07 - Saudara

Tak ada yang bersuara, hanya denting sendok dan garpu bersentuhan dengan piring yang mengisi sunyi dalam ruangan itu. Selain, karena aturan untuk tidak berbincang selama makan, Yuta yang masih dalam mode merajuk membuat suasana menjadi canggung.

Sebenarnya, hanya Yuta yang begitu keberatan atas keinginan Asta. Namun, sifat laki-laki 18 tahun yang masih kekanak-kanakan itu membuat orang-orang di sekitarnya pun merasa tak nyaman. Mau tak mau mereka harus berhati-hati dalam bersikap, takut Yuta malah akan tantrum.

Beberapa menit pun berlalu, satu per satu penghuni di sana telah menghabiskan makanannya dan beranjak meninggalkan meja persegi panjang itu. Asta seperti biasa, selalu menjadi yang terakhir untuk bangkit. Ia akan selalu menunggu Yuta dan keluarganya untuk pergi lebih dulu, lantas membantu orang Giska dan Mbok Yani untuk membersihkan. Meski kerap kali dilarang, tetapi Asta tetap melakukan hal tersebut.

"Asta, ada yang mau Bapak bicarakan."

Suara berat dari Wijaya membuat gerakan Asta yang baru akan membawa piringnya ke wastafel sontak terhenti. Ada Giska yang tersenyum ramah dan kemudian membawanya ke ruang keluarga.

Asta mendadak gugup melihat Yuta juga Ziel telah ada di sana. Ia mencoba menebak-nebak apa yang akan dibicarakan Wijaya. Mungkinkah akan ada kabar baik, atau malah sebaliknya?

Mendudukkan diri di sofa, tepat di samping Yuta yang tak menatapnya sejak tadi, sungguh membuat Asta tak nyaman. Sampai detik ini, tak ada sepatah kata pun yang keduanya ucapkan, terlebih Yuta selalu menghindarinya. Ketidaknyamanannya semakin menjadi-jadi, saat Wijaya yang berada tepat di depannya kini menatap secara langsung.

"Kamu bisa menemui Karina bulan depan, saya sudah membicarakan masalah ini dengannya. Dan, dia bersedia untuk bertemu denganmu."

Jantung Asta sontak berpacu semakin cepat, tak percaya dengan rentetan kalimat yang terucap dari Rayhan tanpa basa-basi. Benar-benar tidak menyangka akan mendapat bantuan sejauh ini.

"Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak," ucap Asta yang tak mampu menahan rasa harunya, benar-benar berterima kasih pada Rayhan.

pemuda 15 tahun itu tak tahu harus mengatakan apa lagi selain terima kasih kepada pria yang telah begitu baik padanya selama ini. Walaupun tak cukup akrab seperti Ziel, tetapi Rayhan sama sekali tak pernah mengabaikannya. Pria itu bahkan memberikan fasilitas yang sama seperti Yuta dan Nindy.

"Iya, sama-sama," ucap Rayhan sambil menepuk-nepuk pelan pundak Asta yang bergetar.

"Udah, gak usah sampai segitunya. Kalau Papa udah bilang mau bantu, ya, pasti dibantu." Yuta yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, tak tahan melihat Asta yang masih menangis haru di sampingnya.

Kalimat Yuta yang terdengar ketus dan sinis akhirnya membuat Asta dapat mengendalikan dirinya. Ia lantas mengusap kasar air matanya, lantas menatap sang sahabat dengan mata sembap. Keduanya sempat beradu pandang sejenak, sebelum Yuta lagi-lagi membuang pandangannya ke arah lain.

"Jangan senang dulu. Bisa aja, nggak ada apa-apa yang kamu dapat," tambah Yuta yang kemudian beranjak.

Sejujurnya, ia masih sangat keberatan, terlebih papanya memberikan bantuan sebesar ini. Sialnya, penolak keras yang diutarakan sama sekali tak berpengaruh, justru ia yang malah lelah sendiri dengan sikapnya terhadap Asta, tetapi rasanya masih sangat gengsi untuk memperbaiki hubungan mereka.

"Ish, sial!" geramnya sambil membanting pintu kamar yang akhir-akhir ini menjadi pelampiasan emosinya.

