9. Menjelajah
Litha membawaku ke bagian dapur dan memperkenalkan pada semua pembantu berjumlah tujuh orang. Dia juga menunjukkan dua kamar di lantai bawah yang berisi kamar tidurnya Om Pram dan istrinya, serta kamar yang dibuat ruangan keluarga.
"Aku ajak Kak Key berkeliling lagi ya, Paman," ujar Litha kepada Om Pram yang saat ini sedang membaca koran.
"Apa harus sekarang? Kenapa nggak lanjut besok saja, Litha? Kasihan Keyla baru juga selesai berbenah, kan?"
"Ih, paman! Cuma bentar."
"Sudah, besok saja. Entar Keyla capek."
Mendengar itu, Litha langsung cemberut. Lucu sekali. Aku sampai menahan senyum melihat wajahnya.
"Om, kayaknya aku nggak masalah. Aku belum capek kok."
Om Pram meletakkan korannya di atas meja, lalu menoleh ke arahku. "Beneran? Kalau capek jangan dipaksa Key, entar kamu malah sakit." Kemudian beliau beralih ke arah Litha. "Nggak usah ikuti kemauan keponakanku yang paling manja ini," tambahnya sambil menjepit hidung Litha hingga membuatnya berteriak kesakitan.
Sontak Om Pram terbahak dan mengacak puncak kepala Litha. Aku ikut tertawa, namun sebentar. Seketika aku teringat Darrel yang beberapa saat lalu juga mengacak rambut Litha. Mereka berdua, ternyata memiliki kebiasaan yang sama.
Suka menjaili Litha.
Kira-kira Darrel mengacak puncak kepalaku kapan, ya? Eh, kok jadi melantur begini? Tapi kan, aku juga pengin. Ish, kenapa pikiran itu muncul lagi? Tapi kan memang kenyataannya begitu? Arrrrggh! Stop!
"Iya, om, entar kalau capek aku pasti istirahat." Aku tersenyum sopan kala Om Pram beralih melihatku. "Lagian aku masih penasaran dan sangat antusias menjelajah rumah kalian yang luar biasa mengagumkan."
Lebih baik kuarahkan fokusku ke hal lain daripada teringat Darrel terus.
"Nah, Kak Key sendiri ngomong gitu. Kami tuh sama-sama semangat, Paman."
Om Pram tersenyum seraya menatap kami bergantian. "Ya sudah kalau gitu. Kalian hati-hati."
Belum sempat aku menjawab, Litha sudah bersorak dan menarik lenganku keluar. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan spontanitas yang dimiliki gadis periang ini.
Aku diajaknya ke sebuah lorong, lurus. Jalannya seperti makin ke belakang. Sepi dan agak gelap. Hanya diterangi lampu warna kekuningan. Makin lama pendar cahaya lampu putih terang menyambut kami. Semacam mimpi buruk penuh dengan kegelapan dan akhirnya menemukan cahaya untuk pulang.
Kutarik napas panjang. Lega. Berada di luar rumah rupanya lebih menyenangkan. Tubuhku memutar, mencoba memperhatikan dengan seksama apa yang ada di sekelilingku.
Kami berada di halaman belakang rumah, dipenuhi berbagai macam bunga warna-warni dan pohon-pohon rindang yang sebagian besar menaungi bagian atas taman, hingga membuatku hampir tak bisa melihat warna asli langit. Untung saja tamannya terlihat terawat dengan baik.
Jika saja tidak ada lampu sebagai alat bantu penerangan, aku yakin taman ini akan benar-benar gelap.
"Kalau mau menentukan sore atau malam, Kak Key bisa lihat sisi pojok kiri di sana. Cuma di bagian gazebo itu, nggak ada pohon rimbun. Awan juga pasti terlihat, Kak."
Kuarahkan pandanganku sesuai arahan dari Litha. Benar, di pojok sebelah kiri ada gazebo berbahan kayu yang terdapat beberapa kursi dan meja. Meski dihiasi lampu temaram, tempat itu cukup terang karena langit sore terpampang jelas. Tak ada pohon besar dengan daun-daun yang rimbun, hanya tanaman bunga indah dan kolam ikan kecil di sana.
Tempat yang begitu nyaman dan asri. Cuma, ada sesuatu yang sedari tadi membuatku bertanya-tanya. Ini aneh. Mulai dari kejadian di kamarnya Litha sampai di tempat ini, aku merasa selalu diawasi. Seolah-olah ada seseorang yang dengan sengaja memantauku. Tetapi, setiap aku menoleh dan mencoba ingin mengetahui siapa seseorang tersebut, yang kudapati hanya kekosongan. Tak ada siapa-siapa, membuatku kontan merinding.
"Gimana, indah kan?" tanya Litha. Matanya berkilat-kilat layaknya cahaya, menunggu responsku.
Aku mengangguk, bersamaan dengan embusan angin menerpa kami. Seketika kupeluk tubuhku, udaranya mendadak berubah menjadi dingin mencekam.
