21. Rahasia yang Belum Terpecahkan

Hari ini aku tidak sengaja melewati ruangan basket indoor. Aku harusnya nggak jalan ke sini, tetapi seolah kakiku mengikuti isi hatiku. Susah diatur, dan selalu condong pergi ke tempat ini. Benar-benar menyebalkan!

Aku berhenti tepat di depan pintu. Namun, aku ragu. Seakan baru tersadar, ada rasa khawatir dan takut yang menghantam jantungku.

Dia telah mengetahui aku yang selama ini mengikutinya dan diam-diam melihatnya main basket. Aku malu, super malu. Aku nggak nyangka Darrel bisa secepatnya sadar bahwa itu adalah aku.

Sesungguhnya sejak dia memergokiku mengintip di antara kursi tribune saat dia sedang main basket, sejak saat itu pula aku berhenti untuk membuat malu diriku sendiri. Menekan keinginan agar tidak pergi ke ruangan ini lagi.

Tapi, mau bagaimana lagi? Mungkin rasa sukaku sudah mengakar, sehingga tanpa kusadari jiwa dan pikiranku selalu menginginkan datang ke sini.

Mataku mengerjap. Tanganku yang akan menyentuh gagang pintu kini mengambang di udara. Tak jadi aku teruskan dan masih membeku di tempat.

Kutarik tanganku dan kugigit bibirku. Suara entakan bola yang beradu dengan lantai terdengar dari luar. Membuatku ingin sekali masuk ke dalam, menikmati permainannya dan tentu saja ketampanannya juga.

Akan tetapi ... aku takut. Aku nggak berani. Sungguh, aku ini memang cewek pemalu. Juga pengecut.

Tatkala tubuhku berbalik dan akan pergi saat itu juga, rasa ragu kembali membelitku. Kukepalkan kedua tangan dan menggertakkan gigiku menghadap pintu. Lagi-lagi aku selalu tidak bisa mengendalikan sikap dan terus saja plin-plan.

Sudah beberapa hari ini aku tidak pernah membayanginya. Jujur, aku sangat rindu melihatnya bermain basket.

Menguatkan pilihan dan mencoba meneguhkan hati, akhirnya kuberanikan diri menggapai gagang pintu di hadapanku. Kupejamkan mata dan beberapa kali mengatur napasku. Kurasa jika hanya melihatnya dari luar, menurutku tidak akan jadi masalah.

Pelan-pelan kubuka pintu, cuma menunjukkan celah kecil untuk kupakai mengintip sedikit keadaan di dalam ruangan.

Darrel di sana.

Di sebuah lapangan basket dengan gerakan lincahnya saat memasukkan bola ke ring. Keringat yang mengucur dan tangan kokohnya kembali mendribel bola dengan lihai, membuatku terpaku di tempat.

"Kalau mau lihat masuk saja, nggak perlu sembunyi-sembunyi!"

Aku tersentak.

Tiba-tiba suaranya yang nyaring menyerang gendang telingaku. Ia berteriak tanpa menoleh padaku. Masih mendribel bola, kemudian melakukan tembakan memasukkan bola ke dalam ring dengan santai.

Mataku membelalak, syok.

Apa Darrel sudah tahu sejak tadi aku di sini?

Aku membeku di tempat. Nggak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Darrel menghadapku dengan memegang bola basket di tangannya. Sementara aku ingin mundur dan berlari kencang, tetapi apa daya seolah kakiku menempel kuat di lantai. Susah digerakkan dan rasanya aku ingin sekali menghilang saat ini juga.

Ia diam menatapku. "Ada masalah?"

Aku menggeleng kaku. Ya, Tuhan ... selamatkan aku.

Tanpa sadar tanganku bergerak melebarkan pintu. Aku berdiri gelisah dan menatap takut-takut ke arah Darrel.

Cowok itu mengangkat sebelah alisnya, melihatku seolah sedang menilai. "Kenapa? Malu karena tertangkap basah olehku lagi?"

"M-m-maaf." Kubasahi bibirku. Gugup menerjangku setengah mati. "I-itu, aku—"

"Kamu masih tetap sama, ya," sela Darrel, tampak senyum geli menyembul dari bibirnya.

Seketika aku seakan terkena serangan jantung melihat pemandangan itu. Senyumnya begitu manis, dan aku suka.

"A-a-apanya?" Kupaksa diriku sendiri untuk menanyakan lebih lanjut.

"Tiap kamu tertangkap basah, kamu selalu gugup, gagu, dan seakan susah ngomong."

Sontak aku terbengong-bengong.

Begitukah?

