yang turut menatapnya pun membuatnya tak dapat menolak. Ia pun lantas mengikuti suster yang membawa Manda yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang rawatnya.
"Nanti, jelaskan semuanya sama aku, Pa," ucap Yuta pada Reyhan sebelum meninggalkan kedua pria dewasa itu.
Ia dengan berat hati melangkah meninggalkan kedua pria tersebut. Keinginan untuk mengetahui hubungan mereka dan juga mendengar apa yang dibicarakan harus tertahan. Yuta lebih memilih menemani Asta saat ini. Memastikan saudaranya baik-baik saja yang terpenting saat ini. Ia dapat mencari tahu lagi nanti.
Tak lama kemudian kedua pria dewasa yang Yuta tinggalkan itu beranjak, mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbincang. Langkah mereka akhirnya terhenti di tempat yang cukup sepi, alih-alih merasa takut berada di koridor yang menuju ruang mayat dan beberapa ruangan kosong lainnya, keduanya justru merasa lebih nyaman di sana.
"Jadi, apa maksud semua ini? Anak kurang ajar itu anak lo?" tanya Regan tanpa basa-basi, masih cukup terkejut atas fakta itu. Tak pernah menayangka bila dirinya akan adu jotos dengan anak sahabatnya.
"Iya, dia anak gue sama Giska," balas Reyhan yang duduk di salah satu kursi besi. "Sori buat tindakannya, dia emang emosional."
Regan berdecak, menatap Reyhan dengan sengit. "Sepertinya sifatmu menurun seratus persen sama dia. Tempramental, keras kepala, dan sok jagoan."
Reyhan terkekeh, tak menyangkal sama sekali. Yuta adalah cerminan dari dirinya saat masih seusia anak itu. Selalu semaunya, dan akan mudah tersulut. Bisa dikatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
"Anak itu. Dia benar-benar anak Rein? Terus kenapa anak lo sampai nuduh gue?" cecar Regan tanpa mengalihkan pandangan dari Reyhan.
"Karena memang lo yang harus bertanggungjawab, Gan. Lo lupa dengan apa yang lo lakuin?"
Pria yang merupakan direktur dari sebuah perusahaan penerbitan ternama tersebut bangkit dari tempatnya. Memupus jarak antara mereka hingga ia dan Regan saling berhadapan.
"Malam sebelum lo benar-benar pergi, lo udah bikin hidup Rein hancur. Lo lupa dengan hal itu?"
Reyhan menekan setiap kata dalam kalimatnya. Tak ada lagi tatapan lembut seperti biasa. Raut wajahnya berubah drastis dari sebelumnya, membuat Regan menegang. Ia merasa terintimidasi dengan tindakan sahabatnya saat ini.
"Gue ... gue nggak ngelakuin apa-apa," ucapnya yang berusaha menghindari Regan. "Malam itu, gue—"
"Malam itu lo bawa dia ke gudang!" teriak Rayhan yang kemudian menarik kerah baju Regan. "Perlu gue ingetin semuanya biar jelas?"
Regan menggeleng, menjatuhkan dirinya sambil mencengkram rambutnya. Sungguh, ia tidak menyangka bila semuanya akan menjadi seperti ini. Ia pikir malam itu tidak terjadi apa-apa. Ia dan Rein telah berakhir sebelum benar-benar pergi meninggalkan Kota Bandung dan memulai hidup baru.
"Terus kenapa lo nggak pernah kasih tau gue? Lo kenapa biarin gue nggak tau apa-apa kalau ternyata gue udah bikin kesalahan sefatal ini? Selama ini kenapa lo diam aja?!" Regan berteriak keras, menatap Reyhan penuh emosi.
Alih-alih menjawab, pria tegak itu justru tertawa. "Gimana caranya gue kasih tau lo, kalau lo nggak bisa dihubungi sama sekali. Lo bahkan nggak kasih tau alamat lo yang di Jakarta waktu itu."
Regan mengepalkan tangannya. Setelah meninggalkan Bandung dan menikah, ia sama sekali tidak ingin lagi mengingat masa lalunya di kota itu. Ia bahkan memutus kontak sepenuhnya dari orang-orang yang terlibat, termasuk Rayhan yang telah menjadi sahabat sejak SMP.
