05 - Keluarga

Asta sama sekali tidak menyangka bila niat mencari sang papa menjadi hal serius bagi keluarga Wijaya.  Ia pikir mereka akan menerimanya tanpa harus berdebat dengan Yuta, menjelaskan secara rinci maksud dan tujuannya pada Giska, serta tatapan tak mengenakkan dari Ziel dan Reyhan.

"Tidak ada yang salah dengan keputusanmu. Kamu berhak untuk menemui dan meminta pertanggungjawaban. Tapi, apa yang dibilang Yuta juga benar. Tidak akan semudah itu untuk menemukannya hanya dengan satu petunjuk yang kebenarannya belum pasti."

"Tapi, aku sama sekali tidak akan menemukan apa-apa kalau mengabaikan petunjuk yang ada. Pasti ada alasan kenapa Mama bereaksi seperti itu. Sekecil apa pun peluang yang ada, aku akan berusaha untuk memanfaatkannya," ucap Asta tanpa mengalihkan pandangan dari tangan Giska yang sejak tadi terus menggenggam jari-jarinya.

Untuk sejenak ruangan itu kembali hening. Lima orang di ruang keluarga tersebut tenggelam oleh pikiran masing-masing dengan perasaan campur aduk. Tempat yang biasanya hangat dan penuh canda, kini menjadi suram. Ketegangan di sana bahkan dirasakan Nindy yang berada di dapur bersama Mbok Yani karena rasa ingin tahunya.

Asta berdesah,  lantas menatap orang-orang di sekitarnya bergantian, sampai tatapannya terkunci pada Yuta yang duduk di depannya bersama Ziel.

"Kalau keputusan mencari papa kandungku salah dan bikin kalian merasa tidak dihargai. Aku minta maaf untuk itu." Asta kembali terdiam sejenak, saat melihat ekspresi Yuta yang tampak emosi. "Tapi, menurutku itu adalah pilihan yang tepat, aku tidak ingin selamanya bergantung dengan kalian. Sudah cukup dengan apa yang kalian lakukan untukku dan Mama selama ini. Aku tidak ingin lebih membebani kalian," lanjutnya.

Yuta membalas dengan cepat, ia sempat tertawa dengan keras dan dipaksakan, lalu menatap Asta. "Sudah berapa kali semua orang dalam rumah ini bilang kalau kamu dan mamamu sudah jadi bagian dari keluarga ini?  Bahkan sejak kita ketemu, kamu sudah kuanggap adikku!

Kita saudara, kita keluarga. Berhenti bersikap dan berpikir kalau kamu masih orang asing di sini. Kamu anak Ayah dan Ibu,  adikku, kakaknya Nindy, dan ponakan Om Ziel. Kamu bagian dari keluarga ini. Jadi, mau kamu bergantung selamanya pun gak akan ada masalah!"

Yuta berhasil membuat ruangan itu menjadi semakin panas. Emosinya yang tak tertahan membuatnya lepas kendali hingga membuat Asta menjadi semakin kacau. Ia dapat melihat jelas raut wajah Asta yang kian keruh, sebelum laki-laki itu menghindari tatapannya.

"Asta—"

"Yuta, cukup!" Rayhan yang sejak tadi hanya diam langsung menyela dengan cepat, mencegah suasana untuk semakin tidak terkendali.

"Kalau memang itu maumu. Kamu bisa ke Jakarta untuk ketemu sama Karina. Saya akan atur semuanya."

Ketegangan yang belum sempat menghilang, kini semakin terasa. Kalimat sang kepala keluarga yang sedari tadi hanya diam itu mendapat berbagai reaksi dari keempat orang di dekatnya. 

"Papa!"

Yuta tak dapat menahan diri untuk menentang. Sorot matanya semakin tajam, tetapi baru saja ingin menyuarakan penolakan dengan lantang, sang ayah menyela lebih dulu.

"Kita tidak punya hak untuk melarang Asta ketemu sama ayahnya, Yuta." ucap Ziel yang akhirnya turut bersuara.

