11| Menuju Resiliensi

Orisha Gladis Alaia

"Iyaa, lucu banget Akio di situ. Pengin unyel-unyel deh. Padahal waktu tahun lalu kita liburan bareng, Akio masih cengeng dijahilin Niel."

Aku tertawa mendengar penuturan Ghina. Kenangan itu kembali terbayang. Dibesarkan sebagai anak tunggal, Akio cenderung susah berbagi mainan. Alhasil dia mudah dikalahkan oleh bayi yang kerjanya baru bisa merangkak, ketika anak salah satu sahabat Jeffrey itu merebut mainan Akio.

"Aku kecolongan, Ghin. Kirain Akio nggak disorot waktu Jeffrey diwawancara. Ternyata malah kena sorot Akio cium helm Jeffrey."

"Ada video pendek dari fans Jef juga lho, Dis. Kalau nggak salah, pembalap-pembalapnya lagi nge-games joget-joget gitu. Tapi di bawah panggung Akio ikut lompat-lompat sambil ketawa."

"Itu waktu meet and greet."

Aku dan Ghina membunuh waktu dengan obrolan-obrolan seru. Ghina duluan yang menghubungiku. Niat awalnya untuk memberi selamat pada Jeffrey, namun ujung-ujungnya dia malah selalu terpekik gemas tiap menemukan video Akio di internet.

Dari Ghina, aku juga baru tahu bahwa saat ini foto-fotoku dan Akio mulai tersebar luas di dunia maya. Aku tidak sadar karena aku jarang membuka akun sosial media kecuali aplikasi pengirim pesan. Era digital memang menyeramkan.

"Ngomong-ngomong, kamu bisa teleponan kayak gini karena Akio lagi sama papanya?"

"Nggak."

"Lho?"

"Akio lagi tidur, makanya aku punya waktu bebas."

"Jef kemana?"

"Nggak tahu."

"LHO???"

Aku memijat pelipis pelan. Pusing juga kalau begini. Karena sudah terlanjur, sekalian saja aku cerita.

Aku berbagi kegundahan hati, walau aku tahu masalah rumah tangga tidak seharusnya didengar orang luar. Aku ceritakan kronologi pertengkaranku dan Jeffrey. Lalu, aku ceritakan juga bagaimana interaksi kami setelah malam itu.

"Hm, bukannya kalian baik-baik saja sejak sampai Qatar?"

"Iya, baik-baik aja. Kita bahkan jalan-jalan bareng ke banyak tempat. Dia selalu bisa meluangkan waktu untuk istri dan anak," aku melenguh pelan. Mataku menatap layar laptop, melihat jadwal perjalanan di Spanyol yang kubuat sendiri. "Tapi, kayaknya di Spanyol ini beda. Aku sama Akio harus jalan-jalan sendiri."

"Jef gimana? Kalian memang nggak satu hotel?"

"Ngh... Gimana ya...."

"Gladis, cerita."

"Jadi, Jeffrey sebenarnya nyuruh asistennya untuk antar aku ke hotel tempat kami seharusnya bertemu."

"Terus?"

Aku menggaruk ujung hidung serba salah. "Aku usir asistennya dan cari penginapan lain."

Detik berikutnya, aku mendengar omelan Ghina. Sampai panas kuping ini.

--

Jeffrey Esa Kurniawan

Semalam gue marah karena tersinggung oleh ucapan Gladis. Esok paginya sudah tidak terlalu marah, tinggal tersisa gengsi. Ketika siang hari di pesawat melihatnya menjaga Akio seorang diri, ada sebersit rasa bersalah di hati. Gue tahu, tidak seharusnya gue membuat jarak berlama-lama.

Gue ingin memperbaiki hubungan begitu Gladis sampai di hotel. Ternyata, telepon dari Steven menggugurkan rencana. Justru penuturan sombong Gladis yang dilayangkan pada Steven membuat darah gue lagi-lagi mendidih.

