Segmen 5: Alasannya ... (2)
Haii lagiii
Silakan lakukan langkah² di bawah ini sebelum mulai membaca.
1. Follow akun Natha
2. Masukin cerita ini ke reading list kamu
3. Tekan tombol bintang
4. Kalau sudah, silakan sapa Natha di kolom komentar 💕😊🥳
Nah udah semua dilakukan?
Oke, dimulai dari 0, ya!
Enjoy reading 🥰
.
.
Segmen 5: Alasannya ... (2)
Banyak yang beranggapan bahwa Jenar itu selalu bahagia. Tidak salah, sih. Karena kalau di depan orang-orang, Jenar akan selalu manghadirkan lengkungan kurva manis di bibirnya. Namun di balik itu, Jenar juga sama seperti kebanyakan perempuan. Ia juga sosok yang hatinya mudah rapuh, yang perasaannya mudah tersakiti, yang matanya mudah berkaca-kaca karena merasa tersentuh oleh hal-hal sepele.
Daniella Jenar, perempuan yang selalu tampak ceria itu, hanyalah sosok rapuh yang bersembunyi di balik karakter pura-pura kuat yang diperankannya. Alasannya? Sederhana. Jenar hanya tidak ingin tampak lemah. Karena baginya, orang yang lemah itu, mudah ditinggalkan.
"Lo tau sendiri gue kayak gimana, Han. Lo juga kan si paling tau alasan gue begini itu kenapa. You don't need to ask for every single detail, though." Jenar menyahut malas dengan suara parau. Satu lubang hidungnya disumpal tisu. Di pangkuannya ada laptop yang layarnya di penuhi wajah Hanni.
"Iya, tapi gue rasa tindakan lo udah berlebihan, Jen. Liat sekarang, lo sakit!" Hanni geram sendiri melihat sahabatnya tampak pucat tidak berdaya.
"Hmm ... nggak apa-apa sih ini. Gue masih bisa masak, kok. Nanti gue kirim pake ojek ke kampus, lo ambil ya. Kasihin ke Kak Merak di stu—"
"Nggak, ya! Istirahat lo. Nggak usah aneh-aneh! Udah ya, gue mau berangkat. Awas aja kalo sampe lo nekat masak buat si Merak-Merak itu!"
Tahu istilah bebal? Jenar adalah gambaran konkret dari istilah itu. Perempuan itu abai pada peringatan Hanni. Baginya selama masih bisa bernapas, artinya ia masih baik-baik saja. Bukan tanpa alasan Jenar selalu mencoba menjadi kuat dan tangguh meski nyatanya rapuh.
Sejak kecil, Jenar sudah dua kali ditinggalkan. Pertama, ayahnya. Benar, sosok yang katanya menjadi cinta pertama bagi semua anak perempuan itu justru mengambil peran utama dalam meninggalkan luka untuk Jenar kecil. Katanya kalau Jenar jadi anak baik dan tidak cengeng, ayahnya akan kembali. Namun, Jenar kecil tidak bisa untuk tidak cengeng kala tidak mendapati entitas sang ayah dari pagi sampai malam, setiap hari. Setiap malam gadis kecil itu menangis, merengek di depan bundanya, meminta ayahnya untuk kembali.
Sudah belasan tahun berlalu, ayahnya tidak juga pulang. Lebih dari itu, Jenar malah melihat ayahnya bahagia bersama keluarga barunya. Ah, mungkin karena aku sering nangis, ayah jadi nggak mau balik. Itu yang Jenar tanamkan pada pikirannya sendiri.
Kali kedua ia ditinggalkan adalah ketika kakak laki-lakinya memutuskan untuk ikut bersama ayahnya. Masih jelas di ingatan Jenar bagaimana Jevan abai pada tangis dan rengekannya yang memintanya untuk tidak pergi. "Kakak butuh ayah. Kakak butuh sosok kuat buat bikin kakak kuat. Kamu juga ... jangan lemah."
Tapi tenang, ditinggalkan dua lelaki berharga dalam kehidupannya, tidak membuat Jenar trauma. Atau ... belum? Sampai sekarang Jenar hanya bisa berpegang teguh pada prinsip 'Everything happens for a reason'.
Intinya, Jenar yang selalu menunjukkan sisi kuat begini bukan tanpa alasan. Baginya, menjadi lemah hanya akan kembali membuatnya merasa kehilangan. Ia jelas belum siap untuk berada di fase itu lagi.
Menyukai sosok Meraki Abiyyu memberikan efek tersendiri untuk perempuan itu. Jenar selalu menyukai sensasi letupan-letupan kecil yang kerap kali muncul ketika ia memikirkan lelaki itu. Mendengar suara renyah Abiyyu selalu menjadi hiburan untuknya. Daniella Jenar hanya sosok naif yang ingin tetap merasakan kebahagian kecil itu. Maka dari itu, ia merasa memiliki Abiyyu untuknya seorang adalah satu-satunya cara agar kebahagian itu tetap ada sampai waktu yang lama. Lalu, menjadi kuat meski berkali-kali dipaksa mundur adalah hal yang wajib ia lakukan agar tidak lagi merasa kehilangan.
"Kok, masak? Sup telurnya udah habis emang?" Linda menegur halus. Lelah juga sebenarnya kalau setiap hari melihat Jenar di dapur. Bukan apa, anak gadisnya itu hanya suka memasak, tetapi tidak suka membersihkan bekas memasaknya. Pun, saat ini anak gadisnya itu sedang tampak lemah. Berkali-kali bersin dan batuk. "Bunda masakin aja sini, Kamu mau makan apa emang?"