Tidak ada yang salah dengan keinginan Asta. Baik Yuta, maupun orang lain sama sekali tidak menampik akan hal itu. Namun, Yuta tidak benar-benar dapat menerima. Keputusan Asta menemukan laki-laki berengsek itu sungguh mengesalkan. Sialnya, penolakannya sama sekali tidak dihiraukan oleh siapa pun, malah orang-orang yang kini berkumpul di ruang keluarga justru malah mendukung niat Asta.

"Terserah!"

Yuta akhirnya tidak tahan untuk berada di sana, muak dengan percakapan para orang dewasa itu dengan Asta. Sungguh, ia benar-benar kesal dan emosi. Kakinya pun dengan keras menghentak lantai di setiap langkah hingga berakhir di balik daun pintu.

Asta yang melihat tingkah Yuta hanya dapat terdiam, merasa tidak enak dengan laki-laki yang telah berjasa terhadap hidupnya selama ini. Sungguh, ia tidak bermaksud mengecewakan siapa pun.

"Biar nanti Ibu yang bicara sama Yuta.  Dia cukup terkejut dengan keputusanmu.  Terlebih kamu, kan, tahu sendiri dia sangat menyayangimu sebagai saudara, jadinya takut kehilangan." 

Giska kembali menggenggam tangan Asta dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk merapikan rambut Asta. Miris rasanya melihat anak itu sangat kacau dengan tatapan kosong. "Kamu istirahat dulu, ya," ucapnya.

Asta hanya dapat mengangguk pelan tanpa suara apa pun. Ia pun berdiri dan melangkah perlahan menuju kamarnya. Namun, entah karena terlalu lemas, ia nyaris terjatuh dari anak tangga kelima.  Beruntung ia dengan erat menggenggam pegangan tangga sebelum jatuh terguling dan membuat kegaduhan lainnya.

"Hati-hati," ucap Ziel yang dengan spontan menghampiri Asta yang terpaku di anak tangga.

Ia pun menggenggam kedua pundak Asta dan menuntunnya menaiki anak tangga dengan hati-hati sampai di depan kamar Asta. Sebagai dokter,  Ziel tahu bila Asta tidak baik-baik saja, baik fisik dan mentalnya.

"Istirahat, biar Kak Rayhan dan Kak Giska yang urus soal Yuta. Keputusanmu untuk mencari tahu memang tidak salah. Om cuma berharap apa pun yang kamu dapat nanti itu yang terbaik."

Asta lagi-lagi hanya mengangguk, bahkan untuk berbicara pun rasanya tak mampu. Sejak Yuta pergi meninggalkan ruang keluarga, rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Tubuhnya lemas, untuk berdiri saja rasanya ia tak lagi sanggup. Oleh karena itu, sebelum pingsan di depan Ziel dan semakin memperkeruh suasana,  Asta pun segera memasuki kamarnya.

Benar saja, begitu pintu kamar ia kunci, tubuhnya langsung merosot di balik papan lebar itu. Asta tak tahu pasti apa yang salah dengan tubuhnya, hanya saja ia paham bila ada yang salah. Hal tersebutlah yang membuatnya ingin untuk segera bertemu ayahnya, wali yang seharusnya selama ini mendampingi hidupnya.

"Maaf, Yuta."

Asta berucap lirih sambil menyeka darah yang beberapa detik lalu tiba-tiba keluar dari lubang hidungnya. Namun, bukannya berhenti, cairan merah itu semakin jatuh, sampai akhirnya Asta tak dapat merasakan apa-apa lagi.

Berjam-jam pun terlewati sampai akhir kumandang azan subuh membangunkan Asta dari yang masih terkapar di lantai dengan jejak darah di bawah hidungnya. Asta terdiam sejenak di posisinya, mengumpulkan kesadarannya yang sempat hilang, sebelum bergegas bangkit menuju kamar mandi.  Bersiap-siap untuk segera menunaikan salat subuh, sebelum kehabisan waktu.

Setelah siap untuk beribadah, Asta pun bergegas menuju musala guna melakukan salat berjamaah seperti biasa. Asta menarik sudut bibirnya melihat seluruh penghuni rumah masih tetap dapat berkumpul seperti biasa.

