1. Ketidaksengajaan

Di dalam hujan deras yang mengguyur hutan pinggiran wilayah Hilliard, seorang pria berambut pirang pucat nampak memacu kudanya untuk berlari semakin kencang melintasi hutan gelap yang bahkan nyaris tidak dapat dilihatnya dalam kegelapan dan hujan deras ini. Matanya menyipit untuk memastikan jalan mana yang perlu diambilnya agar bisa keluar dari tempat ini.

Namun baik pengelihatannya dan pendengarannya pun terganggu dengan pemandangan hujan yang sangat deras itu, hingga rasanya sangat sulit bagi sang pria untuk menentukan jalan mana yang bisa diambilnya untuk saat ini. Namun tanpa menyerah sedikit pun, dia memacu kudanya semakin cepat, melintasi pepohonan tinggi yang menutupi kanan kirinya.

"Sial, andai saja tadi tidak terpisah," gumamnya menggertakkan giginya merasa bodoh dengan tindakannya sendiri tadi. Pikirannya kacau memikirkan bagaimana caranya bisa keluar dari wilayah yang sebenarnya tidak diketahuinya ini. Andaikan dia tidak terpisah dari rombongannya tadi, hal ini mungkin tidak akan terjadi.

Tapi apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Sang pria tidak bisa mengubah kenyataan karena kecerobohannya sendiri dia harus terjebak di tempat seperti ini. Karena itu dia hanya perlu mencari jalan keluar dari tempat ini, kan. Selama dia masih bisa mengandalkan dirinya sendiri sekarang, dia harus bisa keluar dari tempat ini.

Sang pria menarik tali kekang kudanya untuk berbelok ke jalur kiri yang didapatkannya di depan. Memanfaatkan instingnya yang sangat diharapkannya bisa membantunya dalam keadaan seperti ini. Seraya berharap-harap bisa menemukan secercah cahaya di depan sana, yang bisa saja menandakan sebuah desa terdekat yang pastinya ada di luar hutan ini, kan.

Namun setelah entah berapa lama dia melalui dan melewati hutan ini, sang pria pun pada akhirnya menemukan sebuah harapan, ketika di depan sana, di balik hujan deras yang mengguyur hutan ini, matanya bisa menangkap bayang-bayang sebuah pagar besar yang memberikan harapan baginya.

'Pagar?' batinnya memastikan matanya untuk melihat semakin jelas, dan tentu saja dia pun menyadari bahwa itu adalah sebuah pagar yang cukup besar. Tanpa berpikir panjang pun, sang pria segera memacu kudanya semakin cepat mendekati jalan keluar yang asing itu.

Hujan diatasnya semakin deras, namun apa yang dipikirkannya adalah bisa keluar dari tempat ini. Hanya saja, sebuah suara keras pun membuat sang pria tersentak, dan matanya pun membelalak ketika bersamaan dengan suara keras itu, dia melihat salah satu pohon di depannya, tumbang seketika menutupi jalan, sesaat sebelum sang pria sempat untuk menghindari hal itu. Spontan tangannya pun menarik keras tali kekang kudanya untuk menghentikan pergerakannya.

Tapi...mungkin sudah terlambat.

Crak!!

--👑--

"Argh!!"

Erangan kesakitan lolos dari mulut sang pria berambut pirang itu ketika tubuhnya pun tersentak  duduk. Nafasnya memburu, dan jantungnya berdebar sangat kencang. Ditambah dengan rasa sakit yang seketika menjalar di tubuhnya itu membuat sang pria mencengkram erat tangan kanannya yang terasa sangat sakit.

Sesaat dirinya berpikir akan melihat pemandangan hujan deras itu lagi, atau mungkin saja dirinya bisa saja telah mati tertimpa pohon yang tumbang itu. Namun di satu sisi, alih-alih menemukan dirinya telah mati ataupun bersimbah darah, dia menemukan dirinya berada di sebuah tempat tidur, terselimuti dengan baik. Di dalam sebuah ruangan besar yang begitu asing.

