8| The Day

Jeffrey Esa Kurniawan

Tanpa terasa hari perlombaan sudah tiba tepat di depan mata. Di sesi free practice satu hari lalu, gue berhasil mencetak rekor fastest lap, mengalahkan rekor sebelumnya yang dipegang Marc. Di babak kualifikasi, gue mendapat starting grid di nomor tiga. Gue berharap semoga pertandingan kali ini gue bisa menghadiahi tim dan anak-istri naik podium.

Kalau dilihat secara umur, bisa dibilang banyak pembalap yang lebih muda dari gue. Ketahanan tubuh mereka juga 'mungkin' lebih baik. Satu-satunya yang unggul dari gue si veteran bangkotan ini adalah teknik dan mental. Untungnya, meskipun gue sudah tergolong tua, gue masih bisa membawa motor melaju hingga kecepatan 300km/jam, bahkan bisa lebih.

Sejak dua tahun lalu, jujur saja, gue nggak ngebet meraih gelar juara. Target gue cukup be better and enjoy the race, sekadar menyumbang poin untuk akumulasi nilai tim. Apalagi di jeda antara sesi pertandingan satu ke satunya, gue sering memaksakan diri pulang ke Indonesia, bertemu dengan Gladis dan Akio meski hanya sehari-dua hari. Pulang ke Indonesia itu butuh tenaga, sehingga ketika turun lapangan, nggak heran gue sudah keburu 'capek'. Sumpah, kalau Om Adam tahu gue kecapekan bolak-balik Indonesia, kayaknya gue nggak bakal diizinkan pulang.

Pertandingan tahun ini menjadi momen yang jauh berbeda dari sebelumnya bagi gue. Apalagi kalau bukan karena kehadiran keluarga, hehe.

Gladis sesekali masih tidak mengerti istilah atau peraturan main ajang motor sport ini, namun gue tahu dia sudah berusaha keras belajar. Akio yang belum tahu banyak hal membuat gue semangat karena dia menunjukkan ketertarikan pada dunia motor.

Sepertinya, saran untuk membelikan Akio pocket bike akan gue realisasikan. Siapa tahu dengan menunggangi kuda besi sejak dini, tumbuh keinginan menjadi pembalap bagi Akio? Coba-coba, nggak ada salahnya, kan?

Ditungguin Gladis, tentu ada rutinitas baru. Beda dari tahun-tahun lalu. Malam sebelum pertandingan seperti sekarang, gue melancarkan jurus super manja.

Malam ini, gue sudah recharge energy, atau malah draining energy ya? Tapi, meskipun secara fisik gue lelah, secara mental gue justru bugar. Kebutuhan rohani gue sudah tersalurkan ke istri.

"Jeffrey, habis mandi pakai bajunya dong," ucap Gladis gemas, di tangannya terdapat atasan piyama yang sudah ia siapkan tapi gue abaikan.

"Gerah. Gini aja lah."

"Kamu nih, kalau Akio lihat, gimana? Nanti dia ikut-ikutan nggak mau pakai baju, aku yang repot."

"Akio kan lagi bobo."

Dari sorot matanya, gue tahu Gladis kesal. Ia kembali melipat piyama yang tadi ia jembarkan. Gladis meletakkannya di atas meja, dekat tempat gue berbaring di kasur.

"Kalau Akio bangun, dipakai."

"Iya, Shashayang," Gue terkekeh. "Sini dong, cuddle."

"Aku ambil minum sebentar. Kamu juga mau minum?"

"Mau."

Selagi menunggu Gladis pergi ke dapur, gue meraih ponsel. Pukul satu dini hari. Ternyata, lama juga gue dan Gladis mainnya. Untung gue bisa menahan diri tidak membuat Gladis kelelahan sampai pingsan.

"Minum dulu," ucap Gladis sambil menyodorkan gelas. Ia duduk di pinggir kasur dan minum dari gelas yang lain.

Gue menjalankan perintah Gladis. Dalam satu tarikan napas, isi gelas sudah berpindah ke lambung. Fyi, bercinta bisa bikin dehidrasi.

"Aku lihat Akio dulu ya."

"Jangan," rengek gue. Refleks, tangan gue sudah menahan ujung jubah mandi Gladis. Persis mirip kelakuan Akio kalau lagi manja sama mamanya.

"Tadi kita mindahin Akio ke kamar yang lain waktu dia tidur. Takut dia kebangun."

"Nggak. Nggak ada suara Akio, kok. Akio juga kan sudah bisa tidur sendiri sejak pindah ke rumah Sentul."

"Tapi...."

"Besok aku tanding, Shasha. Setidaknya, untuk malam ini, aku mau kamu fokus ngurus aku aja. Ya?"

