Rage

Tian Guan Ci Fu (Heaven Official's Blessing) by Mo Xiang Tong Xiu

Rage by bellassson

Warn(s): out of characters, typo(s), character's death, some violence scene, spoiler dari novel, alur seperti katak; lompat-lompat, beberapa hal mungkin tidak sesuai dengan alur cerita aslinya, terutama untuk nama tempat atau istilah-istilah mantra dan sejenisnya, etc.

Saya tidak mendapatkan keuntungan apapun dengan menulis fanfiksi ini. Murni hanya untuk asupan semata.

Selamat membaca.

x o x o x o x

Hua Cheng dalam balutan baju merah sederhana menutup pintu Kuil Puqi. Dirinya dalam sosok San Lang terlihat lebih muda dan segar dengan kuncir sebelah hasil karya Xie Lian.

Hari telah larut. Baru saja mengantar kepergian beberapa penyembah yang membawakan makanan. Seharusnya malam ini tidak perlu repot-repot untuk memasak. Hua Cheng beralih ke arah Xie Lian dengan gulungan di tangan. Kakinya bersila di atas tempat tidur jemari sederhana. Di sampingnya ada tiga lagi gulungan yang tersebar.

Xie Lian menghela napas. Tak sadar suaminya mendekat.

"Apa Gege ada masalah?" tanya Hua Cheng, sudah duduk di samping Xie Lian, menyingkirkan gulungan, kemudian memeluknya dari samping. "Apa Kayangan membuatmu kerepotan?" tanya Hua Cheng lagi.

Xie Lian menyandarkan kepala di bahu Hua Cheng, yang sejak kapan sudah berubah wujud menjadi sosok aslinya. Dadanya terasa lebar dan nyaman.

Meskipun Xie Lian seharusnya mengurus tetek bengek di Kayangan, tapi ia sudah terbiasa di alam manusia selama lebih dari 800 tahun. Lagipula istana mewah nan luas di Kayangan sudah terasa sangat asing baginya. Ia lebih nyaman menyendiri di Kuil Puqi sambil membawa beberapa urusan dari Kayangan. Meskipun luasnya hanya seper sekian dari istana yang sudah disiapkan di Kayangan.

Hua Cheng, suaminya, selalu menemani dalam sosok San Lang. Penduduk sekitar lebih familiar dengan sosok San Lang dibanding Hua Cheng. Ia juga sering membantu penduduk dalam urusan pertukangan atau bertani di sawah untuk mengisi waktu luang. Meskipun nantinya Hua Cheng akan berganti wujud saat mereka hanya berdua saja.

Xie Lian menyamankan diri di pelukan Hua Cheng. Sejenak dia ingin melupakan urusan Kayangan dan bermanja di lengan Hua Cheng. Suara sungai mengalir di belakang kuil dan suara jangkrik memecah keheningan malam. Setelah beberapa saat, Xie Lian melepaskan pelukan dan duduk berhadapan dengan Hua Cheng.

"Anu, San Lang..." panggil Xie Lian. "Apa kau masih berhubungan dengan Air Hitam Menenggelamkan Kapal?" tanya Xie Lian langsung kepada pokok permasalahan.

Hua Cheng tertegun. Memikirkan kapan terakhir kali ia berhubungan dengan He Xuan. "Aku pikir, tiga atau empat bulan ini aku belum mendapat kabar darinya."

"Oh begitu." Xie Lian nampak kecewa.

"Ada apa? Apa ada masalah dengannya?" tanya Hua Cheng.

"Sebenarnya, belakangan ini ada penyembah yang memohon untuk menghentikan amukan Laut Hitam karena mereka jadi tidak bisa ke laut untuk mencari nafkah. Amukan Laut Hitam awalnya hanya di sekitar wilayahnya, tapi kemudian menyebar hingga tepi laut pemukiman manusia."

Xie Lian diam memainkan telunjuk kanan dan kiri. Mencoba mengatakan sesuatu. Hua Cheng tidak menyela.

"Apa ini..." jeda Xie Lian, "apa ini berhubungan dengan hilangnya Shi Qing Xuan?" tanya Xie Lian.

"Aku tak bisa menjawab untuk masalah ini." kata Hua Cheng, "Meskipun kami sudah berteman cukup lama, tapi sampai sekarang aku tak pernah tahu apa yang ada di pikirannya. Apakah dia ada hubungannya atau tidak, aku tidak tahu."

Xie Lian terdiam. Selama melihat Air Hitam Menenggelamkan Kapal melalui sosok Ming Yi, Xie Lian juga tidak bisa menebak bagaimana sosok aslinya. Lagipula Xie Lian hanya mengenalnya dalam waktu yang singkat.

"Apa Gege ingin menyelidikinya?" tanya Hua Cheng.

"Kalau kau tidak keberatan."

"Gege tak perlu sungkan kalau mau meminta bantuanku." ujar Hua Cheng sambil mencium pipi Xie Lian yang membuat pria berjubah putih itu merona.

"Aku masih belum terbiasa." ujar Xie Lian, kemudian meletakkan tangannya di bahu lebar Hua Cheng. "Ke depannya aku akan mengandalkanmu." lanjut Xie Lian. Hua Cheng menyunggingkan senyum. Memeluk Xie Lian dengan lembut dan membawanya berbaring di atas jerami kering yang dilapisi kain. Cukup nyaman untuk ditiduri untuk dua orang.

"Gege istirahat dulu, besok kita akan mengunjungi Air Hitam Menenggelamkan Kapal." Hua Cheng mengecup pelan kening Xie Lian.

"Tapi, sebelum ke tempat Air Hitam, aku ingin sekali lagi menyelidiki hilangnya Shi Qing Xuan." ujar Xie Lian.

"Tidak apa. Lakukan seperti yang Gege inginkan."

Setelah keributan besar yang terjadi di Kayangan, Shi Qing Xuan menetap bersama gerombolan pengemis di ibukota. Sesekali ia akan mengunjungi Kuil Puqi meskipun harus berjalan cukup jauh dengan kondisi kaki yang cacat sebelah.

Namun dua bulan yang lalu, Xie Lian tidak melihat penampakan Shi Qing Xuan. Padahal sudah berjanji akan bertemu lagi pada pertengahan bulan. Penasaran, Xie Lian pergi ke ibukota dan bertanya kepada beberapa pengemis yang mengenal Shi Qing Xuan sebagai Ol' Feng.

"Ol' Feng?" gumam salah satu orang yang ditemui Xie Lian di depan restoran, "Sudah dua minggu ini aku tidak bertemu dengannya. Mungkin saja dia sudah meninggalkan ibukota, tapi tak pamit sama sekali."

"Hm, sudah dua minggu ini aku tak melihat Ol' Feng, padahal aku kemarin membeli arak yang enak. Ingin kubagi dengannya. Sayang sekali." Seorang pria tua menggelengkan kepala dan berlalu dari Xie Lian.

"Aku tak lihat. Setidaknya berkurang sainganku mencari uang."

Xie Lian seharian mengelilingi ibukota tapi hasilnya nihil. Tak ada yang melihat atau bertemu Shi Qing Xuan atau yang sekarang dikenal dengan Ol' Feng dalam dua minggu ini.

Xie Lian semakin curiga dan khawatir. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan padanya.

Akhirnya ia kembali ke Kuil Puqi dengan tangan kosong. Sejenak melupakan Shi Qing Xuan di antara urusan gulungan Kayangan dan doa-doa penyembah.

Paginya, Xie Lian bangun saat matahari sudah sedikit naik. Hua Cheng sudah bangun lebih dulu, kembali dalam balutan jubah merah khas San Lang. Ia sedang merapikan dan menata persembahan di atas meja. Menyalakan dupa dan meletakkannya pada tatakan di hadapan lukisan Putra Mahkota yang Menyenangkan Dewa hasil karya Hua Cheng.

"Gege, ayo sarapan dulu."

Xie Lian mencuci muka di ember kayu yang sudah disediakan Hua Cheng kemudian bergabung di meja persembahan untuk sarapan. Xie Lian menyisakan beberapa roti kukus isi daging untuk dibawa sebagai bekal perjalanan.

"Gege sudah siap?" tanya Hua Cheng. Xie Lian mengangguk setelah menggantungkan topi jerami. Hua Cheng mengambil kotak dadu kemudian mengocoknya di depan pintu masuk Kuil Puqi. Begitu dibuka menunjukkan dua dadu dengan angka enam.

Pintu dibuka. Mereka keluar dari gudang penyimpanan sebuah rumah. Tak ingin dicurigai, mereka segera keluar dari kawasan rumah tersebut dan memulai penyelidikan. Mereka berkeliling sekitar pusat kota dan menemukan seseorang yang familiar bagi Xie Lian.

"Ol' Feng, ya?" gumam seorang pria yang sebelumnya ditanya oleh Xie Lian. Masih saja menjaga di depan sebuah restoran. Xie Lian dan Hua Cheng mengajaknya masuk ke restoran dan memberinya beberapa suap makanan.

"Tidak, tidak, aku tidak melihatnya sejak kau bertanya. Mungkin memang dia sudah pergi tanpa pamit. Aku juga tak ingin terlalu mencampuri urusannya."

"Apa terjadi sesuatu dengannya?"

"Aku juga tak tahu."

Xie Lian dan Hua Cheng saling pandang.

"Ah, ya aku ingat ada kejadian aneh setelah kepergian Ol' Feng." Pria itu melanjutkan. Xie Lian dan Hua Cheng menegakkan telinga. Ingin mendengar lebih.

"Apa itu?" tanya Hua Cheng.

"Ada kasus pembunuhan." Xie Lian menegang. Ia menunggu pria itu melanjutkan. "Kebetulan aku sedang lewat di dekat TKP dan melihat keributan di sana. Lima orang dibunuh dengan cara yang sadis. Mengingat hal itu aku merasa mual." gumam pria itu sambil menyangga keningnya. Teringat hal yang tidak ingin diingat. Xie Lian menyodorkan air minum.

Pada saat itu seorang pelayan mengantar makanan. Pengemis yang semula kelaparan menjadi hilang nafsu makan. Xie Lian dan Hua Cheng menunggu hingga pria itu kembali tenang.

"Aku tidak ingin terlalu terlibat, jadi aku menyingkir sekaligus untuk muntah. Kudengar dari beberapa pengemis lain yang suka bergosip, korban adalah kumpulan pemuda yang sering membuat onar di wilayah ini. Mereka menjarah penghasilan pengemis lain, merampok, bahkan mengganggu anak-anak dan perempuan. Sejujurnya kami, warga ibukota, resah dengan kelakuan mereka. Kejadian itu membuat kami ketakutan sekaligus bernapas lega."

Pria itu meneguk air minum setelah bicara cukup panjang.

"Meskipun sampai sekarang pejabat berwenang belum menemukan siapa pelakunya, setelah itu kami dapat hidup tanpa diliputi rasa takut." ujarnya, "Ah, sepertinya aku sudah lebih baik. Aku makan." lanjutnya sambil mengambil sumpit kemudian memakan hidangan di hadapannya.

Xie Lian mengucapkan 'Silahkan' dengan pelan seolah bergumam. Ia memandang Hua Cheng yang mengangkat kedua bahu. Sepertinya pencarian kedua juga tak menjawab kekhawatiran Xie Lian. Ketika hendak beranjak, pria itu menghentikan.

"Ah, aku ingat satu keanehan di lokasi kejadian. Rasanya samar-samar aku mencium aroma amis ikan." gumamnya, "Atau hanya perasaanku saja, ya?" lanjutnya, kembali menguap nasi hingga memenuhi rongga mulut.

Xie Lian beranjak, Hua Cheng menyusul dan melempar sekantong uang di meja. Pengemis yang belum pernah melihat benda berkilau membelalakkan mata. Nasi di mulutnya sebagian terjatuh mengotori meja. Ia menyimpan kantong itu di balik jubah lusuh sambil matanya melirik dengan curiga ke arah orang di sekitar. Kemudian melanjutkan makan seolah tak terjadi apa-apa.

Xie Lian keluar dari restoran. Telunjuk dan jempolnya menarik-narik dagu seolah akan tumbuh jenggot di sana. "Semakin mencurigakan." gumamnya.

"Apa yang akan Gege lakukan selanjutnya?" tanya Hua Cheng.

"Aku ingin tahu lebih lanjut tentang kasus ini."

Mereka mendatangi pejabat yang berwenang mengatasi kasus tersebut. Dengan sedikit sogokan, mereka berhasil membuka mulut pejabat yang mencoba bungkam. Tapi jawaban yang didapat hampir sama selain detail identitas korban, penjelasan luka yang didapan korban dan laporan saksi mata. Selebihnya sama seperti yang diungkapnya pengemis yang mereka temui sebelumnya.

Riwayat perbuatan yang dilakukan korban selama hidup membuat sebagian warga berterima kasih kepada pelaku. Selanjutnya tidak terjadi hal serupa dalam waktu dua bulan, kasus akhirnya ditutup.

"Apa memang kasus ini berhubungan dengan hilangnya Shi Qing Xuan, ya?" gumam Xie Lian. "Apa perlu kita mengunjungi kuil tempat tinggal para pengemis dan menanyainya satu per satu?"

Lelah berkeliling seharian, mereka beristirahat di sebuah kedai teh. Xie Lian menekan kedua pelipis. Semakin dipikirkan semakin ruwet jadinya. Hua Cheng menyodorkan secangkir teh panas di hadapan Xie Lian.

"Gege minum dulu," ujarnya, "Jangan terlalu dipikirkan, kita selidiki pelan-pelan."

Xie Lian meneguk teh yang diberikan Hua Cheng. "Shi Qing Xuan, sebenarnya kau di mana?" gumamnya kemudian menghela napas panjang.

Xie Lian tidak bisa tidak khawatir. Mereka pernah melewati masa suka-duka bersama. Shi Qing Xuan sudah menganggapnya sebagai teman tanpa memandang masa lalu Xie Lian yang dianggap sial oleh Pejabat Langit lainnya.