"Kamu asisten Jeffrey, bukan asisten saya. Kamu tidak ada tugas untuk menjaga saya dan Akio. Sampaikan pada Jeffrey terima kasih atas tawarannya, saya akan mencari penginapan sendiri dan bersenang-senang berdua."

See? Bukankah itu sombong namanya? Dia nolak gue melalui perantara Steven!

Gue berusaha mencari tahu melalui Om Adam. Mungkin saja Gladis memberinya kabar perihal hotel tempat menginapnya saat ini. Hasilnya nihil. Om Adam juga tidak tahu.

Gue ingin mengabaikannya. Toh, Gladis bilang dia bisa bersenang-senang berdua saja dengan Akio. Dia pikir gue tidak bisa hidup tanpanya, huh?

Baru saja gue berpikir begitu, seketika hati gue nyeri seperti dicubit. Membayangkan Gladis menarik koper, menggendong ransel, dan menjaga satu bocah berusia dua tahun sendiri, gue tentu tak tega. Gue yang mengajak Gladis untuk mengikuti gue kemana pun gue pergi bertanding. Sudah semestinya gue bertanggung jawab atas dirinya.

Lagian, gue ini ayah dan suami. Tugas gue ya jagain anak dan istri.

Sebelum menikah, gue pernah membuat Gladis kecewa karena menutup fakta bahwa gue hobi tidur dengan banyak cewek. Satu tahun setelah menikah, gue lagi-lagi menggores luka di hatinya dengan berbohong pergi latihan padahal bertemu dengan seseorang. Kesalahpahaman itu menyebabkan Gladis kecelakaan dan kehilangan ingatan serta bakal bayi di perutnya.

Ada kejadian lain lagi. Ketika sedang mengandung Akio, kita kembali terlibat cek-cok atas hal sepele. Hasilnya buruk.

Kesimpulannya, tiap kita bertengkar, selalu ada hal buruk terjadi. Apakah perjalanan ini akan mencetak rekor bertengkar Gladis dan gue berikutnya? Amit-amit dah ada kasus serupa lagi.

Mengingat masa-masa itu, gue mengerang. Rambut gue sudah acak-acakan, sebagai korban frustasi yang gue rasakan. Membenamkan wajah di bantal, gue teriak keras-keras.

Kejadian-kejadian itu, membuat konsekuensi berat di pihak gue. Perasaan bersalah yang tak pernah benar-benar sembuh. Tiap kita bertengkar, pasti Gladis selalu celaka. Hal itu bagai alarm keras di kepala. Alarm bernama insekuritas karena gue yang tidak becus menjaga keluarga kecil binaan.

Gue memang tidak bisa berpikir panjang sebelum mencegah rasa kesal meluap di rumah tangga gue dan Gladis. Namun, bukan berarti gue tidak berpikir sama sekali tentang mereka.

Ponsel sudah di tangan. Tapi ibu jari gue seolah kaku, tak langsung membuka lock screen dan mencari kontak Gladis. Sejak dulu kita marahan, memang tidak ada yang mau mengalah membuka kata hingga akhirnya selalu ada kejadian mala petaka. Untuk kali ini, gue tidak mau ada hal jelek terjadi. Gue harus memberanikan diri menghubungi Gladis lebih dulu, memecah kebisuan yang bising.

Gue tekan tombol hijau di samping nama Gladis. Debar ribut di dada menemani, berbunyi bersamaan dengan nada dering yang memuakkan. Panggilan gue tidak diangkat.

"Shasha, kamu dimana, sih?" tanya gue sambil kembali berusaha menghubunginya.

--

Orisha Gladis Alaia

Mengobrol bersama Ghina satu jam saja tentu tidak cukup. Awalnya dia memang mengomel panjang-lebar atas kelakuanku pada Jeffrey. Namun, dia juga kesal atas sikap kekanakan Jeffrey padaku. Sehingga pada akhirnya Ghina tidak memihak siapa-siapa. Kami malah ganti topik obrolan pada hal lain.