'Ini...dimana?' batinnya membelalak saat menyadari bahwa dirinya pun tidak berada di hutan lagi, bahkan saat menunduk, dia pun menemukan bahwa pakaiannya yang tadinya basah, dan tudung yang menutupi kepalanya itu pun menghilang digantikan dengan sebuah kemeja putih polos yang membalut tubuhnya.

"Apa aku...bermimpi?" gumamnya mencoba memastikan tentang itu, sedikit bergerak di posisinya duduk namun seketika merasakan sakit kembali pada tangan kanan sang pria yang disadarinya pun nampak telah diperban dengan baik. Tunggu, siapa yang melakukan ini padanya?

Rasanya sakit itu sudah lebih dari cukup bagi sang pria, menyadari bahwa dirinya pun tidak bermimpi, dan dia pun tidak mati juga. Tapi ini tidak menjawab pertanyaannya sama sekali, ketika dia menyadari bahwa dia hanya sendirian disini tanpa adanya orang lain. Lalu siapa yang membawanya ke sini?

"Aku yakin tadi masih ada di hutan itu," gumamnya sekali lagi, memegang sisi kepalanya sejenak dan memejam untuk memikirkan apa yang telah terjadi padanya saat ini. Dia mengingat kalau dirinya sempat melihat sebuah gerbang di ujung jalan yang dia ambil tadinya. Berpikir kalau mungkin saja itu rumah penduduk ataupun sebuah jalan masuk desa. Tapi dirinya sama sekali tidak berpikir akan muncul disini.

Suara hujan dan guntur yang keras di luar pun seketika menyentakkannya lagi. Hingga matanya pun bergulir memandang keluar jendela yang tidak tertutup gorden di dalam ruangan itu. Ahh, dia sadar kalau di luar sana masih hujan. Langit itu bahkan masih mendung, membuatnya bertanya-tanya sudah berapa lama dia tertidur?

Sekali lagi, pandangannya memandang sekeliling, melihat isi ruangan itu sekali lagi. Tempat itu terlalu besar untuk bisa dibilang rumah di desa. Walaupun dia tidak tahu bagaimana sebenarnya model rumah-rumah dari kebanyakan orang di desa-desa. Di sisi lain, dia merasa seolah berada di sebuah ruangan. Tapi, tempat ini terlalu rapi, terlalu banyak perabotan.

Seperti...sebuah ruangan yang dikhususkan untuk tamu undangan dalam...sebuah rumah bangsawan.

"Oh, kau sudah sadar."

Suara tenang yang terdengar itu seketika membuat sang pria tersentak dalam posisi duduknya. Dan bersamaan dengan suara pintu yang terbuka pun membuat sang pria menoleh, menemukan sosok seorang wanita muda nampak memasuki ruangan itu. 

Sesaat, sang pria tidak tahu harus berkata apa, namun dia jelas tertegun melihat sosok wanita muda berambut ungu keabuan itu. Terlihat begitu cantik dan menawan, hingga rasanya sang pria berambut pirang tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Mungkinkah sosok ini yang menyelamatkannya?

"Tuan?"

Panggilan itu kembali membuat sang pria tersentak, dan dia pun menyadari, bahwa wanita itu tengah memandangnya dengan sedikit bingung, di balik netra perak sang wanita yang terlihat indah bagaikan permata.

"Ah, iya! O-Ohh, maksud saya, maaf! Apa...Anda yang menyelamatkan saya?"

Kegugupan seketika dirasakan oleh sang pria berambut pirang pucat itu, dan sebelah tangannya pun bergerak mengusap tengkuk lehernya untuk menenangkan dirinya. Dia pun segera menanyakan perihal kemunculannya disini, yang artinya dia memang dibantu oleh wanita yang ada ini. Meskipun begitu, dia menyadari kalau wanita di depannya itu tidak merubah ekspresinya, dan hanya mengangguk singkat.

"Benar, Tuan. Daripada itu...apa lengan Anda baik-baik saja?" tanya sang wanita muda itu setelah memberikan jawabannya pada sang pria yang terduduk di tempat tidur tersebut. 

