17. Darrel Tahu itu Aku
Aku memilih-milih buku lainnya lagi. Kugaruk pelipisku sembari tetap mencari. Meneliti berbagai macam buku bacaan di dalam rak lemari. Banyak banget pilihannya. Aku jadi bingung.
"Kenapa lama banget di dalam?"
Aku berbalik.
Astaga! Rasanya jantungku seakan mau lepas. Darrel berada tepat di hadapanku. Aku terperanjat, mundur beberapa langkah dan punggungku menghantam rak. Aku meringis pelan. Duh, Tuhan ..., sakit banget.
"A-aku masih ingin c-c-cari buku yang lain," ucapku terbata-bata. Aku mulai mengontrol napasku. "Kamu sendiri di sini ngapain?"
"Aku kira kamu kenapa-kenapa di dalam," balasnya.
"Oh." Aku mengangguk-angguk kecil. "Aku nggak kenapa-kenapa kok," lanjutku, tersenyum dengan kaku.
Kuembuskan napas perlahan. Teramat pelan, hingga kurasakan hanya sebuah gerakan dada yang begitu sesak menyerupai leher tercekik oleh sesuatu.
Aku menoleh ke kanan dan kiri, bawah serta atas. Kayak orang bingung. Padahal bingung sungguhan, tapi lebih ke arah linglung. Ah, pokoknya seperti itu.
Saat netraku mengarah ke depan, tampak Darrel menatapku lekat. Ia terdiam dengan raut datar, namun tatapannya kali ini benar-benar menyentak jantungku.
"Jadi itu beneran kamu?"
"Hah?"
"Cewek itu kamu, kan?"
"Mak-maksud kamu?" Aku belum sepenuhnya mengerti walaupun sinyal di otakku mengirimkan beberapa dugaan.
Darrel terdiam sejenak, kemudian sebaris senyuman tersungging di bibirnya. "Kamu kan yang selama ini ngikutin ke mana pun aku pergi? Bahkan sampai aku selesai main basket?"
Seketika netraku membeliak. Terbuka selebar-lebarnya. "A-apa?"
Nggak. Nggak mungkin ia tahu, kan? Pasti Darrel hanya bercanda. Kalaupun itu benar ... ah, tapi mana mungkin?
"K-kamu tahu dari mana kalau itu aku?" tambahku.
Ia melangkah semakin maju. Mempersempit jarak kami. Sontak rasanya pasokan oksigenku mulai menipis. Aku gelagapan tak berdaya.
Sebelah tangannya terangkat dan berhenti di dekat kepalaku. Menempel pada rak di belakangku. Serta-merta otot di seluruh tubuhku terasa kaku. Apalagi tatapannya tak pernah lepas, menatapku dengan pancaran tenang di sinar matanya.
Kepala itu tertunduk, sebelum akhirnya ia menatapku lagi. "Kamu beneran mau tahu?"
Embusan napasnya menari-nari di wajahku. Seolah membelaiku dengan hangatnya deru napasnya. Aku membeku, bahkan saat akan menarik napas pun aku tak sanggup. Begitu susah untuk dicerna bagaimana bisa dipahami dalam hal logika.
Aku terlalu tegang. Aku juga teramat takut untuk mengartikan bahwa ini bukan sebuah ilusi semata. Tetapi aku juga harus memberanikan diri untuk menjawab, yang diam-diam membuatku takut untuk sekadar mendengar jawaban darinya.
Bibirku gemetar. "D-dari mana?"
Ia terdiam. Seperti menimbang-nimbang sesuatu tetapi hanya sebentar. Ia kembali fokus padaku dan tangannya pun masih melekat di sisi kepalaku.
"Tas kamu."
Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. "Tas?"
"Kamu masih belum paham, ya?"
Aku menggeleng. Aku betul-betul nggak paham. Bingung. Memang ada apaan sih sama tasku?
Kulihat Darrel malah tersenyum, manis sekali. Ia bahkan tak terpengaruh sama ekspresi bingungku.
"Maaf, aku benar-benar nggak ngerti," kataku, lantas kugigit bibir bawahku dengan gelisah.
Tiba-tiba wajah Darrel maju mendekatiku. Ia menunduk dan hidung kami hampir bersentuhan, membuatku langsung menghirup napas tanpa tahu gimana cara mengembuskannya.
Ia menatapku dalam, sementara aku hanya bisa berdiri diam. Tahu-tahu wajahnya melewati hidungku dan berhenti tepat di telingaku. Ia berbisik lirih. "Kamu masih ingat, benda apa yang kamu pakai buat nutupin wajahmu saat ketahuan ngintip cowok main basket?"
Tas. Benakku langsung tertuju pada benda tersebut. Aku masih ingat, kututupi wajah dengan tas selempangku dan berlari buru-buru menjauhi Darrel. Tak lama kemudian mataku melotot sempurna. Aku baru tersadar. Kumohon pindahkan aku ke kamarnya Litha sekarang juga, Tuhan. Aku mau membungkus seluruh tubuhku ke dalam selimut dan bersembunyi di sana. Aku nggak mau di sini. Aku mau lari saja. Aku malu.