Selesai menelepon Ghina, aku berlalu ke kamar mandi membersihkan diri. Mumpung Akio sedang tidur, kugunakan waktu yang ada untuk berendam dan merilekskan tubuh. Aku tidak sadar bahwa ternyata ada puluhan panggilan masuk dari Jeffrey, beserta lima pesan lainnya.

"Shasha, angkat telepon!"

"Kamu usir Steven? Memang kamu tahu Spanyol itu negara yang kayak gimana?!"

"Jangan keras kepala, Shasha. Cepet angkat telepon aku!"

"Capek ya? Sudah bobo? Ya sudah, kalau kamu lihat pesan ini, kasih tahu tempat menginap kamu sekarang dimana."

"Selamat tidur, Shasha."

Aku tahu Jeffrey mengkhawatirkanku. Namun dalam pesannya juga tersampaikan perasaan kesalnya padaku. Lihat saja, dia sama sekali tak mengucap kata maaf. Jeffrey pikir aku ini gadis kemarin sore yang akan luluh hanya dengan dikirimi ucapan selamat tidur? Hah, big no!

Aku mengabaikan Jeffrey. Untuk malam ini, biarkan saja dia mengira-ngira.

Setelah memastikan bahwa dering notifikasi sudah mati, aku berbaring di sebelah Akio. Dengan posisi berbaring telentang, aku bisa mengamati lingiran di langit-langit kamar. Indah. Namun keindahan itu tidak bisa menghempaskan bayang wajah rupawan Jeffrey dari pikiranku.

Aku dan Jeffrey layaknya pasangan pada umumnya, tidak luput dari pertengkaran. Namun, kalau dipikir-pikir, bukankah aku sudah lebih banyak berkorban? Saat ini saja aku tidak melanjutkan bekerja atas permintaannya. Lalu, kenapa aku lagi-lagi harus mengorbankan perasaanku?

Aku menghela napas dan berbaring miring. Setetes air mata turun, bukan karena sedih, tapi lebih ke arah frustasi. Aku sudah lelah harus bersikap dewasa atas kecemburuan Jeffrey yang berlebihan. Tidak bisakah ganti aku yang bermanja-manja padanya? Aku tidak mau dituntut ini-itu melulu!

--

Jeffrey Esa Kurniawan

Tidur gue nggak nyenyak. Gue kepikiran anak-istri yang keadaannya tidak gue ketahui. Jujur, lebih mending terpisah jarak daripada terpisah ego.

Tidur berasa nggak tidur. Bangun-bangun tubuh gue malah merasa lelah. Gue langsung mengambil ponsel, berharap ada kabar dari Gladis.

Tidak ada.

Malahan, datang ajakan dari teman-teman untuk bermain bola di stadion besar tempat klub bola Barcelona biasa bermain. Biasa lah, solidaritas sportsmanship antar atlet.

Steven mengetuk pintu kamar gue tak lama kemudian. Dia datang membawa kabar serupa, perihal tawaran bermain bola. Sesungguhnya, itu bukan tawaran karena gue tak bisa memilih. Pertemuan dengan klub bola itu akan diliput dan kemenangan gue minggu lalu tentu bisa digunakan sebagai daya tarik awak media dalam membuat berita. Ini adalah pekerjaan.

Gue bersiap-siap. Begitu tiba di lapangan, gue berusaha mengusir Gladis dari pikiran. Pokoknya, setelah kerja selesai, gue akan mulai menyisir tiap pelosok Barcelona untuk menemukannya. Harus ketemu hari ini juga!

"Jef!" sapa Luigi sambil tersenyum lebar.

Gue menoleh. Sesungguhnya gue muak dengan kehadiran Luigi. Gue masih kesal karena saat di bandara kemarin Gladis dan Akio justru tertawa karena Luigi, bahkan parahnya gue hanya bisa memandangi mereka dari jauh.