Langkah sang wanita pelan, membiarkan gaun tidurnya yang ditutupi kardigan hitam panjang itu berayun di bawah lututnya, dan dia pun mendekat ke arah kursi yang terletak di sisi tempat tidur. Dia pun kembali memastikan keadaan sang pria, dan mendapati tangan kanan sang pria justru digenggam oleh pria itu sendiri.

"E-Eh? Ah, maksud Anda tangan saya ini? Tentu...tentu baik-baik saja! Walaupun saya tidak tahu apa yang terjadi, terima kasih banya telah menyelamatkan saya...Lady," jawab sang pria kemudian, sedikit berbohong karena dia bisa merasakan sakitnya tangan itu walaupun tidak terlalu parah. Mungkin apa pun yang ada di balik perban itu, sudah diobati oleh wanita ini?

Kepalanya pun kmebali mendongak, memandang sang wanita muda yang duduk di samping tempat tidurnya berbaring sekarang. Netra perak itu lagi-lagi memandang tangan sang pria, namun tidak mengatakan apa-apa sebelum netra hijau sang pria pun kembali dengan permata perak yang indah.

"Mendengarnya membuat saya lega. Lengan Anda terluka...Saya rasa saat Anda terjatuh dari kuda Anda," ungkap sang wanita berambut ungu keabuan itu kemudian, memberikan penjelasan bagi apa yang ada di balik perban itu. Namun sang wanita sekali lagi menunduk memandang luka itu, memastikan bahwa perbannya terpasang dengan rapi disana.

"Hanya saja...saya tidak menyangka kalau ada seseorang yang akan berkeliaran di tengah hujan seperti itu. Andai saja Norbert tidak menemukan kuda Tuan, kami pasti tidak tahu bahwa Anda berada dekat dengan pohon yang tumbang itu."

"Norbert?"

"Pelayan saya yang bekerja disini. Dia yang menemukan Anda pertama kali, Tuan."

Lanjutan ucapan sang wanita pun membuat sang pria tersentak, seketika mengingat kudanya, dan kembali teringat dengan kejadian yang menimpanya tadinya. Kepala sang pria sesaat terasa sakit memikirkan itu, mungkin karena dia terjatuh dari kudanya? Tapi rasanya sebuah keajaiban dia tidak terluka parah kalau mungkin saja tertimpa pohon itu.

Hanya saja, menyadari ungkapan sang wanita padanya, netra sang pria pun mengerjap beberapa kali. Seolah memastikan apa yang dia dengar tadinya tidak salah. Pelayan, katanya? Apa artinya ini adalah sebuah kediaman dari seseorang? Dan mungkinkah saja seseorang di depannya ini adalah seseorang dengan kedudukan yang tinggi?

"Ini bukan...di desa?" tanya sang pria memastikan. Namun melihat sang wanita di depannya terdiam sejenak seolah berpikir, gelengan kepala pun tidak lama didapatkan oleh sang pria. 

"Bukan, Tuan. Ini di kediaman saya. Tidak ada desa di sekitar sini. Tapi daripada itu, saya penasaran bagaimana sebenarnya Anda bisa menemukan jalan ke sini?" ungkap sang wanita, lalu bertanya balik pada sang pria. Kali ini, sang pria berambut pirang itu terlihat cukup bingung dengan pertanyaannya. Namun sesaat, dia melihat sebuah keseriusan di balik netra perak sang wanita, yang entah mengapa sesaat terlihat berkilap ungu.

Entah mengapa, sang pria merasakan ada nada ganjil di balik ucapan wanita di depannya itu.

"Saya...hanya mengikuti insting saya. Saya pikir, saya tidak bisa melihat terlalu jelas di dalam hujan tadinya. Hingga mencari jalan mana saja yang bisa saya lalui sampai akhirnya menemukan sebuah gerbang..."

Kali ini, sang pria yakin kalau dia bisa melihat keterkejutan di wajah wanita muda di depannya itu. Walaupun sesaat kemudian wajah itu terlihat kembali tenang dan berpikir. Dia memangku tangannya dengan sebelah tangan lainnya yang terlipat di depan dada, terlihat larut sesaat dalam pikirannya.

