Segmen 7: Pamer
Halo lagiii, seperti biasa, silakan lakukan langkah2 di bawah ini sebelum membaca:
1. Follow akun Natha
2. Masukin cerita ini ke reading list kamu
3. Tekan tombol bintang
4. Kalau sudah, silakan sapa Natha di kolom komentar 💕😊🥳
Nah udah semua dilakukan?
Oke, dimulai dari 0, ya!
Enjoy reading 🥰
.
.
Segmen 7: Pamer
Kalau ada yang bertanya apakah Jenar sedih atau tidak saat sakit dan tidak bisa pergi kuliah selama tiga hari, jawabannya adalah tidak. Perempuan itu justru bahagia bukan main. Selain memang menyukai setiap mata kuliah yang diampu, nama Meraki Abiyyu tercetak tebal dan terletak paling atas pada daftar hal-hal yang Jenar sukai—yang jelas menjadi alasan valid untuknya bersemangat menyambangi Universitas Tugu Kujang setiap Senin sampai Jumat.
Namun, entah bisa disebut suatu keberkahan atau apa, ketika ia tidak bisa pergi ke kampus, ia tetap bisa mendapati Kak Meraknya memenuhi pandangan setiap waktu. Perkara mendapatkan nomor ponsel si kakak crush. Sejak tiga hari lalu, Jenar tidak berhenti mengirimkan pesan. Entah itu ucapan selamat, pagi, siang, dan malam, pun mengingatkan Abiyyu untuk tidak melewatkan makan khususnya bekal yang ia kirimkan atau bahkan sekadar memandangi foto profil pada ikon bundar di samping kiri nama Kak Merak.
"Udah, nggak usah kirim chat lagi, Jen, Dia nggak bales juga, kan? Mana tau kalo ternyata dia risi?" Kalau ada penghargaan perempuan paling realistis, Hanni mengkin sudah masuk nominasi dan bahkan menjadi pemenangnya.
"He's busy, I suppose. Positive thinking aja sih gue mah," Jenar menyahut asal. Berhubung baru sembuh, Jenar tidak pergi main meski hari ini adalah hari Minggu. Demi menjaga kewarasan, ia meminta Hanni untuk datang ke rumahnya. Bukan apa, Jenar hanya butuh seseorang untuk bicara—untuk pamer lebih spesifiknya.
"Lo seneng banget, ya, sama dia?" Hanni menghela napas pasrah kala melihat sahabatnya mengangguk antusias. "Jen ... gue udah pernah kasih tau, kan, kalo lo mau suka sama seseorang jangan berlebihan, secukupnya aja? Gue ... gue cuma nggak mau lo ngerasa sakit yang berlebihan juga."
Jenar terkekeh seraya mengangguk pelan. "I know. Tapi intuisi gue bilang kalo Kak Merak itu orang yang tepat buat gue berlebih-lebihan."
"Hah! Terserah, I've warned you already. Terus ini, gue disuru dateng ke sini buat ngapain? Buat ngeliat lo pamer kalo udah punya nomor HP si Merak-Merak itu?"
"Um! Gue mau nunjukkin ke lo kalo usaha nggak pernah mengkhianati hasil. See? Peratama gue dapet nomor HP, next pasti chat-an samoe nyaman, teruuusss aaahhhh!!! Nggak sanggup gue bayanginnya, gemes gemes gemeeessss!"
Lagi, Hanni hanya bisa menghela napas pasrah. Jenar yang begini jelas Jenar yang tidak bisa dibantah karena Jenar dan segala asumsi abstraknya adalah hal sempurna yang hanya bisa ditanggapi dengan kata terserah.
***
Pukul dua belas tepat Abiyyu baru saja keluar kelas. Mata kuliah Geokimia Minyak Bumi benar-benar menguras isi otaknya. Belum lagi tugas akhir yang harus dicicil, tenaganya habis terkuras. Padahal setelah ini dia harus menghadiri acara rutin UKM Jurnalis. Ah, rasanya Abiyyu ingin makan sesuatu yang enak. Sambil berjalan menuju studio Radio Hitz, bayang-bayang sosis asam manis, sayur pokcoy bawang putih dan nasi hangat melintas di pikirannya. Langkahnya semakin cepat, entah mengapa tiba-tiba ia ingin segera tiba di depan studio. Membayangkan kotak bekal—eh?
"Apaan, sih, gue?! Kok jadi ngarep banget!" Lagaknya menunjukkan ketidak sukaan, tetapi kedua kakinya tetap melangkah tidak sabaran. Begitu tiba di studio, raut wajahnya total berubah sendu cenderung kecewa karena tidak menemukan kotak bekal—"Duh apa, sih? Ya udah lah ya, gue masih bisa beli. Makan soto juga enak, kok!"
Jun ada di sana. Melihat bagaimana Abiyyu tampak uring-uringan. Heran sendiri saat melihat partner siarannya melempar tas punggungnya sebelum ikut membanting diri ke atas sofa.
"Kenapa lo, coy?"
Abiyyu terperanjat. Pasalnya sejak misuh-misuh di depan pintu tadi, ia tidak menyadari kehadiran Jun yang berada di sofa seberang dengan laptop yang terbuka di atas meja kaca. "Apa, sih? Bikin kaget aja," sahutnya ketus.
