Segmen 10: (Tak) Semulus Jalan Tol
Halo lagiii, seperti biasa ya, lakukan langkah2 di bawah ini sebelum membaca:
1. Follow akun Natha
2. Masukin cerita ini ke reading list kamu
3. Tekan tombol bintang
4. Kalau sudah, silakan sapa Natha di kolom komentar 💕😊🥳
Nah udah semua dilakukan?
Oke, dimulai dari 0, ya!
Enjoy reading 🥰
.
.
Segmen 10: (Tak) Semulus Jalan Tol
Ada yang bilang akalu katanya cinta pertama itu tidak akan pernah berhasil. Herman Chandra alias Hechan harus menelan bulat-bulat semua angan yang dibalut kebahagiaan. Ia bahkan sudah harus gagal sebelum sempat memulai. Sejak sekolah menengah pertama, ia tidak pernah merasakan ketertarikan yang amat sangat pada lawan jenis. Kalau pun tertarik, ia hanya akan menganggapnya sebagai cinta monyet. Namun, saat melihat Jenar, ia tahu kalau ia jatuh hati. Sayangnya harus ia pendam dalam-dalam tanpa membiarkan semesta tahu.
"Ya, intinya I have no reason. Suka aja gitu. I mean, kalo kamu tanya kenapa aku suka makan-makanan manis, jawabannya ya karena itu manis. Sama kayak Kak Merak. Kalo kamu tanya kenapa aku suak Kak Merak, ya karena itu ... Kak Merak."
Herman hanya bisa tersenyum, mengangguk seolah paham dengan segala silabel yang Jenar ucapkan. Padahal dalam hati sedang mengasihani diri sendiri yang dipaksa berhenti di saat belum memulai. Kisah asmaranya ternyata tidak bisa semulus jalan tol.
"Kalo kamu? Are you seeing someone, now?" Binar mata Jenar tampak antusias.
"Hah?" Herman mengerjap cepat. Otaknya bekerja keras untuk membuka kembali file pelajaran bahasa Inggris yang dipelajarinya selama 12 tahun. 'Ini pake tenses present continuous, ya? Eh? Yang ada -ing -ing nya itu present continuous bukan, sih? Duh!"
"Eh, sorry, hehe kebiasaan kalo lagi di jurusan jadi kebawa-bawa. Maksudku, kamu lagi naksir orang nggak?"kekeh Jenar.
Herman ikut terkekeh. Bukan karena tertular kekehan Jenar. Lelaki itu sedang menutupi rasa malunya karena tidak memahami kalimat sederhana dalam bahasa Inggris. "Oh, hehe udah lama banget nggak belajar behasa Inggris. Aku jadi lupa semua."
"Yeee, nggak apa-apa, kok. Lagi pula, meskipun udah jadi bahasa internasional, bahasa Inggris, kan, bukan bahasa ke dua kita yang wajib dipelajari." Jenar menyahut santai sambil menggigiti sedotan dari boba milk tea dalam genggaman. "Terus, gimana? Udah ada yang disuka belum? Bisa banget ngalihin topik!"
Herman tertawa, menatap Jenar sebelum akhirnya menjawab, "Ada dan nggak ada. Jangan tanya kenapa, intinya suka nggak mesti saling menggenggam. Cukup bisa liat dia ketawa juga udah cukup, kok."
Dan setelah itu Jenar memekik. Kedua kakinya yang berada di bawah meja menghentak-hentak kecil ketika ia bergumam, "So sweet ...!"
***
Melihat kecerian menghiasi wajah anak gadisnya adalah hal yang lumrah Linda jumpai untuk beberapa pekan belakangan. Dapurnya akan ramai dengan bunyi peralatan dapur yang saling mengadu dan nyanyian Jenar yang mengiringi. Sebagai seorang ibu, ia jelas paham kalau puterinya sedang jatuh cinta. Namun, ia tidak akan merecoki urusan percintaan anaknya, karena ia tahu bahwa Jenar tidak akan melewati batas yang telah ibunya berikan sejak remaja. Maka yang bisa ia lakukan adalah menunggu sampai Jenar yang bercertia padanya tanpa diminta apalagi dipaksa.
"Bunda mau cobain dong, Jen. Ini pedes, nggak?" Linda langsung duduk di kursi tinggi yang berada dekat meja granit di dapur—ini sering dijadikan meja makan saat mereka tidak ingin repot-repot mengotori ruang makan.
