2. Namanya Darrel
Hiruk pikuk suara di dalam kantin sekolah hari ini tak bisa mengalahkan fokusku padanya.
Biasanya aku akan mengambil tempat duduk yang agak jauh dari dia, makan sambil memperhatikan raut wajah dan segala tingkahnya.
Namun, untuk sekarang ini aku tidak bisa. Aku nggak mungkin nekat menatap wajahnya-meski secara sembunyi-sembunyi-setelah adegan memalukan itu.
Yang aku takutkan, jika nanti aku kepergok mencuri pandang padanya, bisa saja ia langsung berasumsi bahwa akulah cewek yang telah mengintipnya di lapangan basket indoor kemarin.
Ah, aku kali ini sudah cukup senang kok meski hanya kebagian menatap punggungnya. Malahan aku bisa lebih jelas mendengar percakapan dia bersama teman-temannya, karena aku sendiri kini duduk tepat di belakang dia.
"Tadi aku ketahuan Bu Lena. Apeeees, apes," gerutu salah satu siswa di meja depanku. Aku masih menunduk sembari menyendok gado-gado pesananku.
"Hahaha ... makanya kalau nyontek tuh kreatif dikit, Al. Taruh kertas contekan di bawah laci meja? Ya, jelas ketahuan," celetuk temannya yang lain. Ia kembali tertawa dengan suara yang tidak bisa dianggap pelan.
Kunaikkan pandanganku dan kutemukan Ali, Yuda, Bagas dan dia, sedang ribut sendiri di meja mereka sambil menikmati makanannya. Yang tertawa keras tadi itu bernama Yuda.
Ya, aku sudah kenal semua teman-temannya. Tapi, bukan berarti mereka juga mengenalku. Sudah dua tahun lebih, waktuku banyak kuhabiskan untuk mencari tahu tentangnya. Kebiasaannya, teman terdekatnya, bahkan segala hal yang menyangkut dirinya.
"Nyontek itu nggak usah dijadikan ribet, Al. Seperti aku contohnya, tinggal salin rumus di sobekan kertas lalu tempel saja di bawah tepak pensil. Beres, kan?" Cowok yang bernama Bagas, membusungkan dadanya dengan kepercayaan diri tinggi.
Nyontek, kok bangga! Aku hanya berdecak sambil menggelengkan kepalaku.
"Beres dari mana? Nggak ingat, Gas, dua hari lalu waktu ulangan PKN kamu masih pakai cara yang sama tapi apa buktinya? Ketahuan juga, kan? Jatuh, lagi tepaknya!" timpal Yuda, lagi-lagi tertawa dengan kencang.
Untung saja kantin lagi ramai, sehingga perbincangan dan suara tawa mereka tak seberapa mencolok dibanding dengan banyaknya cewek yang kini tengah histeris melihat kapten basket sekolah kita makan di sini.
"Kalian itu sekali-sekali harus kayak Darrel," ujar Yuda lagi. Begitu nama itu disebut, kurasakan ada gelenyar aneh merasuk ke aliran darahku. Aku segera memasang telingaku baik-baik. "Dia itu nggak pernah macam-macam. Kalau ada guru, dia diam. Tapi ..., kalau gurunya hilang sebentar saja meski sedang ulangan, dia lebih memilih tetap tidur telungkup di atas meja." Yuda kembali terbahak-bahak.
Seketika tatapanku terfokuskan padanya-Darrel-ya, itu namanya. Dia saat ini tengah ikut tertawa mendengar sindiran Yuda.
"Aku ngantuk, ya, tidur. Mau apa lagi?" sahut Darrel dengan santai di sela-sela mengunyah makanan.
Aku tersenyum tipis mendengar jawabannya, meski alasan konyol, tapi aku merasa bukan itu alasan yang sesungguhnya.
Aku yakin dia sebenarnya tidak tidur, tetapi ada banyak hal yang mengganggu pikiran cowok itu.