"Lah? Ada juga lo yang bikin kaget. Masuk ruangan tuh ya salam dulu kek. Ini langsung marah-marah nggak jelas kayak cewek lagi PMS," Jun menyahut tanpa memberikan atensi penuh. Jemarinya sibuk mengetik di atas keyboard laptop.
"Gue mau beli soto di Pak Kumis. Lo mau nitip, nggak?"
Jun mendengung lama sebelum akhirnya menyahut, "Lo mau beli makan siang? Kan biasanya ada kotak bekel dari si Jenar. Tunggu aja sebentar lagi. Nanti juga muncul dia."
Abiyyu berdecak seraya bangkit dari sofa. "Lo nggak usah ngarep-ngarep, deh. Lagian liat, tuh, jam berapa sekarang? Udah pasti nggak akan dateng. Mungkin akhirnya dia nyerah. Iya, kan? Bagus, deh." Kata-katanya, sih, memang tampak bersyukur. Namun, dalam hatinya ada yang tidak terima.
"Ya terserah, deh. Gue mah nunggu makanan gratisan aja," sahut Jun nyeleneh.
Padahal sedang terik. Meski Bogor dikenal sebagai kota hujan, kalau sudah tengah hari begini, panasnya terkadang tidak tertahankan sampai membuat pening. Cuaca begini mungkin lebih coock dengan sesuatu yang segar-segar, seperti es buah atau es campur. Bukan malah soto santas yang panasnya bahkan sudah menembus plastik bungkusannya.
Ini mungkin menjadi kali pertama dalam sejarah seorang Meraki Abiyyu untuk menjadi sebegini berantakan. Padahal tugas kuliah yang datangnya keroyokan kerap kali ia jumpai. Namun, entah mengapa mood lelaki itu tidak juga membaik. Maka, ia hanya bisa menyalahkan 'tugas kampus'. Bukan apa, Abiyyu hanya berpikir bahwa alasan lain—kotak bekal–itu terlampau tidak mungkin.
"Kak Merak!"
Langkah Abiyyu total berhenti. Tepat di depan pintu studio, ia melihat Jenar dan Jun yang sedang berbicara. Namun, Abiyyu yakin kalau kini atensi Jenar sudah diberikan padanya, seutuhnya. Abiyyu tidak melewatkan pemandangan tidak asing yang belakangan ini selalu hadir. Benar, kotak bekal yang kini berada dalam genggaman Jenar.
"Tuh, kan! Apa kata gue, si Abi udah beli soto! Mending buat gue semua, deh!" Jun berujar ribut. Terdengar sangat antusias untuk meyakinkan Jenar.
"Ish! Aku bikin buat Kak Merak!"
"Si Abi udah beli soto! Buset, batu bener!"
Jenar menatap Jun sinis. Matanya terasa panas dan berkaca-kaca. Pun, napasnya tampak terburu, kentara sekali kalau perempua itu tengah menahan kekesalannya meledak.
"Apa, sih, lo, Jun?" Abiyyu dan suaranya yang tiba-tiba melembut adalah deskripsi sempurna untuk semilir angin setelah hujan—sejuk.
"Aku masak buat Kak Merak! Aku juga bawa buat Kak Jun, kok. Tapi Kak Jun maksa mau makan semuanya!" Jenar berucap terburu. Nada kesal jelas terpatri di sana.
"Lo juga apaan, sih, Jun? Ya udah, nggak usah kesel gitu, sini makanannya. Gue yang bakal makan semua." Abiyyu mearik lembut kotak bekal dalam genggaman Jenar.
"Lo, kan, udah beli soto?! Jangan serakah, coy!" Jun memekik tidka terima.
Abiyyu melirik sinis. Kalau kata istilah sekarang itu bombastic side eye! Setalah itu ia berdecak sebelum berkata, "Nih, sotonya buat lo. Udah, nggak usah ribut. Yang penting gratis, kan?"
Setelah itu, Jun tidak lagi ribut. Lelaki itu dengan secepat kilat langsung merampas bungkus plastik yang diberikan Abiyyu dan langsung menuju pantry dengan bahagia. Sementara itu, Daniella Jenar tengah berada dalam zona hilang. Perempuan itu masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Gue terima, ya, lunch box-nya. Thanks, anyway."
Jenar mengerjap cepat. 'He does accept the lunch box pleasantly, doesn't he?' Lantas, Jenar tidak ingin melewatkan kesempatan. Perempuan itu dengan cepat menggunakan kamera ponselnya untuk mengabadikan wajah Kak Merak yang tengah tersenyum tulus.
"Eh? Ngapain foto?!" Abiyyu tampak sedikit panik.
Jenar hanya terkekeh. Tersenyum kemudian hingga hidungnya mengerut. "Buat pamer ke temen aku kalo Kak Merak hari ini terima lunch box aku sambil senyum ikhlas!"
***
Bersambung
Cuap-cuap Natha:
Yeay! Udah 5 hari ini update terusss xixixi
Yok semangati Natha biar makin rajin update-nya. Bisa Natha up sehari 2x kalo banyak yang nyemangatiinn xixixi
Oke, sekian~
See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top