Pemuda 18 tahun itu lantas merebahkan diri di ranjangnya. Banyak hal yang akhir-akhir ini mengusik pikirannya, membuat mood-nya sering kacau. Selain memikirkan ujian akhir yang akan berlangsung pekan ini, kekhawatiran terhadap Asta benar-benar membuatnya kepikiran.

Tak masalah sebenarnya bila Asta ingin mencari tahu tentang laki-laki bejat itu, tetapi tidak sekarang. Lagi pula, apa gunanya mencari dan meminta pertanggungjawaban pada si berengsek yang bahkan tak pantas dianggap orang tua?

Geram dan kesal dengan keadaan yang ada membuat Yuta benar-benar frustasi. Tak bisakah Asta menerima apa yang ada? Cukup jalani hidup yang bahagia sekarang, tanpa harus memikirkan apa-apa lagi, bukankah itu mudah? Kenapa Asta harus mempersulit hidup?

Tok! Tok! Tok!

Yuta yang baru saja mengacak-acak rambutnya sambil menendangi udara kosong sontak mengalihkan pandangan pada pintu kamar. Ia tak segera beranjak untuk menyambut siapa yang datang, menunggu lebih dulu orang yang ada di baliknya bersuara.

"Yuta, boleh aku masuk?"

"Nggak!" sahut Yuta dengan cepat, beralih menatap langit-langit kamar yang tampak lebih menarik daripada pintu di sana.

Namun, Asta yang berada di baliknya kali ini tidak pergi begitu saja. Tak seperti hari-hari sebelumnya, Asta justru berkeras untuk mengambil perhatiannya. Berusaha untuk membuat Yuta tak mengabaikannya kali ini.

"Sesulit itu, ya, kamu terima semua ini. Sampai-sampai, aku ngerasa kita bahkan lebih asing daripada saat pertama ketemu." Asta memilih untuk duduk di depan pintu, bersandar penuh pada kayu lebar yang tertutup rapat itu.

"Yuta, seandainya aku bisa untuk memilih. Aku nggak akan ambil keputusan ini, dan akan menjalani hidup bahagia dengan kalian sebagai keluarga." Asta menjeda kalimatnya, menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan. "Tapi, itu nggak mudah, Yuta. Tiap liat Mama, rasanya sakit."

Tak ada kalimat tanggapan dari Yuta, entah bagaimana saudara tak sedarahnya itu menganggapi di dalam sana. Namun, kali ini Asta tak menyerah untuk memberi pemahaman pada Yuta. Sejujurnya, ia benar-benar lelah dengan hubungan mereka yang kian merenggang dari hari ke hari.

Asta ingin Yuta seperti dulu. Ia merindukan bagaimana Yuta yang ceria, cerewet, jahil, dan selalu menjadi alasannya tersenyum. Tidak seasing sekarang. Asta pun tidak ingin kehilangan saudara, demi menemukan bajingan itu. Sebab, bagaimana pun, Yuta lebih berarti.

"Aku nggak akan menuntut banyak dari dia, nggak akan pula memaksanya untuk bertanggung jawab. Kalau pada akhirnya dia tidak akan pernah mengakui kesalahannya, maka aku nggak akan melakukan apa-apa. Setidaknya, aku pernah ketemu dengannya, tahu seperti apa dia."

"Kalau pada kenyataannya, dia menerimamu dan ingin membawamu pergi, apa kamu akan ikut?"

Asta menarik kedua sudut bibir, walau tidak begitu lebar. Tanggapan Yuta terasa menggelikan, ketakutan Yuta sebenarnya bukanlah penolakan, tetapi sebaliknya.

"Kamu takut aku pergi dan kita tidak akan jadi saudara lagi?"

Yuta tak serta-merta menjawab, ditatap papan lebar di hadapannya dengan begitu dalam. Ingin rasanya ia meneriakkan bagaimana dirinya takut kehilangan Asta sebagai adik, tetapi terlalu gengsi untuk melakukan itu saat ini.

Andai saja situasinya tidak seperti ini, ia bahkan tanpa ragu akan mengungkap betapa berarti sosok Asta baginya. Sejak pertama bertemu saja, Yuta bahkan berjanji akan menyayangi, melindungi, dan tidak akan melepaskan Asta dari hidupnya sampai kapan pun. Entah apa yang mendasari Yuta sampai begitu peduli terhadap Asta, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu.

