8. Mission Fails
Hey yoyo yo yo!!!
Ketemu lagi sama gue di hari Jumat yang panas ini wkwk
Btw, ini postingan pertama gue di tahun baru ini lho hhahaha
Jangan lupa tinggalkan vote sama komentarnya buat menyemangati penulis ya guys
Gratis kok gak bayar:D
Theo tersenyum menenangkan. "Dia butuh waktu buat menerima kalau lo emang menakutkan, Ra."
***
"Hari ini lo kayak kurang gizi. Kenapa?" tanya Duta menghampiri bangku Ameera sambil menyampirkan tasnya di bahu kanan.
Ameera mendongak dan menatap Duta dengan tatapan melas. Meminta tolong pada sahabatnya ini. Kacungnya ini pasti bisa menolongnya. Biasanya juga Duta selalu bisa menolongnya dalam situasi apapun.
"Plis Ra, gue bukan cenayang. Gue gak bisa ngasih saran, solusi sama temen-temennya kalau lo gak bilang masalah lo sama gue."
"Dut," panggil Ameera memelas. "Gue buat kesalahan lagi."
"Fajar makin takut sama lo?" Duta menghela napas. "Udah aja lah Ra, terima aja nasib lo yang bakalan menjomblo sampai akhir hayat itu. Phobia yang lo punya gak tertolong."
"Bukan itu. Bukan Fajar." bantah Ameera.
"Terus?"
"Theo."
Duta membelalakan matanya antusias. "Bagian mana lagi yang lo patahin? Tangan kiri? Kaki? Pinggang? Leher? Atau..."
"Bukan itu, Dut! Plis lo gak ngebantu banget."
"Ya terus?!" entah kenapa hari ini Duta bertingkah sangat menyebalkan.
"Tapi tunggu deh, emang harus ya tiap lo berbuat kesalahan lo larinya sama gue? Minta saran, solusi sama temen-temennya sama gue?"
Ameera menggeram. "Dut! Plis! Lo nyebelin!"
Duta mengangkat tangan seperti orang menyerah. "Cerita sama gue."
Ameera baru hendak membuka mulutnya saat seseorang memanggil nama Ameera dari pintu kelas.
"Ra! Ameera!"
Tanpa menoleh pun Ameera sudah tahu siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan tukang rusuh, tidak bukan tukang rusuh yang sebenarnya, lebih kepada tukang memporak-porandakan Ameera saja. Siapa lagi kalau bukan Theo, yang karena keinginan cowok itu untuk belajar bela diri berhasil membuat satu hari ini Ameera lewati dengan ketakutan.
"Eh, Tayo! Ngapain lo ke sini?" tanya Duta sinis.
Orang yang disinisi oleh Duta hanya nyengir sambil melambaikan tangan di ambang pintu. Kemudian melangkah masuk setelah Ami si ketua kelas mempersilahkan cowok yang gaduhnya minta ampun itu untuk masuk karena keberadaannya di pintu kelas berhasil membuat macet siswa/I XI IPA 1 yang akan pulang rumahnya.
"Ra, hari ini gue lepas gips." ujar Theo seolah mengumumkan sesuatu yang sangat spektakuler.
"Oh ya?" di luar dugaan Theo, reaksi Ameera malah terkesan sangat tidak tertarik.
Untuk alasan apa juga Ameera harus seantusias itu mendengar bahwa cowok ini akan melepaskan gipsnya.
"Lo gak lupa kan apa yang lo bilang kemarin sore sama gue?"
Ini adalah salah satu hal dari sekian juta hal yang Ameera tidak suka dari Theo. Cowok ini selalu memutar-mutar dulu objek pembicaraan. Tidak pernah to the point. Dan itu... memuakkan.
"Emang apa yang Ameera bilang sama lo kemarin sore?" Duta mendorong bahu kiri Theo sehingga mereka berdua berhadapan.
Theo nyengir. "Rahasia." ucapnya terdengar menyebalkan lalu beralih pada Ameera lagi.
"Apa yang Ameera bilang sama lo, Tayo?" Duta terlihat mulat kehilangan kesabaran.
"Bukan urusan lo." elak Theo tajam dan serius, mengintimidasi dan menakutkan dalam satu waktu. Membuat Duta yang melihatnya sedikit menciut. Namun detik berikutnya Theo memperbaiki raut mukanya menjadi jenaka seperti biasanya.
"Emang harus ya lo tahu urusan gue sama Ameera apa?"
"Jelas lah gue harus tahu."
"Emang lo siapanya Ameera?" lagi, Theo menatap tajam dan serius. Itu terlihat menakutkan.
"Gu...gue..." suara Duta bergetar terpengaruh karena tatapan tajam Theo.
