26. Tentang Malam itu
HAPPY NEW YEAR 2023😍😍 Semoga kita semua selalu sehat, panjang umur, menjadi lebih baik lagi ke depannya dan makin lancar rezeki yang barokah aamiin....
Sengaja dua hari ini aku update berturut-turut buat kalian semua.
Oke, selamat membaca aja😊
.................🎃🎃🎃................
Aku berjalan makin ke dalam dan terus menerka-nerka tentang apa yang telah disampaikan para pembantu barusan, hingga tanpa sadar langkahku sampai ke halaman belakang rumah. Aku menemukan Darrel di sana, berdiri memakai jaket hitam ber-hoodie. Pandangannya menunduk ke arah kolam renang di depannya sambil tangannya berada di saku celana.
Tubuhku terpaku sesaat. Tatapan itu sama kosongnya ketika aku melihatnya pertama kali. Ia melamun, seolah berada dalam dunianya sendiri. Memikirkan sesuatu hal yang ... entahlah, seakan-akan semua masalah berkumpul di genggamannya. Bahkan ia pun tak sadar akan keberadaanku di sini.
Aku berdeham kecil untuk menarik perhatiannya. Dan berhasil. Ia kini menoleh padaku, masih terlihat wajah sedihnya meskipun ia mencoba menutupi.
"Kamu di sini?" tanyanya dengan wajah datar.
Dan seperti biasa gugup di diriku ini tak bisa kuhindari. Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum.
Kini ia menghadapku sepenuhnya, kedua tangannya masih tersembunyi dalam saku celana. Terlihat tampan dan juga keren.
"Ada apa?"
Nadanya terkesan cuek dan dingin. Nggak seperti kemarin-kemarin. Kukira kami sudah semakin dekat, namun sepertinya itu hanya anganku saja.
Aku terdiam, balik bertanya lewat tatapan mataku.
"Kamu ke sini ada perlu apa? Ada yang perlu disampaikan?"
Aku tergagap. Baru tersadar atas pertanyaan Darrel selanjutnya. Kutarik napas dalam-dalam untuk menyamarkan rasa gugupku. Mengingat penampakan semalam, aku akhirnya memberanikan diri bertanya padanya.
"Rel, semalam kamu langsung tidur atau keluar kamar lagi?"
Salah satu alisnya terangkat. "Memangnya kenapa?"
"Nggak, cuma nanya saja." Aku berpikir cepat. "Siapa tahu kamu ke lahan kosong lagi."
"Nggak."
"Nggak mendengar apa pun?"
Ya, aku mencoba memancing Darrel apakah ia sebenarnya mendengar teriakanku saat makhluk astral berada tepat di seberang mejaku.
Darrel menggeleng. "Aku nggak dengar apa pun. Setelah kamu kembali, aku menutup telingaku menggunakan headphone sambil mendengarkan musik."
"Hmmm, pantesan."
"Memangnya ada apa?" Darrel memusatkan perhatiannya kepadaku. "Kamu diganggu lagi?"
Terlihat ada raut khawatir dari tatapan matanya dan suaranya juga ramah tak sedingin tadi. Aku bernapas lega.
Mungkin tadi ada yang mengganggu pikirannya hingga membuatnya terkesan dingin padaku.
"Key?"
Aku tersentak.
"Eh, nggak kok." Kugerak-gerakkan telapak tanganku, gugup masih mengikatku. "Semalam aku dari kamarmu langsung tidur."
"Oh, ya, sudah. Kirain kamu diganggu lagi."
Aku tersenyum mendengar ucapan Darrel, lalu menghela napas panjang. Aku terpaksa berbohong, karena aku nggak mau Darrel menyarankan aku mundur lagi. Biarlah, lagian semalam sesudah aku berteriak ketakutan, beberapa detik setelahnya sosok itu juga menghilang dari hadapanku.
"Eee, aku dengar Mas Bejo dan Mbak Surti berhenti kerja, Rel."
"Ya, aku sudah tahu."
"Kamu memangnya tahu alasan mereka berhenti kerja?"
Darrel terdiam sejenak, lalu kembali mengalihkan perhatiannya ke arah kolam renang. "Aku rasa alasannya sama dengan pembantu yang pernah bekerja sebelum-sebelumnya."
"Jadi ... sebelum ini pernah ada pembantu yang keluar karena sering diganggu?"
Darrel mengangguk. "Kamu sendiri kenapa masih di sini? Bukannya kamu sering diganggu juga?"
Tubuhku mendadak kaku. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Kamu semalam diganggu, kan? Kamu bohong soal malam itu." Darrel berjalan ke arahku dan berhenti tepat di depanku. "Aku nggak bisa kamu bohongi, Key. Ini rumahku. Orang luar yang menetap di sini dan bukan dari keluarga kami, bisa dipastikan akan mendapat gangguan. Sekecil apa pun itu."