Gladis menatap ke arah gue lamat-lamat. Anggukan kecilnya mengundang senyum gue. Dengan semangat, gue menepuk-nepuk kasur, mempersiapkan tempat berbaring Gladis di samping.

"Aku pakai baju dulu. Masa tidur pakai baju handuk begini?"

"Nggak papa, Shashayang. Seksi. Aku suka."

"Justru itu. Bahaya untuk aku."

"Shasha," Gue memelas. "Demi aku."

Gladis menghela napas dan mengangguk. Entah sudah keberapa kalinya urat sabar Gladis hampir putus, tapi dia selalu pasrah. "Okay."

Yes! Permintaan gue terkabul. Gue tahu, di balik baju handuk, hanya ada dalaman yang menghalangi. Gue jadi lebih enak grepe-grepe. HAHA.

"Tapi tangannya jangan nakal."

Yahhh....

"Dikit aja kok," ucap gue sambil menarik tangan Gladis agar segera berbaring. "Anggap aja aku lagi main squishy sebelum tidur."

"Ngawur."

Gue meringis. Gladis tak lagi mengeluarkan protes karena bibirnya langsung gue lumat lembut. Dia bergeming, berusaha tak tergoda. Namun, butuh usaha puluhan tahun untuknya mengabaikan godaan gue.

Pada akhirnya, Gladis membalas, dengan sikap malu-malu kucing khasnya. Kalau gue nggak ingat bahwa baru saja lima belas menit yang lalu kita bercinta, rasanya gue bisa menggoda Gladis lebih jauh lagi.

Well, I still get that grip. Sebelum gue berubah jadi Jeffrey yang setia, dulunya gue petualang cinta yang ulung. Ciuman doang mah gampang buat gue.

"Dah, bobo."

Gladis masih memejamkan mata, menikmati sisa-sisa ciuman gue. Dadanya yang naik turun, menandakan bahwa dirinya berusaha keras meraup oksigen banyak-banyak untuk mengisi rongga parunya. Gemas, gue malah menghadiahi beberapa kecupan ringan di tiap sentimeter wajahnya.

"Jeffrey."

"Hm?" Gue sedang menggigit main-main pipi kiri Gladis. Kenyalnya kayak mochi.

"Berhenti."

"Kenapa?" Tanya gue sambil tersenyum miring.

"Katanya disuruh bobo."

Gue mendengkus. Lagi, gue ciumi pipinya sambil sesekali iseng menjilat dengan ujung lidah.

"Oh my goodness! Jeffrey Esa Kurniawan, can you stop?"

"Why? You're that desperate, hm?"

"Aku capek kalau harus mandi lagi."

Gue tertawa mendengar alasannya. Gue menganggap ucapan Gladis sebagai pujian. Berarti godaan gue sukses membuatnya ingin lagi.

"Belum aku squish-squish lho padahal."

"Nggak usah aneh-aneh. Besok kamu mau tanding. Seperlunya aja." Gladis mendorong dada gue pelan, berusaha melepaskan diri dari jeratan. "Aku ke kamar mandi dulu."

Gue berbaring telentang menunggu Gladis. Bohong kalau gue nggak ingin lagi. Satu hal yang gue sadari setelah menikahi Gladis adalah kalau gue berusaha keras menggodanya, gue justru malah balik tergoda oleh reaksi yang ia berikan. Seperti boomerang. Reaksinya beda dari teman tidur gue di masa lampau. Sudah bertahun-tahun menikah dengan Gladis pun gue nggak bosan, nggak akan pernah bosan.

Makanya, kata teman-teman bangsat gue, cuma Gladis yang bisa bekerja sebagai pawang gue, pawang penjaga ritsleting celana biar nggak asal buka. Jadi pawang nggak perlu ganas kok. Tuh, Gladis itu imut banget, kan. Dia tahu kalau dalam urusan ranjang, gue maunya menjadi pihak dominan, dan dia membiarkan itu. She tamed me gently.

Gladis kembali setelah selesai cuci muka. Ia menyibak selimut dan masuk ke dalamnya. Gue yang berhasil menurunkan tensi, beringsut mendekati.

"Bobo ya, Jeffrey?"

"Iya, Shasha."

--

Kegiatan pagi hari gue berlangsung seperti biasa. Saat fajar menyingsing, gue olahraga ringan, sekadar cari keringat, bersama Om Adam. Balik ke rumah, mandi segala macam dan persiapan pergi sarapan bersama Gladis dan Akio.

Bedanya, setelah sarapan gue nggak pergi ke kantor. Hari ini, gue ingin menghabiskan waktu di rumah. Hal itu membuat Om Adam mengajak ahli telemetri untuk menyambangi motorhome. Dengan kata lain, gue kerja dari rumah.

Gladis mengerti. Ia mengajak Akio ke kamar karena meja makan di ruang tengah akan gue dan tim jadikan tempat meeting. Gue nggak tahu Akio dan Gladis bermain apa, namun samar-samar suara tawa renyah Akio yang terdengar bikin gue tergelitik ingin mengintip.