"Lo bukan orang tuanya, bukan saudaranya, bukan juga pacarnya. Jadi alasan apa yang buat lo harus tahu urusan gue sama Ameera."
Duta tanpa sadar melangkah mundur. "Karena gue...karena gue..."
Theo tersenyum miring. "Lo apa?"
"Dia kacung gue." ujar Ameera yang berhasil menyelamatkan Duta dari terkaman rasa takut dari ekspresi Theo yang terlihat menatkutkan.
"Kacung?" Theo menatap Ameera sejenak lalu kembali pada Duta.
"Iya. Gue Duta sebagai kacung setianya Ameera berhak tahu urusan lo sama bos gue." Duta nyengir."
"Intinya gue punya kesepakatan rahasia sama Ameera." jawab Theo lalu tersenyum pada Ameera. "Bener kan Ra?"
"Apa! Kesepakatan! Kesepakatan apa?!" Duta mendadak heboh sendiri. "Si Tayo ini gak maksa lo tanda tangan kontrak perbudakan sama lo kan?" tanyanya heboh sambil menunjuk-nunjuk Theo.
"Atau si Tayo ini nyuruh lo jadi istri boongannya dia kan? Ra! Gue paksa lo buat batalin kesepakatan kalian sekarang juga!"
Melihat Duta yang super heboh tak jelas ini membuat Ameera dan Theo tertawa karenanya. Ngawur sekali pikirannya.
Perbudakan?
Istri boongan?
"Sumpah Dut, lo keracunan cerita wattpad kayaknya." Ameera geleng-geleng kepala karena tingkah Duta yang berlebihan itu.
"Ra, kok lo ngomong kayak gitu!" protes Duta. "Ini itu urgent banget buat gue. Masa depan lo mungkin bakalan berakhir jadi upik abu beneran, lo bakalan jadi janda beneran kalau kayak gini. Gue gak mau sahabat gue ini gak jadi perawan tua."
Ameera menimpuk kepala Duta menggunakan bolpen di atas mejanya. Sebenarnya Ameera ingin sekali menimpuknya dengan meja di depannya. Sudah ngawur barusan dia mengharapkan Ameera menjadi perawan tua.
"Diantara orang yang kenal sama gue mereka semua takut gue jadi perawan tua gak nikah-nikah karena phobia gue, tapi cuma elo yang kayaknya seneng banget gue jadi perawan tua. Lo temen gue bukan sih?"
"Gak gitu juga."
"Gak gitu juga gimana? Orang lo secara terang-terangan berharap gue jadi perawan tua kayak gitu."
"Bukan maksud gue kayak gitu, gue cuma ngambil kesimpulan yang paling gak menyaktikan buat lo." Duta berusaha membela diri dari tuduhan Ameera bahwa ia berharap sahabatnya itu menjadi perawan tua. "Jadi upik abu emang lo mau?"
Ameera menggeleng cepat. "Hina banget hidup gue."
"Jadi janda lo mau juga?"
Ameera menggeleng lagi. "Menyedihkan banget hidup gue."
"Maka dari itu lebih bagus lo jadi perawan tua daripada lo menjalani hidup yang hina dan menyedihkan itu."
"What ever yah Dut. Kali ini apa yang lo omongin gak gue setuju banget!"
"Mmm guys." Theo yang sejak tadi hanya diam menginterupsi.
Ameera dan Duta yang sama-sama masih mengobarkan api dari mata masing-masing menatap Theo.
"Ada apa?" tanya Duta dan Ameera secara bersamaan dengan nada ketus seperti ingin mengajak bertarung.
Theo mundur selangkah. Takut melihat tatapan itu dari dua orang di hadapannya. "Tenang-tenang." ujar Theo sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya di depan dada sambil nyengir lebar yang terkesan dipaksakan itu.
"Duta gue cuma mau bilang kalau kesepakatan gue sama Ameera gak ada hubungannya sama perbudakan atau kontrak istri boongan kaya lo bilang." Theo menjelaskan. "Heran juga apa yang lo baca dan lo tonton tiap harinya sampai-sampai imajinasi lo liar banget kayak gitu." Komentar Theo, ia segera mengisyaratkan Duta supaya tenang karena tatapan bak pembunuh bayaran itu kembali Duta layangkan padanya.
"Intinya gue minta Ameera ngajarin gue judo dan sebagai balasannya gue bakalan bantu dia satu hal."
"Cuma itu?" Duta menatap Theo penuh selidik.
Theo mengangguk takut. "I..iya cuma itu."
Duta melangkah mendekat pada Theo, mencondongkan tubuhnya sehingga jarak wajah mereka berdua hanya berjarak beberapa senti meter.
Di lain sisi Ameera meringis karena sikap protektiv Duta yang melebihi protektivnya papanya itu keluar. Memalukan. Ah, Ameera ingin menggali tanah dan bersembunyi.