"Kukira kamu tidak akan datang."

"Tentu saja aku harus datang."

Luigi mengamati raut wajah gue yang terlipat. "Masih ada masalah dengan Gladis?"

"Dia cerita padamu?!"

"Tidak," Luigi menggeleng. "Tapi aku bisa membacanya dengan mudah."

Bagaimana bisa ada orang lain di luar lingkup keluarga bilang bahwa ia bisa membaca Gladis dengan mudah? Bullshit. Gue yang sudah menikahi Gladis empat tahun lamanya selalu saja ada kesalahpahaman yang tidak bisa dihindari.

Gue berusaha meredam amarah. Tidak baik marah-marah di muka umum, apalagi gue dan Luigi seharusnya terlihat dekat karena kami adalah rekan satu tim. Argh, rasanya jika di luar sirkuit, gue ingin mendorong Luigi jauh-jauh agar tidak lagi mengusik hidup gue.

"Apa Gladis menghubungimu?" Gue berusaha mengorek informasi.

"Tidak." Luigi menjawab dengan mudah. "Kemarin aku sempat memberikan referensi beberapa tempat yang bisa dikunjungi jika ada waktu luang. Mungkin sekarang Gladis dan Akio sedang jalan-jalan."

Ya, tidak mungkin Gladis terus-terusan mengurung diri di hotel. Dia bukan tipe wanita seperti itu. Gladis pasti saat ini sedang menikmati waktunya mengeksplorasi banyak hal, kan?

--

Orisha Gladis Alaia

Aku makan siang bersama Akio. Putra kecilku sudah bisa makan sendiri, meski kadang masih ada yang tercecer. Aku tersenyum kala Akio perlahan bisa menghabiskan isi piringnya, porsi satu orang dewasa. Karena hari ini Akio banyak jalan, dia pasti mudah merasa lapar.

Hari ini benar-benar tenang. Jeffrey tidak mengusikku dengan telepon atau pesan sama sekali. Apakah dia telah menyerah? Ugh, dadaku nyeri memikirkan kemungkinan itu.

"Mama," panggil Akio. "Aaa...."

Aku tersenyum. Untuk sesaat pikiranku tentang Jeffrey tidak ada lagi di otak. Aku memakan tomat ceri yang disodorkan Akio.

Setelah dipikir-pikir, Akio selalu membagi makanannya denganku. Akio bahkan bisa berbagi makanan dengan Marc dan Rossi, yang sesungguhnya adalah orang-orang asing, yang baru ditemui Akio untuk pertama kali. Aku berusaha mengingat lagi. Sepertinya Akio justru tidak pernah berbagi makanan dengan ayahnya.

"Akio," panggilku lembut. "Akio suka bagi-bagi makanan, kan?"

"Iyah." Akio menggenggam garpu dengan kelima jarinya. Ia berusaha menusuk potongan tomat ceri lain. "Mam baleng-baleng, selu."

"Akio suka bagi-bagi sama Mama?"

"Iyah. Bial Mama cehat."

"Kalau sama Om Rossi dan Om Marc, suka?"

Kepala Akio miring. Mata bulatnya mengedip dua kali. Rupanya Akio tidak ingat siapa itu Rossi dan Marc.

"Kalau Om Igi, Akio bagi-bagi?"

"Iyah. Bial Om Igi cehat."

"Kalau Papa?"

Akio tanpa ragu menggeleng. Mulutnya tidak berceloteh seperti biasa. Tomat ceri di ujung garpunya dibawa masuk ke dalam mulut.

"Kenapa Papa nggak dibagi?" tanyaku lagi.

"Papa dah tinggi," jawab Akio. Tangannya terentang ke atas. "Tinggi anet."