"Yuta, sekalipun pada akhirnya aku harus meninggalkan rumah ini dan kembali pada keluargaku. Hubungan di antara kita nggak akan pernah putus dan berakhir. Sejak pertama kali kamu mengakui sebagai saudara, sejak saat itu kita sudah terikat dalam hubungan yang dinamakan keluarga."

Asta kembali bersuara, berharap Yuta benar-benar paham kali ini. "Walaupun tak terikat darah, keluarga tetaplah keluarga, bukan? Meski nanti aku nggak akan tinggal lagi di sini, kita tetap saudara, Ta. Nggak akan ada yang namanya mantan adik, atau pun mantan kakak."

Yuta yang berada di balik pintu kamar tak mampu menahan air matanya. Masa bodoh dengan sebutan cengeng atau apa pun itu. Asta adalah adiknya, sekaligus teman pertama yang ia miliki, jadi bukankah wajar bila ia mengatakan Asta teramat berarti untuknya?

"Yuta ak-"

Belum sempat Asta menyelesaikan kalimatnya, ia dibuat terkejut setengah mati. Yuta membuka pintu dengan kasar hingga membuat ia yang bersandar sepenuhnya sontak terjatuh ke belakang dengan tidak elitnya.

"Eh, astaga!" seru Yuta terkejut dengan Asta yang terjungkal tepat di hadapannya. Ia dengan sigap sontak membantu sang adik untuk bangkit.

"Ngapain, sih?" tanyanya setelah memastikan Asta baik-baik saja. Bisa-bisanya anak itu aktraksi seperti tadi, untung kepalanya tidak sampai terantuk lantai.

Asta tak segera menjawab, jujur saja sakitnya tak seberapa, tetapi malunya itu yang benar-benar tidak tahan. "Kenapa tiba-tiba buka pintu, sih?" tanyanya yang sontak mengalihkan tatapan dari Yuta.

"Lah, ngapain juga kamu pakai sandaran di pintu?" balas Yuta yang kemudian berusaha menahan senyumnya melihat Asta yang tampak salah tingkah.

Asta tak segera menjawab, rasanya benar-benar memalukan. Seketika suasana yang mellow tadi, berubah menjadi canggung seperti ini. Tak ingin berlama-lama di depan Yuta dengan situasi yang seperti ini, ia pun memilih untuk segera pergi.

Namun, Yuta tak mengizinkan itu. Pemuda yang berjarak dua tahun darinya itu menggenggam lengan kurus Asta dengan erat.

"Maaf, ...."

"Iya, nggak apa-apa. Lagian, aku yang salah juga karena sandaran di pintu, nggak mikir kalau bisa aja kamu buka pintu," balas Asta tanpa berani menatap Yuta. Malu sekali.

Yuta yang melihat Asta benar-benar canggung dan salah tingkah akhirnya tak mampu menahan senyumnya. "Bukan itu, As," kata Yuta yang kemudian beralih menyentuh pundak Asta.

"Maaf untuk sikapku akhir-akhir ini. Sorry, kalau aku yang kayaknya terlalu egois, tanpa berusaha memahami apa yang kamu rasakan."

Asta yang sejak tadi menghindari tatapan Yuta, kini sontak menatap pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya. Sorot mata yang telah lama tak ia lihat akhirnya kembali. Senyum yang hilang beberapa hari terakhir akhirnya tampak kembali, membuat Asta benar-benar merasa lega.

"Kamu boleh cari orang itu, kamu juga bisa tinggal sama dia kalau memang dia akan bertanggung jawab. Tapi, jangan sampai kamu benar-benar menghilang dan pergi dariku, karena selamanya kita adalah keluarga. Kamu satu-satunya adik laki-laki yang kupunya."

"Memangnya aku punya saudara lain? Kamu saudaraku satu-satunya, Yuta. Walaupun aku punya keluarga lain, tapi kamu satu-satunya kakakku," balas Asta yang mati-matian menahan air matanya untuk tidak jatuh.

-----

Hai! Hai! Hai!

Akhirnya setelah sekian purnama, aku balik lagi. Ada yang nungguin gak kisah ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top