Pulang dari sekolah kukatakan semua info yang kudapat dari Bu Rika kepada ayah dan bunda. Tentang rencana tambahan jam belajar, di awal sebelum jam pertama pelajaran berlangsung.
Aku mungkin kelewat menggebu bercerita sambil manyun, menunjukkan betapa jengkelnya aku jika harus berangkat lebih pagi lagi dari biasanya, hingga tak kusadari ada yang aneh dari gerak-gerik orangtuaku sendiri.
Mereka sedari tadi hanya diam, tidak merespons ucapanku. Tidak seperti biasanya, yang selalu tersenyum dan menanggapi apa pun ceritaku.
Akan tetapi, ini berbeda. Mereka tetap diam. Malahan sekarang bunda menangis sambil menghapus air mata yang tiba-tiba merebak di pipinya. Aku tertegun.
Apakah ada masalah?
"Bunda, kenapa menangis?" tanyaku, setelah beringsut lebih merapat di sampingnya bunda. "Katakan, Bun. Apa Keyla melakukan kesalahan?"
Bunda menggeleng. Aku beralih menatap ayah yang berada di sisi kanan bunda. Ayah hanya menarik napas berat lalu menunduk, menghindari tatapanku.
Aku dibuat bingung. Dahiku saat ini mungkin sudah berkerut berkali-kali lipat. "Ayolah, jangan begini. Kumohon kalian jujur, ada apa sebenarnya?"
"Perusahaan ayahmu bangkrut, Key."
"Apa?!" pekikku seketika.
"Ayahmu ditipu rekan bisnisnya. Uang kita semua dibawa lari olehnya."
"Kok bisa gitu, Bun? Ceritanya gimana? Memangnya nggak ada kesepakatan atau tanda tangan kontrak sebelumnya?" tanyaku beruntun.
Aku masih belum mengerti dengan jelas. Maksudku, kenapa bisa sampai kena tipu?
"Ayahmu dapat proyek besar dari rekannya yang sering bekerja sama dengan perusahaan kita. Kali ini ayahmu harus membangun kompleks perumahan di berbagai tempat dari developer yang sama." Kulihat bunda menjeda perkataannya, menyapu air mata dengan tisu di genggamannya, hingga membuatku langsung mengusap lembut punggung bunda untuk menenangkan beliau.
"Kontrak tertulis sudah disepakati, Key. Hanya saja, surat perjanjian tiba-tiba hilang. Dan juga, biasanya ayahmu akan meminta uang muka lima puluh persen, dan sisanya setelah pengerjaan sudah hampir memasuki tujuh puluh persen. Tapi ini Pak Yanto memohon keringanan uang muka tiga puluh persen, dan sisanya jika pekerjaan sudah selesai semua. Karena kita sudah menjalin kerja sama bertahun-tahun lamanya dan tidak pernah ada masalah, ayahmu akhirnya menyutujuinya," ujar bunda lagi. Kali ini bunda menangis sesenggukan, dan aku nggak bisa melakukan apa-apa selain diam menunggu kelanjutannya dengan sabar.
"Konstruksi bangunan sudah dirancang oleh arsitek, sudah terlanjur dibangun juga. Akan tetapi sesudah semuanya tuntas, Pak Yanto ternyata tidak membayar sisa pelunasan itu, malah membawa lari semua uang ayahmu," terang bunda sembari menangis hebat.
Sontak saja aku langsung memeluk bunda.
"Demi proyek itu, ayahmu rela menggadaikan semua aset perusahaan, mobil bahkan rumah ini, Key," ucap bunda masih dalam pelukanku.
Aku terhenyak. Apakah itu berarti, sekarang kami sudah tidak punya apa-apa lagi?
"Apa kalian sudah menghubungi polisi?" Saat tak kudapati jawaban, aku menarik diri agar bisa duduk tegak.
Kudaratkan tatapan bertanya pada ayah. Alih-alih jawaban yang kudapatkan, ayah malah menundukkan kepalanya semakin dalam. Terlihat sekali ayah juga sangat terpukul.
"Kami sudah laporkan pada polisi, tapi sampai sekarang Pak Yanto tidak ditemukan batang hidungnya. Dan hari senin nanti, rumah ini akan disita bank, Key!" isak bunda, lantas menutupi wajahnya dan menangis lagi. "Hari minggu kita harus pindah dari rumah ini. Harus, Key!"
Serasa ada bunyi petir bersahut-sahutan di atas kepalaku. Tatapanku mendadak kosong. "Apa itu artinya Keyla juga harus pindah sekolah, Bun?"
"Ya, Key. Kamu harus pindah sekolah. Kita harus pindah dari kota ini secepatnya."
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku kuat. Nggak! Aku nggak mau pindah. Aku mau tetap sekolah di sini.
"Maafkan ayah, Key. Gara-gara kesalahan ayah, kamu harus pindah sekolah. Gara-gara ayah, kalian harus menanggung semuanya. Gara-gara ayah, kalian—"
"Mas nggak salah. Sudah, aku nggak apa-apa. Hanya saja ini membuat bunda syok dan memikirkan banyak hal, Mas. Termasuk sekolah dan pendidikan anak kita selanjutnya." Kudengar tangisan bunda kini sudah mulai mereda dan tenang kembali. Namun sebaliknya, kurasakan frustrasi sedemikian kuat membelengguku.
