6. Penampakan

Semalam aku berhasil meyakinkan bunda dan ayah. Kuceritakan semua tentang tempat kos yang kudapat. Selain biaya murah, lokasi tak seberapa jauh dengan sekolah, sampai pada siapa teman sekamarku nanti, minus soal rumah tersebut.

Maksudku ... aku tidak menerangkan apa pun mengenai seberapa besar rumah itu dan apa yang pernah kulihat.

Memang, tujuanku mengambil foto untuk kuperlihatkan pada bunda ayah, namun jika penampakan pada gambar sangat menyeramkan, nggak mungkin kan aku nekat menunjukkannya?

Aku takut bukannya melepasku, mereka justru akan melarangku dan tetap membawaku pulang ke desa. Dengan kata lain, aku harus tetap keluar dari sekolah.

Sesungguhnya semalam juga kukatakan pada bunda ayah, bahwa akan sulit pindah sekolah jika memasuki kelas XII sepertiku, apalagi sekarang sudah menginjak semester 2. Mereka saling berpandangan dan terlihat seakan baru menyadari apa arti ucapanku. Sama-sama membelalak kaget.

Aku ingin tertawa tapi tidak kulakukan. Mengingat perusahaan kami baru dilanda kebangkrutan, wajar saja mereka tak sempat memikirkan itu sebelumnya.

Tapi yang jadi permasalahan sekarang sudah berbeda. Kini aku bukan hanya diserang rasa gelisah, namun juga ketakutan yang melanda.

Sudah dua puluh menit yang lalu—sejak kami bertiga masuk ke dalam taksi—jemari tangan dan kakiku gemetar tak mau berhenti. Meski terlihat samar, akan tetapi aku bisa merasakan dengan jelas.

Tatkala bunda ayah masih sibuk bercerita dan mengenang tempat-tempat indah di Surabaya, aku malah berpura-pura menutup mataku sambil bersandar dan melipat kedua tanganku di depan dada. Kukepalkan tanganku kuat berharap gemetarnya hilang, ternyata juga percuma.

Pikiranku kembali berputar pada penglihatanku kemarin di rumah itu. Wanita dengan wajah yang begitu menakutkan dan penuh dengan darah. Seakan sengaja menatapku dan menantangku untuk masuk ke dalamnya.

Bibirku ikut bergetar, gigiku pun gemeletuk saling bergesek. Ketakutan nyata dan imajinasi melebur menjadi satu bagaikan bayang-bayang berlarian mengejarku.

Apakah nanti ayah bunda akan melihat hal sama sepertiku? Bagaimana reaksi mereka setelahnya?

Dari segala rasa takutku, aku rasa membayangkan reaksi bunda ayah yang paling menerkamku. Ketakutan imajinasiku menang. Ia membelengguku pada sebuah tebakan-tebakan menjerumuskan.

Selepas melihat tempat kos nanti, aku takut bunda ayah akan mencegahku untuk tinggal dan mengajakku mencari kos lain. Bukan soal mencari kos yang aku risaukan, tetapi bisa jadi mereka berdua akan batal pulang ke kampung dan berbalik menemaniku menetap di Surabaya, walaupun hanya di sebuah kos yang sempit.

Aku sedih. Aku merasa bersalah jika semua itu terjadi. Aku tahu ayah pulang ke desa berencana menggarap sawah yang masih tersisa satu petak. Selama ini ayah mengambil jasa para petani untuk mengerjakan sawah kami atas dasar bagi hasil, namun kali ini katanya akan dikerjakan sendiri agar hasilnya tidak terbagi. Ayah juga sudah memikirkan beberapa usaha kecil-kecilan di sana dan berjanji jika semua uang sudah terkumpul, beliau akan kembali ke Surabaya dan membangun perusahaan kami lagi dari nol.

Ayah dari dulu memang tak kenal kata menyerah. Ada saja ide-ide baru yang bisa menumbuhkan semangatnya. Maka dari itu, aku tidak mau menjadi perusak rencana ayah jika sampai mereka batal pulang ke desa. Aku tidak mau menjadi penghambat bagi keluargaku.

"Key, bangun. Sudah sampai." Suara itu menyentakku dan membuatku kontan membuka mata. "Itu benar rumahnya? Nomor 123 kan?" tanya bunda.

Kepalaku mengangguk kaku dan spontan bersikap waspada. Aku turun mengikuti bunda, sedangkan ayah mengambil barangku di bagasi mobil.

"Rumahnya besar banget, Key. Kamu nggak salah dapat harga segitu murahnya? Dua ratus ribu per bulan? Kamu sudah pastikan harganya?" Ibu memberondongku dengan berbagai pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan anggukan dan ringisan.

"Iya. Besar banget rumahnya, Key," timpal ayah saat sudah berdiri di sampingku.