Aku terperangah. Jadi, maksudnya, Akio tidak memberi makan Jeffrey karena baginya Jeffrey tidak membutuhkan makan lagi. Jeffrey sudah tinggi, sudah sehat. Sedangkan aku, Luigi, atau siapa pun itu yang ia beri makanan, karena tubuh kami lebih pendek dari Jeffrey, Akio menganggap kami tidak sehat.

"Akio lahap makannya biar tinggi?"

Akio mengangguk-angguk. "Bial tinggi, bial cehat. Kaya Papa."

Huhu, dugaanku dulu salah. Aku kira Akio tidak dekat dengan Jeffrey karena tidak nyaman. Ternyata diam-diam dia mengagumi Jeffrey. Bahkan, ingin menjadi seperti sang ayah.

"Akio mau ketemu Papa?"

"Papa kelja."

Tersenyum, aku mengeluarkan ponsel. "Kita telepon ya. Kita tanya Papa kerja atau nggak."

"Iyah," Akio semangat. Ia bahkan menurunkan garpu, dan tak lagi tertarik pada tomat ceri. Akio berdiri di atas kursi, tubuh bagian atasnya condong ke depan berusaha mengintip layar ponsel.

Panggilanku tidak terjawab meskipun sudah dua kali kuhubungi. Kalau begini, kemungkinan besar Jeffrey sedang bekerja. Untuk memastikan, aku ganti menelepon Steven. Dalam dering ketiga, panggilanku diangkat.

Rupanya Jeffrey sedang main bola. Entah jam berapa permainan akan selesai. Saat kutanya apakah Jeffrey tengah berada di lapangan. Steven malah memanggil Jeffrey dan memberikan teleponnya padaku.

Jeffrey tidak langsung bicara. Bunyi napasnya yang memburu mendominasi telepon. Aku sengaja memberi waktu pada Jeffrey untuk mengatur napas. Namun, tidak dengan Akio.

"Papa," panggil Akio ceria. "Papa kelja?"

"Akioh... hah... hah...."

"Papa?" Akio menunjukkan raut wajah bingung. "Papa!"

"Akio, halo," akhirnya Jeffrey bicara dengan benar. "Akio lagi dimana?"

"Akio...," Putraku diam sejenak, mencipta jeda. "Akio yagi mam."

"Makan dimana?"

"Mam ama Mama. Mam tomat kecil."

Aku dengar Jeffrey mengerang frustasi. Diam-diam aku mengulum senyum. Jeffrey pasti sudah sangat penasaran dengan tempatku dan Akio saat ini.

"Akio, Mama ada di sana?"

"Mama? Ada."

"Papa mau ngomong sama Mama."

Akio memberikan ponsel di tangannya padaku. Ia kembali duduk dan makan dengan lahap. Setelah mendengar suara Jeffrey, dalam sekejap rasa penasaran akan sang ayah lenyap.

"Halo," sapaku di sambungan telepon.

"Shasha, kamu dimana?"

"Ada deh."

"Shasha...."

"Kamu ada jadwal kerja sampai jam berapa?" Aku justru bertanya padanya.

"Kemungkinan satu jam lagi sudah selesai."

"Kalau gitu, jam empat sore nanti ketemuan di Plaça de Catalunya ya," Aku melihat arloji di pergelangan tangan. "Sebentar lagi waktu tidur siangnya Akio."

"Kasih alamat hotel kamu aja. Nanti aku susul ke sana."

"Nope," tolakku gengsi. "Nanti sore aja kita kencan bertiga. Aku mau istirahat dulu sama Akio."

Kudengar helaan napas Jeffrey di seberang sana. Aku tahu dia keberatan. Mau tak mau, dia harus mengikuti alur permainanku, kalau tidak ingin aku bertambah marah.

---

Akio imut banget 😍😍😍

(Nanti setelah gede imutnya tinggal sisa 5% xixi)

Tinggalkan like dan komennya untuk Akio ya, Onty dan Uncle semua!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top