Segmen 6: Nomor Ponsel
Halo lagiii, seperti biasa, silakan lakukan langkah2 di bawah ini sebelum membaca:
1. Follow akun Natha
2. Masukin cerita ini ke reading list kamu
3. Tekan tombol bintang
4. Kalau sudah, silakan sapa Natha di kolom komentar 💕😊🥳
Nah udah semua dilakukan?
Oke, dimulai dari 0, ya!
Enjoy reading 🥰
.
.
Segmen 6: Nomor Ponsel
Abiyyu yakin kalau sejak dulu tipe idamannya tidak pernah berubah. Kalau saja tidak beda agama, Abiyyu jelas akan sangat gencar mendekati Betari. Iya, tipe seorang Meraki Abiyyu itu yang seperti Betari Maharani, yang manis, lucu, dan manis dan lucu lagi. Meski sering memberi saran bahwa cinta itu harus dikejar, dan di dekap erat-erat, Abiyyu sendiri tidak suka dengan gagasan perempuan boleh mengejar. Lagaknya saja seperti memahami prinsip masa kini, nyatanya Abiyyu adalah sosok kolot yang dibalut tubuh muda.
"Telepon orang rumah lo coba, minta jemput," Abiyyu berujar datar.
Saat ini Abiyyu dan Jenar berada di ruang khusus staff radio Hitz. Di depan Jenar tersaji segelas teh hangat yang asapnya masih mengepul tipis. Perempuan itu bersandar malas pada badan sofa. Kedua matanya tertutup karena peningnya sudah tak tertahan,
"I can drive by myself, though. Aku bakal pulang kalo kakak habisin makanan yang aku bawain."
"Sok banget mau nungguin gue makan. Mata lo aja udah nggak bisa kebuka itu!"
Jenar terkekeh. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang berkumpul di perutnya. Senang sekali mendengar nada suara Kak Merak-nya yang meski berucap dengan suara tinggi, Jenar bisa merasakan kekhawatiran terselip di sana.
Pelan-pelan, perempuan itu menegakkan duduknya. Beringsut turun dan duduk melantai. Meski masih tampak sayu, ia memaksakan untuk membuka matanya sambil menumpukan wajah pada kedua lengan yang dilipat apik di atas meja kaca. "I'm watching. Ayo, sekarang makan."
Abiyyu mendesah pasrah. Berhubung ia sedang berbaik hati. Maka Abiyyu mulai membuka kotak bekal tersebut, Menyuap sekali, dua kali, tiga kali, bahkan sampai habis. Seorang Meraki Abiyyu yang terkadang suka tiba-tiba menjadi picky eater, melahap makanan pemberian orang lain dengan lahap.
"Enak, kan? Enak, dong, pasti!" Jenar memekik girang. Meski kepalanya terasa seperti berputar, ia bahagia bisa memastikan Kak Merak makan masakannya dengan lahap.
"Udah, kan? Sekarang lo bisa pulang." Abiyyu mengalihkan topik. Lelaki itu enggan berkata jujur bahwa masakan Jenar memang patut dipuji.
"Tapi aku pusing ...."
Abiyyu melotot. Menatap nanar perempuan yang kini menyimpan dahinya di atas meja. "Telepon orang rumah lo mangkanya! Lagian aneh-aneh aja! Orang lagi sakit tuh diem di rumah, istirahat!
Jenar menghela napas. Tangannya sibuk memasuki setiap saku yang ada di pakaiannya. "Um? Kayaknya aku nggak bawa HP, deh. Hehe."
Seriously?
Sadar jika Abiyyu bisa saja kembali mengomel. Maka Jenar kembali berucap, "Aku numpang tidur sebentar di sofa boleh? Sampe pusing aku reda aja, kok. Habis itu aku pulang. Boleh, ya?"
Abiyyu kembali menghela napas. "Terserah."
Lelaki itu benar-benar mengabaikan entitas Jenar yang kini sudah berbaring di atas sofa. Meski tidak suka dengan kehadirannya, Abiyyu tetaplah manusia yang memiliki rasa empati dan simpati. Melihat Jenar yang tampak lemah dengan napas yang terdengar berat, Abiyyu mengambil jaket dan menyampirkannya di atas tubuh Jenar. Mangambil kotak P3K, dan mencari jel pereda panas. Sekali lagi, ini hanya hal normal bagi Meraki Abiyyu. Baginya, ini hanya praktik dari teori asas tolong menolong. Maka tanpa ragu, Abiyyu menempelkan jel pereda panas di dahi Jenar.
***
Sudah dibilang, kan, penyebab Abiyyu tidak suka Jenar itu karena apa? Hari ini, sore ini, Abiyyu menambahkan alasan lain mengapa ia tidak menyukai Daniella Jenar.