"....Anda tidak melihat kabut? Jalan yang Anda maksudkan, benar-benar jalan yang bisa Anda lalui?"

Kali ini pertanyaan sang wanita sedikit membuatnya bingung, namun merasa karena wanita ini telah menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin kan dia tidak menjawab pertanyaan dari penolongnya ini.  Memangnya kabut apa yang dimaksudkan? Mungkin hujan membuat kabut itu menghilang tadinya?

"Tidak ada, Lady. Saya hanya menemukan sebuah jalan saat melintasi hutan. Dan saya menemukan sebuah gerbang besar di ujung jalan itu. Yang sepertinya...merupakan gerbang kediaman Anda ini?"

Sang pria sedikit menebak-nebak, karena dia tidak tahu kepastiannya. Apalagi karena pertanyaan itu justru terdengar cukup aneh baginya. Hingga sebuah pertanyaan pun muncul dalam benaknya. Bagaimana bisa wanita secantik wanita di depannya ini tinggal di tempat seperti ini? 

Di tengah hutan, dan jauh dari desa? Wanita ini tadi bilang tidak ada desa di sekitar sini, kan?

Tapi ekspresi wanita di depannya ini jauh lebih membingungkan baginya, apalagi saat melihat wajah yang terkejut itu tadinya. Seolah ada yang disembunyikan wanita ini darinya, walaupun sang pria tidak tahu tentang hal itu. Wanita ini nampaknya seumuran dengannya, dilihat dari paras muda yang cantik itu.

Ah, dia jadi penasaran dengan sosok wanita penyelamatnya ini.

"Lady, jikalau Anda berkenan, bolehkah saya mengetahui nama Anda?" tanya sang pria pada akhirnya. Mengumpulkan keberaniannya dalam hatinya yang merasa gugup sesaat. Mata hijaunya nampak memandang sang wanita dengan sedikit gugup, namun dalam hatinya berharap sang wanita mau menjawab pertanyaannya.

Namun kembali pertanyaan itu direspon dengan tatapan dari wanita di depannya, kembali terdiam sejenak tanpa mengatakan apa-apa terlebih dahulu. Seolah pikiran sang wanita berpikir apakah dia bisa memberikan namanya atau tidak pada pria di depannya ini. Meskipun begitu, beberapa saat kemudian mulutnya pun membuka perlahan.

"Saya...Rae. Panggil saja seperti itu, Tuan..."

"Vardis...Hanya Vardis. Salam kenal, Lady Rae. Kalau begitu...!"

Dengan segera sang pemuda pun memberikan namanya untuk wanita di depannya, entah mengapa merasa senang menyadari sang wanita mengucapkan nama untuknya. Di satu sisi, tidak ada keraguan di dalam hatinya dalam menyebutkan namanya untuk wanita di depannya ini. Karena sesaat dia berpikir, di tempat terpencil seperti ini, tidak ada yang akan mengenalinya, kan?

Walaupun dia hanyalah orang asing yang kebetulan mendapatkan bantuan dari pria di depannya ini. Namun belum sempat dia melanjutkan ucapannya, suara pintu yang terbuka lebar itu pun seketika menyentakkan Vardis kembali. Matanya pun memandang ke arah pintu, dan dia menemukan seorang pria tinggi berambut hitam, dengan kulit yang cokelat gelap nampak memasuki ruangan tersebut.

"Permisi, Madam."

Panggilan dengan nada berat yang sopan itu pun terdengar dari sang pria berkulit cokelat gelap itu. Namun saat dia menyadari bahwa Vardis telah terbangun, pria tinggi itu pun membungkuk sopan pada sang pria, sebelum akhirnya menemukan mata majikannya nampak memandangnya dari tempat Rae terduduk.

"Ah, Norbert, ada apa?" tanya Rae langsung pada sang pria. Membuat Vardis pun mengerjap, mengerti bahwa sosok pria inilah yang sepertinya dimaksudkan Rae sebagai penyelamat dan sosok yang pertama kali menemukannya di hutan. Dengan cepat, sang pria ingin berterima kasih, namun dia rasa tidak sopan jikalau dia menyela dalam ucapan Rae yang akan berbicara pada Norbert, sehingga dia pun menunggu.