"Sekali lagi ayah minta maaf, Key. Dengan sangat terpaksa minggu nanti, kita harus pulang ke desa. Besok ayah akan ke sekolahmu dan mengurus kepindahanmu."
"Tap-tapi, aku sudah kelas tiga, Ayah. Sebentar lagi Key akan menghadapi ujian nasional juga."
"Terus kalau nggak ikut pulang ke desa, kamu nanti gimana, Nak? Tinggal sama siapa? Di mana?" cecar bunda.
Aku menunduk sembari meremas rok seragamku. "Untuk sementara waktu, a-aku kan bisa cari kos di dekat sekolahku, Bun."
"Kamu yakin masih ada kos yang murah di dekat sekolahmu? Setahu bunda, di sekitar sana adanya perumahan elit yang mustahil menerima kos, Key," timpal bunda, seperti bermaksud memengaruhiku.
"Tapi kan belum kita coba, Bun. Siapa tahu ada. Atau di belakangnya perumahan itu juga ada perkampungan, aku yakin di sana banyak kos." Aku menatap bunda, meski ragu masih bergelayut di benakku. "Boleh aku coba cari dulu, ya, Bun? Key mohon...."
"Key, ini bukan masalah ada atau nggaknya tempat kos, tapi kamu di sini nggak kenal siapa-siapa. Kita nggak punya sanak saudara di Surabaya. Kamu nggak tahu seberapa banyak kejahatan di luar sana yang bisa saja—"
"Bun, aku janji akan berhati-hati. Aku janji akan baik-baik saja. Aku nggak bisa asal pindah sekolah begitu saja, belum lagi nanti harus adaptasi dengan teman-teman baru di sana. Key takut malah nggak fokus sama ujian nasional nanti. Ya, Bun? Please...."
"Key—"
"Mungkin lebih baiknya kita ikuti dulu permintaan Keyla," potong ayah sebelum bunda menyelesaikan ucapannya. "Kita lihat dulu anak kita bisa mendapatkan kos apa tidak."
"Tapi mas, soal makannya gimana? Kalau nanti anak kita tiba-tiba sakit, gimana?"
"Sudahlah, Sayang. Kita nggak usah mikir macam-macam dulu. Kita lihat saja nanti," tukas ayah, kemudian berpaling ke arahku. "Kamu cari kos mulai kapan, Key?"
"Besok, Yah," jawabku cepat. Karena sekarang hari jumat, jadi kesempatanku mencari kos hanya besok saja.
Ayah tersenyum mendengarku yang terlalu bersemangat. "Oke, ayah setuju. Tinggal menunggu pendapat bundamu sekarang."
Hening.
Aku menunggu seraya menatap bunda khawatir. Takut-takut bunda masih kukuh menentang keputusanku.
Sedetik berlalu, hingga melewati satu menit. Rasanya satu menit saja seolah satu jam bagiku. Sangat menegangkan. Aku masih saja setia menunggu jawaban bunda dan berdoa dalam hati agar diperlancar harapanku kali ini. Oh, God, help me. Please....
"Ya, sudah. Tapi kamu harus janji sama bunda, jika besok kamu nggak dapat kos yang sesuai dengan kriteria bunda dan ayahmu, kamu harus terpaksa pindah dan bersekolah di desa. Gimana?"
Kugigit bibir bawahku. Ada rasa was-was menggerogoti jika seandainya aku tak bisa mencari kos yang cocok. Tetapi bukankah ini kesempatan satu-satunya untukku saat ini?
Selepas memantapkan hati dan mengumpulkan keyakinan yang tidak seberapa, serta-merta aku mengangguk dengan mencoba menampilkan wajah senang. "Ya, Bunda. Makasih," jawabku dan sontak memeluk bunda dan ayah bergantian.
Sama sekali aku nggak menyalahkan ayah atas apa yang terjadi dalam keluarga kami sekarang. Aku tahu, semua usaha punya risiko. Termasuk perusahaan ayah yang bergerak dalam bidang kontraktor.
Aku hanya merasa belum siap untuk pindah dari sekolahku. Memang, nggak ada satu pun teman dekat yang kupunya di sekolah itu. Semuanya menganggapku hanya sebatas cewek aneh. Tak apa. Tidak masalah buatku.
Hanya saja, ada satu alasan kuat mengapa aku harus tetap di sana. Alasan yang menjadikanku selalu ingin melihatnya. Tentang hadirnya seseorang yang diam-diam aku kagumi. Seseorang yang selama ini secara tidak langsung telah membuatku bersemangat pergi ke sekolah tiap harinya.
Darrel. Ya, dia.
Aku ... nggak mau pindah. Aku masih ingin berada di dekatnya meski hanya diam-diam. Seolah jantung ini ikut dicabut paksa begitu kata pindah terlontar. Bagaikan bayangan sang kelam ikut berpesta dan memenjarakanku dalam sebuah kabut tanpa jejak. Menerkamku dalam keheningan ketakutan yang tiada batas. Mencekikku hingga rasanya sulit untuk bernapas.
Seperti itulah perasaanku beberapa menit yang lalu. Sungguh, aku tak mampu membayangkan bagaimana keadaanku jika harus benar-benar pindah dan jauh darinya.
Tak peduli seberapa kecil kemungkinan dikabulkannya sebuah harapan, asal keyakinan masih bercokol di hati, aku masih percaya bahwa suatu saat Tuhan akan mengabulkan doaku.
......................🎃🎃🎃..........................
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top