Bahkan setelah kejatuhannya, Shi Qing Xuan tetap membantunya menangani kehancuran Kayangan di tengah keterbatasan; kehilangan kedudukan, cacat anggota tubuh, bahkan kehilangan keluarga dan sahabat. Sifat ceria dan supelnya tak berubah meski Xie Lian tahu pasti berat dan syok saat mengetahui dulunya kau seorang yang dipuja kemudian kehilangan segalanya dalam semalam.

Memang butuh waktu untuk menyembuhkan dan menerima dengan lapang dada.

Xie Lian juga terkejut sekaligus kagum dengan keteguhan hati Shi Qing Xuan setelah mengalami kejatuhan. Ia bangkit dengan cepat.

Tapi Xie Lian tidak pernah tahu kebenaran di balik senyum cerah seorang Shi Qing Xuan.

"Apa kalian mengenal Ol' Feng?" seorang bocah pengantar teh tak sengaja mendengar dan menghampiri meja Xie Lian. Xie Lian sontak menoleh. Mendapati seorang anak kecil raut wajah ketakutan dan penuh harap.

"Kau mengenalnya? Katakan dimana dia?" tanya Xie Lian terburu-buru sambil memegang kedua bahu anak yang berusia sekitar sebelas sampai dua belas tahun itu. Membuatnya semakin gemetar karena takut.

"Gege tenanglah." Hua Cheng sudah duduk di samping Xie Lian dan menenangkan suaminya. Xie Lian sontak melepas kedua tangan dari bahu si anak yang tubuhnya masih bergetar.

"Maaf, aku sudah membuatmu ketakutan." kata Xie Lian lembut. Remaja tersebut sedikit bernapas lega. Ia menoleh ke arah pemilik kedai yang sedang sibuk dengan sempoa-nya; menghitung menghasilan hari itu. Setelah dirasa aman, remaja itu membawa Hua Cheng dan Xie Lian keluar kedai setelah menaruh sejumlah koin di atas meja.

Remaja itu mengajak ke belakang kedai yang sepi. Hanya ada hutan di belakang mereka. Remaja itu kembali menoleh ke arah sekitar untuk memastikan keadaan aman. Kemungkinan dia takut disangka bolos oleh pemilik kedai.

"Aku dipanggil Ah Long." katanya memulai dengan sedikit gugup.

"Tenangkan dirimu dulu." ujar Xie Lian. Ah Long mengambil napas panjang kemudian menghembuskan perlahan. Hua Cheng dan Xie Lian menunggu hingga Ah Long menstabilkan emosinya,

"Sebenarnya aku dulunya juga seorang pengemis seperti Ol' Feng. Dia pernah menyelamatkanku..." ia mengambil jeda. "Aku hanya mendengar dari pengemis lain kalau Ol' Feng mengatakan ia dulunya adalah dewa dan dijuluki Master Angin yang bernama Shi Qing Xuan, tapi pengemis lainnya tak ada yang percaya dan menganggap kalau ceritanya omong kosong belaka."

Xie Lian mengangguk paham mendengar penjelasan darimana remaja ini tahu Ol' Feng adalah nama lain dari Shi Qing Xuan.

"Apa kau percaya dengannya?" tanya Xie Lian.

"Sebenarnya aku tidak terlalu percaya."

Sudah Xie Lian duga.

"Dia menyelamatkanku dan menjagaku saat aku sakit. Dia selalu memberiku makanan yang dia punya, meski aku tahu dia juga hidup kekurangan. Akhirnya kami menjadi dekat hingga suatu ketika..."

Remaja itu mengambil jeda cukup panjang membuat Xie Lian penasaran hingga hampir lupa bernapas.

"Dia menghilang."

"Apa yang terjadi?" tanya Xie Lian penuh selidik. Hua Cheng mendengarkan sambil bersandar di sebuah batang pohon terdekat. Remaja itu sedikit ketakutan dengan aura Xie Lian yang walaupun dari luar telihat lembut dibanding si jubah merah, tapi penuh intimidasi.

"Dia... dia..." Ah Long terlalu ketakutan untuk mengutarakan hingga suaranya bergetar dan terdengar gagap.

"Dia kenapa?"

"Dia menolongku, waktu aku diganggu preman-preman itu." ujarnya kemudian. Setitik air mata muncul di sudut matanya; mulai menangis. "Aku... aku takut gara-gara aku... gara-gara aku... Ol' Feng..." isak tangisnya mengacaukan kalimat yang ingin diucapkan.

Xie Lian mengernyitkan dahi, "Preman?"

"Tenanglah..." Xie Lian menenangkan Ah Long. Tangan Ah Long mengusap air mata yang keluar dari sudur mata. Itu sudah membasahi sebagian wajah. Matanya sudah memerah.

Masih dengan isak tangis yang terdengar, ia berusaha menjelaskan. "Dia menolongku, waktu aku diganggu preman-preman yang sering merusuh di sekitar ibukota."

"Apakah preman yang kamu maksud adalah lima orang yang menjadi korban pembunuhan di kemudian hari?" tanya Xie Lian. Remaja itu mengangguk pelan.

"Sejak Ol' Feng menolongku, dia hilang tanpa jejak. Aku sempat kembali tapi Ol' Feng menghilang dan tidak pulang ke kuil."

Ah Long terdiam kemudian mendongak menatap Xie Lian dengan air mata di sudut yang siap jatuh, "Kumohon bantu aku untuk menemukan Ol' Feng. Aku tak tahu harus mencarinya kemana lagi."

Air mata itu tak kuasa menahan beban gravitasi, jatuh meluncur melalui pipinya.

Xie Lian menepuk pundah Ah Long, "Jangan khawatir, kami akan berusaha menemukannya."

Ah Long mengangguk sambil mengusap air mata dan ingus dengan sudut jubah lengannya. "Terima kasih." Ah Long membungkukkan badan kemudian berlari kembali ke dalam kedai setelah mendengar teriakan pemilik meneriaki nama 'Ah Long' beberapa kali. Sampai remaja itu lupa untuk menanyakan nama dari dua teman Ol' Feng.

Setelah Ah Long menghilang, Xie Lian menoleh kepada Hua Cheng. "Sepertinya memang ada hubungannya antara hilangnya Shi Qing Xuan, kasus pembunuhan itu dan juga..." Xie Lian memberi jeda.

"Air Hitam Menenggelamkan Air." lanjut Hua Cheng.

"San Lang, aku takut terjadi hal yang tidak kuinginkan pada Shi Qing Xuan." ujar Xie Lian dengan raut penuh kekhawatiran.

"Kita harus segera menuju tempat Iblis Air Hitam."

Hua Cheng menuju gudang reyot tak jauh dari kedai. Lagi-lagi Hua Cheng menggunakan dadu untuk membawa mereka menuju tempat terdekat dari wilayah kekuasaan Iblis Air Hitam Menenggelamkan Kapal.

Pintu terbuka. Mereka sampai di gudang penyimpanan peralatan memancing milik penduduk setempat. Di hadapan mereka membentang laut luas. Angin laut menerpa wajah cukup keras. Di ujung cakrawala merupakan wilayah kekuasaan Air Hitam.

Dari tempat Xie Lian dan Hua Cheng berdiri terlihat awan gelap mengelilingi wilayah dekat wilayah Iblis Air Hitam. Kilat dan petir menyambar bersahutan. Ombak bergulung seolah mengamuk kepada langit. Meskipun amukan badai tidak sampai ke tempat penduduk lokal. Tapi melihat ombak yang memecah hingga tepi pantai dan angin kencang yang menderu, membuat ngeri.

Pantas saja banyak penyembah mengeluh tidak bisa melaut.

"Bagaimana caranya kita kesana?" gumam Xie Lian. Meminjam kapal penduduk sepertinya percuma.

"Gege lupa, kalau ada cara untuk sampai ke tempat Air Hitam?" tanya Hua Cheng.

Xie Lian memiringkan kepala. Mengingat saat mereka pertama kali mengunjungi pulau Air Hitam untuk menyelamatkan Shi Qing Xuan. Seketika wajah Xie Lian merona. "Apa memang hanya itu?" gumam Xie Lian sambil menundukkan kepala dengan uap keluar dari puncak kepala.

"Gege, kita kan sudah banyak melakukan hal yang lebih dari itu." goda Hua Cheng.

"San Lang!" Xie Lian menutup telinga. Tak ingin mendengar Hua Cheng mengucapkan hal omong kosong lagi.

"Hahaha, maaf, Gege sangat menggemaskan." ujar Hua Cheng sambil memeluk bahu dan mengecup dahi Xie Lian. "Kita keliling desa sebentar dan menanyakan apa kita bisa membeli beberapa kayu. Kita juga butuh mencari penginapan untuk istirahat."

Meskipun mereka sebenarnya tidak perlu beristirahat seperti halnya manusia biasa.

Xie Lian tetap mengangguk. Mereka berjalan di jalan utama. Tak ada seorang pun yang berlalu-lalang. Selain karena hari sudah gelap, cuaca juga tidak mendukung untuk terlalu lama berada di luar ruangan. Xie Lian dan Hua Cheng sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan restoran di lantai satu dan penginapan di lantai dua.

Xie Lian memilih tempat duduk di paling pojok tapi leluasa untuk mengawasi sekitar. Ia meletakkan topi jerami di samping sementara Hua Cheng memesankan beberapa makanan.

Tak banyak pengunjung yang datang. Xie Lian menajamkan pendengaran. Kebanyakan pengunjung mengeluhkan hal yang sama. Cuaca buruk yang mempengaruhi bisnis.

"Permisi, sebenarnya apa yang terjadi disini?" tanya Xie Lian saat pelayan mengantar makanan dan minuman.

Pelayan merupakan pemilik penginapan yang nampak lesu menghela napas panjang. Selain sepi pengunjung juga sepi pelayan yang seharusnya mondar-mandir membawakan makanan atau melayani tamu. Pemilik penginapan terpaksa memulangkan beberapa pegawai dan melayani sendiri.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Iblis Air Hitam yang tak pernah mengacau sebelumnya, tiba-tiba saja mengamuk dan mengacaukan bisnis kami. Meskipun tidak setiap hari terjadi, tapi kami tidak tahu kapan Iblis Air Hitam akan mengamuk. Dia memang sulit diprediksi."

Ada yang mengatakan cuaca di sekitar wilayah kekuasaan Iblis Air Hitam berhubungan dengan suasana hatinya. Seperti yang Xie Lian tahu, Air Hitam selalu berusaha menyembunyikan kehadiran begitu pula dengan emosinya.

Lalu apa yang menyebabkan suasana hati Iblis Hitam Menenggelamkan Kapal begitu buruk?

"Sejak kapan hal ini terjadi?" tanya Xie Lian.

"Sekitar dua bulan ini." ujarnya, "Nelayan kami juga tak bisa membawa pulang tangkapan karena diterjang ombak. Beberapa yang nekat melaut akhirnya melebur bersama amukan Air Hitam."

"Sungguh, aku tak tahu bagaimana nasib desa kami selanjutnya."

Meskipun dekat dengan wilayah Iblis Air Hitam, tempat ini cukup terkenal dengan wisata pantai dan makanan laut yang lezat. Tapi dengan kondisi seperti ini terpaksa menutup bisnis untuk sementara.

"Apa kau tahu dimana kami bisa mendapatkan beberapa kayu?" tanya Hua Cheng.

"Kayu? Kau bisa mengunjungi tempat Tuan Wang di ujung jalan ini." Pria itu menunjuk ke arah menuju laut. "Dia bisa memberimu kayu dengan kualitas terbaik. Tapi aku tak yakin dengan kondisi sekarang ini..."

"Tidak apa-apa. Terima kasih." ujar Xie Lian.

"Apa yang akan kalian lakukan?" tanya pria itu. "Jangan katakan kalau kalian mau melaut?" tanyanya penuh keheranan.

Xie Lian tersenyum dan menjawab, "Hanya mengunjungi teman lama."

Pria memandang Xie Lian dan Hua Cheng bergantian. Kemudian berpaling kembali ke tempat kasir sambil bergumam, "Anak muda jaman sekarang sulit dimengerti."

"Bagaimana sekarang?" tanya Hua Cheng.

"Kita istirahat dulu di sini." jawab Xie Lian. "Besok kita mengunjungi Tuan Wang." ujar Xie Lian kemudian menyantap makanan yang sudah dipesan. Hua Cheng menyumpit sepotong daging, menyuapkannya ke arah mulut Xie Lian.

"Gege, ah~" goda Hua Cheng.

"San Lang!" protes Xie Lian. Wajahnya merona Hua Cheng membuat gerakan afeksi di tempat umum.

"Tidak ada yang melihat dan peduli dengan kita," kata Hua Cheng, "ayo buka mulutmu."

Dengan malu-malu, Xie Lian mengambil satu suapan tersebut. Hua Cheng tersenyum puas.

Esoknya, pagi-pagi sekali mereka mengunjungi Tuan Wang seperti yang disebutkan oleh pemilik penginapan. Cuaca masih cukup berbahaya untuk melakukan perjalanan laut. Angin mengibarkan jubah dan hampir menerbangkan topi jerami milik Xie Lian. Membuatnya cukup resah.

Belum sehari ia diterjang angin sudah merasa resah, bagaimana dengan penduduk yang sudah hampir dua bulan merasakannya?

Dengan sedikit tawar menawar, mereka mendapatkan beberapa potong kayu yang cukup untuk membuat peti mati. Hua Cheng cukup mengeluarkan banyak biaya dalam perjalanan untuk mendapatkan informasi. Seharusnya Hua Cheng bisa meminta Yin Yu untuk mencarikan informasi atau memanfaatkan kupu-kupu peraknya. Tapi mantan pejabat langit itu sedang disibukkan dengan urusan di Kota Hantu.

Selain itu, bagi Hua Cheng, perjalanan ini merupakan 'wisata' bersama dengan Xie Lian. Jadi tidak masalah bila harus mengeluarkan sejumlah uang dan tenaga. Tapi tentu saja, pemimpin Kota Hantu itu tidak mengungkapkannya secara terang-terangan.