Aku berjalan maju menuju pagar dan menekan bel. Satpam keluar dari balik pos dan menanyaiku beberapa pertanyaan dan kujawab seadanya. Pagar dibuka dan terpampanglah rumah tinggi menjulang di depanku.

Aku maju selangkah dan seketika terjangan angin berpadu reruntuhan daun berguguran menerpa wajahku. Membuat tubuhku sontak menegak dengan perasaan was-was.

Aku berbalik melihat ayah bunda dan mengajak mereka masuk. Kami berjalan pelan menyusuri beberapa pohon peneduh di kanan kiri kami sepanjang sepuluh meter, lalu dihadapkan halaman kosong penuh rumput hijau yang begitu luas. Ringkasnya, dari pagar sampai depan bangunan rumah saja kira-kira panjangnya sekitar 25 meter. Belum luas rumahnya!

Terlihat Litha berlari kecil menuruni tangga depan menyambutku disusul oleh laki-laki paruh baya di belakangnya. Litha menghambur ke pelukanku lantas menyapa ayah bunda penuh riang.

"Saya Pram, pamannya Litha yang nanti akan sekamar dengan anak kalian," terang laki-laki tersebut sambil bersalaman dengan orangtuaku. "Ayo, kita masuk ke dalam."

"Nggak perlu repot-repot, Pram. Kami di sini saja," tukas ayah. "Melihat rumahmu sebesar ini, apa nggak salah kalian meminta anak saya membayar kos segitu murahnya? Apa kalian serius, bukan hanya bercanda?"

Lelaki yang bernama Pram itu tertawa pelan menanggapi ucapan ayah. "Sebenarnya kalau boleh jujur, saya nggak keberatan mengenai hal itu, bahkan nggak membayar pun nggak masalah. Ada yang mau menemani Litha di rumah ini saja, saya sudah bersyukur," katanya. "Anak saya cowok, kalian pasti tahulah sulitnya cowok sama cewek jika disatukan," lanjutnya, kemudian mengedikkan bahu dengan gaya bibir dimajukan. "Sangat nggak nyambung obrolannya."

Kami sontak tertawa, tak terkecuali Litha. Dia sosok paman yang humoris, ternyata.

"Lagian, itu hasil negosiasi dari mereka sendiri, lho," tambahnya sembari tangan kiri tersembunyi di saku celana, sedangkan tangan kanan menunjuk kami berdua. "Ya ... biarkan sajalah, hitung-hitung belajar bisnis tawar-menawar. Siapa tahu nanti gantian saya yang ditawar," katanya lagi, lebih mengarah ke gurauan.

Lucu sih dan menggelikan, nyatanya kami semua kembali tertawa tanpa beban dan tidak ada kecanggungan. Litha bahkan terlihat menonjok lengan pamannya saking gemasnya.

Pamannya Litha amat bersahabat dan ramah, jelas saja mereka terlihat akrab dan seperti tidak ada sekat di antara keduanya. Penampilan pamannya juga terlihat santai tapi tetap stylish walaupun hanya memakai kaus longgar berwarna biru dan celana kain kasual.

"Tapi, tunggu dulu. Jika Keyla bisa mendapat porsi untuk memilih nominal harga kos, saya juga harus kebagian porsi, dong," celetuknya sekali lagi. Ia mengerling pada Litha yang sempat melotot ke arahnya.

Aku terdiam lalu menelan ludahku. "Eee ...apa itu, Om?"

"Urusan makanan kamu harus bergabung dengan keluarga kami tanpa harus membayar sepeser pun. Bagaimana?"

Mataku membelalak mendengar permintaan yang tak masuk akal dari Om Pram. Biaya kos segitu murahnya ditambah lagi tanpa biaya konsumsi?

"Aku setuju kalau itu, Paman," sahut Litha dan langsung mengaitkan tangannya pada lengan Om Pram.

"Maaf, apa ini nggak terlalu berlebihan?" Aku menoleh ke arah bunda yang saat ini angkat bicara. "Keyla sudah diberikan harga murah untuk tinggal di sini saja kami sudah sangat berterima kasih, apalagi harus—"

"Nggak berlebihan sama sekali kok. Siapa saja yang tinggal di rumah kami akan selalu kami anggap sebagai keluarga sendiri. Nggak usah terlalu dipikirkan."

Bunda, ayah dan aku kembali mengucapkan rasa terima kasih kami yang sebesar-besarnya. Di kota besar seperti ini, aku rasa jarang ada orang sebaik mereka.

Hingga datang waktu untuk melepas kepergian bunda ayah, aku mengantar mereka sampai di depan pagar. Berpelukan agak lama, bahkan bunda sampai menangis sambil mencium pipiku berkali-kali. Kata nasihat pun tak henti-hentinya terucap silih berganti.

