20. Reaksi
Sebenarnya aku males terusin ini cerita, cuma ada satu teman wp yang WA aku minta diterusin katanya masih penasaran. Ya udah deh buat kamu aku rela ngetik bab ini wkwkwk.
Selamat membaca.
.......................***...........................
Bagaikan tidak terjadi apa-apa, besoknya saat istirahat tiba—ketika teman-teman di ruangan belum sepenuhnya bubar, masih membereskan buku di tas masing-masing—Litha, Bagas, Ali, Yuda dan juga Darrel menemuiku di ruang kelas. Mereka memasang senyum dan wajah ceria.
"Halo, Key," sapa Bagas terlebih dahulu, dilanjut oleh yang lain.
"Hai." Kali ini Darrel menyapaku dengan tatapan lembutnya. Ia tersenyum manis padaku.
Seluruh tulangku seolah berkontraksi menerima sapaan itu. Tubuhku kaku, tapi suara hatiku girang menyebut namanya.
"H-h-hai," jawabku tergagap-gagap. Aku merasa suaraku hilang mendadak.
"Oh, jadi gitu ..., kalau Darrel dijawab, tapi sama kita semua nggak mau," celetuk Yuda dengan suara kerasnya.
Otomatis aku kelabakan. Pandanganku berputar ke beberapa arah untuk memastikan kejadian itu ternyata dilihat oleh banyak teman di kelas.
Aku menggeleng keras sembari menggoyangkan telapak tanganku. "Mak-maksud aku, buat kalian juga."
Mereka sontak terbahak melihat kepanikanku, termasuk Darrel.
"Nggak apa-apa, Kak Key. Kak Yuda cuma bercanda tadi. Anaknya emang gitu," ucap Litha terkikik setelah melirik Yuda yang nyengir kuda.
Aku mengangguk dan tersenyum kecil.
Suara bisik-bisik mulai terdengar dari sekelilingku. Aku tahu mereka pasti membicarakanku lagi.
Mungkin mereka heran padaku, orang sepertiku bisa kenal dengan mereka semua yang notabene terkenal di sekolah ini. Apalagi Darrel dan Bagas pemain basket, Litha anggota OSIS, sedangkan Yuda dan Ali meskipun mereka berdua tidak ikut ekstrakurikuler sekolah, tetapi mereka cukup terkenal akan kekocakan dan luasnya pergaulan mereka di mata siswa.
Sementara aku, memangnya siapa aku ini? Cuma cewek penyendiri yang aneh dan nggak punya teman.
"Woy, Rel, Gas! Ngapain kalian ke sini?" Tahu-tahu datang Jaka—sang ketua kelas—menyandarkan salah satu lengannya ke atas bahu Darrel. "Ada jadwal latihan basket, ya, hari ini?"
"Nggak ada," jawab Darrel singkat, tak lupa menunjukkan sikap ramahnya.
"Terus buat apa? Aku kira kalian ke sini mau kasih tahu aku soal basket."
"Heh, nggak usah kepedean kamu, Jaka!" sentak Bagas sambil mendorong dahi Jaka. "Kami ke sini bukan buat kamu, tapi buat Keyla."
Kontan Jaka menoleh ke arahku. Dahinya berkerut sembari menggaruk-garuk kepalanya sebelum kembali ke bangkunya.
Nah, benar kan?
Bahkan Jaka seakan nggak percaya begitu mendengar mereka ke sini hanya untuk menemuiku.
"Yuk, Kak Key, kita ke kantin sekarang," ujar Litha dengan semangat. Tanpa pikir panjang ia kemudian membantuku membereskan peralatan sekolahku yang masih di atas meja untuk segera kumasukkan ke dalam tas. "Selesai! Yuk, ke kantin." Ia mengusap-usap perutnya sambil manyun. "Lapar, nih, Kak. Nggak kasihan apa, cacing-cacing di perutku berontak minta diisi?"
Aku tak bisa menahan rasa geliku melihat gaya Litha. Ia begitu menggemaskan dengan caranya seperti anak kecil yang manja, namun juga sangat lucu. Serta-merta suara tawa dari Yuda dan Ali terdengar, sementara Bagas dan Darrel terkekeh menimpali aksi Litha.
Aku akhirnya mengangguk dan mengalah saat tanganku ditarik Litha berjalan mengikuti langkahnya. Sesekali aku menengok ke belakang, menatap Darrel yang menyertai kami bersama ketiga temannya. Saat pandanganku dan Darrel bertemu, tampak sorot matanya begitu tenang, juga senyum kecil terbit dari bibirnya yang membuatku semakin gugup dan seketika kembali menoleh ke depan.
Kuraba jantungku, seolah bunyi bola memantul-mantul keras di dalam sana. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan mencoba menormalkan detakan jantung. Aku malu. Tapi juga bingung akan sikap Darrel.
Apakah itu pertanda baik buatku?
"Oh, ya, Kak. Maaf, ya, semalam aku menginap di rumah Clara tanpa bilang Kak Key dulu."
Meskipun aku kurang puas dengan jawaban Lita, seolah-olah ia sengaja meminta maaf di tempat terbuka, namun, aku tetap mengangguk dan berusaha tersenyum tulus padanya.
"Nggak apa-apa, kok. Aku yakin kamu punya alasan kuat buat nggak ngasih tahu aku lebih dulu, Tha."
"Makasih, Kak," jawabnya, seraya tersenyum canggung di sampingku.