Nggak, Jef, fokus. Malam nanti lo tanding.

Satu jam berlalu. Gue berhasil berkonsentrasi penuh pada arahan Om Adam. Hasil analisis di babak kualifikasi kemarin membuat gue yakin bahwa di sirkuit Qatar ini gue berpeluang besar untuk naik podium. Kuncinya satu: konsisten. Konsisten pada tiap lap dan menghindari crash sebisa mungkin.

Pintu kamar bergeser terbuka. Suara langkah kaki Akio yang berlari-lari kecil menuju sofa dapat gue dengar. Gladis menyusul di belakangnya. Dari penampilannya, sepertinya Gladis dan Akio sudah siap-siap pergi. Entah mau kemana.

"Shasha, kamu mau pergi?"

Gladis menoleh. Ia membaca situasi sejenak sebelum menjawab. Setelah yakin bahwa Om Adam sedang sibuk berdiskusi dengan satu orang lainnya, dia baru menjawab.

"Iya. Aku mau jalan-jalan sebentar. Di luar sudah ramai stand. Aku juga mau kasih lihat Akio tenda tempat jualan merchandise."

"Kalau mau merchandise, bilang aja kamu istri aku. Nggak usah bayar."

Gladis tersenyum jahil. "Akio malah maunya merchandise Om Igi."

"What?!"

"Mama," Akio memanggil Gladis. Ia menyodorkan boneka panda yang baru saja ia ambil dari sofa. "Jayan-jayan ama Panda."

"Akio mau jalan-jalan sama Panda? Bisa bawa sendiri?"

"Bica!"

"Nanti Akio jaga Panda baik-baik ya. Nggak bakal ninggalin Panda sembarangan."

"Iyah."

"Shasha," bisik gue menuntut. "Jangan biarin Akio...."

"Iya, Jeffrey. Aku tahu. Tadi aku cuma bercanda," Gladis tertawa. Ia mengusap sebelah pipi gue. "Aku berangkat ya. Akio, pamit dulu sama Papa."

Huft. Bercanda, toh. Gladis nih kayak nggak ngerti aja kalau gue pencemburu.

"Papa, calim."

Akio meminta tangan gue. Gladis juga memberikan salam cium punggung tangan seperti Akio. Mereka berdua pun berpamitan dengan cara yang serupa pada Om Adam.

"Suasana di truk ini jadi lovely ya."

Gue menoleh ke arah Om Adam. Pria tua itu tersenyum. Pandangan Om Adam kini melayang mengamati interior dari tempat duduknya.

"Siapa pun yang menginjakkan kaki di truk lo, langsung tahu kalau ada anak yang tinggal di sini." Om Adam menunjuk aneka boneka binatang yang berjajar di atas sofa. "Itu jejaknya." Jarinya bergerak menunjuk kaleng susu formula di atas meja. "Ini juga."

"Terus, apa lovely-nya? Gue kira lo malah mau bilang truk gue jadi kelihatan berantakan."

"Ya, lovely aja. Apalagi ada wangi minyak telon. Cuma bayi asal Indonesia yang pakai minyak telon tiap habis mandi."

Gue terdiam. Iya juga. Dulu gue selalu merindukan Akio karena aroma tubuhnya.

"Bagus lah Gladis dan Akio ada di sini. Mental lo terlihat jadi makin kuat, nggak melempem kayak dua tahun belakangan."

Menanggapinya, gue meringis. "I'll do my best."

--

Banyak hal yang harus gue persiapkan untuk berlaga. Setelah selesai meeting dadakan, gue berusaha tidur walau sebentar. Benar-benar sebentar. Gue tetap nervous meski sirkuit ini sudah gue lalui berkali-kali.

Rasa gugup itu entah bagaimana bisa menjalar ke lengan kiri gue, dimana plat besi tertanam di dalamnya akibat cedera yang gue alami saat usia tujuh belas tahun. Alhasil, gue pergi ke medical center untuk memeriksakan tangan.

Gue tidak lagi berpapasan dengan Gladis dan Akio. Gue sibuk jalan kemana, mereka jalan kemana. Hingga saatnya gue kembali ke truk untuk ganti baju, ternyata Akio tidur kamar, sedangkan Gladis sedang duduk di depan meja rias menata rambut.

"Sudah mau ke pit box?"

Gue mengangguk. Gue merunduk dan memeluk bahu Gladis dari belakang. Dengan rakus gue cium wangi tubuhnya, sebagai doping alami agar gue semangat bertanding.

"Seharusnya bentar lagi Akio bangun. Kamu berangkat duluan nggak papa ya? Aku nyusul kamu, bareng Akio."