"Eee ... jadi, menurut kalian gimana?" tanyaku ragu.

"Ya, baguslah. Pram dan Litha juga welcome banget sama kamu. Jadi, bunda dan ayah lebih lega sekarang," ujar bunda. "Ya, kan, Mas?"

Ayah tersenyum dan mengangguk, sebagai jawaban dari pertanyaan bunda. Sementara aku ... gimana ya, sebenarnya bukan ke situ arah pembicaraanku. Aku senang sih mereka berdua setuju sepenuhnya aku kos di sini, hanya saja ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sekarang.

Aku berdeham dan menggaruk tengkukku yang tak gatal sama sekali. Aku menatap mereka seraya tersenyum, agak kikuk juga. "Maksud Key, apa ... bunda ayah tadi lihat sesuatu di rumah itu?"

"Maksud kamu?" sahut bunda, lebih cepat dari perkiraanku. "Kami nggak melihat apa-apa selain Pram dan keponakannya."

"M-m-maksudnya Key, bunda tadi ...," Kubasahi bibirku, gelisah tiba-tiba menyerangku. Mataku mencoba bergerak dari kanan ke kiri, mencari sesuatu yang bisa aku alihkan agar pikiranku nggak terfokus pada satu titik. "ah, ya! Apa bunda nggak lihat anaknya Om Pram? Bukannya tadi beliau bilang punya anak cowok?"

Huft ... aku mendesah lega. Untung aku bisa menemukan pertanyaan yang cocok di waktu yang tepat.

"Oh, itu." Kulihat bunda menatapku geli, entah apa yang ia pikirkan, kemudian beralih pada ayah. "Mas tadi lihat nggak anaknya Pram? Si Key, nanyain tuh."

Bagus! Sekarang mereka berpikir yang bukan-bukan tentangku. Aku mulai mengerti dari mimik wajah bunda. Ayah pun kini ikut-ikutan memberikan respons yang sama, bedanya ayah mencoba menahan senyum yang sudah ada di ujung bibir. Bikin kesal kan, tapi mau bagaimana lagi. Itu lebih baik daripada menganggapku gila karena menanyakan sesuatu hal gaib. Ih, aku kayaknya sudah mulai paranoid.

"Tenang saja Key, ayah pikir anaknya nanti nggak akan jauh beda dengan sifatnya Pram. Dia pasti cowok yang baik dan ramah. Kami yakin," tutur ayah memberikanku ketenangan. Aku mengangguk mantap. Ya, semoga saja.

Akhirnya ayah bunda masuk ke dalam taksi dan katanya nanti langsung mau turun ke Terminal Bus Purabaya. Ya, mau ke mana lagi kalau bukan langsung pulang ke desa. Bukankah besok rumah kami sudah disita bank?

Aku menghela napas berat seraya melambai pada taksi yang masih terlihat dari jarak pandangku. Semoga saja kami sekeluarga masih diberikan kekuatan untuk menghadapi ujian kali ini.

🎃🎃🎃

Aku mengangkat koper yang berisi baju dan peralatan-peralatan kecil yang mesti kubawa. Baru di tangga kedua, Om Pram sudah menyuruhku membiarkan saja dan nanti akan diangkat oleh Pak Samin—salah satu pembantu di sini.

Litha meraih tanganku dan mengajakku ke dalam rumah. Sejak pintu besar itu dibuka rasanya ada aura aneh yang mengikatku hingga membuat dadaku sesak.

Aku mencoba diam saat pertama kali memasuki rumah itu. Tangan Litha terlepas dari genggamanku dan ia berganti membentangkan kedua tangannya dan berteriak, "Selamat datang di rumah kami...!"

Aku tersenyum kecil dan berusaha menampakkan wajah bahagia di depannya. Mataku menatap awas setiap detail dari rumah ini.

Di depan pintu utama terdapat tangga kayu berukiran, melingkar ke atas sampai lantai 2. Di sebelah kiriku terdapat ruang tamu luas berisi sofa, meja dan beberapa hiasan rumah yang terbilang mewah dan elegan. Guci-guci bernilai tinggi terpajang indah sesuai tempat yang pas. Gorden berwarna putih bermotif daun-daun hijau terikat rapi menutupi setengah jendela kaca besar di beberapa sisi rumah, mendatangkan cahaya menembus hingga terlihat seperti menara sunyi yang dikelilingi oleh hangatnya sang mentari.

Jika aku bergeser tiga langkah ke kiri, tepat di depanku ada dua ruangan yang tertutup. Ruangannya cukup besar namun ada hiasan di tiap pintunya, seperti memang dikhususkan untuk kamar. Mungkin kamar tamu, atau ... entahlah.

