13| Akio Nomor Satu
Orisha Gladis Alaia
Aku tidak tahu Jeffrey gusar padaku karena apa. Dia terus menekanku, mengatakan bahwa aku tidur sambil menangis. Sesungguhnya, aku tidak tahu. Kalau menangis sebelum tidur, malam kemarin memang aku lakukan. Namun aku tidak ingat dengan malam-malam lainnya.
Kata Jeffrey juga, pernyataan itu ia dengar dari mulut Akio. Akio tentu tidak berbohong. Bahkan, saking khawatirnya Akio padaku, dia sampai tak tega membangunkanku dan memilih sarapan sereal sendiri.
Tunggu.
Kalau begitu, sejak hari terakhir di Qatar, kemungkinan besar Akio melihatku menangis sambil tidur. Ugh, apa Akio benar-benar mengira aku menangis karena kesakitan?
Aku tidak bisa membalas ucapan Jeffrey karena aku benar-benar tidak tahu. Akhirnya ia melepaskan cekalannya pada tanganku. Jeffrey balik badan, seperti tak mau memandangku. Kesempatan itu aku pakai untuk kabur ke kamar mandi.
Ketika aku sedang sikat gigi, kudengar suara benda tumpul membentur dinding, diikuti makian kesal. Selang beberapa lama Akio mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi sambil memanggilku panik. Segera aku membuka pintu dan kulihat tubuhnya sedikit bergetar.
"Papa mayah."
Aku buru-buru berkumur, menghilangkan busa di mulut. Kusuruh Akio menunggu di kamar mandi. Memang bukan tempat berlindung yang baik, tapi aku tidak ingin Akio melihat kondisi berantakan Jeffrey saat ini.
Well, aku pernah melihat Jeffrey lepas kendali. Satu kali. Saat itu ia marah pada dirinya sendirinya karena aku keguguran. Percaya lah, Jeffrey terlihat benar-benar berbeda, tidak ada lagi aura ceria dan jahil yang tersisa.
"Jeffrey," panggilku hati-hati.
Dia tidak menoleh, betah memunggungiku. Justru kepalanya tertunduk semakin dalam. Kening Jeffrey beradu dengan dinding.
"Jeffrey, jangan marah lagi ya."
Aku mendekat. Kutepuk lembut punggungnya. Baru lah Jeffrey mau balik memandangku.
"Kamu sakit karena aku."
"Aku nggak sakit." Buku-buku jari tangan kanan Jeffrey memerah. Kuraih tangannya dan kuusap jemarinya. "Jangan sakitin diri kamu sendiri."
"Ini nggak seberapa dibanding sakit yang kamu rasakan."
"Nggak, Jeffrey, nggak." Aku merengkuh tubuh Jeffrey. Kupeluk sambil kutepuk-tepuk punggungnya. "Aku cuma sedih, nggak sakit. Ya? Jangan gini, Jeffrey."
"Maaf," lirih Jeffrey di puncak kepalaku. "Maaf, Shasha."
Kami saling berpelukan. Tidak ada pembicaraan lagi, aku dan Jeffrey berbagi kepedihan dalam hening. Untuk beberapa saat, aku merasakan bahu Jeffrey bergetar ringan menahan tangis. Aku tahu dia terlalu sombong untuk menunjukkan air matanya di depanku, jadi kubiarkan ia menenangkan diri sebelum melepas pelukan.
"Lihat tangan kamu," ucapku meraih tangannya.
Lukanya tidak parah. Hanya saja, aku yakin pasti sebentar lagi akan muncul lebam dan terasa pegal. Aku berdoa semoga pertandingan Jeffrey tidak terpengaruh oleh luka kecil ini nantinya.
"Di sini nggak ada es batu," kataku sambil menariknya duduk di pinggir kasur. "Aku telepon dulu ke resepsionis."
Setelah rampung menelepon minta dibawakan alat kompres sekaligus sarapan, aku baru ingat akan keberadaan Akio. Dia masih di kamar mandi, menuruti perintahku tadi. Aku bergegas menyusulnya. Betul saja, Akio menungguku menjemputnya sambil berjongkok memeluk boneka panda.
"Sini, Akio."
Aku bawa Akio masuk dalam pelukan. Kuciumi rambutnya sambil menahan iba. Kasihan. Ini pertama kalinya Akio melihat Jeffrey bertindak kasar, meskipun hanya dalam bentuk memukul dinding.
