11 - Tak Terkendali

Rencana untuk jalan-jalan hari ini batal untuk dilakukan. Tiga muda-mudi itu kini justru terdampar pinggiran ibukota. Sialnya, mereka harus terjebak lebih lama karena khawatir terhadap kondisi gadis yang tak tiba-tiba tak sadarkan diri di pelukan ayahnya itu.

"Gimana keadaannya, Dok?" Asta langsung bertanya begitu pria berkemeja dengan kotak-kotak keluar dari kamar, bersama si pemilik rumah.

Tak hanya Asta yang bangkit dari duduknya, Yuta maupun Kara juga segera menghampiri. Penasaran dengan kondisi gadis yang sempat membuat mereka panik. Emosi Yuta yang sempat meluap bahkan langsung hilang melihat betapa pucat anak itu.

"Anaknya stres berat, syok, dan kurang gizi. Ada baiknya, dia dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut," jelas sang dokter yang tiba-tiba dipanggil oleh anak kenalannya.

Yuta mengangguk paham, menerima secarik kertas yang bertuliskan resep obat-obatan yang harus ditebus di apotek. Ucapan terima kasih pun tak lupa ia sampaikan pada Bian yang telah direpotkan untuk datang ke tempat ini, karena ayah gadis itu menolak ke rumah sakit.

"Makasih banyak, Nak. Maaf sudah merepotkan kalian sampai seperti ini."

Pria berusia sekitar 45 tahun itu tampak merasa bersalah. Setelah membuat mereka nyaris celaka, ia justru harus menjebak tiga remaja itu di rumahnya yang sempit ini.

"Aku suruh Pak Yudi dulu buat beli obatnya," ucap Yuta tanpa menanggapi kalimat Regan lebih lanjut. Malas berbasa-basi.

"Hmm, aku ikut, deh. Ada yang mau aku beli juga." Kara berseru lantas mengikuti Yuta dan Bian menghampiri Pak Yudi yang memarkir mobil pada lahan kosong yang cukup jauh dari rumah Regan.

Melihat Yuta dan Kara yang semakin jauh dari pandangannya ia lantas tersenyum. Asta bersyukur dapat mengenal keduanya yang memiliki empati cukup besar terhadap orang lain. Kara sama sekali tidak mempermasalahkan batalnya rencana hari ini, gadis itu justru bersemangat ingin membantu.

Yuta pun demikian, meski sempat emosi dengan insiden tadi. Namun, begitu melihat kondisi yang terjadi membuatnya luluh. Asta bahkan tak perlu meminta Yuta untuk menelpon dokter, saudara tak sedarahnya itu memang selalu tanggap dalam setiap keadaan.

"Duh, Bapak sampai merepotkan kalian sampai seperti ini."

Asta tersenyum tipis, lantas menggeleng dengan cepat. "Nggak apa-apa, kok, Pak," ucapnya berusaha menenangkan pria itu.

Gurat lelah, tatapan yang sayu, serta kondisi rumah yang ditinggali pria tersebut bersama putrinya membuat Asta merasa iba. Ia pernah berada di posisi ini, bahkan jauh lebih sulit, jadi untuk memahaminya tidaklah sulit.

"Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, anaknya kenapa? Kok, bisa sampai ke tengah jalan kayak tadi?"

Asta menggigit bibir bawahnya, sadar bila tak sepantasnya menanyakan hal tersebut. Rasa penasaran membuatnya ingin tahu lebih dalam mengenai kehidupan pria yang diketahui bernama Regan dan putrinya itu.

"Kita ngobrolnya di dalam saja, ya. Biar Bapak juga bisa sekalian memantau Manda."

Asta menurut, mengikuti Regan membawanya ke ruang tamu yang tak memiliki kursi satu pun. Hanya karpet lusuh yang menjadi alas untuk mereka duduk.  Ruangan itu, bahkan bisa dikatakan sempit. Tak jauh dari sana dapur terlihat jelas karena tak ada pintu atau sekat apa pun, di sisi kanan ada dua kamar yang berdempetan, tidak besar.

Pandangan Asta memindai sekeliling. Rumah tersebut tampak nyaman, meski tidak luas. Banyak foto yang tertempel di dinding, salah satunya potret kebersamaan Regan bersama istri dan anaknya. Mereka bertiga tampak bahagia.

"Mereka cantik, kan?"