Bukan tanpa alasan, ia hanya tidak ingin menyakiti hati orang lebih banyak lagi. Cukup Rein yang ia kecewakan saat memutuskan untuk menerima permintaan terakhir ibunya untuk menikah dengan wanita pilihannya. Sekalipun tidak mencintai istrinya saat itu, ia tetap harus menjaga hatinya dan berusaha menjadi suami yang baik.
"Jadi, selama ini Rein menderita karena aku? Anak itu ... dia benar-benar anakku?" tanya Regan yang masih tidak percaya dengan fakta yang didengarnya.
Reyhan menghela napas, mengambil jarak dari sang sahabat yang tampak kacau. "Dia melahirkan dan membesarkan anaknya seorang diri, dengan gunjingan orang-orang di sekitarnya, sampai pada akhirnya dia tidak sanggup menjaga kewarasannya," jelasnya.
"Maksud lo?" Regan lagi-lagi bertanya.
"Gue ketemu dia lagi lima tahun lalu. Dia udah nggak waras, bahkan saat itu dia hampir mencelakai anaknya. Bertahun-tahun dia dirawat di RSJ, karena depresi berat."
Regan kehilangan kata, tak mampu lagi untuk mengatakan apa pun. Gadis ceria dan selalu bersamanya saat itu, sekarang benar-benar hancur, dan semua itu karena kesalahannya?
"Sekarang, apa yang akan lo lakuin?" tanya Rayhan yang kembali menatap sahabatnya. "Anak itu nyari lo selama ini, dia berusaha menemukan orang yang bertanggungjawab atas hidupnya."
"Seharunya lo bawa dia secepatnya ketemu sama gue," ucap Regan dengan cepat dan kemudian bangkit. Tanpa kata apa pun lagi, ia meninggalkan Reyhan begitu saja.
Rayhan hanya melihat kepergian Regan yang semakin jauh dari pandangannya hanya terdiam. Ia menarik salah satu sudut bibirnya, hingga terkekeh-kekeh. Pada akhirnya, semua menjadi seperti ini.
Sementara itu di dalam ruang rawatnya, Asta pada akhirnya kembali terbangun dari pejamnya. Hal yang pertama dilihatnya adalah kehadiran Yuta di sampingnya. Pemuda itu menatapnya khawatir, mempertanyakan apa yang ia rasakan, lalu dengan sigap mengambil air minum.
"Makasih, Yut," ucapnya setelah meneguk beberapa tetes air.
Setelahnya, tak ada lagi kalimat terucap. Pandangan Asta terfokuskan pada langit-langit ruangan. Kegaduhan yang terjadi beberapa jam lalu kembali teringat, menyadarkannya dengan semua yang terjadi.
"Dia ... tidak mengakuinya, Yut." Asta berucap dengan begitu pelan, tanpa mengangkat wajahnya.
"Biarkan saja, lagian kamu nggak butuh dia," balas Yuta.
Walaupun terdengar ketus, tetapi ia tetap berusaha menenangkan Asta. Tak tega melihat Asta begitu terluka dengan semua ini. Ingin rasanya ia kembali menemui Regan dan benar-benar menghancurkan pria itu.
"Tapi, bagaimana kalau memang bukan dia? Tapi, bukan dia, lalu siapa? Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap hidupku dan Mama?" tanya Asta kembali dengan suara tercekat.
Belum sempat Yuta memberikan jawaban. Bantingan pintu mengejutkan dan mengalihkan perhatiannya. Yuta seketika bangkit dari duduknya, menatap tajam Regan yang menerobos masuk.
"Apa yang Anda lakukan, hah?"
Bukannya mendapatkan jawaban, Yuta justru dikejutkan oleh Regan yang langsung memeluk Asta saat akan bangun dari posisi berbaringnya. Kini, tak hanya Asta yang terpaku di tempatnya. Ia pun mematung, terlebih saat Regan semakin memeluk Asta dengan erat sambil mengucapkan kata maaf secara berulang-ulang.
_______
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top