Hanya saja, sesaat netra Norbert mengerjap, lalu melirik ke arah lain seolah memikirkan sesuatu. Apakah tidak masalah dia berbicara disini padahal tamu mereka tengah terbangun sekarang? Tadinya dia Norbert berpikir kalau Vardis masih tertidur, sehingga dia datang menemui Rae yang pastinya ada disini untuk mengecek kondisi sang pria asing.

Tapi ternyata...

"Ada sesuatu yang perlu Anda lihat, Madam."

Dengan profesionalnya, tanpa langsung memberikan jawaban, Norbert merasa bahwa ungkapan itu sudah cukup untuk membuat Rae pun tersadar. Mata sang wanita pun kembali bergulir memandang ke  arah Vardis, bersamaan dengan kepalanya yang menoleh sepenuhnya pada sang pria.

Ah, benar. Hal seperti itu mungkin tidak bisa dibicarakan dengan tamunya saat ini.

"Tuan...Vardis. Saya rasa saya perlu pergi untuk mengurus sesuatu terlebih dahulu. Jikalau Anda tidak masalah, saya akan meninggalkan Anda sementara disini. Anda bisa kembali beristirahat disini dan tidak perlu sungkan," ungkap Rae kemudian dengan sopan, seketika berdiri perlahan dari posisi duduknya dan membungkuk sopan pada pria di hadapannya itu.

Tentu Vardis sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Lagipula wanita ini telah menyelamatkannya, kan. Kenapa dia perlu menahan Rae kalau misalnya ada hal penting yang perlu dilakukan sang wanita selain menjaganya disini dan memastikan dirinya sudah sadar. Dapat bantuan seperti ini dari Rae saja rasanya sudah lebih dari cukup bagi Vardis.

"Ah, tidak masalah, Lady! Saya justru sungguh berterima kasih atas kebaikan hati dan pertolongan dari Anda. Tanpa pertolongan Anda saya yakin kalau saya pasti masih berada di luar sana, Lady," balas Vardis dengan sopan, menggelengkan kepalanya kecil sama sekali tidak mempermasalahkannya. Senyuman tipis pun menghiasi wajahnya, merasa sangat berterima kasih dengan bantuan yang didapatkannya itu.

"Tidak menjadi masalah, Tuan. Kalau begitu, saya permisi dulu."

Di satu sisi, Rae nampak memandang wajah tersenyum itu dalam diam, namun dia tidak membalas senyuman itu. Kepalanya hanya sekali lagi mengangguk kecil, sebelum dia memberi hormat pada sang pria dan berbalik ke arah pintu. Namun belum sampai Rae keluar, wanita itu kembali berbalik memandang Vardis seolah dia melupakan sesuatu.

"Oh, dan satu lagi. Jikalau Anda perlu bantuan, bunyikan saja bel yang ada disana. Tidak lama lagi para pelayan akan membawakan makanan untuk Anda juga. Anda juga tidak perlu khawatir dengan barang-barang Anda. Kuda Anda pun baik-baik saja. Norbert akan membantu Anda nanti setelah urusannya selesai," tukas Rae kemudian memberitahu seraya menunjuk sebuah lonceng berwarna silver yang ada di atas meja samping tempat tidur. Dia merasa karena Vardis adalah tamunya disini, tidak mungkin kan dia membiarkan sang pria begitu saja.

Namun Vardis sendiri terlihat terkejut dengan hal tersebut. Tidak menyangka kalau Rae sampai memikirkan ke sana. Padahal seharusnya kalau dirinya sudah sadar, mustinya dia langsung keluar saja dari tempat ini, kan?

"T-Terima kasih banyak, Lady. Padahal Anda tidak perlu repot-repot."

Ah, Vardis jadi merasa tidak enak dengan itu semua. Meskipun begitu, di satu sisi dia merasa lega karena kudanya pun baik-baik saja. Sepertinya Rae tahu apa saja yang membuat Vardis khawatir saat ini. Hingga sang pria pun kembali tersenyum pada sang wanita setelah mengucapkan terima kasihnya.