Tapi itu memang nggak salah. Aku sendiri bingung kenapa aku selalu seperti itu, menjadi orang yang aneh di mata anak-anak tak terkecuali di mata Darrel.

"Nggak usah dipikirkan terlalu dalam. Reaksi tiap orang memang beda-beda. Itu nggak aneh."

Aku mengerjap. Seolah ia bisa membaca pikiranku.

Aku hanya bisa menunduk dan berkata, "Maaf."

"Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah," ucapnya.

Nggak pernah sekalipun ada cowok yang berucap macam itu tentangku. Tidak mempermasalahkan keanehanku.

Aku menengadah, menatap matanya. Darrel tersenyum lembut ke arahku.

Senyumannya menular padaku.

"Masuk, Key. Duduk," lanjut Darrel kemudian. Ia mengedikkan dagunya ke samping tepat di bagian tribune penonton.

Aku mengikuti arahnya, perlahan berjalan dan duduk di baris pertama di sebelah tas Darrel berada.

"Kamu bisa tunggu di sini."

Aku mengangguk pelan.

Ia dengan santai kembali melanjutkan permainan basketnya. Dan aku mulai mengembuskan napas, merasakan kelegaan begitu tahu Darrel tidak memperpanjang aksiku yang telah mengintipnya.

Aku kembali merasa terhipnotis memandang gerakan lincah Darrel yang bermain basket seperti tak kenal lelah.

Ia terlihat sangat tampan apalagi ketika kacamata ia lepas seperti saat ini. Ketampanannya seakan meningkat berkali-kali lipat. Aku dengan berani melamunkan ketampanan Darrel yang membuatku terpesona.

Tiba-tiba aku diserang rasa malu. Tak kusangka pikiranku selalu berkelana yang tidak-tidak, bahkan fokusku selalu pecah jika itu ada sangkut pautnya dengan Darrel.

Kualihkan pandanganku ke arah lain, ke mana saja asal pikiranku bisa normal kembali.

Tatapanku kini tertuju pada sebuah majalah yang menyembul dari balik tas punggung Darrel.

Dahiku berkerut. Bukankah itu majalah punya Melani?

Aku masih ingat betul bentuk dan judul majalah yang dulu sempat diperdebatkan waktu di kantin olehnya. Kalau nggak salah Melani sempat melabrak Darrel akibat majalahnya dicoret-coret Darrel tepat di bagian wajah ganteng aktor favoritnya.

Dan aku juga ingat apa saja yang di gambar Darrel hingga menjadikan Melani makin marah. Jadi, sampai sekarang majalah itu masih ia simpan?

Suara bisikan di kepala menyuruhku untuk mengambilnya. Sudah kutepis pikiran dan bisikan di kepala, namun tetap tidak bisa. Rasa penasaranku muncul kembali.

Kuperhatikan sekitar. Melihat keadaan sepi dan Darrel sedang sibuk latihan bola basket, kuberanikan diri untuk meraih majalah tersebut. Kubalik setiap halaman dengan sesekali aku menoleh waspada agar tidak ada yang mengetahui aksiku.

Tepat di halaman 23, aku melihatnya.

Gambar itu tetap sama. Ada palu, tali, ceceran darah, serta pisau. Ada satu lagi yang dulu sempat aku pertanyakan dalam benak saat di kantin tatkala aku begitu penasaran hingga aku berpura-pura berdiri membereskan piring dan gelas sisa makanku sembari melirik majalah yang dipegang Darrel waktu itu.

Ternyata bukan foto ataupun pigura seperti yang aku kira. Itu sebuah lukisan tangan yang remuk, seolah sengaja ada yang melukainya. Semua lukisan itu digambar dengan sangat jelas dan berwarna tanpa mempengaruhi isi dalam majalah tersebut.

Mungkin tidak akan terasa aneh jika itu yang melakukan adalah Darrel, berhubung dia memang berbakat dalam bidang menggambar sejak kecil. Hanya saja dalam keadaan tidak sadar kenapa dia bisa mewarnai gambar itu secara detail seperti ini?

Tatapanku kini beralih pada satu gambar lain yang dulu sempat terlewat dari pengawasanku. Aku menyipitkan penglihatanku supaya tampak jelas.

Ponsel. Ya, sebuah ponsel.

Ponsel tersebut tergambar di selipan benda tertentu yang digambar acak vertikal seakan menghalangi atau bisa juga ada seseorang yang berniat menyembunyikannya dari sesuatu.

Tapi ... dari apa?

Aku termangu, mencoba memikirkan begitu keras. Ada banyak rahasia yang belum terpecahkan.

"Sudah puas melihatnya?"

.....................***........................

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top