Hua Cheng melepas lengan jubah luar merah yang menyisakan jubah dalam berwarna putih. Ia mulai merakit potongan kayu tersebut menjadi sebuah peti yang cukup untuk menampung dua orang. Sementara Xie Lian berkeliling desa untuk mendapatkan beberapa persediaan. Kalau sedang sendiri ia mungkin akan mencarinya di tempat sampah. Tapi karena saat ini ia sedang bersama dengan Hua Cheng tidak mungkin memberikan benda tak layak kepadanya.

Xie Lian menghampiri Hua Cheng dengan membawa beberapa barang. Hua Cheng sudah hampir selesai dengan pekerjaannya. Setengah jam kemudian mereka siap untuk berlayar.

Sejujurnya Xie Lian gugup. Memori memalukan di masa lalu muncul lagi.

Xie Lian dan Hua Cheng berbaring menyamping di dalam peti yang sudah mengambang di atas laut mengikuti arus ombak. Xie Lian merasa kalau tubuh Hua Cheng sedikit menjadi lebih besar.

"Kau berubah wujud?" tanya Xie Lian.

"Iya, aku sudah sesuaikan ukuran peti dengan ukuran tubuh asliku. Kupikir Gege akan kedinginan."

'Adanya aku yang kepanasan.' batin Xie Lian dengan semburat merah di pipi.

"Terima kasih." ujar Xie Lian menyamankan diri di dada Hua Cheng. Sejujurnya Xie Lian lebih suka Hua Cheng dalam tubuh aslinya, meskipun tubuh San Lang tidak buruk juga.

Xie Lian terlalu malu untuk mengatakan ia sangat nyaman di dalam pelukan tubuh asli Hua Cheng.

Perjalanan cukup memakan waktu. Mungkin sudah sekitar satu jam sejak mereka melepas peti ke laut. Xie Lian takut tubuh Hua Cheng menjadi kram berada di posisi sama terus-menerus.

"San Lang, apa perlu ganti posisi?" tanya Xie Lian.

"Kalau Gege merasa kurang nyaman..." ucap Hua Cheng.

Xie Lian berusaha bergerak di ruang terbatas. Hua Cheng membantu dengan beberapa gerakan. Tapi peti mati yang terombang-ambing dihempas ombak ganas mengejutkan penghuni di dalamnya. Xie Lian terdorong, Hua Cheng reflek memeluknya. Entah bagaimana posisi mereka menjadi Xie Lian berada di atas tubuh Hua Cheng.

"Gege kau baik-baik saja?" tanya Hua Cheng khawatir.

"Ti-tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." jawab Xie Lian gugup.

Posisi sekarang yang terjadi di masa lalu, kini terulang kembali. Xie Lian merasa sesuatu yang keras menyenggol pahanya. Xie Lian tersentak. Sungguh ambigu dan membuat keduanya canggung.

Xie Lian tidak berani menggeser posisinya. Takut tubuhnya akan menggesek 'benda' keras itu dan menimbulkan hal yang tak terduga.

"Maaf Gege, San Lang akan berusaha menahannya." ujar Hua Cheng yang terdengar seperti gumaman. Tapi posisi sedekat ini tidak mungkin Xie Lian tidak mendengarnya. Mungkin saat ini Hua Cheng sedang merona sambil menahan hasrat di bawah sana. Xie Lian hanya mengangguk dan bergumam 'Ng.' sebagai jawaban. Ia pun merasa wajahnya merona cukup hebat dan sekuat tenaga menahan hasratnya di bawah sana tanpa disadari oleh Hua Cheng.

Kecanggungan mereka terjadi cukup lama. Hingga ganasnya amukan ombak Laut Hitam tak lagi mengguncang peti.

"Apa sudah sampai?" tanya Xie Lian.

"Sepertinya sudah." Hua Cheng juga merasa lantai tempatnya berbaring menjadi lebih stabil.

Xie Lian membuka peti. Benar saja mereka telah sampai di Pulau Air Hitam. Xie Lian yang berada di atas Hua Cheng keluar lebih dulu. Ia membantu Hua Cheng untuk keluar.

Sungguh aneh. Mereka jelas di kawasan Pulau Air Hitam. Tapi badai yang menyapu laut disekitarnya tidak sampai ke pulau yang mereka pijak. Seperti ada pelindung transparan yang menghalangi angin dan ombak besar mendekati pulau.

"Sepertinya cukup aman disini." gumam Xie Lian. Kemudian Hua Cheng mengatakan hal yang membuat Xie Lian harus menarik kata-katanya.

"Jangan terlalu senang dulu, Gege. Kita tak pernah tahu apa yang ada di pikiran Air Hitam. Apapun yang terjadi, kita harus tetap waspada." Hua Cheng menoleh ke arah Xie Lian. Perkataan Hua Cheng ada benarnya. Sekarang mereka sedang berada di wilayah orang lain. Tak bisa seenaknya walaupun dia adalah seorang—yang bisa dibilang—kenalan lama.

"San Lang, aku tak bisa menghubungi Feng Xin, Mu Qing atau Ling Wen." ujar Xie Lian saat ia meletakkan telunjuk dan jari tengah di pelipis. Mencoba menggunakan Jaringan Komunikasi untuk menghubungi pejabat langit.

Hua Cheng juga ikut mencoba. "Sepertinya jaringan di sini diputus, jadi kita tak bisa menghubungi pihak luar."

"Apa karena penghalang ini?" Xie Lian mendongak memperhatikan penghalang tak kasat mata di hadapannya. Di luar penghalang badai meraung-raung sementara mereka aman di dalam.

"Kenapa kita bisa masuk ke sini? Seharusnya penghalang ini untuk melindungi sesuatu, kan?" tanya Xie Lian. Hua Cheng menggeleng pelan; tidak tahu.

Xie Lian sudah menduga akan hal buruk yang terjadi, jadi Xie Lian sudah menghubungi Feng Xin, Mu Qing dan Ling Wen kalau ia akan mengunjungi Air Hitam sebelum pergi dari Kuil Puqi dan terus melapor di setiap pemberhentian untuk berjaga-jaga.

"Gege jangan jauh-jauh dariku." Hua Cheng mengulurkan tangan. Xie Lian mengangguk dan meraih tangan Hua Cheng.

Keduanya berjalan memasuki hutan lebat sebelum memasuki istana di tengah hutan. Hua Cheng berjalan terlebih dahulu. Membuka jalan dengan menebas daun-daun lebar dan ranting yang menghalangi jalan dengan golok E-ming.

"Gege, hati-hati langkahmu." Hua Cheng sesekali menoleh dan mengucapkan hal yang sama. Xie Lian menghitung sudah lima kali. Ia hanya mengangguk dan menjawab baik-baik saja.

Dalam satu jam mereka sudah sampai di depan istana Iblis Air Hitam. Istana tinggi menjulang di balik pagar tembok berwarna gelap. Pintu kayu besar juga dicat dengan warna gelap. Sangat khas dengan sosok Iblis Air Hitam Menenggelamkan Kapal yang suram.

Xie Lian menoleh kepala ke sekitar. Tertegun. "Apa ini tidak terlalu mudah?" gumamnya.

"Kupikir juga begitu. Kita tak menemukan hal yang menghalangi selama perjalanan. Bahkan lebih cepat dari perkiraan." Hua Cheng menimpali.

"Apa dia sudah mengetahui kehadiran kita?" tanya Xie Lian.

"Kemungkinan sudah. Tapi aku tak bisa memperkirakan apa yang dia rencanakan."

"Baiklah, ayo kita sapa Air Hitam Menenggelamkan Kapal." Xie Lian mendorong pintu besar. Seketika pintu terbuka dengan bunyi kriet yang keras.

Hua Cheng dan Xie Lian memasuki istana yang gelap. Beberapa langkah berjalan, pintu besar di belakang mereka menutup dengan sendirinya. Xie Lian menoleh ke arah belakang. Hanya ada kegelapan menyelimuti. Mau tak mau mereka harus maju.

Hua Cheng akan memanggil kupu-kupu perak untuk menerangi jalan ketika api menyala dari sebuah obor besar di sisi kanan dan kiri secara bersamaan. Memperlihatkan sebuah lorong yang panjang. Api menyala secara berurutan sepanjang jalan ketika suara langkah kaki menggema.

Sisi kanan dan kiri tak ada apapun, hanya ada tembok dan cahaya api dari obor. Xie Lian dan Hua Cheng terus menyusuri lorong hingga mereka menemui jalan bercabang. Mereka saling berpandangan.

"Pilih mana?" tanya Xie Lian.

"Menurut Gege, lebih baik pilih mana?" Hua Cheng balik bertanya.

Xie Lian menoleh ke arah Hua Cheng. "Kau lupa kalau keberuntunganku jauh di bawahmu?" tanyanya.

"Tapi dengan kebersamaan kita selama ini seharusnya keberuntunganku tersalurkan ke Gege." Xie Lian mengerutkan dahi.

'Sempat-sempatnya kau mengatakan hal memalukan di saat seperti ini.' gumamnya.

"Baiklah kita coba dengan keberuntungan dadu?" Xie Lian menyarankan. Hua Cheng mengeluarkan gelas dengan dua dadu di dalamnya menyerahkannya kepada Xie Lian.

"Gege lebih dulu." ujarnya.

Xie Lian mencoba peruntungan di percabangan sebelah kiri, hasilnya angka dua dan tiga. Saat mencoba di sebelah kanan, hasilnya dua angka tiga.

"Lihat, angkanya sudah naik dari sebelumnya." kata Hua Cheng sedikit menggoda.

"San Lang..."

"Jadi lewat mana kita?" tanya Xie Lian mengalihkan topik.

"Ke arah yang nilainya lebih besar."

"Kanan?" tanya Xie Lian menoleh ke arah Hua Cheng. Ditanggapi dengan anggukan. "Kau serius?"

Hua Cheng mengangguk dua kali. "Aku percaya pada Yang Mulia."

"Baiklah."

Mereka mengambil langkah ke arah kanan. Hua Cheng maju lebih dulu dengan menggenggam tangan Xie Lian. Tidak ada bunyi lain selain langkah kaki dan percikan api dari obor di sisi kanan dan kiri setiap lima meter. Hanya ada mereka di sepanjang jalan. Tak ada pintu ataupun jendela. Suasana begitu dingin dan mencekam.

Hua Cheng menghentikan langkah tiba-tiba membuat Xie Lian menubruk punggungnya yang lebar.

"Ah, maaf Gege."

Xie Lian mengelus pelan hidungnya yang menjadi korban, "Ada apa?" tanyanya.

Hua Cheng menunjuk ke arah depan. Xie Lian mengikuti arah yang ditunjuk Hua Cheng.

Percabangan lagi.

Mereka memutuskan untuk menggunakan keberuntungan dadu untuk menentukan lorong mana yang akan mereka pilih. Pilihan ditentukan. Mereka melanjutkan perjalanan. Tapi lagi-lagi saat mereka berjalan setengah jam, mereka menemukan lorong bercabang lagi.

Hal ini berlanjut hingga lima sampai enam kali.

"Apa Air Hitam sedang bermain-main dengan kita?" ujar Xie Lian. Ia menyenderkan punggung di tembok. Sedikit beristirahat karena lelah berjalan di lorong bercabang yang tak ada habisnya.

"Sepertinya memang ia sengaja membuat kita berputar-putar." kata Hua Cheng. Tapi begitu ia menolehkan kepala ke belakang, ia tak menemukan sosok yang seharusnya berada di sana.

"Gege?" panggil Hua Cheng. Tak ada jawaban. Di depan atau belakang hanya ada lorong. Tak mungkin Xie Lian yang hanya menyenderkan punggung sebentar tiba-tiba menghilang dalam sekejap, kecuali...

Hua Cheng memandang tajam dengan sebelah mata tempat sandaran Xie Lian sebelum menghilang.

x o x o x o x

Hua Cheng mendaratkan kaki dengan mulus di atas lantai. Keadaan begitu gelap. Segera ia menggunakan beberapa kupu-kupu perak sebagai penerangan. Tapi api obor menyala lebih cepat dari kupu-kupu Hua Cheng.

Ruangan menjadi lebih terang. Menampilkan sebuah ruang perjamuan. Hua Cheng menyipitkan sebelah mata. Memperhatikan sosok berjubah gelap sedang membelakanginya di tempat tuan rumah seharusnya berada saat perjamuan. Telinga dengan ujung runcing mencuat dari balik helaian rambut hitam yang sengaja digerai. Ia berbalik. Matanya gelapnya bertemu dengan mata Hua Cheng yang tertutup sebelah.

Hua Cheng sudah melakukan kuda-kuda, bersiap menyerang dengan golok E-ming, tapi segera diturunkan.

"He Xuan?" panggil Hua Cheng menyarungkan kembali E-ming.

"Kukira siapa tamu yang datang, rupanya kau." He Xuan menuruni dua tangga, menghampiri Hua Cheng, "Kalau tahu itu kau, akan kujamu dengan lebih baik." lanjutnya, "Tapi maaf aku sedang sibuk akhir-akhir ini jadi tidak bisa menerima tamu."

"Dimana Yang Mulia?" tanya Hua Cheng. Tak peduli dengan basa-basi He Xuan.

He Xuan melirik, kemudian menjawab, "Tenang saja, aku hanya memisahkan kalian. Kujamin Yang Mulia tak tergores satu inci pun."

"Aku tak peduli, aku hanya menginginkan Yang Mulia kembali. Dimana dia sekarang?"

"Kalau bukan karena hutangku padamu, aku sudah tidak segan untuk melawanmu saat ini."

"Oh, kau sudah berani menantangku."

"Kau tahu, aku tak mungkin berani, apalagi melukai Yang Mulia. Jadi tenang saja." ujar Hexuan, "Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku sedang tidak ingin menerima tamu, jadi bisakah kau dan Yang Mulia meninggalkan wilayahku." lanjutnya sambil berbalik meninggalkan Hua Cheng.

Hua Cheng tak merespon. Hingga sosok He Xuan hampir menghilang ia melontarkan satu nama, "karena Shi Qing Xuan?"

He Xuan membeku dan menghentikan langkah kaki. Ruangan menjadi sunyi. He Xuan menjawab tanpa menolehkan kepala, "Aku sudah tak ada hubungan dengannya lagi."