Sudah sering kali kudapati ketika ia hanya berpura-pura memejamkan mata saat bersama Yuda, Bagas serta Ali, kemudian netra itu akan terbuka tiba-tiba jika keberadaan teman-temannya hilang ditelan sunyi. Lalu setelahnya, aku kembali akan melihat tatapan kosong itu lagi. Menerawang jauh-entah ke mana-yang jelas aku yakin ada beban berat atau mungkin pernah ada suatu peristiwa kelam yang berpengaruh pada keadaan batinnya.
"Walaupun setelah itu dapat hukuman?" Aku tersentak tatkala suara Ali tahu-tahu menyerang indra pendengarku.
Sontak aku menoleh ke arah Darrel.
"Ya ..., nggak apa-apa. Alasan tidur lebih bermartabat daripada alasan nyontek, kan?"
Aku tersenyum lagi. Geli mendengar balasan dari Darrel.
"Sok gaya banget bahasamu, huuuuuu....," sahut Bagas, dan disambung tawa yang lain. Darrel sendiri, terkekeh pelan menanggapi semua itu.
Sementara dari arah lain kutangkap ada cewek berambut gelombang dengan pernak-pernik nyentrik tertempel di kepalanya. Ia terlihat mengambil langkah lebar sambil membawa sebuah buku besar yang ia gulung sedemikian rupa dan matanya menyorot tajam ke arah-aku mengikuti pandangannya-sorot mata kebencian itu jatuh kepada ... Darrel.
"Rel, apaan nih maksudnya?!" Dari nada bentakan, kurasa itu bukan sekadar pertanyaan tetapi bisa saja sebuah pembukaan dari orang yang akan bersiap-siap menyerang.
Kulihat ada sepercik rasa kaget yang ditunjukkan Darrel saat wajah itu menoleh ke sumber suara. Aku bisa mengetahuinya karena posisi Darrel sekarang sudah duduk menyamping, mendongak menatap cewek yang baru datang.
"Apanya, Mel?"
"Jangan pura-pura sok nggak ngerti, deh. Ini ulah kamu, kan?" Suara cewek itu makin meninggi sembari memperlihatkan buku besar yang ternyata majalah khusus remaja.
"Mel, Mel, Melani. Sabar, sabar, Mel. Jelasin dul-"
"Diam!" pekiknya keras hingga membuat Ali tak berani meneruskan ucapannya.
"Ada apa sih, Mel? Bisa bicara baik-baik, kan?" ucap Darrel tetap terdengar sabar menanggapi amukan cewek tersebut.
"Nggak bisa jika masalah ini, Rel. Coba lihat, lihaaat!!" Cewek yang dipanggil Melani itu bukannya berucap pelan, malahan semakin meninggi, sampai-sampai hampir semua penghuni kantin melihat ke arahnya.
Alis Darrel berkerut, mendapati Melani menjulurkan majalah itu ke depan wajahnya.
"Buka halaman 23!" perintahnya dengan wajah merah padam.
"Buka saja, Rel, daripada makin panjang urusannya," ujar Bagas.
"Iya Rel, benar. B-buka saja yuk," tambah Ali membenarkan anjuran Bagas.
Mungkin disebabkan dari nada lucu yang dilontarkan Ali, hingga seketika itu ia sontak mendapatkan hadiah jitakan dan cekikikan dari Yuda.
Aku terdiam. Tak ambil pusing oleh pemandangan yang dilakukan Yuda kepada Ali. Perhatianku kembali kupusatkan pada Melani yang berdiri angkuh, lalu pada Darrel yang seperti tengah berpikir akan sesuatu hal.
"Ayo, buka. Cepetan!" Melani kembali berteriak tanpa mau peduli keadaan di sekelilingnya.
Kugigit bibir bawahku. Was-was menyelimutiku tatkala suasana kantin mendadak hening. Aku mulai resah. Resah karena rasa penasaranku akan apa yang bakalan terjadi selanjutnya, bercampur dengan ketidaknyamananku kala tatapan-tatapan itu kini semua tertuju padaku. Oh, bukan. Bukan seperti itu.