"Yuk, kita ke dalam Kak Key. Sudah pukul lima lebih sepuluh menit," ajak Litha selepas melihat jam di pergelangan tangannya.
Ia buru-buru menarikku. "Aku tunjukkan tempat terakhir yang bakalan bikin Kak Key terpana. Setelah itu baru kita mandi sore dengan air hangat."
"Masih ada lagi?" tanyaku penuh keheranan.
"Ada, dong. Ikut aku ke lantai atas."
"Lho, bukannya tadi kita sudah ke lantai 2?"
Litha berbalik melihatku sembari berjalan mundur. "Kali ini tempatnya terpisah dengan rumah utama, Kak. Letaknya menyatu dengan kamar para pembantu, cuma ini di lantai atas."
Aku belum sepenuhnya mengerti ada tempat seperti itu, hanya saja saat kami berbelok ke kiri, aku baru teringat satu hal. Ini adalah ruangan tanpa pintu yang pernah kulihat pertama kali saat memasuki rumah Om Pram siang tadi.
Kukira tidak ada ujungnya, ternyata dugaanku salah. Jalannya mengarah pada rumah satunya lagi, bedanya kalau yang ini lebih kecil. Memang sih, rumahnya Om Pram jika dilihat dari depan berbentuk memanjang, menyatu dengan rumah kecil agak ke belakang. Ternyata fungsinya selain untuk tempat tinggal para pembantu, ada juga ruangan lain di atasnya. Menjadikanku makin penasaran.
Kami menaiki anak tangga satu persatu. Sampai di depan pintu kami terdiam.
Klik.
Bunyi pintu terdengar ketika Litha berhasil membukanya. Makin lama kian tersibak lebar. Terbentang sebuah kamar yang begitu berbeda. Maksudku ... bagaimana ya, menjelaskan?
"Tadaaaaa! This is my tiny house!" seru Litha tiba-tiba sambil merentangkan kedua tangannya di depanku.
Netraku terbuka lebar. "A-apa?" Aku menatap Litha dengan pandangan syok. "Tha, rumah sebesar ini mana bisa kamu sebut kayak gitu? Bukannya letak kamar ini masih dalam satu wilayah dengan rumah utama kalian, kenapa kamu sebut dengan ... ah, nggak mungkin! Kamu pasti bercanda, kan?"
Litha tergelak-gelak. "Oke. Memang nggak mungkin, tapi aku sebut gitu karena hanya tempat ini yang beda. Setuju kan sama pendapatku, Kak Key?"
Aku menggigit ujung jariku, lalu menatap Litha agak ragu-ragu. "Jadi ..., ungkapan tiny house kamu ambil dari segi perbedaan desainnya?"
"Yup, betul," sahutnya sembari mengangguk mantap. "Kalau Kak Darrel menyebutnya Rumah Surga."
Kusapu pandanganku di setiap penjuru kamar. Mataku membelalak dan diiringi dengan bibirku yang belum mengatup. Aku menganga tak percaya. Tanpa sadar aku berjalan lebih maju seraya tak henti-hentinya menatap kagum pemandangan di depanku.
"Kurasa aku lebih setuju sebutan Darrel daripada kamu, Tha."
"Woaaah, kalian benar-benar cocok dan sehati," timpal Litha, yang membuatku sontak menjadi patung dalam sejenak.
Litha terkikik-kikik sambil menangkup mulutnya. Ish, aku baru sadar apa yang barusan kukatakan. Aku sangat malu. Seketika aku gelagapan dan membuang wajahku ke arah lain. Tapi memang benar, kok. Kamar ini berasa surga.
Lihat—dari awal masuk—kita sudah disuguhi dekorasi yang benar-benar memiliki konsep mewah dan elegan. Sofa bed berwarna abu-abu dipadukan dengan meja kaca hitam, seperangkat televisi beserta meja penyangga yang sesuai dan tak lupa diberikan tanaman hias hingga terlihat terasa segar. Lukisan-lukisan berjejer secara rapi di dinding yang serba putih. Di ruangan sebelahnya terdapat kitchen set mini putih yang bersih, simple dan modern dengan dinding berwarna sama.
Ruangan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Tidak ada pintu di tiap ruangan, bergaya terbuka dan terhubung dengan ruangan lain. Nampak sekali memang sengaja dibuat seperti itu.
Makin masuk ke dalam, kita bisa melihat panorama serba kayu. Oh, ya, semua lantai di sini semua bermotif kayu.
Pandanganku kini tertuju ke arah perpustakaan yang terlihat dari tempatku berdiri. Nah, adanya perpustakaan mini inilah alasan utama kenapa aku setuju menyebut Rumah Surga. Surganya ilmu. Tapi juga pemilihan warna perabotan dan tatanan ruangnya tak kalah luar biasa bagus. Menambah nilai tersendiri.
Kamar tidurnya juga didesain secara modern dan minimalis, dengan memberikan sentuhan warna kayu dan putih. Di balik dinding kamar, dilengkapi rak lemari multifungsi yang menyimpan berbagai macam pakaian gantung, sandal, sepatu, tas, bahkan koperku juga ada di sana.