Gue mengecup rahang Gladis dan menegakkan tubuh. Kami bertukar pandang melalui pantulan kaca.

"Don't be late. Empat puluh lima menit lagi sudah mulai balapan."

Anggaplah gue egois karena memburu-buru Gladis untuk segera menyusul. Gue akui itu. Gue memang egois, gue ingin dukungan penuh dari keluarga gue.

Gue bersiap-siap di pit box, berkomunikasi dengan anggota tim. Untuk sementara gue lupa pada Gladis dan Akio. Gue baru ingat dengan mereka ketika motor sudah mulai ditarik ke starting grid. Biasanya, kalau sedang LDM, gue akan melakukan video call singkat dengan Gladis di starting grid.

Baru saja gue ingin memerintah Steven untuk menjemput keluarga kecil gue, gue lihat dari kejauhan Gladis dan Akio datang dengan wajah sumringah. Gue tersenyum lebar. Gue dadah-dadah membalas lambaian tangan Akio. Masih ada dua puluh menit sebelum tempat ini disterilkan dari orang-orang non-pembalap.

"Papa!" teriak Akio. Matanya tenggelam karena tertawa lebar. Untung gue belum pakai helm, Akio jadi lebih mudah mengenali wajah papanya.

Gue mengoper botol minum ke salah seorang mekanik tanpa melihat. Tatapan gue terlalu terfokus pada Gladis yang tampak menawan dengan rambutnya yang ditata sedemikian rupa memperlihatkan area leher jenjangnya. Istri gue cantik banget! Dengan dress katun warna biru selutut yang elegan, dia terlihat flawless. Akio yang berlari-lari kecil sambil menggenggam tangan Gladis terlihat seperti boneka aksesoris.

"Maaf, kita terlambat ya?" sapa Gladis.

Gue tidak menjawab. Gue langsung turun dari motor untuk menyambutnya. Dengan kedua tangan menangkup pipi Gladis, gue ciumi bibirnya kelewat semangat.

"Nope. Makasih sudah datang, Shashayang."

"Papa, Akio," si bocil menepuk-nepuk kaki gue meminta perhatian.

Gue gendong Akio. Pipi tembam Akio jadi bantalan empuk yang terasa di bibir gue. Suara tawa Akio yang begitu dekat dengan telinga, seperti menggaungkan kata semangat. Gue jarang banget cium-cium Akio seperti ini. Gue begini karena terbawa euforia.

"Semangat ya, Papa Jeffrey."

"Mangat, Papa!"

Gue mengangguk. Tangan kanan menggendong Akio, tangan kiri gue menarik Gladis untuk gue peluk. Gue ciumi pelipis Gladis dan Akio bergantian. Dengan kehadiran mereka berdua, gue makin yakin gue bisa mencetak hasil terbaik hari ini.

"Ingat pesan aku, kan?"

"Yang penting selamat?"

"Aku selalu bangga sama kamu, apa pun hasilnya. Nikmati pertandingannya dan kembali dengan sehat." Gue membalas ucapan Gladis dengan tersenyum.

Untuk mengabadikan momen, gue meminta tolong Steven untuk mengambil gambar gue, Gladis, dan Akio. Di tengah acara, grid gue didatangi oleh pembawa acara televisi channel olahraga. Gue cuap-cuap sedikit lalu kembali fokus pada Akio dan Gladis. Sisa waktu yang sebentar gue gunakan untuk menyerap energi positif dari keduanya, termasuk dari para fans yang bersorak riuh di tribun.

Lima menit menuju pertandingan. Gue melepas cap, menggantinya dengan helm. Seseorang dari tim gue tanpa diingatkan menyambungkan selang minum si helm ke punuk baju.

"Eeee-lem Papa," Akio menunjuk-nunjuk helm di kepala gue. Rupanya dia ingat.

"Cium di sini," ucap gue sambil mengetuk-ngetuk bagian di atas visor. Gue sedikit menunduk agar Akio yang berada di gendongan Gladis bisa mencapainya.

"Muah!" Gue tertawa mendengar suara ciuman yang dibuat-buat oleh si bocil.

"Motoy jaga Papa," sambung Akio sambil dadah-dadah ke motor yang sudah gue naiki.

"Papa Jeffrey, kita nonton dari tribun ya."

"Hati-hati, di sana ramai. Telepon Steven kalau memang kamu butuh bantuan."

"Iya." Gladis mengusap lengan gue sebagai salam perpisahan.

Gue memandangi punggung Gladis dan Akio yang berjalan menjauh, kembali ke pit box. Setelah berada di tempat yang aman, tak gue sangka Gladis berbalik badan. Istri gue melempar senyum manis untuk terakhir kali, sebelum dibimbing Steven untuk masuk ke arena penonton.

Gengsi gue teebakar jadi semangat. Baik lah. Permainan akan segera dimulai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top