"Benarkah?" Hua Cheng tak percaya. Ia menyandarkan punggung pada pilar kayu sambil memainkan manik merah yang mengikat pada sebelah kepangan rambut. "Apa mungkin kau juga tidak ada hubungannya dengan kasus pembunuhan lima preman di ibukota?"

He Xuan memandang Hua Cheng tajam, "Apa yang kauinginkan?" tanyanya.

"Hanya membantu Yang Mulia menemukan kebenaran."

"Kau hanya membuang waktu di sini."

"Oke, aku tak peduli apa yang kau coba lakukan," ujar Hua Cheng, "tapi bisakah kau tidak melibatkan orang-orang tak bersalah dan tak ada sangkut pautnya dengan masalah pribadimu? Kau membuat penduduk tepi pantai tak bisa mencari nafkah."

He Xuan menundukkan kepala, terdiam lama. Seperti yang ia tahu, emosi hatinya sangat mempengaruhi Laut Hitam.

Tepat saat itu, suara dentuman keras terdengar. Menghentikan percakapan antara dua Iblis Tingkat Penghancur. He Xuan dan Hua Cheng menoleh ke arah sumber suara. Keduanya mengernyitkan dahi, secara bersamaan bergumam.

"Yang Mulia?"

"Qing Xuan?"

He Xuan berlari keluar ruangan menyusul Hua Cheng di belakang. Mereka melewati beberapa belokan hingga akhirnya sampai di tempat yang penuh kepulan asap hitam. Dari balik asap itu, muncul sosok berjubah putih terbatuk dengan keras.

Hua Cheng menghampiri Xie Lian, tak sengaja menyenggol pundak He Xuan yang terdiam di depannya.

"Yang Mulia, kau tidak apa-apa?" tanya Hua Cheng menopang tubuh Xie Lian.

Xie Lian masih merasakan debu di dalam paru-paru. Ia terbatuk beberapa kali. Jubah putihnya lebih berwarna kusam dari sebelumnya. Wajahnya juga tak luput dari debu yang menempel.

"Apa yang terjadi?" Hua Cheng memperhatikan setiap inci tubuh Xie Lian. Khawatir kalau ada lecet atau luka. Ia menepuk pelan kotoran yang menempel pada jubah putih Xie Lian. Menggunakan ujung jubah merah untuk menyeka kotoran di pipi Xie Lian.

"Yang Mulia, senang bertemu denganmu kembali." ujar He Xuan sambil membungkuk dengan tenang.

"Air Hitam Menenggelamkan Kapal..." panggil Xie Lian, yang terdengar seperti gumaman.

"Mohon maaf sudah membuat Yang Mulia tidak nyaman. Tapi, untuk saat ini, bisakah kalian berdua meninggalkan pulauku?" pinta He Xuan yang terdengar seperti perintah.

He Xuan melewati Hua Cheng dan Xie Lian untuk memasuki lubang besar yang masih mengeluarkan sisa debu dan asap yang beterbangan.

"Gege?" panggil Hua Cheng merasakan napas Xie Lian memburu dan tubuhnya bergetar. Xie Lian tak menjawab panggilan Hua Cheng. Ia segera menghentikan langkah Iblis Air Hitam.

"He Xuan..." panggil Xie Lian.

He Xuan berhenti dan menoleh tepat saat ia di depan lubang besar yang menganga. Pintu kayunya terbelah menjadi dua bagian dengan beberapa retakan tergeletak begitu saja di lantai. He Xuan hanya menatap Xie Lian tanpa mengatakan apapun.

Di pihak lain, Xie Lian ingin menanyakan banyak hal, tapi akhirnya ia hanya mengatakan.

"Sadarlah..." pinta Xie Lian, "Apa yang kaulakukan ini sia-sia."

Hua Cheng menatap Xie Lian dan He Xuan secara bergantian dengan bingung.

"Apa yang sedang Gege bicarakan?" tanya Hua Cheng.

Xie Lian tidak juga menjawab pertanyaan Hua Cheng. Hua Cheng menatap He Xuan dengan dengusan sebal. Xie Lian tidak mengalihkan tatapan dari He Xuan; meminta penjelasan.

"Yang Mulia," panggil He Xuan kepada Xie Lian, "Anda tidak perlu khawatir, aku tahu apa yang kulakukan."

He Xuan beralih kepada Hua Cheng yang masih mendengus ke arahnya. "Untuk masalah yang kausebutkan tadi, aku akan selesaikan segera." He Xuan menghilang di balik ruangan meninggalkan Xie Lian. Hua Cheng yang masih bingung dengan situasi.

"Dia sudah mati, He Xuan!" teriak Xie Lian, kali ini air matanya tak bisa dia bendung lagi. "Kau tak bisa menghidupkannya lagi!"

Xie Lian terisak, Hua Cheng segera memeluk Xie Lian erat dalam dekapan. Membiarkan Xie Lian menumpahkan semua emosi. Tak peduli jubah merahnya menjadi basah sekalipun.

Sementara He Xuan tetap menutup telinga, tidak merespon.

Xie Lian berhenti menangis setelah waktu berlalu. Ia melepas pelukan Hua Cheng, "Maaf San Lang." gumam Xie Lian.

"Tak apa-apa, Gege." Hua Cheng mengusap sisa air mata yang membekas di pipi Xie Lian. "Sudah lebih baik?"

Xie Lian mengangguk. Pandangannya menatap pada lubang gelap yang menganga di depannya. Ia tak tahu apa yang sedang dilakukan He Xuan di dalam sana. Xie Lian bisa saja menerobos masuk, tapi ia bukan tipe orang yang akan mencampuri terlalu dalam urusan orang lain.

Hua Cheng hanya diam. Sejauh ini ia sudah menyimpulkan situasi berdasarkan percakapan singkat antara Xie Lian dan He Xuan. Dan itu sesuai dengan dugaannya.

"Ayo kembali." ujar Hua Cheng. Xie Lian mengangguk, ia berdiri dengan menopang tubuh Hua Cheng. "Kita tak bisa mencampuri lagi urusan Air Hitam. Ia juga sudah mengatakan akan mengatasi masalah dengan penduduk, jadi lebih baik kita tunggu saja perkembangannya." lanjut Hua Cheng. "Setidaknya kita sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan kita selama ini."

Begitulah Xie Lian dan Hua Cheng akhirnya kembali ke tepi pantai Pulau Air Hitam.

x o x o x o x

Xie Lian hanya menyandarkan punggung sebentar tapi tembok di belakangnya bergerak dan menenggelamkan dirinya. Ia terjatuh dari ketinggian. Segera memanggil Ruo Ye untuk menangkap sesuatu. Ruo Ye menggapai-gapai udara tanpa mendapat apapun.

Xie Lian terjerembab di atas lantai setelah melayang cukup lama. Ia mengaduh pelan merasakan senut-senut di beberapa tubuh. Tapi rasa sakit ini tak seberapa dibanding yang pernah ia alami selama 800 tahun hidupnya.

Ruo Ye mengibaskan kain di depan wajah Xie Lian. Seperti anak anjing yang membangunkan majikan, "Aku tidak apa-apa." ujarnya sambil mengusap Ruo Ye, "terima kasih." Kain panjang itu kembali menyelinap di pergelangan tangan Xie Lian.

Debu lantai beterbangan ketika Xie Lian terjatuh. Beberapa menempel di jubah putih dan sebagian masuk ke dalam paru-paru membuatnya terbatuk pelan.

Xie Lian bangkit, membersihkan sisa debu di jubahnya. Ia memandang waspada ke arah sekitar. Indra penciumannya merasakan aroma busuk yang menyengat. Udaranya terasa sangat lembab.

"Aku dibawa kemana ini? San Lang?" Xie Lian mencoba memanggil Hua Cheng. Tapi tentu saja tak ada jawaban. Menggunakan Jaringan Komunikasi pun percuma karena sudah diblokir sejak datang ke pulau ini.

Xie Lian menyalakan Telapak Lidah Api, seketika cahaya terang menyinari. Ia sedikit menyipitkan mata dengan pencahayaan yang tiba-tiba. Setelah bebeberapa saat beradaptasi, ia menyelidiki situasi. Kakinya maju beberapa langkah. Hanya ada tembok gelap yang ditumbuhi lumut.

Ruangan yang ia tempati begitu luas. Xie Lian mengarahkan cahaya ke tempat lain. Ia segera sadar kalau ia berada di sebuah penjara bawah tanah dengan melihat pintu yang terbuat dari kerangkeng besi. Xie Lian segera menuju ke arah pintu, berharap ada penjaga di sana.

"Tolong keluarkan aku! Siapa saja!" teriaknya.

Xie Lian sengaja menggoyangkan kerangkeng besi yang sudah berkarat agar menimbulkan bunyi. Mencoba menarik perhatian siapapun yang lewat. Tapi kemudian Xie Lian tersadar ia belum melihat siapapun di dalam Istana Iblis Air Hitam.

"Baiklah, apa yang harus kulakukan?" gumam Xie Lian setelah tak ada jawaban dari aksinya. Ia menuju kunci gembok yang terpasang. Ia merogoh kantong di lengan jubahnya berharap menemukan sesuatu untuk membuka gembok. Tak menemukan apapun, Xie Lian mengelilingi penjuru ruang penjara dengan cahaya masih di tangan. Ia menemukan sebuah jarum besi tipis karatan yang tak sengaja ia injak.

"Lebih baik daripada tidak ada sama sekali." Ia mengambil dan mencoba memasukkan ke lubang kunci. Xie Lian terlalu serius membuka gembok, hingga tak sadar ada sosok berdiri di depannya.

Xie Lian menoleh merasakan ada hawa lain di luar kerangkeng besi, seketika terkejut. Ia terlonjak hingga mundur ke belakang. Jarum di tangannya terlempar entah kemana.

"Aduh, bikin kaget." gumamnya. Ia mendekat ke arah dua makhluk di depan pintu kerangkeng.

Disebut makhluk karena memang mereka bukanlah jenis manusia. Manusia mana yang berani menginjakkan kaki di wilayah Iblis Penghancur?

Makhluk itu tingginya sekitar lutut, jadi Xie Lian berjongkok begitu mendekat. Meski tingginya seperti anak kecil, tapi mereka bukan anak kecil. Mereka memiliki kaki dan tangan seperti manusia memakai baju besi seperti halnya seorang penjaga tapi dengan kualitas abal-abal. Hanya saja ketika Xie Lian melihat bentuk kepalanya, ia mengernyitkan dahi.

Bentuknya seperti ikan. Bukan seperti, tapi memang berbentuk ikan. Dengan taring di mulut dan di atas kepalanya muncul sebuah antena. Di ujungnya berbentuk bulat menyala dalam kegelapan. Di salah satu tangan, memegang sebuah tombak panjang yang tingginya melebihi mereka. Namun tak lebih tinggi dari Xie Lian.

Kedua makhluk itu saling pandang, kemudian memandang Xie Lian.

Karena mendengar suara ribut di dalam penjara yang sudah lama tak berpenghuni jadi mereka datang untuk mengecek. Kemudian dikejutkan dengan sosok Xie Lian sudah terperangkap di dalam penjara.

Selama bertahun-tahun menganggur sebagai penjaga penjara Istana Iblis Air Hitam, baru kali ini mereka melihat penghuni penjara—entah datang dari mana—jadi sedikit tertegun.

"Halo, maaf mengganggu, bisakah kalian keluarkan aku dari sini?" pinta Xie Lian setelah tersadar.

Kedua makhluk itu kembali saling pandang.

"Aku... em teman dari Iblis Air Hitam." Xie Lian merasa ragu saat mengatakan teman dari Iblis Air. Meski pernah melakukan misi bersama, tapi mereka tak pernah sedekat sebagai teman. "Aku harus bertemu dengannya dan menanyakan dimana keberadaan Shi Qing Xuan."

Makhluk itu lagi-lagi hanya saling pandang, tapi kemudian berlari meninggalkan Xie Lian.

"Hei, tunggu! Keluarkan aku dulu!" teriak Xie Lian menggema di seluruh penjara.

Xie Lian menghela napas panjang, "Apa mereka akan melapor ke Iblis Air Hitam?" gumamnya. "Tapi bukankah itu bagus? Aku bisa memintanya mengeluarkanku dari sini."

Tak berapa lama, kedua makhluk itu kembali dengan membawa 'seseorang'. Bukan Iblis Air Hitam seperti yang diharapkan Xie Lian, tapi satu lagi makhluk bertubuh manusia kepala ikan. Namun bedanya ia memakai jubah panjang dan terlihat lebih... berwibawa. Jenis kepalanya juga bukan seperti dua penjaga di belakang. Tidak ada taring di mulutnya.

"Em... kau?" tanya Xie Lian.

"Maaf sudah mengejutkan, Tuan."

Dahi Xie Lian berkerut.

"Perkenalkan, hamba adalah pengurus Istana ini, hamba dipanggil Yu." Xie Lian belum menanggapi, menunggu makhluk bernama Yu itu menyelesaikan kalimat.

"Mereka mengatakan..." Yu menolehkan kepala ke belakang, ke arah dua penjaga tadi. "Tuan adalah teman Tuan Iblis Air dan juga..." ia memberi jeda, "Tuan Shi Qing Xuan."

Xie Lian segera mendekat, tapi ia dan Yu beserta dua penjaga itu terhalang kerangkeng besi, "Kau tahu Shi Qing Xuan? Dimana dia?"

Yu menundukkan kepala, menyiratkan ekspresi yang sulit ditebak. Xie Lian cukup mengerti arti ekspresi tersebut. Tapi Xie Lian masih harus membuktikannya sendiri.

"Tolong keluarkan aku dan pertemukan aku dengan Shi Qing Xuan atau Iblis Air, siapapun itu." pinta Xie Lian. "Biarkah aku melihat dengan kepalaku sendiri."

Yu menoleh ke belakang. Dengan satu gerakan menyuruh salah satu penjaga membuka gembok kunci.

"Mari ikut saya." Yu memimpin jalan. "Saat ini Tuan Iblis Air sedang menemui seorang tamu, jadi aku bisa diam-diam membawa Tuan menemui Tuan Shi Qing Xuan."

Alis Xie Lian bertaut saat mendengar kata 'tamu'. "Mungkinkah San Lang?" pikirnya.