Kali ini aku harus berterima kasih pada si Panda. Panda menemani Akio saat ketakutan. Sesungguhnya boneka itu aku kenalkan pada Akio agar dulu ia tidak menangis meraung-raung saat suntik imunisasi. Aku tidak menyangka bahwa peran si Panda pada perkembangan Akio ternyata begitu besar.
"Papa mayah." Akio berucap. Ia menggeleng keras enggan berdekatan dengan Jeffrey.
"Papa sudah nggak marah lagi. Sekarang Papa lagi sedih."
"Papa cedih?"
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Akio. Aku duduk tepat di sebelah Jeffrey, masih dengan Akio di pangkuan. Akio melihat ke arah sang ayah dengan mata bulatnya yang sedikit berair.
"Akio mau sama Papa?" tawarku. "Papa dipeluk, biar Papa nggak sedih lagi."
Akio tidak langsung menurut. Ia memandangi Jeffrey beberapa detik. Setelah yakin bahwa tidak ada bahaya menghadang, Akio baru mau pindah ke pangkuan Jeffrey.
Bel pintu berbunyi. Itu pasti pesananku.
"Mama ambil makanan dulu ya," pamitku sambil mengecup puncak kepala Akio dan Jeffrey bergantian.
Aku menyiapkan coffee table. Makanan yang baru datang aku letakkan di sana. Selagi sibuk menata piring-piring yang terus berdatangan dibawakan petugas, diam-diam aku mengamati obrolan kecil antara ayah dan anak.
"Akio, tangan Papa sakit."
"Hu... Hu... Hu... Muah!" Akio meniup-niup dan mengecup tangan sang ayah. "Cembuh."
Aku tersenyum. Jeffrey berusaha berinteraksi dengan Akio. Akio juga tidak takut lagi pada Jeffrey. Syukur lah.
Aku punya misi baru, memberi tahu Jeffrey agar tidak melepaskan amarahnya dengan kekerasan di depan Akio. Sudah susah-susah aku membuat Akio dan Jeffrey dekat, masa Jeffrey sendiri yang mengacaukan semuanya?
--
Jeffrey Esa Kurniawan
Istirahat raga. Ketenangan jiwa. Gue rasa semua orang membutuhkannya. Justru, gue merasa menjadi orang yang paling membutuhkannya saat ini.
Setelah sarapan bersama, gue mendapatkan treatment dari dokter cilik bernama dr. Akio I. Kurniawan, Sp.I. Spesialis Imut. Bersama asistennya, si Panda yang berada di pelukan Akio, gue dibimbing berbaring di kasur. Gue menurut. Akio duduk di atas kasur, tepat di samping gue, sambil memegang alat kompres.
Luka kecil begini tidak terasa menyakitkan. Namun perhatian yang diberikan Gladis dan Akio begitu membuai. Membuat gue betah berpura-pura menjadi pesakitan yang butuh uluran tangan mereka. Begitu berbaring, kantuk sisa yang lalu menyerang. Gue terlelap dengan nyenyaknya.
Ketika bangun, gue merasakan berat di dada. Rupanya Akio 'merayap' di atas tubuh gue. Terakhir kali ia begini ketika masih bayi, kira-kira usia enam bulan. Saat itu tubuhnya yang tampak ringkih sebagai anak terlahir prematur memang sering Gladis letakkan di atas dada telanjang gue, tiap gue sedang di rumah.
Kepala gue terdongak saat merasakan usapan-usapan ringan di rambut. Rupanya, itu perbuatan Gladis. Ia duduk membaca sesuatu di layar ponselnya sambil mengusap rambut gue.
"Shasha."
"Ya?"
"Bisa kita bicara sebentar?"
Gladis menyingkirkan ponselnya. Ia menatap Akio. Tak ingin mengganggu tidur Akio, Gladis membenahi posisi Akio berbaring di kasur, lalu mengajak gue menjauh ke balkon.
"Jangan keras-keras ya ngomongnya."
Otak gue selalu meneriakkan nama Gladis. Namun, Gladis justru selalu mendahulukan kepentingan Akio. Gue yakin, andaikan ada sebuah kecelakaan menimpa Gladis dan Akio, permohonan Gladis berbunyi "Help me please" artinya adalah "Tolong aku menyelamatkan anakku". Gladis sudah jelas tipe orang tua yang seperti itu.
Mulut gue kaku begitu dapat kesempatan berdua saja. Kalau mengingat masa lampau, gue bisa 'bicara' karena difasilitasi 'pertanyaan' oleh Gladis. Menjawab pertanyaan bagi gue terasa lebih mudah dibandingkan menjelaskan sendiri. Gue nggak tahu harus mulai dari mana karena memang banyak sekali hal yang ingin gue bahas.