"Um? Nggak usah, Bun. Biar aku aja. Cuma masak sedikit kok. Ini tinggal tumis bumbu asam-manisnya aja," sahut Jenar parau. Matanya kini tampak berair.
"Kamu bikin bento? Mau berangkat kuliah emang?"
"Nggak, kok. Ini aku bikin buat—" Jenar terpaku. Ia mengerjap cepat kala tersadar kalau mulutnya hampir saja meluncurkan nama Meraki Abiyyu dengan lantang.
"Buat siapa?"
"Umm ... itu ... ini ... umm buat ... Hanni! Iya, buat Hanni!"
Linda memicing curiga. "Bunda tau kamu bohong loh, Jen. Kenapa, sih? Kok sekarang main rahasia-rahasiaan?"
"Aaahh bunda ... nanti deh ya. Kalo sekarang Jenar belum bisa ceritain. Nanti ... nanti kalo udah beneran, baru Jenar cerita!" suara Jenar mendayu-dayu. Meski parau, nada manja jelas telselip di sana.
Linda hanya menggeleng. Tangannya lincah membantu anak gadisnya merapikan dapur yang sebentar lagi menyerupai kapal pecah. "Oh ya, Jen. Kak Jevan udah hubungin kamu belum?"
Gerakan tangan Jenar berhenti tiba-tiba. Sumpit yang tengah mengapit satu buah sosis itu melayang tepat di atas kotak bekal. Meski tidak pernah membenci, Jenar masih enggan membiarkan nama kakaknya menyapa rungu. Namun, ia tidak ingin Linda tahu. Maka dari itu, Jenar sebaik mungkin mengubur dan menyimpan segala rasa sakit itu sendirian.
"Belum, bun. Kenapa emang?" Padahal Jenar sendiri tidak tahu kalau kakaknya itu sudah menghubungi atau belum. Pesan dari Jevan masuk ke dalam daftar archived, yang artinya Jenar tidak pernah buka kecuali memang dibutuhkan.
"Dua hari lalu kakakmu hubungin bunda. Katanya satu bulan lagi dia nikah. Ya ampun! Bunda seneng banget! Kamu tau perusahaan camilan khas Sunda yang terkenal itu? Ternyata calon istri kakakmu loh yang punya!"
Jenar tersenyum. Ikut menimpali segala celotehan bundanya yang tampak begitu bahagia. Dalam hati, Jenar tersenyum miris. Bener-bener ya, the apple never falls far from the tree, pikir Jenar. Kakaknya itu benar-benar mengikuti jejak ayahnya—menikahi orang kaya demi memakmurkan diri sendiri. Inginnya mendebat sang bunda. Memperingatkan untuk tidak terlalu bahagia karena nyatanya bundanya dan Jenar sudah tidak terlihat di mata ayah dan kakaknya.
"Nanti kamu bilang sama Jevan, kebayanya jangan yang terlalu bold. Anak bunda yang cantik satu ini cocoknya sama warna-warna kalem."
Enough, bun! I won't be at his wedding!
"Duh, bunda! Jenar seneng deh liat bunda sebahagia ini!" Jenar menelan segala amarahnya. Perempuan itu memeluk gemas sang bunda. Nggak apa-apa, asal bunda bahagia, Jenar rela untuk pura-pura nggak tau apa-apa.
***
Untuk saat ini, Abiyyu menjadi si satu-satunya yang mampu mengalihkan Jenar dari rasa kecewa. Meski lelaki itu tidak—belum menunjukkan sikap baik atas segala apa yang Jenar lakukan, Jenar tetap bertahan. Karena hanya dengan melihat dan mendengar suara Abiyyu, Jenar bisa merasa teralihkan dari segala pelik rasa dalam dada.
"Kak!" sapa Jenar lemah. Matanya panas dan tampak sayu karena demamnya tidak juga turun. Ia bahkan nekat mengendarai mobil sendiri meski pening menyerang.
Abiyyu menatap penampilan Jenar yang tampak tidak seperti biasa. Sweater di balut dengan jaket. Bahkan bagian hoodie-nya dikenakan di kepala dan di serut sampai membentuk dan menempel apik di kepala.
"Ish! Ayok diterima dong. Kan, aku udah bilang, cinta datang karena telah terbiasa. Jadi, mulai sekarang kakak harus biasain buat lihat aku dan lunch box di setiap jam makan siang!" ujar Jenar ceria meski masih dengan suara yang parau.
"Lo lagi sakit?" tanya Abiyyu ketika melihat tangan yang mengulurkan kotak bekal itu sedikit bergetar.
"Hm? Iya, jadi maaf ya kalo makanannya agak kurang rasa atau—"
"Lo ke sini sama siapa? Pangkas Abiyyu cepat.
Jenar mengerjap cepat. Abiyyu memang selalu dingin di hadapannya, tetapi baru kali ini raut gelisah terselip meski nada suaranya masih terlampau cuek. "Sendiri."
"Naik apa?"
"Aku bawa mobil k—"
"Asataga! Lo lagi sakit dan bawa mobil sendiri? Are you insane?"
Padahal sedang dibentak. Kentara sekali kalau Kak Meraknya itu tampak terusik dan menunjukkan ketidaksukaan di balik nada bicaranya yang masih sangat amat dingin. Namun entah mengapa, Jenar merasa hangat.
Is it what we call being cared for by someone?
***
Bersambung
Cuap² Natha:
Holaaaaa~~ wah seneng banget bisa update lagi! Kalian seneng gak ktmu Natha lagi d chapter ini? Xixixi
Gimana pendapat kalian? Yuk share ke Natha siniii
Natha tunggu ya,
See you~~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top