'Kalau benar, kumohon San Lang buat He Xuan teralihkan sejenak.' batin Xie Lian.

Xie Lian mengikuti langkah Yu. Kakinya yang kecil ditambah langkahnya yang terburu-buru membuat tubuhnya bergoyang ke kanan dan kiri. Dari belakang terlihat sangat lucu di mata Xie Lian.

Xie Lian tak bisa membendung rasa penasaran sehingga ia melontarkan pertanyaan. "Ngomong-ngomong, Tuan Yu..." panggil Xie Lian. Yu masih berjalan di depannya, hanya merespon 'Ya?' sebagai jawaban.

"Apa yang terjadi dengan Iblis Air Hitam? Juga apa yang terjadi dengan Shi Qing Xuan?"

Yu terdiam. Tak berapa lama mereka keluar dari pintu penjara bawah tanah. Yu berbelok menuju tempat terpencil kemudian di sebuah tembok kayu polos di ujung jalan buntu. Yu menekan sebuah tombol hingga muncul sebuah pintu dari tembok yang mulus.

"Silahkan, Tuan."

Xie Lian dibawa melalui pintu rahasia agar tidak terlalu mencurigakan. Sekali lagi Xie Lian melewati sebuah lorong. Tak ada yang berbicara. Hanya ada suara langkah kaki mereka.

"Saya tahu Tuan Air Hitam menyebabkan masalah bagi manusia..." Yu memecah keheningan. "Tapi masalah itu juga berdampak pada kami, iblis di Laut Hitam. Karena emosi Tuan Air Hitam menyebabkan badai berkepanjangan. Beberapa penjaga di sini memiliki keluarga di Laut Hitam."

Xie Lian terdiam, terus mendengarkan cerita Yu hingga Yu berhenti di depan sebuah pintu, berbalik menghadap Xie Lian.

"Saya mohon, tolong selamatkan Tuan Air Hitam, juga kami semua." Yu membungkuk dalam.

"Aku akan membantu semampuku." ujar Xie Lian.

Yu membuka pintu. Xie Lian merasakan gugup begitu Yu selesai membuka kunci rahasia.

"Selain Tuan Air Hitam, hanya saya yang diperbolehkan masuk." Yu menutup pintu saat Xie Lian memasuki ruangan. Xie Lian memperhatikan sekitar. Hanya sebuah ruangan penuh buku dan gulungan berserakan. Di atas meja, tak kalah berantakan dengan kertas bergambar mantra yang cukup aneh.

"Apa ini?" Xie Lian mengambil salah satu gulungan yang tergeletak. Gulungan itu sudah cukup tua dan kuno karena Xie Lian tidak bisa membaca beberapa karakter yang tertulis. Namun ia masih bisa membacanya sedikit.

Salah satunya tertulis; Teknik Pemanggilan Jiwa.

Napas Xie Lian tercekat kemudian meraih beberapa buku dan gulungan lain. Hampir semuanya berisi hal yang sama; Teknik Pemanggilan Jiwa, Pengawetan Mayat, Reinkarnasi dan sejenisnya.

Xie Lian segera menoleh ke arah Yu. "Dimana tubuh Shi Qing Xuan?" tanya Xie Lian panik.

Yu melirik ke sebuah lemari buku sambil berbicara terbata, "S-saya hanya diijinkan mengantar makanan atau membereskan barang saja. Ti-tidak diizinkan memasuki area lain."

Yu menambahkan, "Hari itu, Tuan Iblis Air kembali dengan membawa tubuh seseorang ke dalam ruangan ini. Semenjak itu, ia tak pernah keluar. Hanya sesekali meminta hamba untuk makan dan mencari sesuatu. Sekali hamba pernah mendengar Tuan Air Hitam menyebut-nyebut Shi Qing Xuan, hamba pikir itu adalah nama orang yang dibawa Tuan kemari."

Tanpa bertanya lagi, Xie Lian menuju depan lemari buku. Ia yakin pasti ada trik untuk membukanya. Xie Lian memperhatikan sebuah tombol di balik tumpukan buku. Xie Lian menyingkirkan buku tersebut dan menekannya. Lemari bergeser, memperlihatkan sebuah celah kecil.

Xie Lian membuka lemari tersebut. Memasuki sebuah ruangan besar. Jantung Xie Lian merosot saat melihat sebuah peti mati besar terletak di tengah ruangan. Xie Lian menghampiri tanpa mengalihkan pandangan dari tubuh di dalam peti mati tersebut.

Itu adalah tubuh Shi Qing Xuan.

Terbaring dengan mata tertutup dan wajah sepucat orang sakit. Pakaiannya hanya jubah dalam berwarna putih. Rambut panjangnya terurai. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Kedua tangannya diletakkan di atas dada memegang kipas—yang telah rusak—yang menjadi ciri khasnya saat menjadi Dewa Angin.

"Shi Qing Xuan..." Xie Lian memanggil dengan suara serak, meski tahu panggilannya tak akan sampai.

Tangannya mencoba meraih tubuh kaku Shi Qing Xuan. Tapi Xie Lian lengah. He Xuan memasang sebuah penghalang di sekitar peti. Siapapun yang mencoba mendekat akan terlempar dengan ledakan yang keras, tapi tubuh di dalam penghalang tetap aman.

x o x o x o x

[Flashback]

"Ah Long!"

Shi Qing Xuan melambaikan tangan pada anak lelaki berumur sepuluh tahunan yang menoleh ke arahnya. Kakinya yang cacat tak membuat langkahnya melambat. Ia duduk di samping si remaja kemudian mengeluarkan dua buah roti kukus yang telah dingin dan sedikit berjamur.

Shi Qing Xuan baru saja kembali setelah seharian berkeliling mengemis dan mencari makan. Kawan barunya—Ah Long—adalah orang baru di kalangan pengemis. Shi Qing Xuan tak sengaja menemukannya duduk diam di samping tempat sampah. Tubuhnya kurus, rambutnya berantakan.

Beberapa tetua di kalangan pengemis itu tidak menerima adanya orang baru. Hanya menyesakkan lahan, katanya. Tapi Shi Qing Xuan yang pandai menarik hati orang lain, berhasil meluluhkan hati penduduk pengemis di kuil bobrok ibukota.

Dengan cacatan, anak itu menjadi tanggung jawab Shi Qing Xuan.

"Untukmu." kata Shi Qing Xuan, menyerahkan salah satunya kepada Ah Long. "Aku hanya mendapatkan ini, tapi setidaknya ada yang bisa masuk ke perut."

"Terima kasih Ol' Feng-gege." Kata si remaja malu-malu. Giliran Shi Qing Xuan yang malu-malu dipanggil gege.

"Ah kau ini," Shi Qing Xuan mendorong pelan pundak Ah Long. Meskipun pelan, Ah Long hampir saja terjungkal. Mereka berdua menghabiskan makan malam sederhana. Shi Qing Xuan tak berhenti mengoceh tentang hal yang dia lakukan hari ini. Ah Long diam menjadi pendengar setia sesekali menyuap roti kukus.

"Apa makanannya tidak enak?" tanya Shi Qing Xuan melihat Ah Long hanya diam sambil mengunyah dengan sangat pelan. Ah Long menggeleng dan memakan sisa roti kukus dalam satu suap. Karena terburu-buru, Ah Long terbatuk. Shi Qing Xuan reflek mengambilkan minum.

"Pelan-pelan kalau makan." ujarnya sambil menepuk pelan punggung Ah Long.

"Aku sudah kenyang, terima kasih makanannya." kata Ah Long. "Feng-gege, aku masuk dulu, di sini dingin." Ah Long membungkuk kemudian beranjak masuk ke dalam kuil yang temboknya sudah berlubang di sana-sini.

"Oh, oke..." sahut Shi Qing Xuan, "Selamat malam."

Shi Qing Xuan menghela napas panjang melihat Ah Long menghilang di balik pintu. "Masih sulit untuk membuka hatinya." gumamnya.

Baru beberapa hari Ah Long menjadi bagian dari kumpulan pengemis di ibukota. Katanya ia dibuang oleh ibunya yang tak sanggup menghadapi tekanan ekonomi. Saat ditemukan Ah Long begitu kurus, entah berapa hari tak makan. Tubuhnya menggigil karena demam. Terlihat sebentar lagi hampir mati.

Entah apa yang membuat Shi Qing Xuan membawa Ah Long ke kuil.

"Menghadapi anak kecil sulit juga." Shi Qing Xuan menghela napas kedua kali, "Apa ini yang dirasakan gege dulu?" batinnya.

Ingatannya berputar kembali ke masa kanan-kanak bersama dengan Shi Wudu. Shi Qing Xuan kecil merengek ingin bermain keluar padahal hari sudah malam. Shi Wudu melakukan apa saja untuk mengalihkan perhatian Shi Qing Xuan. Hingga akhirnya Shi Qing Xuan sendiri kelelahan dan terlelap begitu saja.

Shi Qing Xuan tersenyum getir. Mengingat kenangan yang sudah lama terkubur.

"Apa yang akan gege lakukan kalau tahu aku menjadi seperti ini?" gumamnya.

"Ol' Feng!" Shi Qing Xuan menoleh. Melihat seorang pria tua berjenggot melambai ke arahnya. Panggilan itu mengalihkan pikirannya dari hal yang tak ingin ia kenang. Ia berdiri dan tertatih menghampiri si pria tua. Walaupun terlihat tua tapi masih saja semangat.

Ia merangkul pundak Shi Qing Xuan, berbisik di telinga, "Aku baru saja mendapat arak, kau mau minum?" ajaknya.

"Apa ini arak yang sama seperti tempo lalu?" balas Shi Qing Xuan juga sambil berbisik dengan nada selidik.

"Tentu saja, kau tahu kan aku paling suka arak itu."

"Bagus!"

Mereka berdua mengendap ke luar wilayah kuil menuju sebuah tempat yang mirip sebuah pondok bobrok. Pondok itu sempit dan hanya muat dimasuki 3 hingga 4 orang dengan sebuah meja di tengah dan dua kursi di kedua sisi meja.

Pria tua itu menyalakan lilin. Menyiapkan dua gelas kecil yang sedikit kotor. Ada sedikit retakan di pinggirnya. Dua botol arak diletakkan di tengah meja.

Para pengemis di komplek kuil tua bukan sepenuhnya pengemis. Beberapa bekerja sebagai serabutan buruh kasar dengan gaji di bawah standar. Uang yang diperoleh hanya bisa membeli makanan hari itu. Jubah paling murah pun tak mampu mereka beli. Harus merelakan sehari makan sekali untuk menabung.

Salah satunya adalah pria tua yang sedang bersama Shi Qing Xuan. Tuan Li namanya. Seorang pekerja serabutan di sebuah lokasi pembangunan. Sebenarnya usianya tidaklah terlalu tua. Hanya saja ia memelihara jenggot panjang dan wajahnya terbakar matahari dengan kerutan akibat bertarung dengan kenyataan hidup sehingga terlihat seperti seorang pria tua.

Sementara Shi Qing Xuan, karena keterbatasan tubuhnya, ia tak bisa mendapatkan pekerjaan kasar seperti membawa barang berat. Dengan kemampuan berbicaranya, Shi Qing Xuan hanya bisa mengarang cerita picisan yang ia bagikan di jalan utama ibukota dengan upah seikhlasnya.

Tuan Li dan Shi Qing Xuan memiliki hobi yang sama; menikmati arak.

Malam ini setelah satu purnama menabung, mereka bisa menikmati arak terbaik di ibukota bersama. Alasan mereka menyingkir dari kawasan kuil adalah tak ingin membuat masalah dengan pengemis lain yang sedang beristirahat.

"Ah! Pilihan Tuan Li memang yang terbaik!" ujar Shi Qing Xuan setelah bersulang dan meneguk segelas.

"Bagaimana kabarmu dengan anak ingusan itu?" tanya Li. Shi Qing Xuan menoleh setelah menuang arak ke dalam cangkir.

"Ah Long?" tanyanya, "Dia baik-baik saja." lanjutnya.

"Kau jangan terlalu memanjakannya dengan memberi makan setiap hari." Li meneguk secangkir, "Kau tahu kehidupan kita sendiri saja sudah cukup keras. Kau menghabiskan uang yang telah kau kumpulkan hanya untuk anak itu."

Shi Qing Xuan melambaikan tangan, "Tenang saja, tabunganku masih aman untuk beberapa hari ke depan."

"Dia harus bisa bertahan sendiri kalau ingin kenyang, jangan terus-terusan kau manja di bawah ketekmu."

"Hahaha, tenang saja. Aku tahu itu."

"Tapi ngomong-ngomong..." Li memberi jeda, menuangkan arak ke cangkir Shi Qing Xuan, bersulang ke sekian kali. "Dia mengingatkanku dengan dirimu saat pertama kali memasuki ibukota."

Shi Qing Xuan tersenyum getir. Ia sedang tak ingin mengingat apapun tentang hal itu, jadi ia diam mendengarkan.

"Walaupun kau dan Ah Long berbeda; kau terus mengoceh omong kosong sementara Ah Long hanya diam, tapi hal yang kutahu, kalian memiliki persamaan."

Shi Qing Xuan menautkan alis, "Apa itu?" tanyanya dengan penasaran.

"Hanya butuh waktu untuk ditampar oleh kenyataan."

Shi Qing Xuan menaikkan sebelah bibir. Tersenyum tapi tak seperti tersenyum.

"Mari bersulang untuk malam ini." Shi Qing Xuan menaikkan cangkir, dan kedua cangkir itu bersentuhan.

Shi Qing Xuan kembali ke kuil. Hampir semua pengemis sudah terlelap. Ada yang berhimpitan untuk mendapatkan kehangatan. Shi Qing Xuan berjalan tertatih. Sebelah kakinya yang diseret bersentuhan dengan lantai menimbulkan suara yang memecah keheningan. Meskipun ia sudah mencoba berjalan sepelan mungkin.

Ia menghampiri tempat Ah Long yang sudah terlelap. Meringkuk di pojok hanya dengan beralaskan tumpukan jerami kering. Shi Qing Xuan duduk di sebelahnya.

