Segmen 9: Semulus Jalan Tol

Halo lagiii, liburan sekolahnya udahan, yaaa?? Gimana nih hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang?

Nah, di bawah ini adalah tutorial memaca dengan asik. Nah, ayo lakukan langkah2 di bawah ini!

1. Follow akun Natha
2. Masukin cerita ini ke reading list kamu
3. Tekan tombol bintang
4. Kalau sudah, silakan sapa Natha di kolom komentar 💕😊🥳

udah semua dilakukan?
Oke, dimulai dari 0, ya!

Enjoy reading 🥰

.

.

Segmen 9: Semulus Jalan Tol

Saat sedang berada di masa-masa terpuruk kala itu, Jenar sering bermonolog dalam hati di tengah tangisnya yang tersedu-sedu. "Kalau memang setelah ini yang Jenar jumpai itu kebahagiaan, Jenar oke, kok. Kalau memang yang menunggu setelah rasa sakit dan sesak ini adalah senyuman, Jenar oke, kok. Jenar cuma minta bantuan untuk selalu buat Jenar kuat di saat nggak ada pundak siapa pun yang bisa Jenar jadiin sandaran."

Tidak bohong kalau Jenar mengatakan apa yang dilaluinya itu sangat sulit. Kalau saja perasaannya yang sakit itu bisa ditunjukkan, mungkin seluruh tubuhnya akan penuh dengan lebar biru. Karena setiap kali ia dikecewakan oleh harapan palsu yang diberikan padanya, ia seperti didorong dari atas gedung tinggi hingga menimbulkan bunyi debum keras kala tubuhnya terkapar di atas aspal.

Namun, tenang saja. Mengingat rasa sakitnya kini sudah tidak membuat Jenar sedih—masih, sih. Tapi sedikit. Sedihnya masih bisa ditahan dan dialihkan—karena ia sudah menemukan muse-nya. Bagi orang-orang yang bekerja dibidang seni, muse bisa berarti sumber inspirasi atau semangat. Nah, bagi Jenar, muse itu adalah Meraki Abiyyu.

Tidak salah jika Jenar menyebut seorang Meraki Abiyyu adalah muse baginya. Sejak bertemu dengan lelaki yang selalu tampak atraktif itu, Jenar mulai kembali merasakan percikan api semangat untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya ia tinggalkan. Sebelum bertemu Abiyyu, akun sosmed-nya bisa dipastikan sepi. Jenar ini suka sekali menulis puisi dalam bahasa Inggris dan mengunggahnya di akun sosmednya. Sejak ayah dan kakak laki-lakinya pergi, Jenar seperti hilang dari dunia maya. Pengikutnya banyak yang meninggalkannya. Namun, saat bertemu Abiyyu, Jenar jadi memiliki rasa untuk menumpahkan segala sesuatu yang ia rasakan untuk Abiyyu dalam sebuah tulisan, dan lagu-lagu yang ia nyanyikan. Semenjak itu, sosial media Jenar kembali hidup, unggahannya banyak disukai, pengikutnya bertambah semakin banyak.

"No wonder I call him my muse," ucapnya seraya tersenyum bangga melihat unggahan video menyanyinya mendapat banyak respons positif. "Come to think of it, rasa-rasanya semua yang gue pengen bisa langsung kejadian. Apa ini yang disebut kalo sedihnya udah banyak berarti tinggal senengnya? I do hope so ...."

***

"Kamu udah ngonsep kayak gimana, Jen?" tanya Herman dengan logat sundanya yang kental.

"Hm? Wait, nanti aku kirim ke link-nya ke kamu pas beres. Kalo kamu mau ubah atau tambah sesuatu jadi bisa langsung di template yang udah aku buat itu."

Ini sudah satu minggu Jenar dan Herman bekerja sama dalam membangun akun sosial media Radio Hitz. Biasanya, Herman akan mendapati Jenar yang tampak imut. Rambutnya panjangnya itu akan memiliki banyak pernak-pernik warna-warni yang tampak lucu. Pakaian yang dikenakan perempuan akan selalu tampak segar. Benar-benar definisi "cewek hits". Namun, hari ini Jenar tampak berbeda di mata Herman. Perempuan itu tampak lebih ... memesona.

Penampilan Jenar memang berbeda dari biasanya. Tidak ada hiasan rambut warna-warni, yang ada rambut panjangnya itu digulung rapi dan hanya menyikan sedikit bagian tipis untuk membingkai sisi wajah. Tidak ada pakaian ala borjuis yang tampak shining, shimmering, splendid, yang ada hanya hoodie sewarna cokelat susu, celana jeans, dan converse krem. Entah mengapa, Jenar yang begini malah membuat Herman berdebar-debar.

"Eh? Dikirain siapa! Kok hari ini beda?" Jun datang sambil membawa beberapa map warna-warni.

Jenar terkekeh, perempuan itu selalu mengerutkan hidungnya ketika merasa gemas dan malu. "Iya, aku nggak sempet rapi-rapi. Ini pake seadanya, takut telat sampe sininya. Kan, janjian sama Herman. Nanti dia kelamaan lagi nunggu aku kalo aku siap-siap kayak biasa."

"Santai aja padahal, Jen," Herman menyahut santai. Namun, ada sedikit rasa penasaran yang memaksanya untuk kembali berucap, "Emang kenapa nggak bisa siap-siap kayak bisanya? Telat bangun?"

"Oh? Nggak, kok. Itu tadi nyiapin masakannya agak banyak, keasikan, jadi telat."

"Oh? Wahhh! Asik, dong! Entah kebaikan apa yang pernah gue lakuin sampe bisa ketemu seorang Daniella Jenar. Udah mah cakep, pinter masak, Beuh, mantu idaman deh ini mah!" Jun berseru ribut sambil sibuk menata rantang yang tergelatak apik di atas meja kaca.