Di tengah keheningan itu, dering ponsel terdengar. Gladis berdiri dan masuk ke kamar. Gue dengar suaranya menjawab panggilan telepon itu dengan ceria. Tak lama kemudian Gladis kembali ke balkon, masih dengan telepon yang tersambung.
"Iya, Ma. Jeffrey di sini."
Oh, nyokap.
"Sebentar, Ma," Gladis mengutak-atik ponselnya. Ia ubah menjadi panggilan video. Gladis menarik kursi hingga berada tepat di samping gue.
"Jef, Mama telepon kok nggak diangkat sih?"
"Aku nggak dengar, Ma."
Bohong. Gue menolak menjawab panggilan Mama karena di sini gue lagi punya masalah dengan anak dan istri.
"Mama dapat kiriman video dari ibu-ibu arisan kompleks. Kok kamu bisa-bisanya biarin Akio tersorot kamera?"
Kening gue berkerut. "Maksud Mama gimana?"
"Itu lho, Akio nari lompat-lompat. Bahkan kamu gendong Akio di atas panggung. Kamu sudah izin Gladis? Bukannya Gladis nggak mau Akio kena sorot kamera?"
Video yang mana? Jujur, gue nggak tahu apa maksud Mama.
Namun, perihal Gladis menjaga Akio sebisa mungkin agar tidak kena spotlight jelas gue sangat mengerti. Di akun Instagram Gladis saja, tidak ada foto wajah Akio, hanya berupa siluet atau foto-foto implisit yang menyatakan bahwa itu Akio. Tawaran jadi bintang iklan ketika kita sedang di Indonesia pun, Gladis tolak, demi menjaga identitas Akio.
"Aku nggak...."
"Ini salah aku, Ma," sela Gladis buru-buru meluruskan. "Harusnya aku jaga Akio biar nggak kelihatan fans Jeffrey. Aku nggak tahu dampaknya akan sebesar ini."
Gue melihat ke samping, pada Gladis yang tersenyum manis. Dia bisa saja menyalahkan gue. Toh, Gladis ikut semua acara yang melibatkan awak media karena menuruti permintaan gue. Tapi Gladis tidak melakukan itu.
"Salah aku, Ma," Gue balik berujar mantap sambil kembali menatap kamera. "Harusnya aku bisa jaga Gladis dan Akio lebih baik lagi. Untuk ke depannya aku bakal hati-hati."
"Jeffrey...."
"Kalau bisa Gladis sama Akio aku kurung aja di rumah selama aku tanding."
"Jeffrey!"
Gladis marah. Kita saling tatap tak mau mengalah. Padahal pagi ini gue sudah minta maaf. Perdamaian semu yang terjadi pagi tadi menyadarkan bahwa Gladis belum benar-benar memaafkan gue.
"Aura kalian kok beda?" tanya Mama yang menjadi saksi mata. "Kalian lagi marahan? Berantem?"
"Nggak kok, Ma," jawab Gladis setelah menarik napas panjang. "Mama, aku izin ambil minum dulu ya."
Argh! Jadi, gue salah lagi? Kali ini apa? Bukan kah untuk jaga Akio dari sorotan media massa memang lebih baik menghindarinya dari awal? Menjelang pertandingan nanti, jelas akan banyak awak media meliput di mana pun, bahkan mereka mendapat inside pass untuk meliput area Paddock. Keputusan agar Gladis dan Akio tetap berada di rumah merupakan opsi terbaik.
"Jef, Mama bisa bantu apa?"
"Nggak ada, Ma," jawab gue frustasi. Ponsel gue biarkan telungkup di meja, tak menyorot apa-apa. "Nggak ada yang bisa Mama lakukan karena ini tugas aku untuk jaga Gladis dan Akio."
"Gladis kapan pulang? Mau Mama jemput?"
"Gladis... bakal ikut aku terus."
"Maksud kamu gimana?"
"Aku minta Gladis untuk ikut aku tur di pertandingan tahun ini."
"Pekerjaan Gladis gimana?"
"... nggak kerja."
"...."
"Mama, aku salah ya? Seharusnya dari awal aku nggak ajak Gladis dan Akio ikut aku ya?"
"Jef, Mama mau tanya. Gladis berhenti kerja karena kamu paksa?"