"Ah Long..." panggilnya lirih. "Aku tak tahu kenapa hari itu aku menyelamatkanmu..." Shi Qing Xuan bergumam tak jelas. Entah karena ia sudah lama tidak minum alkohol, jadi sekali minum sudah membuatnya mabuk. Padahal dulu ia kuat minum hingga beberapa kali putaran.

"Aku bisa saja meninggalkanmu hingga mati di tempat itu. Tapi aku tak tahu apa yang menggerakkanku untuk menggendongmu ke kuil. Jadi kau harus berterima kasih padaku..." Shi Qing Xuan memberi jeda, "jadilah anak baik."

"Ugh berat sekali mataku." gumam Shi Qing Xuan kemudian berbaring di samping Ah Long yang kemudian membuka kelopak matanya.

Paginya, Shi Qing Xuan bangun dengan kepala berdenyut. Ia memegang sebelah kepala. Tubuhnya dipaksakan untuk bangun. Entah sudah berapa lama ia tertidur.

Shi Qing Xuan menoleh ke sekeliling kuil setelah beradaptasi dengan cahaya. Kuil terasa kosong dan hampa. Dari luar terdengar suara anak kecil sedang bermain. Ah Long yang seharusnya terlelap di sebelahnya sudah lenyap.

"Ugh! Kepalaku sakit sekali." rintihnya sambil meringis. "Apa toleransiku terhadap alkohol sudah berkurang?" gumamnya.

"Oh, Ol' Feng kau sudah bangun?" Tuan Li, yang semalam menemaninya minum menghampiri. Membawa segelas air dan roti di tangan. Shi Qing Xuan meraih air tersebut dan meneguknya sampai habis.

"Kau tidak bekerja?" tanya Shi Qing Xuan.

"Sebenarnya proyeknya sudah selesai, hari ini aku mau berkeliling mencari pekerjaan lain. Kau tidak bekerja?"

"Aku merasa pusing," ujar Shi Qing Xuan meletakkan cangkir kosong di sebelahnya. "Dimana Ah Long?"

Tuan Li menaikkan bahu, tidak tahu.

"Kau lapar? Aku masih ada roti kukus satu." Tuan Li meletakkan sebuah roti kukus di samping cangkir.

"Terima kasih." ujar Shi Qing Xuan.

"Baiklah aku pergi dulu." kata Tuan Li kemudian beranjak pergi.

Shi Qing Xuan masih merasa sedikit pusing. Ia memakan roti kukus pemberian Tuan Li. Mungkin karena efek kelaparan, Shi Qing Xuan merasa lebih baik.

Hari sudah siang ketika Shi Qing Xuan bangun, jadi ia pergi berkeliling ibukota untuk mencari Ah Long sekalian mencari tambahan pekerjaan. Terkadang ia meniru cara hidup Xie Lian dengan mencari barang rongsokan yang mungkin bisa digunakan.

Menjelang malam, suasana kuil menjadi lebih ramai. Pengemis lain pulang dengan hasil yang selalu tak seberapa. Tapi lebih dari cukup untuk mengisi perut kosong. Begitu juga dengan Shi Qing Xuan. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kuil. Mencari keberadaan Ah Long, tapi nihil.

"Mana mungkin dia kabur kan? Kemana dia akan pergi?" gumam Shi Qing Xuan sambil berjalan memasuki halaman kuil.

Saat itu ia mendengar seorang pengemis sedang berkeluh kesah kepada pengemis lain.

"Benar-benar kacau! Jangan sampai kalian bertemu dengannya!"

Shi Qing Xuan menautkan alis. Penasaran, ia mendekat dan bertanya.

"Oh, Ol' Feng." ujar si pengemis ketika melihat kedatangan Shi Qing Xuan, "Kau sudah dengar belum? Belakangan ini banyak preman yang meresahkan. Mereka merampok kami kaum-kaum lemah. Padahal sama-sama cari makan."

"Mereka juga tak segan melakukan kekerasan kalau menolak." timpal yang lain.

"Aku jadi was-was."

"Benar! Aku sampai cari jalan memutar supaya tak bertemu dengan mereka."

Perbincangan ini membuat Shi Qing Xuan was-was. Hari ini ia tak mengalami kejadian seperti pengemis itu, tapi bisa saja...

Ia beranjak untuk mencari keberadaan Ah Long. Tapi sebelum ia selangkah maju, Ah Long sudah berdiri di hadapannya. Shi Qing Xuan terkejut kemudian merasa lega.

"Kau kemana saja?" katanya, "Jangan membuatku khawatir!"

Ah Long menunduk, "Maaf." Kemudian menyodorkan sebuah roti isi daging yang masih panas ke arah Shi Qing Xuan. "Untukmu."

Shi Qing Xuan terkejut, tapi tetap menerima roti itu. "Oh."

Ah Long duduk di tempat kosong, disusul oleh Shi Qing Xuan. Mereka memakan roti isi itu bersama. Shi Qing Xuan hampir menangis. Sudah sekian lama ia tak makan makanan yang masih mengepul seperti ini.

Uang hasilnya berceloteh kadang tak cukup untuk sebuah roti hangat. Kadang ia akan berpuasa atau mengambil sisa dari tempat sampah yang masih layak.

"Terima kasih, enak sekali." ujar Shi Qing Xuan gembira.

Ah Long mengangguk kemudian memakan kembali rotinya, tapi Shi Qing Xuan tak melihat kalau ia juga tersenyum.

"Dari mana kau dapatkan ini? Kau tidak mencuri, kan?" tanya Shi Qing Xuan penuh selidik.

Ah Long segera menggeleng keras. setelah menelan kunyahan makanan, ia menjawab. "Aku mencari pekerjaan di sekitar sini. Itu upahku hari ini."

Shi Qing Xuan tertegun. Ah Long melanjutkan, "Aku tak mau merepotkan kau terus-menerus."

"Hahaha, aku tidak merasa direpotkan olehmu." Shi Qing Xuan menepuk pundak Ah Long dengan cukup keras.

Malam itu, sudah cukup larut. Penduduk kuil sudah terlelap merapat di dalam kuil mencari kehangatan. Shi Qing Xuan beranjak keluar kuil setelah memastikan Ah Long terlelap.

Bulan penuh menggantung di langit malam. Suara derik jangkrik beradu dengan kodok menguak memecah keheningan. Shi Qing Xuan merogoh kantong jubah, mengeluarkan kipas hitam yang kotor. Ia membukanya. Terdapat karakter fēng (风) di tengah kertas kipas yang tersamarkan oleh bekas noda dan goresan kasar. Pertanda kipas itu pernah rusak dan terpaksa diperbaiki.

He Xuan.

Ming Yi.

Dua nama yang tak pernah ia lupa. Kejadian di Manor Pulau Iblis sudah lama berlalu. Tapi bagi Shi Qing Xuan hal itu seperti baru terjadi kemarin. Shi Wudu, He Xuan, dan empat guci abu. Ingatan itu masih tergambar dengan jelas. Bahkan Shi Qing Xuan masih bisa mencium aroma busuk dan sentuhan orang-orang yang mengelilinginya saat itu.

Bulu kuduknya merinding mengingat bagaimana mereka menyentuh bagian tubuh Shi Qing Xuan dengan agresif.

Terkadang ingatan ini muncul melalui mimpi. Awal ia dibuang di ibukota, mimpi itu hampir setiap hari menghantui malam-malam Shi Qing Xuan. Seiring berjalannya waktu, frekuensi mimpi itu berkurang.

Ia sekali lagi memandang bulan yang bersinar terang di malam yang cerah.

Saat masih menjadi Pejabat Langit, di malam seperti ini ia pasti akan menyeret Ming Yi turun ke bumi untuk pesta minum arak. Walaupun akhirnya hanya dia yang berakhir mabuk.

"Ming-xiong, ayo cepat!" Shi Qing Xuan menarik-narik lengan Ming Yi.

"Aku tahu, jangan tarik-tarik lagi!" protes Ming Yi.

"Nanti kehabisan araknya kalau tidak cepat-cepat!" timpal Shi Qing Xuan. "Ayolah, katanya kau lapar!"

"Di restoran lain kan bisa."

"Tidak!" Shi Qing Xuan segera menyela, "Hanya di restoran itu araknya paling enak. Bukankah kau juga suka babi bakar di restoran itu?"

Shi Qing Xuan dan Ming Yi turun ke bumi. Sebelum berbaur dengan manusia, mereka menyamarkan diri sebagai dua saudagar yang sedang beristirahat. Mereka menempati meja kosong begitu memasuki restoran. Shi Qing Xuan memesan arak dan cemilan. Ming Yi memesan daging babi dalam porsi besar.

Pelayan tersenyum lebar melihat dua tamu—yang terlihat sangat kaya—akan menghamburkan uang di restoran mereka. Segera pelayan itu meminta bagian dapur untuk menyiapkan pesanan.

Secangkir, dua cangkir, tiga cangkir, hingga tak terasa empat botol arak dihabiskan sendiri oleh Shi Qing Xuan. Sementara Ming Yi masih menyuap potongan daging. Di sampingnya tumpukan tinggi piring menandakan berapa banyak porsi yang sudah dihabiskan.

"Ah! Enak sekali!" Shi Qing Xuan meneguk cangkir terakhir. Mata dan pipinya sudah merah akibat pengaruh alkohol. Ia menatap Ming Yi yang masih menyuap daging tanpa terpengaruh sekitar seolah dunianya hanya ada daging-daging itu.

"Ming-xiong~" panggil Shi Qing Xuan. Ming Yi menoleh setelah meletakkan piring di tumpukan paling atas. "Kau tidak bosan makan daging terus? Nanti kau jadi gendut, lho~, jelek kalau gendut." Shi Qing Xuan mulai meracau.

Ming Yi yang ingin memesan porsi kesekian mengurungkan niat, menoleh ke arah Shi Qing Xuan. "Qing Xuan, kau mabuk."

"Hah? Aku tidak mabuk!" racau Shi Qing Xuan sekali lagi. "Pelayan satu botol lagi!" ia mengangkat cangkir ke arah pelayan yang lewat. Pelayan itu segera mencatat pesanan dan mengambilkan satu botol lagi.

"Hentikan, kau sudah sangat mabuk." Ming Yi bangkit dari tempat duduk, memapah Shi Qing Xuan yang teler di meja. Tapi kesadarannya masih ada tipis-tipis. Ming Yi meraih kantong uang di saku jubah Shi Qing Xuan mengeluarkan sejumpah koin dan diletakkan di meja.

Pelayan yang membawakan arak tertegun karena tamu yang memesan menghilang.

Ming Yi memapah Shi Qing Xuan keluar ke jalan utama. Malam sudah larut, tidak ada orang yang lewat kecuali seorang pejabat keamanan yang sedang berpatroli.

Shi Qing Xuan berjalan terhuyung membuat Ming Yi oleng. Ia mendecak sebal.

"Jalan yang benar!"

Ming Yi membawa Shi Qing Xuan menjauh dari jalan utama. Shi Qing Xuan didudukkan di bawah pohon, bersandar di batang pohon. Ming Yi menyerahkan kantong minuman yang selalu ia bawa pada Shi Qing Xuan. Shi Qing Xuan yang masih teler hanya menggapai-gapai minuman di depannya.

Ming Yi menghela napas panjang, mau tak mau mendekatkan mulut botol ke mulut Shi Qing Xuan. Seteguk, dua teguk, hingga Shi Qing Xuan menjauhkan diri, selesai minum. Dari sudut mulutnya, sisa air menetes melewati dagu. Ming Yi menyeka dengan ujung jubah hitamnya.

Ming Yi duduk di samping Shi Qing Xuan, "Kalau sudah baikan, lekas kembali. Aku tidak mau menggendongmu kembali ke Kayangan." ujar Ming Yi, menyimpan kembali kantong minumannya.

"Kau tak mau menggendongku?" tanya Shi Qing Xuan.

"Kau berat."

"Ming-xiong, kau membenciku, ya?"

Ming Yi menoleh, melihat Shi Qing Xuan dengan raut memelas seperti anak anjing tak ingin dibuang. "Jangan bicara ngawur lagi."

"Tuh, kan kau pasti membenciku." Shi Qing Xuan mendorong lengan Ming Yi ke kanan dan kiri, "Kau tidak mau mengaku."

Ming Yi menghela napas, "Ya, aku membencimu." jawabnya.

Shi Qing Xuan membeku dan berhenti mendorong-dorong bahu Ming Yi. Menatap pemuda yang sudah kembali ke wujud aslinya, dengan raut seolah ingin menangis.

"Aku membencimu; kau cerewet, suka ikut campur urusan orang lain, dan suka menyeretku ke dalam masalahmu..." lanjut Ming Yi.

Shi Qing Xuan melepas bahu Ming Yi. Merosot duduk kembali ke posisi semula. Ia mengalihkan pandangan dari Ming Yi, kemudian isak tangis terdengar. Ming Yi menoleh memperhatikan wajah Shi Qing Xuan yang sudah berlinang air mata.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Ming Yi. Ia sudah terbiasa dengan kelakuan random Shi Qing Xuan ketika mabuk, jadi tak terkejut lagi.

"Ming-xiong..." panggil Shi Qing Xuan. Ia menoleh menatap Ming Yi. "Apa yang harus kulakukan supaya kau tidak membenciku?" tanyanya.

Ming Yi lagi-lagi menghela napas, "Berhentilah bersikap aneh."

Shi Qing Xuan tidak menjawab. Ia menatap Ming Yi tanpa menoleh. Saat ini bulan besar sedang bersinar dengan cerah. Cahayanya yang malu-malu dari balik dedaunan menyinari wajah Ming Yi. Shi Qing Xuan terpesona hingga menyunggingkan senyum.

"Ming-xiong, kau sangat tampan."

Ming Yi menautkan alis. Belum ada satu menit Ming Yi mengatakan jangan bersikap aneh, Shi Qing Xuan sudah mengacau lagi.

"Jangan katakan apapun." ujar Ming Yi sembari mengalihkan pandangan. Namun Shi Qing Xuan reflek menangkup kedua pipi Ming Yi agar memandangnya. Kedua mata mereka bertemu.