"Eh, yang itu jangan dibuka, Kak!" Jenar buru-buru bangkit hingga membuat kakinya tersandung. Kontan saja ia meringis hingga matanya berkaca-kaca. Bukan berarti ia cengeng, rasa ngilu pada tulang keringnya benar-benar tidak tertahankan.

"Kamu nggak apa-apa, Jen?" Herman mencoba membantu Jenar. Perempuan itu masih saja menunduk, meringis sambil terus mengusap-usap pelan kakinya.

Namun tampaknya kekhawatiran Herman tidak begitu berarti, Jenar buru-buru mendekati Jun dan meraih kotak bekal berwarna hijau dengan tutup berwarna cokelat. "Yang ini khusus buat Kak Merak, hehe."

Kekehan renyah Jenar menular hingga membuat Jun tanpa sadar mengikuti gesture-nya—terkekeh sambil mengerutkna hidung. Lelaki itu tidak terlalu ambil pusing dengan kotak bekal yang kembali dipeluk Jenar. Tentu saja, di atas meja sudah ada lima wadah yang berisikan lauk-pauk yang berbeda-beda, jangan lupakan wadah tambahan khusus untuk menempatkan nasi yang mungkin cukup untuk 3 sampai 4 porsi. Maka nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan wahai Rendi Arjuna.

"Wah, kamu masak ini semua sendiri, Jen?" Herman menatap sajian di atas meja dengan penuh semangat.

"Yes! Mangkanya telat, karena masak lauknya agak banyak."

"Lo mending nggak usah tanya alesan Jenar masak banyak begini, coy. Iri yang ada lo nanti," Jun sudah siap dengan piring plastik dan centong nasi di tangan kanan.

"Kenapa emang?" Herman langsung menatap Jenar.

"Yah, jangan deh dengerin gue. Batu bener dibilangnya."

Jenar tertawa kala mendengar ucapan Jun yang nyeleneh. Lelaki itu tampak acuh-tak acuh. Ia bahkan sudah sibuk melengkapi isi piringnya. Sementara itu, Herman tidak juga mendapat jawaban karena Abiyyu sudah keburu datang.

"Sorry, gue telat. Gimana? Progress ngonsepnya?" Tidak salah Pak Wildan menunjuk Abiyyu menjadi wakilnya sekaligus pentolan Radi Hitz. Lelaku itu selalu menjadi si paling kompeten dan perfeksionis dalam menjalankan tugas yang diberikan.

"Udah beres, kak. Tinggal di kirim ke Pak Wildan buat minta pendapat beliau. Ini, kalo menurut kakak gimana? Konsepnya udah bagus menurut kalo menurut saya, Jenar yang ngonsep semuanya. Saya cuma tinggal tambah-tambah sedikit, hehe." Herman memberikan tab-nya pada Abiyyu.

Mendengar nama Jenar, mata Abiyyu seolah memiliki reflek tersendiri. Ia melirik, tetapi begitu sadar kalau kedua pasang mata itu bertemu tatap, ia segera berpaling. Penghidunya mendapati aroma lezat mengisi ruangang, dan lagi, ia mendapati Jun yang tengah menikmati makan siang.

It must be from Jenar, ada rasa keki begitu tahu bahwa makanan yang tersaji sudah diperawani Jun. Bukan apa, Abiyyu jadi merasa bahwa ia tidak spesial.

"Kak." Jenar menghampiri.

Awalnya Abiyyu melik malas. Namun begitu mendapti sesuatu yang dipeluk Jenar, ia langsung mengubah ekspresinya menjadi sumringah. Tidak terlalu terlihat juga, sih. Abiyyu itu gengsinya tinggi, jadi sebaik mungkin ia mengatur ekspresinya.

"Ini," kata Jenar sambil mengulurkan kotak bekal yang katanya khusus untuk Kak Merak.

Abiyyu tidak langsung meberikan respons. Kedua alisnya mengangkat kala ia mengembalikan tab dalam gemnggamannya kepada Jun tanpa mengalihkan pandangan. "Buat gue?"

"Retorik amatan lo, coy! Ya dia ngasihnya ke lo, ya buat lo la. Yakali ngasihnya ke lo tapi buat si Herman. Buruan ambil, keburu gue libas itu jatah makan siang lo, ntar misuh-misuh lagi!" Jun berujar tidak sabaran dengan mulut yang penuh makanan.

"Thanks." kata Abiyyu jutek.

Ketika ia mengambil kotak bekal yang dijulurkan padanya, Jenar menahan. "Nggak niat ngasih, ya? It's ok, I can by myself—"

"Kak, look. Aku cuma mau kasih tau kalo aku bakal terus berjuang sampai denger kata-kata penolakan dari kakak. Umm ... tapi aku yakin, sih, kakak nggak akan nolak aku. Buktinya, sekarang udah nggak pernah nolak makanan yang aku bawain!"

Kepercayaan diri Jenar meningkat drastis karena ia yakin bahwa segala kesedihannya sudah habis, dan yang tersisa hanya kesenangan. Pikirnya, the sadness she's been through paves her way well. Iya yakin lebih dari 100 persen kalau perjalanan asmaranya akan semulus jalan tol.

***

Bersambung

Cuap-cuap Natha:

Huaaaa~~ udah sampe siniiiii 

Gimanaa?? Gimana menurut Harmony?? Natha seneng banget karena ide cerita mengalir deras berkat air pipa rucika wkwkwkwkwk

Yok, coba, Natha mau tau pendapat Harmony soal cerita ini, soal karakter di cerita ini. Silakan ramiakan kolom komentar yaaa~

See youu~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top