Mama malah bertanya hal lain. Pertanyaannya juga punya kesan menuduh. Sejujurnya, topik ini sempat bikin gue dan Gladis terlibat cek-cok, jauh sebelum rencana world tour sekeluarga ini muncul. Gue malas kalau harus membahasnya lagi.
"Astaga, Ma, bukan itu!" Gue frustasi dan mengacak rambut. "Aku bolehin dia kerja lagi setelah Akio usia 3 tahun, biar Akio ada yang nungguin."
"Sudah dibicarakan sama Gladis, kan?"
"Sudah."
"Gladis memang mau nunda masuk kerja?"
Pertanyaan Mama mengusik pikiran gue. Gue tahu, Gladis ingin bekerja sebagai dokter di rumah sakit, memperjuangkan mimpinya selama ini. Setelah melalui diskusi alot, dia pun mengalah demi Akio. Gue yang membuatnya mengalah. Padahal, gue nggak kekurangan uang untuk sewa pengasuh selagi istri gue kerja.
"Atau... kalian berantem karena Akio?"
"Akio nggak ngapa-ngapain kok, Ma."
"Mama tahu. Cucu Mama pintar banget, nggak mungkin ngerepotin kalian berdua," balas Mama, terdengar decak kesal di akhir bicaranya. "Mama cuma mengira-ngira, mungkin saja sebenarnya kalian belum siap secara mental untuk punya anak. Punya anak cuma karena ingin, ikut-ikutan menuruti tipe keluarga ideal di luar sana. Padahal, kamu sibuk, Gladis sibuk. Jadinya, kalian berusaha menjadikan Akio nomor satu dengan terpaksa."
"Mah, jangan jadikan Akio penjahatnya."
"Bukan gitu, Jef. Dengerin Mama dulu."
Gue menghela napas. Kali ini tangan gue membalik ponsel. Gue dapat melihat wajah Mama di layar ponsel. Asli, bakal diomelin, nih.
"Iya. Aku sekarang lagi dengerin Mama."
"Kondisi Papa dan Mama dulu nggak jauh beda sama kamu dan Gladis sekarang. Sama-sama sibuk dan punya mimpi besar. Bedanya, sibuk yang kamu rasakan memang mengharuskan untuk keliling dunia. Bukan cuma sekadar bermalam di kantor menyiapkan presentasi ke tender perusahaan lain."
"...."
"Jef, menikah itu gampang, yang sudah adalah mempertahankan pernikahan. Ingat lho ya, ini Mama lagi ngomongin pernikahan, bukan cuma sekadar pacaran."
"Iya, Mama."
"Kalian sudah bicara dari hati ke hati?"
"...."
"Mama ke sana ya, sama Papa."
"Ngapain?! Kita sudah dewasa, Ma."
Sumpah dah, malu-maluin banget. Masa pernikahan gue diinterupsi orang tua?! Gue langsung menolak karena tahu pasti bahwa untuk hal satu ini Gladis punya pendapat yang sama kayak gue. Gladis bakal canggung kalau rumah tangganya dicampuri mertua.
"Main sama Akio. Biar kalian berdua ada waktu rehat berdua aja."
"Nggak mau. Kita bisa lalui sama-sama. Nggak perlu ada campur tangan orang tua."
"Itu kan menurut kamu. Menurut Gladis gimana? Kalau ditanya apa capek ngurus anak, Mama tahu Gladis pasti mengelak."
Gue terdiam. Apa iya sebenarnya Gladis capek ngurus anak? Nggak kelihatan tuh. Dia ketawa terus tiap main sama Akio. Tapi... selama ini isi kepala Gladis memang selalu Akio, apa-apa Akio. Jangan-jangan dia lelah mental? Jangan-jangan Gladis sendiri juga nggak sadar?
"Minggu depan kamu tanding dimana? Biar kita susulin."
"Seri berikutnya diadakan dua minggu lagi," jawab gue pada akhirnya.
"Kalau gitu, habis dari Barcelona, kamu mau kemana?"
"London kayaknya. Pulang dulu."
"Okay. Mama sama Papa cari jadwal pesawat."
---
Kebiasaan jeleknya Jeffrey memang gitu, kalau marah suka ngamuk-ngamuk sendiri. Padahal amarahnya itu sebagai proyeksi dari rasa sedih yang sesungguhnya dia rasakan.
Menurut pendapat teman-teman bangsulnya Jef, Jef kalau marah kelihatan lebih manusiawi daripada waktu sedih. Perbedaannya, kalau pure marah mah, biasa, bentak-bentak doang. Tapi kalau lagi sedih berlebihan, bisa tiba-tiba jadi reog.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top