"Aku serius..." kata Shi Qing Xuan.

Shi Qing Xuan hanya menangkup wajah Ming Yi. Lama-lama Shi Qing Xuan mendorong tubuh Ming Yi. Ming Yi mencoba kabur dengan mundur pelan-pelan, tapi sial punggungnya menabrak batang pohon. Membuatnya terperangkap tak bisa melarikan diri.

"Kalau memang aku tak punya kesempatan, bisakah kita menjadi teman? Berpura-pura pun aku tak masalah." racau Shi Qing Xuan. Jemarinya menyentuh dan menelusuri lekuk wajah Ming Yi. Ming Yi memundurkan kepala, tak ingin mendapat sentuhan ambigu dari Shi Qing Xuan.

Shi Qing Xuan yang merasakan gelagat penolakan memasang wajah kecewa.

"Ming-xiong..." panggilnya. Ming Yi hanya menatap Shi Qing Xuan yang entah kenapa semakin memangkas jarak di antara wajah mereka. "Apapun yang aku lakukan setelah ini, anggap saja tak pernah terjadi."

Ming Yi mengerutkan dahi, bingung. Namun kebingungannya disela oleh Shi Qing Xuan yang sudah mendekat dan mencium bibirnya.

Ming Yi membeku terlalu terkejut dengan apa yang terjadi. Ia masih mematung hingga Shi Qing Xuan melepaskan diri.

"Kuharap kau tak semakin membenciku, Ming-xiong..." gumam Shi Qing Xuan sebelum pingsan tak sadarkan diri. Membiarkan Ming Yi mematung dan menganalisa apa yang sedang terjadi.

Esoknya, Shi Qing Xuan bangun di tempat tidur di Istana Kayangan. Kepalanya terasa berdenyut. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Sejujurnya ia hampir mengingat apa yang telah ia lakukan. Ia tak berniat mencium Ming Yi, tapi pengaruh alkohol membuatnya nekat melakukannya.

Sampai saat ini, Shi Qing Xuan tak pernah mengatakan apapun tentang kejadian itu. Begitu juga dengan Ming Yi.

"Kenapa aku jadi ingat hal itu?" Shi Qing Xuan memegang dahinya. Tiba-tiba saja teringat hal memalukan di masa lalu. "Apa yang dipikirkan Mi—He Xuan saat aku menciumnya, ya?" gumamnya kemudian dengan rona merah tipis mewarnai pipi.

Shi Qing Xuan menggelengkan kepala, "Lagipula sudah lama berlalu, mungkin dia juga sudah lupa."

"Apa yang kaulakukan?"

Shi Qing Xuan menoleh, mendapati Ah Long sudah duduk di sebelahnya—entah sejak kapan.

"Ya ampun, kau mengagetkanku."

Ah Long menundukkan kepala, "Maaf."

"Kau tidak tidur?" tanya Shi Qing Xuan.

"Aku tak bisa tidur." jawab Ah Long, "Kenapa kau membawa kipas rusak?" tanyanya, melihat Shi Qing Xuan masih memegang kipasnya.

"Ah, ini?" Shi Qing Xuan menunjuk kipas yang sudah kembali dilipat. "Sebenarnya ini sudah lama kulupakan, tapi temanku ingin aku menyimpannya."

"Kenapa dia ingin kau menyimpannya? Dimana temanmu?"

Shi Qing Xuan menoleh ke arah Ah Long. "Kenapa kau hari ini jadi cerewet, ya?" tanya Shi Qing Xuan dengan nada mengejek. Ah Long menjadi salah tingkah.

"A-aku hanya ingin tahu." jawab Ah Long, "kalau tak mau jawab juga tak apa."

Shi Qing Xuan terkekeh pelan, "Kenapa kau jadi gugup seperti itu?" sambil menepuk pelan puncak kepala Ah Long.

"..."

"Aku tak tahu kenapa dia ingin aku menyimpan ini." kata Shi Qing Xuan sambil memainkan kipas itu, "Dia sekarang ada di tempat yang tak bisa kujangkau."

"Apa dia di surga?" tanya Ah Long.

"Bukan, bukan tempat seperti itu..." ia tak meneruskan kalimatnya.

Melihat Shi Qing Xuan diam, Ah Long melontarkan pertanyaan lain, "Apa kalian bertengkar?"

Shi Qing Xuan memandang Ah Long, "Yah, hal ini dan itu... masalah yang cukup rumit. Aku yang sudah menyebabkan semua ini."

"Apa kalian berteman baik?"

Shi Qing Xuan terdiam mendengar pertanyaan ini. Apakah ia berteman baik? Ia hanya ingat sering membuat repot Ming Yi—atau He Xuan—saat masih bersama. He xuan sering kali terlihat tak nyaman. Bahkan terang-terangan tidak mau menyebut Shi Qing Xuan sebagai sahabatnya.

Awalnya Shi Qing Xuan tak tahu kenapa He Xuan dalam wujud Ming Yi tetap menemaninya meski tak suka dengan sifat Shi Qing Xuan. Setelah semua hal berlalu dan segalanya menjadi jelas, ia jadi mengerti kenapa He Xuan bertahan di sisinya.

Shi Qing Xuan menepuk kepala Ah Long, "Bocah ingusan, hari ini kau habis makan apa?"

"A-aku tidak makan yang aneh-aneh." jawab Ah Long, kemudian melanjutkan, "Kalau kalian memang berteman baik seharusnya tak akan ada dendam di antara kalian. Apa kau sudah minta maaf kepadanya?"

Shi Qing Xuan menyadari kalau pemikiran anak ini masih polos dan sederhana.

"Kuberitahu kau, bocah. Tidak semua hal bisa diselesaikan hanya dengan minta maaf. Setidaknya kau harus mengorbankan hal yang kau sayangi."

Ah Long diam.

"Kau mengerti?"

"A-aku tak begitu mengerti, tapi..."

"Sudahlah, kau tidur saja. Anak kecil tidak boleh tidur larut malam." Shi Qing Xuan melambai mengusir Ah Long. Menghentikan pembicaraan yang tak ingin ia ungkit. Setelah Ah Long menghilang dari pandangan, Shi Qing Xuan kembali memperhatikan bulan di langit.

Shi Qing Xuan menghela napas, "Aku malah diceramahi bocah ingusan." Ia memainkan sebentar kipas itu sebelum disimpan kembali

Hari berlalu seperti biasa. Bangun tidur, pergi kerja, pulang, tidur, kerja lagi. Semakin hari Shi Qing Xuan dan Ah Long semakin dekat. Bercanda, berbagi keluh kesah, makan bersama.

Hingga suatu hari Shi Qing Xuan menawarkan alkohol kepada Ah Long.

Ekspresi aneh dari Ah Long setelah secangkir alkohol memasuki tenggorokan cukup menghibur Shi Qing Xuan dan Tuan Li. Ah Long merengut kesal dan mempertanyakan kenapa orang dewasa sangat suka rasa pahit dari secangkir arak.

"Kau akan segera mengerti, bocah ingusan." Tuan Li menegak secangkir arak. Ah Long kembali mendengus. Malam itu ia hanya minum air putih sambil menemani dua orang dewasa mabuk.

"Kau tidak mengunjungi Desa Puqi?" tanya Tuan Li. Shi Qing Xuan terdiam kemudian menerawang.

"Sepertinya memang sudah lama aku tidak mengunjungi Ya—Xie Lian." Shi Qing Xuan hampir keceplosan menyebut Yang Mulia.

"Desa Puqi?" tanya Ah Long.

"Itu tempat tinggal teman baikku."

Ah Long memiringkan kepala, "Apa temanmu ini sama dengan teman yang tempo lalu kauceritakan?"

Shi Qing Xuan menggeleng. "Bukan, bukan." ujarnya, "Kapan-kapan akan aku ajak kau mengunjunginya. Lagipula kau belum pernah keluar dari ibukota, kan?"

"Memang jauh?"

Shi Qing Xuan menggaruk dagunya. "Kalau berjalan kaki cukup jauh sih. Kau mau ikut?"

Mata Ah Long berbinar, "Mau!"

"Baiklah, tapi kita harus sedikit menabung untuk bekal perjalanan."

Ah Long mengangguk antusias sebagai persetujuan. Ia membayangkan bagaimana rupa tempat di luar ibukota.

Hari silih berganti. Hari-hari biasa di ibukota berubah menjadi teror dengan kelakuan preman yang semakin meresahkan. Bukan hanya warga minor dan lemah seperti pengemis yang menjadi korban, tapi mereka sudah berani merampok rumah orang kaya. Sasaran mereka tak bisa diprediksi, dari anak kecil hingga orang dewasa. Bahkan tidak mengenal gender dan status.

Warga sudah melapor ke pihak berwajib. Pengamanan di beberapa titik diperketat. Tapi tidak untuk wilayah kumuh dan tak terurus seperti kuil pengemis ini.

Akhirnya, para preman itu kembali menargetkan pengemis dan gelandangan. Para pengemis di kuil yang ingin mencari sesuap nasi setiap harinya semakin dibuat was-was.

"Kalau mereka tak segera ditangani pasti akan sulit." gumam Shi Qing Xuan.

"Aku takut pergi malam-malam."

"Bahkan mereka juga mengganggu di siang hari, bagaimana kita bisa keluar dengan tenang?"

Shi Qing Xuan menoleh ke arah Ah Long, "Hei," Shi Qing Xuan mengenggol bahu bocah itu dengan bahunya. "Apa gege yang baik hati ini perlu mengantar dan menjemput didi yang lucu ini bekerja?"

Ah Long menautkan alis. "Aku bukan anak kecil."

"Tapi kau kan memang masih anak kecil."

"Aku mau tidur!" Ah Long berbaring memunggungi Shi Qing Xuan. Ngambek.

"Hahaha, tidak bisa membalas, ya?" Shi Qing Xuan terkekeh. "Selamat malam." Ia mengusap puncak kepala Ah Long kemudian ikut berbaring di sampingnya.

Keesokan harinya, cahaya matahari bersinar cerah di pagi hari. Namun siang hari menjadi sangat mendung.

Ah Long bekerja di pasar membantu mengangkat barang. Shi Qing Xuan sebagai seniman jalanan, sudah bersiap kembali saat awan sudah berkumpul di atasnya siap menurunkan air kapan saja. Bisnisnya tak bisa jalan di tengah hujan.

Shi Qing Xuan berjalan pulang. Langkahnya tidak menuju kuil, tapi menuju pasar. Ia sengaja mampir ke tempat Ah Long untuk makan siang bersama.

Gemuruh geluduk sudah terdengar menandakan hujan segera datang. Shi Qing Xuan sedikit mempercepat langkahnya yang diseret. Sampai di pasar, pedagang pinggir jalan sudah mengangkut kembali barang dagangan.

Shi Qing Xuan menuju tempat kerja Ah Long. Saat melewati sebuah gang kecil ia melihat siluet seorang anak kecil dan lima orang pemuda mengelilinginya.

Shi Qing Xuan berhenti dan menatap anak kecil di tengah, "Ah Long?"

"Kau anak baru di sini?" kata salah seorang dengan arogan.

"Bagi kami uangmu!" seorang lain mencoba meraih kantong uang Ah Long. Ah Long segera menepis.

"Ini uangku, bukan hak kalian!"

"Wow, berani sekali kau bocah ingusan!" seorang pemuda lain menepuk puncak kepala Ah Long dengan keras hingga Ah Long meringis. "Kau tak tahu siapa kami, huh?"

"Aku tak peduli siapa kalian! Lepaskan aku!" Ah Long menepis tangan di kepalanya.

"Tak semudah itu bocah!" Ia mengambil sebilah tongkat kayu yang tergeletak di samping tembok sebuah rumah.

Shi Qing Xuan segera bereaksi. Ia mengambil sebuah batu yang ada didekatnya kemudian melemparnya ke pemuda yang mencoba melukai Ah Long.

Tak!

Tepat mengenai belakang kepala.

"Berhenti!" teriak Shi Qing Xuan.

Sontak kelima pemuda dan Ah Long menoleh ke arah sumber suara. Kini kelima pemuda itu beralih ke Shi Qing Xuan. Ah Long menatap Shi Qing Xuan dengan horor. Shi Qing Xuan berjalan mendekat dengan tertatih.

"Huh? Kau orang cacat berani-beraninya menantang kami!" kata pemuda yang menjadi korban lemparan batu, mengejek Shi Qing Xuan direspon dengan tawa yang lain.

Shi Qing Xuan menoleh ke arah Ah Long, "Pergi!" perintahnya.

Ah Long menggeleng keras dengan raut ketakutan tergambar jelas di wajahnya.

"PERGI!" Shi Qing Xuan berteriak. Ah Long sontak berlari dengan ketakutan. Salah seorang ingin mengejar, tapi ditahan oleh ucapan Shi Qing Xuan.

"Kalian orang-orang pengecut hanya bisa menggertak bocah ingusan."

Gemuruh geluduk bersahutan, tak berapa lama disusul guyuran hujan deras. Orang-orang yang masih di luar segera berlarian mencari tempat teduh. Tapi di sebuah gang sempit, mereka tidak menghiraukan hujan yang mengguyur membuat jubah mereka basah kuyup seketika.

"Apa kaubilang?" pemuda itu terpengaruh oleh perkataan Shi Qing Xuan. Mereka maju mengelilingi Shi Qing Xuan dan melancarkan serangan. Seorang meninju, Shi Qing Xuan menghindar. Dari pihak lain maju ikut memukul, tapi Shi Qing Xuan berhasil menepisnya.

Shi Qing Xuan, meskipun bukan mantan dewa perang, pernah belajar ilmu bela diri atas paksaan Shi Wudu. Kemampuannya bisa dibilang rata-rata karena memang bukan bakatnya. Tapi saat ini, cukup membantu.

Namun, dua hal yang menghambatnya, cacat salah satu kaki dan tangan serta lima lawan satu sangatlah tidak adil. Ditambah hujan deras yang cukup mengganggu.

Shi Qing Xuan hanya bisa menghindari serangan bertubi yang datang ke arahnya. Ia tak bisa melawan balik. Ketika ia menepis serangan depan, serangan samping menyusul. Begitu seterusnya dari berbagai arah.