"Aku bisa pulang sendiri. Kenapa, sih, harus jemput-jemput segala?" Jenar mendumal tidak suka. Ia menunduk, total tidak ingin menatap lelaki yang ada di hadapannya.
Sementara itu, Jevan berdiri di hadapannya. Menjulang tinggi dengan ekspresi datar cenderung malas. Pun, segala silabel yang terucap dari bibirnya hanya membuat suasana hati Jenar semakin buruk.
"Kalo bukan karena bunda khawatir nyariin kamu, kakak juga males, deh, kayak begini. Sumpah! Masih banyak kerjaan penting yang harus kakak selesain. Bukan cuma sekadar ngebujuk anak manja kayak kamu begini!"
"Mangkanya aku bilang, aku pulang sendiri aja!" Jenar tidak ingin kalah. Kakinya sedikit menghentak sehingga tidak sengaja membuat meja kaca di depannya terdorong.
"Kamu apa, sih, teriak-teriak begitu?! Nggak sopan tau? Inget, kamu lagi ngomong sama kakak kamu!"
Jenar berdecak. Bibir pucat membentuk seringai. Mata yang sejak tadi tampak sayu kini menatap garang lelaki di hadapannya. "Kakak? Which brother's roles you have done to make me respect you?!"
"Kamu!—"
"Eits, dude. Jangan ribut di sini," pangkas Abiyyu cepat. "Gue bisa anter Jenar balik, kok, Kalo lo khawatir atau apa, lo bisa hub—"
"Terserah!" Jevan berlalu begitu saja. Pintu studio sedikit dibanting, kentara sekali kalau ia sedang melampiaskan amarah.
Kedua telapak tangan Jenar mengepal. Napasnya tampak terburu. Tidak jauh berbeda, perempuan itu juga sedang menahan amarahnya meledak. "Aku pulang, ya, kak." Meski begitu, Jenar tidak lupa berpamitan dengan nada ramah.
"Heh! Gue anter, tunggu!" Abiyyu menahan Jenar.
"Nggak, aku pulang sendiri aja," sahut Jenar acuh-tak acuh.
"Gue anter!"
"Nggak! Aku bisa pulang sendiri!"
"Jangan batu jadi orang! Udah, gue anter."
"Nomor HP!"
"Pardon?" Satu alis Abiyyu terangkat satu.
Jenar berdecak. Lagaknya berubah sassy dengan kedua tangan yang bersidekap di dada. "Kalo kakak mau anter aku pulang, aku minta nomor HP kakak."
"Nggak jadi gue anter deh, ngelunjak banget."
Jenar terkekeh. "Ya terserah. Kalo ada apa-apa sama aku, berarti kakak orang terakhir yang aku temuin. Oh? Terus tadi kakakku udah sempet liat muka kakak juga. Kakak juga udah janji sama dia mau anter aku. Intinya ... you've got resonsibility to drive me home."
Abiyyu kembali berdecak. Merasa total terpojok dengan pilihan yang ada. "Ngapain sih lagian? Kalo mau telepon, lo bisa hubungin nomor studio."
Jenar menggeleng. "Um, um ... aku kan mintanya nomor kakak. Lagi pula it's up to me. Terserah aku mau apain nomor kakak."
"Nggak deh, gue takut lo macem-macem sama nomor gue!"
Jenar mengangkat kedua bahunya acuh-tak acuh. "Terserah kalo gitu. Aku pulang sendiri aja. Bye." Ia berlalu melewati Abiyyu. Langkahnya sengaja dibuat lemas. Sesekali perempuan itu membuat dirinya sengaja tersandung adau menyenggol barang-barang yang dilewatinya hingga membuatnya seoalh wajar untuk meringis kesakitan.
"Fine!" Abiyyu menyusul Jenar. "Nanti gue kasih pas udah sampe rumah lo."
Jenar menggeleng. "No. Nanti kakak pasti alassan ini-itu buat nggak kasih nomor HP-nya."
"Astaga!" Abiyyu menggeram frustrasi Dalam hati kesal sendiri karena Jenar bisa membca pikirannya. "Ya udah, lo maunya gimana?"
Jenar terkekeh. Hidungnya mengerut gemas. "Telepon nomor aku. Terus chat gini, hi this is Meraki. Save my number, please."
Nah, satu hal yang Abiyyu tambahkan pada daftar 'Alasan tidak menyukai Jenar' adalah, picik. Benar, bagi Abiyyu, Jenar itu seperti musang berbulu domba. Tampilan saja yang manis, kelakuannya menyeramkan.
Oh, wait. Did I just say ... cute?
***
Bersambung
Cuap-cuap Natha:
Yeay! Udah 4 hari ini update terusss xixixi
Yok semangati Natha biar makin rajin update-nya. Bisa Natha up sehari 2x kalo banyak yang nyemangatiinn xixixi
Oke, sekian~
See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top