Matanya pun memandang sosok Rae yang tidak mengatakan apa-apa lagi, langsung keluar dari dalam ruangan itu. Sedangkan Norbert sesaat terlihat membungkuk sopan sebelum keluar mengikuti majikannya.

Setelah pintu itu tertutup, Vardis pun seketika menjatuhkan tubuhnya ke belakang, berbaring dan kembali menghela nafas panjang. Matanya memandang langit-langit kamar, membiarkan tubuhnya yang setengah tertutup selimut itu kembali rileks berbaring di atas tempat tidur itu.

Entah mengapa, dia merasa nyaman walaupun berada di tempat yang asing ini. Mungkin karena dia telah mengenal pemilik tempat ini?  Kembali, helaan nafas panjang pun lolos dari mulutnya. Matanya memejam, seolah menepis segala yang ada di dalam pikirannya.

"Ah, semoga saja mereka tidak khawatir," gumam Vardis seketika mengingat sesuatu yang penting, kembali membuka matanya memandang langit-langit kamar itu. Dia berharap, rombongannya itu tidak akan panik dengan menghilangnya dirinya. Lagipula apa yang bisa dilakukannya, kalau sudah seperti ini, kan?

"Dan lagi...sepertinya Lady Rae pun tidak tahu. Syukurlah...."

Kepalanya pun menoleh memandang ke arah pintu yang tertutup itu lagi setelah Norbert dan Rae keluar tadi. Merasa cukup lega karena selain wajah terkejut itu tadinya, sepertinya Rae tidak menyadari sesuatu tentang Vardis. Pria itu pun kembali memejamkan matanya, membiarkan dirinya jatuh kembali ke dalam tidurnya. Setidaknya...untuk saat ini dia berada di tempat yang aman.

--👑--

"Madam Raery..."

Langkah Rae seketika terhenti saat berjalan di lorong yang dilaluinya bersama Norbert, membuatnya pun menoleh sejenak ke belakang namun kembali melanjutkan langkahnya menyusuri lorong itu untuk turun ke lantai satu. Dia menyadari bahwa yang memanggilnya itu adalah Norbert, namun dia pun rasa sebenarnya tahu apa yang ingin diucapkan sang pria padanya.

"Ada apa, Norbert?" tanya Rae langsung tanpa menghentikan langkahnya lagi, berbelok ke sisi kiri lorong untuk menuruni tangga.Matanya tetap tertuju ke depan, walaupun telinganya mendengarkan menunggu ucapan dari Norbert yang masih senantiasa mengikutinya di belakangnya.

"Sosok yang kita tolong itu...beliau adalah..."

"Aku tahu."

Ah, Rae sudah menduga kalau Norbert akan langsung berucap seperti itu. Namun sejenak dia hanya terdiam setelah menyela langsung ucapan Norbert padanya. Di satu sisi, pelayannya itu pun tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengangguk lalu diam. Matanya memandang majikannya di depan sana dengan tatapan tenang yang tidak bisa diartikan.

Sedangkan Rae pun jatuh dalam pikirannya sendiri, mengingat sosok dari Vardis yang dia temui baru saja tadi. Sesaat, dia menunduk dan netra peraknya meredup lalu mengkilat. Merubah mata bagaikan permata perak itu pun menjadi sebuah perpaduan ungu dan perak yang indah. Helaan nafas pun lolos dari mulutnya, namun kalau sudah seperti ini, dia tidak bisa apa-apa, kan.

Panah yang dia lihat tergeletak bersama Vardis pun sudah menjadi jawaban untuknya. Rasanya sudah lama sekali sejak dia melihat lambang familiar itu. Lalu...sosok pria yang datang ke tempatnya hari ini.

"Vardis....Vardis rov Hilliard. Aku tidak menyangka bisa melihat pangeran ketiga dari kaisar Hilliard datang ke sini. Sepertinya ini adalah sebuah ketidaksengajaan yang terjadi."

--👑--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top