Shi Qing Xuan menghindar serangan dari sisi kiri, sayangnya ia lengah dan sebuah pukulan mendarat di perutnya. Sebuah tendangan keras mengenai punggung saat ia meringkuk menahan sakit.

Hal ini membuat kesempatan para preman itu untuk memukul, menendang bahkan meludah ke arah Shi Qing Xuan secara membabi buta. Shi Qing Xuan tak bisa bergerak diserang dari berbagai sisi. Ia hanya bisa meringkuk dan melindungi tubuh bagian vital.

Seorang pemuda meraih kantong uang yang tak sengaja mencuat. Ia membuka kantong tersebut, mengeuarkan sejumlah koin tembaga yang sudah susah payah dikumpulkan oleh Shi Qing Xuan.

"Huh, hanya segini yang kaupunya?" katanya mengejek.

"Apa ini?" seorang lain mengambil kipas yang ikut mencuat keluar. "Kau membawa barang rongsokan seperti ini?"

Kipas yang memang sudah rusak semakin dirusak oleh si penemu. Meremas, menginjak dengan keras hingga terbelah menjadi dua di tanah yang kotor dan becek karena hujan.

Shi Qing Xuan menatap horor pada kipas kesayangan yang sudah tak berbentuk di tanah.

"Ayo pergi," salah seorang mengajak kembali. "Lumayan untuk pesta malam ini."

Mereka meninggalkan Shi Qing Xuan yang meremas kedua tangannya dengan emosi yang memuncak. Ia mengambil kipas kesayangan yang sudah rusak itu. Tatapan membunuh dilancarkan kepada punggung lima pemuda yang berjalan menjauhinya.

Napas Shi Qing Xuan memburu. Matanya merah karena marah. Hujan yang mengguyur mengaburkan air mata yang sudah mengalir melalui pipi. Di sampingnya ada sebilah balok kayu. Shi Qing Xuan meraih kemudian berlari menyusul kelima pemuda itu. Memukulnya bertubi-tubi dengan gila dan bar-bar. Bahkan ia melupakan segala rasa sakit akibat pukulan yang diterima tadi. Begitu juga dengan tangan dan kakinya yang cacat. Entah darimana ia mendapat kekuatan untuk menyerang kembali dengan sangat liar.

Kelima pemuda itu tersungkur mendapat pukulan keras dari Shi Qing Xuan.

Shi Qing Xuan kelelahan. Menatap kipas rusak yang sudah tak berbentuk. Kipas yang sudah ia lupakan tapi diserahkan kembali oleh kawan baiknya setelah dengan susah payah diperbaiki.

Shi Qing Xuan hendak pergi dari tempat itu ketika ia lengah seorang pemuda mengarahkankan pisau kecil ke Shi Qing Xuan dari belakang. Shi Qing Xuan yang mendengar pergerakan mencurigakan menoleh, tapi tak sempat menghindar. Pisau itu menusuk tepat di perutnya.

Pemuda itu tak hanya menusuk tapi juga mengoyak perutnya lebih dalam. Shi Qing Xuan meringis. Darah segar segera mengalir dari celah tusukan bercampur dengan air hujan. Si pelaku melepas pisau yang dipegang kemudian membangunkan kawannya untuk kabur bersama. Meninggalkan Shi Qing Xuan yang meringkuk di tanah berjuang melawan rasa sakit.

Shi Qing Xuan mencabut pisau yang menancap di perut. Seketika darah segar semakin banyak mengalir. Ia menutup luka dengan tangannya. Tapi percuma, darah makin merembes mengotori jubahnya yang berwarna cerah.

Kakinya terasa lemas, dengan sisa tenaga ia mencoba menyeret tubunya menuju jalan utama. Mengabaikan hujan dan angin yang menerpa tubuh. Mengharapkan bantuan dari seseorang yang lewat.

Tapi siapa yang akan muncul di hari hujan seperti ini? Semua orang pasti memilih menepi atau menyesap teh panas dan cemilan di dalam rumah.

Jalan utama hanya beberapa langkah, tapi dengan kondisinya saat ini terasa begitu jauh. Darah yang mengalir membuat jejak di tanah. Warna merahnya bercampur dengan cokelat tanah.

Ia masih berjuang mengulurkan tangan tapi napasnya menjadi semakin berat dan pandangannya mengabur. Sesaat sebelum kehilangan kesadaran, ia melihat siluet jubah hitam menghampirinya. Ia tak bisa melihat wajahnya, karena sedang terbaring tak berdaya.

Siapapun itu, Shi Qing Xuan mengulurkan tangan seraya berbisik pelan. Sangat pelan dan terkaburkan oleh suara derasnya hujan. "Tolong... aku..."

Siluet itu makin mendekat. Ia mendekap tubuh Shi Qing Xuan. Shi Qing Xuan dengan sisa kekuatan membuka kelopak matanya yang sangat berat. Memperhatikan wajah si penolong.

"Mi—He-xiong?" panggilnya lirih. Tenaganya sudah hampir diambang batas. Ia merasa sebuah kekuatan mengalir di dalam tubuhnya. He Xuan sedang menyalurkan kekuatan spiritual untuk menutup luka Shi Qing Xuan.

"He Xiong, kau tak perlu menyiakan kekuatanmu..."

"Diam!" ujar He Xuan lirih tapi tegas. Ia terus menyalurkan kekuatan kepada Shi Qing Xuan.

Shi Qing Xuan mengulurkan tangan yang ternoda darahnya sendiri, meraih wajah He Xuan yang serius memperhatikan luka di perutnya. Wajah yang berbeda dengan yang terakhir ia ingat. Bukan lagi wajah Ming Yi, tapi wajah aslinya.

Ming Yi atau He Xuan, Shi Qing Xuan tak peduli. Sosok ini adalah pemuda yang selama bertahun-tahun menemaninya.

"Jangan bergerak!" He Xuan memperingatkan. Tapi Shi Qing Xuan hanya tersenyum meraba dengan seksama kontur wajah He Xuan yang basah terkena air hujan.

"Maafkan aku..." ujar Shi Qing Xuan. Tubuh He Xuan menegang. "Maafkan aku... sudah menghancurkan kipasnya..." lanjut Shi Qing Xuan dengan sangat lirih dan terbata-bata.

"Kau masih memikirkan kipas bobrok itu?" sela He Xuan.

"Hehehe..." Shi Qing Xuan hanya tersenyum. "Karena itu kipas yang sudah kau perbaiki..." Shi Qing Xuan mengambil jeda. "Padahal aku sudah melupakannya, tapi kau ingat dan memperbaikinya untukku..."

"Aku juga belum mengatakannya, maaf kalau terlambat. Terima kasih, He Xuan..."

"..."

"Aku memanggil namamu dengan benar, kan?" Shi Qing Xuan menyunggingkan senyum. He Xuan menggigit bibir, mengeratkan pelukan di tubuh Shi Qing Xuan.

"Jangan banyak bicara lagi, aku muak dengan celotehanmu."

"He Xuan, aku sangat mengantuk..." gumam Shi Qing Xuan mengabaikan peringatan He Xuan. "Biarkan aku tidur sebentar." gumam Shi Qing Xuan. "Maaf Ah Long, sepertinya aku tak bisa memenuhi janji untuk mengunjungi Yang Mulia. Maaf Yang Mulia, aku belum sempat menemuimu. Hm? Apa itu kau gege?" Shi Qing Xuan semakin meracau.

"Bertahanlah... bertahanlah sebentar lagi..." He Xuan semakin gencar mengalirkan kekuatan. He Xuan lebih baik mendengar Shi Qing Xuan meracau saat mabuk dibanding saat ini.

Kemudian sunyi.

Jantungnya merosot saat tangan ternoda darah Shi Qing Xuan yang menempel di pipinya terlepas. He Xuan menoleh ke wajah Shi Qing Xuan. Kelopak matanya sudah tertutup rapat.

"Qing Xuan?" He Xuan membangunkan Qing Xuan dengan menepuk pelan pipinya berkali-kali. Ia tak berani mengecek napas di hidung Shi Qing Xuan. Tapi mau tak mau harus ia lakukan.

Mata He Xuan terbelalak. Sudah tak ada. He Xuan sudah tidak merasakan hembusan napas Shi Qing Xuan. Tapi He Xuan masih mengalirkan kekuatan untuk Shi Qing Xuan. Mengharapkan secercah keajaiban agar Shi Qing Xuan kembali bernapas.

Namun sebanyak apapun kekuatan He Xuan, Shi Qing Xuan tidak akan pernah membuka matanya kembali.

Tangan He Xuan bergetar memeluk tubuh Shi Qing Xuan. Aliran kekuatan spiritualnya sia-sia. Ia mendekatkan bibirnya ke kening Shi Qing Xuan. Menciumnya pelan.

"Maafkan aku..." kemudian menggendong tubuh tak bernyawa itu ke Istana Air Hitam.

Beberapa hari kemudian, He Xuan kembali ke ibukota untuk melancarkan balas dendam.

[Flashback end]

x o x o x o x

Xie Lian masih bertahan tinggal di penginapan tepi pantai selama tiga hari. Ia mengawasi keadaan sebelum kembali ke Kuil Puqi. Tiga hari berlalu dan badai berangsur berhenti. Beberapa nelayan mulai berani melaut. Kedai serta penginapan membuka kembali bisnisnya.

Saat kembali dari Pulau Air Hitam tiga hari yang lalu, Mu Qing dan Feng Xin sudah menunggu di tepi pantai. Mereka hilang kontak dengan Xie Lian terakhir di tepi pantai, jadi Feng Xin dan Mu Qing menyusul turun ke bumi.

Xie Lian menceritakan semua kejadian yang dialami; hilangnya Shi Qing Xuan yang berdampak pada amukan Iblis Air Hitam. Feng Xin dan Mu Qing segera kembali ke Kayangan untuk melapor kepada Ling Wen. Sementara Xie Lian dan Hua Cheng tetap tinggal untuk memantau selama beberapa hari.

Sore itu Xie Lian berjalan di pinggir pantai. Tangannya terjalin dengan tangan Hua Cheng.

Sebelumnya tempat ini sangat sepi. Kali ini ada anak kecil yang bermain dan orang dewasa sedang memperbaiki kapal, ada juga yang sedang mengangkut hasil tangkapan.

Mereka sampai di ujung pantai yang dipenuhi batu karang. Xie Lian duduk di sebuah batu dibantu oleh Hua Cheng. Hua Cheng duduk di samping masih dengan tangan tertaut. Langit nampak berwarna oranye. Matahari terlihat sejajar dengan pandangan. Makin lama menenggelamkan diri di ujung garis cakrawala.

"San Lang, menurutmu apa yang akan dilakukan Air Hitam kepada Shi Qing Xuan." tanya Xie Lian.

"Kupikir dia akan mencari reinkarnasi dari Shi Qing Xuan, mengenai tubuhnya aku tak yakin akan diapakan oleh He Xuan." Hua Cheng menghela napas. "Hubungan mereka sungguh rumit."

Xie Lian diam. Tiba-tiba teringat sesuatu dan segera menoleh ke arah Hua Cheng, "San Lang, bagimana aku mengatakannya kepada Ah Long?"

"Gege katakan apa adanya. Memang berat, tapi aku lihat Ah Long bukan remaja yang lemah."

"Benar." Xie Lian mengangguk, "Sebelum ke Kuil Puqi, kita ke ibukota sebentar."

"Berapa lama Gege akan tinggal di sini?"

"Mungkin dua atau tiga hari lagi, sampai keadaan benar-benar stabil." Xie Lian menatap wajah Hua Cheng, "Apa ada masalah di Kota Hantu?"

"Tidak, Kota Hantu baik-baik saja selama ada Yin Yu. Hanya saja..." Hua Cheng memberi jeda, membuat Xie Lian penasaran, "Selama masih di sini, bagaimana kalau kita manfaatkan untuk bulan madu?"

"Eh?" seketika Xie Lian merona. "Baiklah, tapi hanya beberapa hari saja, karena pekerjaan di Kayangan pasti sudah menumpuk."

"Tidak masalah." Hua Cheng mendekat ke Xie Lian, mengecup bibirnya pelan. Xie Lian terkejut kemudian menarik wajah Hua Cheng untuk melakukan ciuman yang lebih intim.

x o x o x o x

"Dia sudah mati, He Xuan!" teriak Xie Lian, kali ini air matanya tak bisa dia bendung lagi. "Kau tak bisa menghidupkannya lagi!"

He Xuan mengabaikan teriakan Xie Lian di luar ruangan. Ia melangkah mantab melewati meja dan kursi yang sudah terbalik dari tempatnya. Sobekan kertas dan gulungan yang sudah berhamburan tak berbentuk dan tertutup noda hitam. Semuanya berantakan.

Sia-sia semua pekerjaannya selama ini.

Tapi He Xuan mengabaikan. Hal yang dia pedulikan adalah sosok di dalam peti mati. He Xuan membuat penghalang berlapis di luar ruangan peti mati. Begitu He Xuan mendekat, penghalang di sekitar peti runtuh.

Tangannya terulur mengelus pipi Shi Qing Xuan. Meraba hidung dan menyingkirkan poni yang menutupi dahi dengan sangat lembut. Seolah Shi Qing Xuan adalah pecahan kaca yang rapuh dan bisa hancur hanya dengan sekali sentuhan.

"Qing Xuan..." panggilnya.

Hening.

"Sampai aku menemukan reinkarnasimu..." He Xuan mengecup dahi Qing Xuan, kemudian hidung dan berhenti di bibirnya. He Xuan mengelus bibir pucat dengan ujung ibu jari kemudian mengecupnya singkat.

"Biarkan aku menjaga tubuhmu."

x o x End x o x

Halo.

Sekian lama ga nulis fanfik karena keasyikan bikin tweet fic. Jujur ini tulisan terpanjang yang pernah kubuat, semoga ga bosen ya. Ini juga kali pertama bikin beefleaf yang ada bumbu angst-nya. Aku gatau angst banget atau engga, karena aku sukanya bikin yang uwu-uwu.

Terima kasih sudah membaca.

Salam,

Bella.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top