Itulah yang aku maksud. Seakan-akan ia sengaja menghindar dariku, atau lebih tepatnya sesudah kejadian pertengkaran antara Darrel dan Om Pram, Litha tidak mau menceritakan penyebab yang terjadi di keluarga itu.
"Oh, itu di sana ada Clara sama Yeni." Ia melambaikan tangannya ke arah bangku kantin tempat di mana teman-temannya sedang menikmati makanan. "Kak, aku tunggu di sana, ya."
Terlihat jelas bukan sih, Litha seolah menjaga jarak dariku? Atau mungkin mencoba menjauhi pertanyaan dariku yang ia anggap akan membuatnya susah menjawab?
Ah, lalu aku harus bagaimana? Ataukah aku harus bertanya langsung pada Darrel?
Tapi ... aku malu. Apalagi jika harus mengingat kejadian semalam atas tindakanku yang dengan lancang mengakui perasaanku di depannya. Ugh! Pikiranku kembali menyentak ingatan tentang hantu wanita menyeramkan itu lagi.
Apakah sosok itu akan terus mengangguku? Apa yang harus aku lakukan nanti?
"Woy, Litha, ikuuuuttt!" seru Ali, lalu disusul oleh Yuda sembari menarik Bagas untuk mengikutinya.
Aku tersentak dalam lamunan. Kuhempaskan rasa takut yang beberapa detik lalu menderaku.
Sekarang, tersisa aku dan Darrel yang berjalan beriringan.
Kudengar Darrel tertawa pelan menyaksikan ulah teman-temannya. Ia terlihat tidak gugup sama sekali di dekatku. Beda denganku. Aku begitu gugup, serasa duniaku berguncang dan tak tahu harus berbuat apa. Aku ini memang benar-benar memalukan!
Selagi jarak kantin masih beberapa meter dari kami, aku memutuskan untuk berbicara terlebih dahulu.
"Rel, eee ... aku—"
Tatkala ucapanku masih mengambang dan tersangkut di tenggorokan, tiba-tiba Darrel menoleh padaku.
Aku mati gaya. Tubuhku kaku dan meringis kikuk.
Ia mengerutkan keningnya. "Ya? Kenapa?"
Aku gugup lagi. Aku menjilat bibirku sendiri. "Mak-maksudku, bukankah waktu itu kamu pernah bilang agar aku berpura-pura tidak mengenalmu di sekolah?" Aku mulai bicara pelan-pelan dan santai. "Aku harus menjaga jarak denganmu. Apa ini nggak masalah? Kita malah ke kantin bareng kayak gini."
Ia menelengkan kepalanya sedikit ke arahku. Dari balik kacamata berbingkai hitam itu, mata Darrel menyipit seolah binarnya telah menemukan kekonyolanku.
Ia terkekeh halus, lalu menggeleng dan dari pandanganku ada terselip rasa geli di sana.
"Siapa bilang? Aku nggak pernah bilang kayak gitu," ucapnya.
Aku menganga, syok. Nggak habis pikir ucapan Darrel barusan. "K-k-kamu sendiri yang bilang gitu."
"Kapan?"
"Waktu pertama kali kita berangkat bersama ke sekolah. Ingat?"
Ia menghentikan langkahnya, dan aku ikut berhenti. Darrel memasukkan kedua tangannya ke saku celana seraya melihatku, lantas tersenyum padaku. "Seingatku, aku hanya minta selama di sekolah jangan membicarakan apa pun tentang kejadian di rumah, sama siapa pun. Termasuk aku."
Aku masih diam sembari mencoba mengingat-ingat.
Darrel mengulum senyumnya, lantas berkata, "Dan itu bukan berarti aku menyuruhmu menjaga jarak denganku, atau harus berpura-pura tidak mengenalku di sekolah." Setelahnya ia melangkah meninggalkanku menuju meja yang hanya terpaut lima meter dari kami.
Aku termangu.
Jadi, Darrel sama sekali tidak pernah menyuruhku untuk menjauhinya ketika berada di sekolah? Ia nggak mempermasalahkan jika kita sedekat ini? Benarkah?
Bodohnya aku. Ternyata selama ini aku hanya salah paham.
Seketika aku berjalan sambil menunduk yang kujamin sudah merah padam menahan rasa malu. Ingin kututup wajah ini menggunakan tangan, tapi tidak mungkin kan melihat penghuni kantin sebanyak itu?
"Cieeeeeeeee," seru teman-teman Darrel dan Litha beserta kedua temannya.
"Kak Key sama Kak Darrel ngomong apaan tadi? Mesra banget. Kelihatan lho dari sini," goda Litha saat kami berdua sudah duduk bersebelahan. Karena memang posisi kursi kosong tersisa hanya itu.
Entah disengaja atau kebetulan. Aku nggak tahu. Aku hanya memikirkan bagaimana harus membuat mereka berhenti menggodaku. Bahkan sempat kulihat tadi Litha mengerlingkan matanya menunjuk Darrel.
"Bisa kita ubah ke topik lain?" ucapku dengan tatapan memohon bercampur was-was. Aku tidak terbiasa menjadi bahan pusat perhatian.
"Pesankan makanan buat kita berdua. Disamain aja."
"Uhuuuyyyy," sahut mereka kompak.
Darrel mengatakan itu seakan biasa-biasa saja, malahan ia tersenyum tipis. Ia tidak mempertimbangkan bagaimana keadaanku. Yang jelas aku tidak punya pengalaman untuk menghadapi terjangan godaan dari mereka semua.
........................🎃🎃🎃.......................
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top