Aku terdiam. Ingatanku terlempar ketika kami berada di sekolah. Waktu itu Darrel juga pernah mengatakan, "Apa yang perlu ditakutkan? Yang berhak takut itu kamu atau penghuni luar selain kami sekeluarga."
Saat itu memang aku hanya diam, karena aku merasa terjebak oleh pikiranku sendiri. Sekarang aku mengerti.
"Jika hanya orang luar yang mendapat gangguan, apa itu berarti pengganggu itu salah satu dari keluarga ini? Mungkin dari keluarga utama atau buyutmu?" tanyaku akhirnya.
"Bisa iya dan juga bisa tidak," jawabnya. Serta-merta alisku mengernyit menuntut jawaban lebih, Darrel berkata, "Aku maupun keluarga yang lain belum pernah melihat secara langsung siapa yang mengganggu kalian, jadi kami juga tidak bisa memutuskan apa itu salah satu dari keluarga kami sendiri."
Masuk akal sih. Tapi ... argh! Aku melompat mundur beberapa langkah dan menutup wajahku.
"Ada apa?" tanya Darrel.
Tatkala kubuka sebagian jari-jari tanganku. Dia masih di sana. Makhluk itu di belakang Darrel. Mataku melotot lebar dengan tubuh gemetar.
"Kamu lihat makhluk itu lagi?" ujar Darrel melihatku, beberapa detik berikutnya ia menoleh ke belakangnya, lalu kepadaku lagi dengan tampang bingung.
Sepertinya ia tidak bisa melihat apa yang aku lihat. Barangkali makhluk astral itu selama ini memang sengaja tidak menampakkan diri kepada Darrel dan seluruh keluarganya.
"Tapi sekarang d-dia sudah pergi," kataku terbata-bata.
"Sudah banyak peristiwa yang terjadi di rumah ini. Kamu lebih baik per—"
"Nggak, Rel!" pekikku membuat Darrel seketika kaget. "Kamu mau nyuruh aku pergi, sampai kapan pun aku nggak akan mau, Rel!" Lagi-lagi aku berteriak sambil menggeleng kuat, mengenyahkan pikiran untuk menuruti kemauannya.
"Kamu benar-benar cewek keras kepala, Key. Aku bilang seperti itu supaya kamu lebih aman. Aku akan carikan tempat kost yang lebih bagus dari ini, kalau perlu semua biaya aku tanggung buat kamu."
"Nggak!" tolakku mentah-mentah, tetap teguh dalam pendirian. "Sebagus apa pun tempat kost di luar sana, aku tetap mau di sini."
"Kenapa? Nggak ada gunanya kamu di sini, Key," bujuk Darrel sekali lagi.
"Kenapa? Kamu bilang kenapa? Aku sudah bilang bahwa aku mencintaimu, Rel. Dan tolong jangan suruh aku pergi lagi. Aku ingin berada di tempat yang sama denganmu," ujarku dengan tekanan yang tajam dan kuat dalam setiap perkataanku.
Aku hanya ingin ia tahu bahwa aku benar-benar mencintainya. Entah kekuatan dari mana aku mendapatkan keberanian seperti ini. Namun yang pasti rasaku makin menguat, dan aku nggak mau kehilangan dia. Ada rasa malu dalam diriku dengan tidak tahu diri sudah kedua kalinya aku mengatakan secara terang-terangan tentang cintaku padanya meski sayang sekali sampai sekarang pun Darrel belum mengucapkan kata cinta untukku.
Tapi, tunggu! Kulihat Darrel tersenyum tipis ke arahku. Sangat tipis.
"Dasar cewek bodoh," ucap Darrel seraya mengacak puncak kepalaku pelan. "Ayo, kita balik ke dalam."
Aku mengangguk sembari tersipu malu. Tatkala kami berjalan bersisian, tiba-tiba ada anak kecil berambut panjang berlari ke arahku. Ketika sampai di dekatku anak kecil itu bukannya berhenti, justru melewatiku sambil tertawa bahagia.
Aku menoleh ke belakang mengikuti ke mana anak itu berhenti. Dan dia ternyata berhenti di depan kolam renang di mana Darrel tadi berdiri.
Aku berhenti seraya membelalak, saat anak itu berbalik badan memunggungi kolam renang tersebut sambil merentangkan kedua tangannya. Sontak naluriku mengartikannya dengan cepat.
"Hei, Dek, tunggu!"
Sepersekian detik anak kecil cantik tersebut tersenyum padaku, sebelum akhirnya matanya tertutup dan badan kecilnya jatuh ke belakang masuk dalam air.
Melihat itu, seketika aku berlari dan tanpa pikir panjang langsung loncat ke kolam renang.
"Key, berhenti! Jangan ke sana!" teriak Darrel.
Akan tetapi, semua sudah terlambat....
.................🎃🎃🎃................
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top