Kepalaku serasa berputar-putar. Bagaimana bisa Darrel tahu itu tasku?
"Sudah ingat sekarang?" tanya Darrel sekali lagi.
Aku menggeleng, mencoba berpura-pura menampilkan wajah biasa saja. Lebih baik kayak gini. "Nggak. Aku nggak ingat. I-itu bukan aku. M-mungkin kamu salah orang, Rel."
Ia menggeleng pelan seraya memandangku dengan senyuman di bibirnya. "Aku sangat yakin itu kamu. Kamu nggak ngerasa aneh saat aku mastiin kepunyaan tas kamu waktu itu? Di ruangan ini juga."
Ya, ampuuun! Kayaknya aku mengerti arah pembicaraan Darrel. Tapi aku nggak bisa ngaku. Mungkin masih ada cara lain.
Punggungku menegak. Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Tetap tak mau mengeluarkan suara apa pun sembari mencengkeram kausku kuat.
"Bukannya tasmu tertempel pin dengan tulisan nama kamu?"
Oh, God! I'm dead!!
Aku bahkan lupa dengan kenyataan satu itu. Pin pemberian ayah dengan namaku tercetak jelas di sana. Duh, bodohnya aku. Pantesan Darrel langsung tahu itu aku. Kapan hari aku juga nggak curiga apa pun saat ia menanyakan tentang tasku. Duh!
Rasanya aku ingin menangis. Tapi kan malu. Aku tahan sekuat tenaga. Jangan sampai ia menganggapku cewek cengeng.
Aku memejamkan mata erat-erat. Saat kubuka mata, kutemukan Darrel masih menatapku tak berkedip. Menyorotku lurus-lurus.
Aku gelagapan bercampur bingung. Aku harus gimana?
Darrel begitu tenang, berbeda jauh sama aku yang sudah keringat dingin bercucuran di pelipis dan telapak tanganku. Aku pengin milih pingsan kalau bisa.
Dengan terpaksa aku mengangguk. "Ya, i-itu aku." Kutundukkan kepalaku. "Maafin aku, Rel."
"Untuk apa?"
Kepalaku semakin menunduk dalam. Aku bingung harus menjawab apa. Nggak mungkin kan aku langsung bilang karena aku suka kamu? Iya, kalau dia terima. Kalau ditolak, gimana? Duh, Tuhaaaan....
"Untuk apa kamu ngikutin aku terus?" Darrel bertanya lagi.
Seketika aku mendongak dan semakin tak tahu harus berbuat apa. Jemari-jemariku saling bertaut, bergerak gelisah.
Aku membasahi bibir, gugup merayapiku. "A-aku hanya penasaran. Aku iri sama kamu."
"Iri?" Terlihat dahi Darrel berkerut samar. "Iri kenapa?"
Aku menarik napas dan berpikir sesaat. "Meski penampilanmu nerd, tapi ... kamu dikelilingi banyak teman. Sedangkan aku ..., " ucapanku mengambang, lantas menggeleng lemah, "nggak sama sekali."
"Cuma itu?"
"Ya," jawabku cepat sembari membuang wajah ke samping.
Aku nggak sepenuhnya berbohong, paling tidak itulah alasan awal mula aku mengikutinya hingga makin lama aku menyadari rasa penasaran itu telah berubah menjadi suka.
"Sejak kapan?"
Kutelan ludahku kasar. Pertanyaan itu membuatku segera berpaling ke arah Darrel. "Sejak kelas X."
"Lalu, kenapa sekarang berhenti?"
"Eh? I-itu—"Aku kehabisan kata. Kuentak-entakkan kedua kakiku yang mulai terasa pegal. Tapi aku harus bertahan. "Sejak kamu memergoki aku di lapangan basket indoor waktu itu, a-aku nggak berani lagi. Aku takut ketahuan lagi, Rel." Napasku tercekat. "M-maaf."
Ia menatap lurus mataku. Tak selang berapa lama ia mengangguk. "Aku ngerti."
Darrel tersenyum lagi, sebelum akhirnya ia memutar tubuhnya, berlalu dari hadapanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Hanya segitukah?
Beberapa detik tatkala tangannya usai mendorong pintu yang berisikan jejeran buku-buku hingga membuatnya terbuka setengah, ia berhenti dan berbalik menatapku. "Mulai sekarang, jangan main sembunyi-sembunyi lagi. Dan ingat, semua temanku juga bakal jadi temanmu juga."
Seakan terhipnotis, aku seketika mengangguk. Ia membalas anggukanku dengan senyumannya. Selepas itu ia benar-benar keluar dari ruangan perpustakaan.
Kubekap mulutku. Aku masih tak percaya atas apa yang barusan aku dengar. Apakah itu berarti aku masih punya kesempatan?
......................🎃🎃🎃...........................
Uwuuuuu aku makin gemas sama mereka berdua 😍😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top