Yang pasti desainnya ini lebih simple, elegan, modern dan tidak monoton. Lebih keren dan cerah. Berbeda dengan....
"Memang rumah Paman Pram sangat besar dan megah, tapi bangunannya agak kusam dan kuno. Terkesan gelap dan angker." Baru saja aku mau bilang gitu. Tetapi, untung aku tidak mengatakan secara langsung. Kulihat Litha terdiam sebentar sebelum akhirnya tersenyum, namun agak kaku. "Biasalah, Kak, bangunan tua."
Aku jadi nggak enak. Apa jangan-jangan tanpa bicara, gestur wajah serta tubuhku tampak tidak nyaman?
"Kakek yang memilih semua warnanya. Kakek memang suka banget warna gelap, bahkan di saat beliau meninggal dan mewariskan rumah ini untuk ditinggali, Paman Pram sedikit pun nggak mengubah semua isi dan dekorasinya," terangnya.
Aku tersenyum kikuk, masih merasa tidak enak. "Mungkin kakek kamu cenderung lebih suka rumah bergaya klasik, Tha, daripada rumah modern minimalis yang ada di ruangan ini."
Tahu-tahu Litha tersenyum lebar ke arahku. "Oh, ya, semua ini yang desain Kak Darrel, lho."
Aku mengernyitkan dahiku, dan mencoba mereka ulang ucapan Litha barusan. "Darrel yang desain? Eh, tapi tadi kata kamu, Om Pram nggak mengubah sedikit pun—"
"Iya, memang nggak diubah," sela Litha. "Dari awal cuma tempat ini yang masih kosong. Dulu waktu SD, sering kami jadikan kamar bermain saat lagi kumpul bareng. Dan dari kecil Kak Darrel suka banget menggambar. Tapi sejak SMP, Kak Darrel lebih suka menggambar dan mendesain ruangan. Makanya bibi yang mengizinkan Kak Darrel mengaplikasikan semua idenya pada ruangan ini," lanjutnya. "Coba lihat perpustakaan itu, Kak."
Kuputar tubuhku saat Litha menghampiri rak lemari penuh buku. Kedua mataku membulat dan aku terkagum-kagum begitu menyaksikan salah satu lemari itu dibuka layaknya pintu, hingga terlihatlah ruangan di dalamnya. Kupikir tadi nggak ada pintunya sama sekali. Akhirnya, aku pun turut mendekat.
"Ada ruang rahasia di balik lemari perpustakaan ini, Kak. Disulap jadi ruang kerja deh sama Kak Darrel," ucap Litha.
"Ruang kerja? Buat siapa, Tha?"
"Buat Kak Darrel sendiri. Tiap Kak Darrel punya ide, ia sering ke sini menggambar desain apa pun yang Kak Darrel mau. Sampai sekarang sudah banyak banget desain yg Kak Darrel bikin, salah satunya ia terapkan di ruangan ini, termasuk perpustakaan mini ini, Kak."
"Oh...."
Aku menganggut-anggutkan kepalaku menanggapi penuturan Litha. Satu lagi kelebihan yang aku tahu dari Darrel. Ah, memang benar dugaanku, Darrel punya banyak kelebihan yang ia sembunyikan.
Dalam diam, aku senyum-senyum sendiri sembari membayangkan wajah Darrel. Aku suka cowok kayak dia. Cowok yang nggak memperlihatkan kelebihannya di depan banyak orang, meskipun ia memang pantas membanggakan diri. Namun bagiku, cowok kayak gitu yang membuatku makin penasaran dan selalu ingin tahu lebih tentang dirinya.
Membayangkan kelebihan dan pesona ketampanannya diketahui oleh cewek-cewek di sekolah saja membuatku ingin menangis. Aku pasti akan lebih susah menggapainya, atau mungkin aku malah tersingkir tanpa bisa melawan. Berbalik pergi kemudian menyesali kebodohanku. Merana, kacau, menyedihkan dan ... hancur. Arrgghh, tidaaaak! Aku nggak sanggup jika harus memikirkan lebih jauh lagi.
"Oh, ya, Kak Key suka baca nggak?" tanya Litha yang membuatku tersadar dari lamunan.
"Suka banget, Tha." Kedua sudut bibirku terangkat dan pandanganku berkeliling melihat berbagai macam buku di hadapanku.
"Ya sudah, nanti Kak Key sering-sering saja ke sini." Ia berpindah duduk di sebuah sofa dekat meja kerja Darrel. "Aku biasanya duduk santai di sini, sambil baca buku juga, Kak."
"Apa ... tidak masalah aku nanti sering ke sini?" tanyaku ragu-ragu.
"Nggak apa-apa dong, Kak."
"Maksudku, eee ..., apa D-darrel nggak keberatan?"
Sesaat Litha hanya menatapku, lantas tersenyum tapi terkesan menyeringai. Aku nggak tahu kenapa. Tetapi tiba-tiba ia berkata, "Tenang saja Kak Key, bisa aku urus."
..........................🎃🎃🎃..........................
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top