Meski aku tahu mereka semua bermaksud melihat ke arah Melani dan Darrel, tetapi akulah yang paling dekat dengan meja Darrel. Aku takut mereka juga melihatku, dan aku tidak terbiasa berada dalam sebuah keramaian yang di sana ada aku sehingga membuatku terpaksa ikut dijadikan tontonan. Sengaja atau pun tidak!
Sementara itu, Darrel dengan tenang memperbaiki letak kacamatanya meski jika kulihat tidak ada tanda-tanda akan melorot sedikit pun. Lalu setelahnya, ia meraih majalah itu dan membuka halaman yang telah disebutkan Melani.
"Astagfirullah hal adzim...," ucap Ali sembari mengusap-usap dadanya.
"Masyaallah ... hebat sekali kamu, Rel." Kini giliran Yuda yang berujar, sedangkan Bagas hanya diam memperhatikan.
Aku sungguh penasaran. Memangnya apa yang mereka lihat?
Untuk menjawab semua pertanyaan yang mengambang di benakku, aku putuskan untuk menyudahi acara makanku dan pura-pura berdiri membereskan piring dan gelas dengan gerakan lambat sembari melirik pada majalah yang dipegang Darrel.
Aku terkesiap ketika melihat gambar apa saja yang ia torehkan. Palu, tali, darah dan ... pisau?
Ada juga sebuah lukisan. Tidak, tidak. Seperti Foto dalam sebuah buku? Atau bisa juga sebuah pigura? Ah, entahlah. Dan kelihatannya ada satu gambar lagi yang terlewat dari pengawasanku. Majalah itu sudah keburu ditutup olehnya, membuat kadar rasa keingintahuanku makin membesar.
"Sudah lihat, kan? Sekarang pertanggungjawabanmu apa, hah!"
"Ini beneran aku yang buat gini, Mel?" tanya Darrel dengan mimik wajah tak percaya.
Apakah itu berarti bukan hasil dari perbuatannya? Mengapa Darrel seakan-akan bingung?
"Memangnya siapa lagi yang pinjam majalahku tadi? Aku kira cuma buat nutupin wajah kamu sebelum tidur kayak biasanya, ini malah kamu corat-coret gini," jawabnya ketus. "Apalagi yang kamu coret itu wajah ganteng favoritku, Reeeeel. Terus gambar apaan ini? Seram banget. Aku nggak mau." Cewek itu terlihat geram sambil berkacak pinggang menghadap Darrel. "Pokoknya aku mau kamu ganti. Titik!"
Beberapa ada yang berbisik-bisik menggerutu selepas mendengar penjelasan Melani, ada yang langsung melengos tak peduli, ada juga yang langsung mencibir dengan sebutan perdebatan tak penting. Aku tidak berani melihat siapa saja mereka, sebab aku hanya melihat sepintas dari apa yang bisa kulihat.
Aku berdiri kikuk dengan piring dan gelas yang sudah berada di kedua tangan, setengah menunduk menyembunyikan wajahku di antara helaian rambutku yang menjuntai. Aku masih sempat mencuri pandang ekspresi Darrel dari balik bulu mataku. Cowok itu terlihat menyengir lebar ke arah Melani. Ia meringis, menampilkan deretan gigi putihnya dan mengangguk-angguk pelan.
"Oke. Majalah ini buatku saja, sebagai gantinya aku akan membayar dua kali lipatnya, Mel. Gimana?"
"Oke."
Selepas melihatnya membayar uang kepada Melani, cepat-cepat aku beranjak menuju ke bagian kasir untuk membayar pesananku. Aku ingin segera meninggalkan kantin sebelum ia berhasil membaca gerak-gerikku.
Entah, sampai kapan aku terus begini. Mengamatinya dari jauh dan bersembunyi bersama perasaan yang semakin mendalam.
Sampai sekarang, sekalipun aku tak pernah bertegur sapa dengannya. Aku tak punya nyali untuk itu. Aku bahkan tak berani memandangnya secara terang-terangan.
Aku hanya bisa berharap dan berdoa. Darrel, semoga suatu saat nanti aku diberikan kesempatan untuk lebih dekat denganmu....
.........................🎃🎃🎃..........................
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top