"Eh? Jangan yang itu, bun!" cegah Jenar. Ia buru-buru mengambil wadah berukuran sedang yang ia simpan di dalam kabinet atas. "Yang ini, bun. Udah Jenar pisahin. Ini nggak terlalu pedes, sebagian Jenar buangin biji cabenya. Mau sekalian Jenar ambilin nasi?"
"Boleh, dikit aja ya anak cantik. Bunda lagi diet." Linda mengedipakan sebelah matanya. Tampak sumringah dan centil secara bersamaan. Meski tidak lagi muda, pembawaan wanita ini selau asik dan santai.
"Diet apa, sih, bunda cantik? Udah bagus gitu, kok. Udah pas. Jangan diet-diet, nanti malah kekurusan!"
"Ihh, bunda kan diet biar pas pake kebaya kelihatan bagus."
"Kebaya?" Jenar memberi jeda sejenak dan menghela napas lelah kala mengingat perihal kebaya dan hari pernikahan kakaknya. "Jangan berharap banyak, bun. Belum tentu diminta dateng sebagai keluarga. Bisa aja, kan, kita diundang cuma sekadar sebagai tamu?"
"Heh! Nggak mungkin. Kakakmu—" Linda menghentikan ucapannya begitu mendengar suara pagar yang didorong dan ketukan pada pintu ruang tamu.
"Bun?"
"Jevan! Ya ampun, ayo masuk-masuk, sayang," Linda menarik lembut lengan Jevan. Meminta anak laki-lakinya untuk duduk sementara ia memanggil Jenar dan menyiapkan minuman hangat. Ini masih pagi, dan Linda yakin anaknya itu belum sarapan mengingat kebiasaannya waktu remaja dulu.
"Jevan, nggak lama ya, bun. Habis ini mau lanjut ke rumah keluarga ayah buat kasihin undangan."
"Oh? Ya udah, bunda bekelin aja, ya. Biar bisa ngemil di mobil."
Jenar ada di sana. Duduk mengasingkan diri di pojok sofa dengan tangan yang bersidekap di depan dada. Wajahnya tampak tidak bersahabat. Keki sendiri rasanya melihat sang bunda masih sebegitu sayang pada kakaknya setelah apa yang kakak laki-laki dan ayahnya lakukan terhadap mereka berdua.
"Jevan mau ngomongin tentang acara pernikahan Jevan, bun," ucapnya dengan tenang.
"Oh? Udah ditentuin ya warna seragamnya? Tapi kok bunda belum diajak fitting? Keburu nggak, ya, nak kalo jahit sekarang? Acaranya pekan depan, kan?"
"Maaf, bun ...," Jevan menghela napas. Lelaki itu tidak melanjutkan ucapannya. Ia hanya menatap Linda dan Jenar bergantian.
Sejak awal Jenar sudah menduga semua ini. Jenar sudah tahu bahwa sejak awal, Jevan memang tidak ingin ia dan bundanya berada di jajaran keluarga besar pada foto acara resepsi pernikahan.
"Nggak apa-apa, nak. Nggak usah merasa bersalah gitu, ah. Lagian bunda nih kayaknya gagal diet. Jadi nggak cocok kalo pake kebaya nanti. Haha. Nanti bunda dateng ke acaramu pake dress yang—"
"Bun," pangkas Jevan cepat. "Jevan dateng ke sini karena mau bilang kalo Jevan nggak bisa ngundang bunda sama Jenar buat dateng ke pernikahan Jevan nanti. Maaf, bun. Ini permintaan Mama."
Jenar mendengkus. Seringai penuh rasa kesal terpatri di bibirnya. Tanpa mengatakan apa pun, Jenar bangkit dan dengan cepat kembali sambil membawa wadah makanan yang Linda siapkan untuk Jevan bawa. Jenar berjalan mendekati Jevan, membuka tutup wadah tersebut dan tanpa ragu menuangkan isinya tepat di atas kepala Jevan.
"Shi---apa-apaan, sih, lo?!" geram Jevan sambil membersihkan kemejanya dengan tisu.
"Lo yang apa-apaan," sahut Jenar santai.
Jevan sontak saja menoleh. Menatap tajam wajah adiknya. "Language, Jenar."
Jenar membanting wadah yang masih ada di genggaman. Tawanya menggema seolah mencemooh ucapan Jevan. "Language, you said? Lo siapa sampe gue harus jaga cara bicara gue? We are neither family nor close enough to be polite to each other, are we? Jadi karena lo cuma orang asing, mending pergi sekarang! Lo nggak pantes ada di sini karena rumah cuma buat mereka yang menganggap satu sama lain adalah keluarga."