Sedangkan di bagian kananku, ada pintu masuk ke sebuah ruangan dilapisi kaca. Dari sini terlihat seperti ada satu set meja makan. Ah, ruangan dapur dan meja makan! Tebakanku kemungkinan benar. Di sampingnya lagi ada dua ruas jalan. Yang satu menuju ruangan kosong tanpa pintu tetapi terlihat seperti nggak ada ujungnya. Dan satunya lagi jalan lurus, semacam lorong, tapi aku nggak tahu batasnya sampai di mana dan ke arah mana.

Oh, ada satu lukisan besar yang tertempel di dinding yang berada di antara ruangan dapur dan ruangan kosong tanpa pintu itu. Lukisannya berada dalam sebuah kaca bening yang menjorok ke dalam. Lukisan sebuah keluarga. Lukisan hitam putih terdiri dari sepasang suami istri dan anak cowok kurang lebih seumuran anak SMP.

Kulihat Om Pram membawa koran dan berjalan ke ruangan di sebelah kiriku, firasatku mengatakan salah satu ruangan yang kusebut tadi berarti ruangan keluarga.

"Acara lihat-lihatnya di sambung lagi nanti ya, Kak Key. Pasti bakalan aku ajak berkeliling, kok. Kak Key perlu berbenah atau istirahat lebih dulu," ujar Litha, lantas memintaku menyusulnya dari belakang.

Litha menaiki tangga satu demi satu. Saat langkahku menapak di satu tangga, aku kembali terdiam. Kugerakkan kepalaku pada lukisan tadi.

Ada yang aneh. Dan aku merasa ada sesuatu di sana.

Kupejamkan mata sejenak, sebelum memantapkan keinginanku. Perlahan kuangkat ponsel yang sedari tadi kugenggam, mengarahkan pada lukisan tersebut.

Sudah kutekan tombol kamera. Mataku memejam lagi, mencengkeram kuat-kuat rasa takut yang tiba-tiba menyergapku. Kudekap erat ponsel ke dadaku, rasanya tangan ini begitu kuat ingin meremukkan dan menghapus gambarnya, kalau mau. Namun aku urung, melihat begitu tak kalah kuatnya rasa penasaranku.

Kuarahkan kamera itu mendekat, tepat di depan mata. Kubuka lagi layar ponsel yang sudah keburu terkunci otomatis. Kuamati. Kulihat seksama.

Dan demi Tuhan, tanganku lagi-lagi gemetar. Jantungku tiba-tiba memompa cepat layaknya sebuah organ yang melemah ketika pusat peredaran darah tak mau mengalir. Organ tubuhku butuh jantung agar bisa bereaksi, tapi kenapa harus berkecepatan tinggi begini.

Aku takut, aku diserang gagap yang tak mau mengeluarkan suara apa pun. Mataku membola diiringi dengan tatapan syok.

Foto itu ... gambar itu ... wajah mengerikan penuh darah. Menjijikkan dan kali ini dipenuhi belatung yang terus saja menatapku. Seperti kemarin!

Aku mual. Aku ingin wajahku bergerak ke mana pun asal jangan wajah itu. Namun, kenapa aku susah sekali menggerakkannya. Ini tubuhku. Dia milikku. Harusnya aku bisa, tapi kenapa tetap tidak bisa....

"Kak Key! Ayo...," panggil Litha dari atas yang sudah sampai di lantai 2.

Aku spontan mendongak sekaligus bisa merasakan diam-diam tubuhku mulai merileks. Akan tetapi, bukan sampai di situ. Sekarang yang terjadi padaku lebih gawat lagi. Lebih berbahaya. Aku kritis.

Jantungku berdetak cepat sekali. Tetapi detakannya ini lain, bukan karena takut, namun efeknya bisa membuat seluruh otot di tubuhku berhenti berfungsi. Aku bahkan merasakan pasokan udaraku mulai menipis.

Di depanku—tepat di tengah tangga—ada dia. Cowok yang selama ini menjadi alasan terbesarku bertahan di sekolah. Membentuk fantasi kebahagiaan setiap melihatnya. Ia selalu mampu membuat darahku berdesir hebat. Yang berhasil menjerat hatiku sampai sekarang.

Cowok di depanku, dia ... Darrel!

......................🎃🎃🎃..........................
Kalau mau jujur, sebenarnya aku orangnya takut bgt kalau liat film horor. Tiap liat tv, aku harus siap bantal atau guling buat jaga jaga ntar bisa sembunyi di sana kalau setannya muncul wkwkkwk

Tapi anehnya ini nggak tau kerasukan apa, tiba-tiba ingin buat cerita horor. Karena dasarnya penakut, jadinya nggak akan kubuat parah-parah ini seramnya, cuma mungkin lebih sedikit banyak di teka-teki, tebakan-tebakan yang buat tegang wkwkkwk yang penting kan tetap ada setan dan momen romantisnya uhuy😍😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top