Asta tersentak atas pertanyaan dadakan Regan. Ia mengangguk, tak dapat menyangkal hal itu. Wajah ibu dan anak nyaris serupa, bak pinang di belah dua. Benar-benar membuktikan bila mereka memang ibu dan anak.

"Itu adalah foto keluarga kami yang terakhir. Satu tahun lalu."

Suara berat Regan membuat Asta tertegun untuk beberapa detik, padahal baru saja ia merasa turut bahagia melihat foto itu. Sorot mata pria di depannya semakin redup membuat Asta mendadak tak nyaman, ada luka dan kesakitan yang terpancar jelas dari sana.

"Satu tahun lalu, kami pergi merayakan kelulusan Manda. Anak itu sangat berprestasi, dia lulusan terbaik di SMP-nya," jelas Regan dengan suara bergetar. Senyuman terkembang, tetapi ada air mata yang siap untuk jatuh.

"Saya dan istri saya tentu sangat bangga. Satu harian itu kami habiskan bersama-sama, jalan-jalan sebagai hadiah untuk Manda. Tapi, waktu kami pulang semuanya pun berakhir."

Atmosfer dalam ruangan seketika berubah. Pria di hadapannya semakin tertunduk, getar suaranya semakin menyakitkan, bahkan tak mampu lagi menahan air matanya.

"Kami kecelakaan, mobil yang saya kendarai ditabrak dengan keras oleh sebuah truk hingga menyebabkannya istri saya meninggal di tempat. Sementara itu, Manda nyaris tidak dapat diselamatkan."

Pemuda itu tak mampu mengatakan apa-apa. Cerita yang didengarnya begitu menyakitkan sampai ia pun tak tahu harus bereaksi dan bersikap seperti apa. Asta hanya dapat diam di tempat, mendengarkan kisah sedih Regan yang nyaris harus kehilangan segalanya.

"Untung saja setelah beberapa hari di ruang ICU, Manda kembali. Tapi, dia tidak lagi seperti dulu, dia bukan hanya kehilangan ibunya, tapi juga mimpi, dan dunianya. Karena kecelakaan itu, Manda buta." Regan yang kemudian menghela napas berat.

Asta menggigit bibir bawahnya, cerita memilukan Regan membuatnya turut merasakan kesedihan. Akan tetapi, ia pun merasakan iri di saat yang sama.  Kendati harus kehilangan banyak hal, nyatanya Manda tetap lebih beruntung darinya.

Regan terlihat sebagai orang tua yang begitu menyayangi anaknya. Pria itu rela melakukan apa pun untuk putrinya agar merasa lebih baik. Regan bahkan bercerita, meninggalkan pekerjaannya demi menjaga Manda, hingga harus memulai dari awal lagi untuk mencari nafkah.

Kendati harus terluka dan kehilangan sehebat ini, Manda setidaknya jauh lebih beruntung. Gadis itu masih sempat merasakan hangatnya keluarga yang utuh, memiliki sosok ayah yang bertanggungjawab dan menyayanginya sepenuh hati.

Berbeda dengannya Manda jauh lebih beruntung. Seumur hidupnya, tak sekali pun ia merasakan hangatnya keluarga. Kehilangan peran orang tuanya di saat-saat ia begitu membutuhkan.

"Asta!"

Tersentak dengan suara keras yang tiba-tiba membuat Asta sontak menoleh. Ia mengerutkan keningnya, menatap Yuta yang entah sejak kapan ada di sampingnya. Belum sempat memahami apa yang terjadi, kebingungan semakin menjadi-jadi saat Yuta menarik dan memeluknya.

Ia tak paham dengan semua yang tiba-tiba. Namun, usapan lembut di punggung serta kalimat yang dibisikkan Yuta membuatnya merasa sesak luar biasa hingga tak mampu menahan air matanya. Pada akhirnya ia terisak di sambil memeluk Yuta dengan begitu eratnya.

"Tenang, semua baik-baik saja," bisik Yuta sambil mengusap rambut Asta dengan lembut.

Melihat Asta terdiam dengan tatapan kosong juga tangan gemetar saat memasuki rumah Regan sungguh mengejutkan. Pandangannya pun beralih pada Regan yang terlihat bingung dan terkejut, entah apa yang keduanya bicarakan sampai Asta berakhir seperti ini.

"Tolong ambilkan air!"

Regan mengangguk dan segera bangkit menuju dapur, lalu kembali membawa apa yang dimintai Yuta. Banyak pertanyaan terhadap kedua remaja di hadapannya, tetapi urung ia sampaikan saat melihat kondisi anak yang sebelumnya baik-baik saja.