Sial! Emosi Jenar meluap-luap. Harusnya kalau memang tidak ingin mengundang, sejak awal tidak perlu menjadi sok kenal dan memberi tahu. Cukup jadi orang asing yang mengurusi urusannya masing-masing.
***
Jenar mendumal sendiri. Karena kesal dengan kakaknya, ia sampai lupa membawa kotak bekal untuk orang-orang di studio Radio Hitz. Ia hanya membawa untuk Abiyyu seorang. Padahal sudah sengaja membuat dessert agar bisa dimakan bersama, tetapi malah tertinggal.
"Gara-gara si Jevan nih, ah!" Jenar menendang kecil pijakannya.
Begitu sampai di depan pintu studio, ia mendengar suara dari dalam. Gerakannya terhenti ketika menggenggam knop pintu. Perlahan, ia dekatkan satu telinganya ke daun pintu.
"Jujur deh sama kita, mumpung nggak ada siapa-siapa. Mumpung si Cadel belum balik ke sini, kalo ada dia bisa abis diledekin deh lo. Lo udah ada rasa ke cewek yang suka bawain lo bekel makan siang?"
Jenar tidak tahu suara siapa itu, tetapi pertanyaaan orang itu membuatnya semakin tertarik untuk lanjut menguping.
"Iya, Bi. Jujur coba. Gue rasa nggak mungkin lo ngga ada rasa sama si Jenar. Secara nih ya, lo yang awalnya nolak bekel yang dibawain dia, udah seminggu ini lo nerima bekel bawaan dia nggak pake protes. Yang ada lo bakal uring-uringan nggak jelas. Dan baru bisa girang lagi kalo udah makan bekel dari Jenar."
Kalau yang itu, Jun. Jenar hapal betul suara ini yang selalu ribut kalau ia membawa makanan. Setelah ini Jenar harus sering-sering membawa makanan ekstra untuk Jun karena sudah mencoba mendorong Kak Merak-nya untuk sadar lebih awal.
"Nggak gitu, dude. Sorry not sorry to say this, ya, San. Gue ... jujur aja gue masih nyimpen rasa buat Betari. I mean, secepet apa lo bisa ngilangin rasa yang udah lo simpen dari jaman puber? Nggak gampang, kan? Nah, gue nerima bekel Jenar juga karena kasihan. Dia udah capek-capek masak masa nggak gue terima? Tapi kalo emang perbuatan gue yang kayak gitu bikin kalian ambil asumsi kayak gini, gue rasa gue harus balik ke awal. Nggak nerima apa-apa dari dia. Gue takut malah bikin dia berharap lebih."
Yang ini ... Jenar jelas hapal suara dan cara bicaranya. Ini Kak Merak-nya. Mengingat perangai Abiyyu yang sering ia hadapi, Jenar harusnya sudah kebal dengan apa-apa dari mulut Abiyyu yang terkadang melukai hati. Namun, kali ini, mengapa rasa sakitnya tidak tertahankan?
"Dia ... dia cuma kasihan ...," Bibir Jenar bergetar tipis kala lirih suaranya mengudara pelan.
"Eh? Kok, nggak masuk?"
Jenar menatap sosok di depannya. Perempuan yang tampak manis dan anggun. Perempuan yang belakangan selalu menjadi bahan aktifitas kepo Jenar—BetarI Maharani, si sosok idaman Kak Meraknya.
"Eh? Kamu nangis?"
Maka bagaikan adegan dramatis dalam film, bersamaan dengan datangnya Betari, pintu ruang studio terbuka. Abiyyu menjadi si pelau utama yang membuka pintu tersebut. Kedua pasang mata Abiyyu dan Jenar saling bertemu. Tidak kuat, Jenar menjadi yang pertama memutus tatapan. Perempuan itu pergi setelah membiarkan kotak bekal yang sejak tadi digenggamnya erat-erat jatuh bagai barang tak berharga.
Ternyata masih ada sedihnya. Nggak mulus kayak jalan tol. Hah! Sadness pave the way, my ass!
***
Bersambung
Cuap-cuap Natha:
Helloowww~~
Udah setengah jalan nih cerita Kak Merak dan Jenar!
Gimana pendapat kalian soal cerita ini sejauh ini?
Yuk, share ke Natha!
See you next~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top