"Kak Asta, kenapa? Kok, pucat? Sakit, ya?" 

Pertanyaan polos dan beruntun dari bibir mungil Nindy membuat perhatian orang-orang di sana langsung tertuju pada Asta. Terutama Yuta yang langsung menoleh guna memastikan kebenaran ucapan adiknya.

"Aku baik-baik saja,  Nin," ucap Asta sambil tersenyum kaku. Untungnya tidak ada pertanyaan lebih lanjut karena Ziel sebagai imam sudah ikamah.

Asta pun segera berdiri di samping Yuta seperti biasa. Kali ini tidak ada senyum dan sapaan dari Yuta seperti biasa, membuat Asta merasa tidak nyaman. Namun, untung saja Asta tetap khusyuk melakukan salat, meski fisik, pikiran, dan mentalnya sedang kacau dan berantakan.

"Ta," ucap Asta pelan selepas berdoa. Ia pun menatap  Yuta yang masih tenang di tempatnya.

Hanya tersisa keduanya di musala kecil itu. Yuta yang tidak beranjak sama sekali membuat Asta mengambil kesempatan itu untuk berbincang. Ia tentu ingin meminta maaf atas apa yang terjadi.

"Yuta, aku—"

"Bagaimana kalau dia menolakmu?" sela Yuta yang tertunduk sambil memainkan jari-jarinya.

"Dia harus tetap bertanggung jawab, Yuta. Dia harus menerima kenyataan kalau ada aku dan Mama yang sudah menjadi dosanya. Aku mau dia mempertanggungjawabkan perbuatannya, menebus semua kesalahan yang telah diperbuat sama Mama."

"Jadi, kamu benar-benar akan pergi begitu menemukannya?" Yuta kembali bertanya dengan suara bergetar yang tak mampu ia kuasai.

"Maaf, Yuta," balas Asta yang tertunduk.

"Ternyata cuma aku yang menganggapmu keluarga selama ini. Cuma aku yang begitu peduli dan menganggapmu sebagai saudara. Bagimu, aku dan semua orang di rumah ini tetaplah orang asing."

Asta tak mengatakan apa pun. Kalimat Yuta membuatnya merasa begitu sesak, terlebih saat melihat tangan anak itu mengepal dengan erat.

Yuta adalah sosok yang sangat berarti dan berjasa dalam hidupnya. Sama seperti Yuta yang menganggapnya saudara,  Asta pun demikian.  Hanya saja, Asta tidak dapat bertahan selamanya di sini. Lima tahun sudah ia telah merepotkan keluarga Yuta.

"Yuta, kamu tahu apa yang paling kusukuri dalam hidupku?" tanya Asta yang kembali menatap Yuta. "Itu adalah pertemuan denganmu dan keluargamu. Tanpa kalian, mungkin aku sama Mama tidak bisa bertahan sampai sekarang."

Asta tersenyum tipis mengingat kembali awal pertemuan mereka kala itu. Semuanya masih terekam jelas dalam ingatannya.

"Sama seperti kalian yang mengganggapku berharga sebagai keluarga, aku pun demikian. Kalian bahkan sama berartinya dengan Mama bagiku."

Tidak ada balasan yang diberikan Yuta. Laki-laki itu hanya terdiam dengan kedua tangan yang saling menggenggam erat. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak menumpahkannya emosinya.

"Tapi, Ta, orang yang seharusnya kupanggil ayah-lah  yang harus bertanggung jawab atas hidupku dan Mama, bukan kalian."

Tak dapat untuk menahan diri, Yuta memilih untuk bangkit dari duduknya, meninggalkan Asta seorang diri. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan menerima segalanya.

Asta bukanlah sosok asing baginya, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu. Entah apa yang mendasari perasaannya untuk begitu peduli dan menganggapnya Asta teramat berarti. Oleh karena itulah, Yuta sama sekali tidak ingin Asta terluka, apalagi sampai kehilangannya.

Sialnya, Asta justru memilih jalan yang dapat membuatnya hancur dengan mudah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top