"Makasih, Yut," ucap Asta setelah meminum segelas air yang diberikan setelah merasa lebih tenang.

Ia mengalihkan pandangannya, menatap kembali Regan. Raut wajah khawatir, bingung, dan penasaran tampak jelas di wajah lelahnya. Asta kembali menggigit bibir bawahnya, merutuk dirinya yang kehilangan kendali seperti tadi.

"Kamu baik-baik saja?"

"Iya, Pak. Maaf, sepertinya aku terlalu terbawa perasaan sampai jadi seperti tadi," balas Asta tersenyum canggung. Merasa malu dengan apa yang baru saja terjadi.

Regan yang masih kebingungan dan mencoba memahami apa yang terjadi hanya dapat mengangguk. Rasanya, ia ingin mencari tahu lebih jauh. Entah apa yang telah dialami pemuda kurus di depannya sampai-sampai emosinya terpancing seperti tadi.

Sialnya, belum sempat ia bertanya lebih jauh, gaduh dari dalam kamar membuatnya beranjak meninggalkan kedua pemuda itu. Regan bergegas memasuki kamar, menghampiri putrinya yang terduduk di lantai yang basah karena segelas air yang jatuh.

"Manda!"

"Lepas!" teriak gadis itu dengan mendorong Regan begitu kuat. "Kenapa Ayah nyelamatin aku? Kenapa Ayah nggak biarin aku mati aja?!"

"Nak, jangan bicara seperti itu!" Regan kembali memeluk sang putri, kali ini lebih erat, tak peduli sekeras apa anaknya memberontak.

"Lepas! Lepasin aku, Ayah. Aku nggak mau kayak gini! Aku mau sama Ibu! Buat apa aku hidup kalau kayak gini?"

"Terus kamu mau mati begitu saja? Meninggalkan ayahmu yang sudah mati-matian berjuang?! Kamu mungkin kehilangan banyak hal, tapi kamu masih punya ayahmu untuk bertahan!"

Suara pemuda itu bergema dalam ruangan. Ia menerobos masuk, tak peduli dengan sikap yang harus dijaga. Mendengar dan melihat tindakan Manda memancing emosinya. Ia paham sakitnya kehilangan, tetapi itu bukan alasan yang pantas atas sikap Manda terhadap ayahnya.

"Ayahmu sama hancurnya. Dia juga kehilangan orang yang disayanginya, tapi dia tetap bertahan dan berjuang untukmu. Kamu semestinya bersyukur untuk itu!"

"Asta, cukup!" bentak Yuta yang tak ingin Asta semakin kehilangan kendali akan emosinya. Namun, bukannya menurut, Asta justru menyentak tangannya.

"Kamu buta, tapi kamu masih punya orang tua yang peduli! Duniamu belum sepenuhnya hancur, hidupmu belum berakhir! Kamu masih bisa memperbaikinya, karena ayahmu akan selalu mendukungmu."

Cukup, Asta tak sanggup lagi untuk bersuara dengan lantang. Ia dengan perasaan kalut lantas pergi meninggalkan rumah tersebut begitu saja, mengabaikan tatapan Regan.

Ia melangkah cepat, tanpa peduli Yuta yang mengejar dan terus memanggil namanya. Pikiran dan perasaannya yang berantakan membuatnya merasa benar-benar buruk.

"Asta!"

Setelah melangkah cukup jauh, Asta memutuskan berhenti setelah mendengar teriakan Yuta yang lebih keras dari sebelumnya. Ia tak segera berbalik, tak ingin Yuta melihat betapa kacaunya ia saat ini. Tak ada isak tangis yang pecah, Asta membungkam mulutnya dan membiarkan air matanya terus jatuh.

Sementara itu, Yuta tak mengatakan apa pun. Ia perlahan mulai memahami apa yang terjadi dan Asta rasakan. Perlahan ia menghampiri Asta yang masih menangis tanpa suara di depan. Diusapnya si pemilik punggung kecil yang bergetar itu agar dapat lebih tenang.

Yuta berdesah, ingin rasanya menyalahkan takdir yang dimiliki adik angkatnya. Kenapa anak itu harus mengalami dan merasakan semua kesakitan ini? Kenapa Tuhan memberikannya kehidupan bila harus terluka seperti ini? Kenapa Tuhan tidak membuat Asta benar-benar menjadi adik kandungnya saja?

______

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top