"Awas aja kalau gue sampai denger Ameera, temen gue yang paling berharga sejagat raya ini ngelakuin kerjaan rumah tangga. Perlakukan dia layaknya ratu ngerti!"
Theo mundur, memberi jarak antara ia dan Duta. "Ngerti."
"Seharusnya lo khawatirin gue." Theo meringis setelah melirik Ameera sepersekian detik yang lalu. "Secara gak langsung gue nyerahin nyawa gue buat dia bejek-bejek layaknya kertas origami."
Memikirkan hal itu Duta pun ikut meringis. "Gue pastiin gue bakalan siapin peti mati sama acara tahlilan yang paling megah buat lo."
Ameera tertawa kecil. RIP THEO.
***
"Mau kemana ini?" tanya Ameera saat mobil yang Theo kendarai memasuki jalanan di kawasan pinggiran kota dengan hutan di sisi kanan dan kirinya.
"Ke tempat latihan kita lah." jawab Theo enteng.
"Lo mau perkosa gue di tempat sepi ini?" todong Ameera. Entah darimana image mesum yang Theo tinggalkan saat pertama kali bertemu dengan Ameera muncul. Tidak, bukan pertama. Tapi yang kedua. Yang pertama saat Theo membantu membaca Duta ke UKS, yang kedua saat Ameera... sudahlah itu mimpi buruk.
"Apa?" Theo mengernyit. "Kebanyakan nonton cinta fitri lo."
"Masih sayang sama nyawa lo kan?" tanya Ameera bengis.
"Plis, Ra, gue sama sekali gak berpikiran kotor kayak gitu. Ya kali yah gue cari mati aja mau perkosa lo." Theo memutar bola mata. "Lo kayaknya beneran deh kebanyakan nonton sinetron sama emak lo."
"Ya kali yah mama gue yang dibelahan bumi lain nonton." timpal Ameera.
Seketika Theo terdiam. Tiba-tiba saja terselip rasa bersalah. "Mama emang dimana?" tanya Theo hati-hati.
"Gak tahu."
"Mmm...Udah meninggal?"
Ameera mengangguk. "Gue yang bunuh dia."
Theo mengerjap kaget. Mengerem mobil mendadak membuat Ameera hampir saja mencium dashboard dengan keras.
"Bercanda Theo. Sampai sekaget itu."
"Gue kirain beneran." Theo menggaruk tengkuknya yang tak gatal lalu melajukan kembali mobilnya.
"Kita mau kemana ini benernya?"
"Tempat persembunyian gue." ujar Theo disertai senyum merekah di bibirnya.
Beberapa saat kemudian mobil Theo memasuki sebuah tempat yang sangat luas, asri dan indah setelah melewati gerbang setinggi tiga empat meter yang terbuka secara otomatis. Ameera membuka kaca disampingnya dan menatap pohon-pohon yang berjejer rapi di sampingnya. Tak hanya itu ada sebuah kolam air mancur dengan dikelilingi bunga warna-warni di sisi-sisinya. Sungguh indah.
"Ini tempat persembunyian gue." Ujar Theo dengang bangganya sambil tersenyum pongah menatap bangunan bergaya Eropa di depannya.
"Ini dulu rumah kakek nenek gue, tapi setelah mereka gak ada ini jadi tempat persembunyian gue." jelas Theo.
"Gue gak nyangka keluarga lo sekaya ini." ucap Ameera takjub sambil mengikuti Theo memasuki rumah yang tidak terlalu besar ini. Bukan rumahnya yang membuat Ameera takjub tapi halaman luas yang rapi itu.
"Baru tahu yah." Theo membusungkan dada. "Gue sekaya ini."
Ameera geleng-geleng kepala. "Gak heran lo bisa sesombong itu saat lo nolak uang ganti rugi dari gue."
Tiba-tiba Ameera menghentikan langkahnya. "Tapi kok bisa yah orang sekaya lo nagih utang sama gue gara-gara makanannya gue makan." jelas apa yang Ameera katakan itu untuk menyindir Theo.
Theo tampak dongkol.
"Jangan bahas itu."
"Oke Tayo!"
"Panggil gue Tayo lagi."
Theo melempar tasnya asal ke salah satu sofa. Kemudian menghampiri Ameera dengan sangat besemangat.
"Hari ini kita latihan teknik apa?"
Ameera mengerjap. "Bukannya tadi pagi lo baru lepas gips ya."
"Tenang aja tulang gue kuat kok. Gak bakalan patah lagi. Atlit kayak gue punya sistem penyembuhan yang lebih cepet dari manusia normal."
"Emang lo normal."
"Ra!" teriak Theo memperingatkan.
Ameera mengerti cowok ini tidak suka dirinya dijadikan bahan lelucon. Tapi, sikapnya selalu saja menarik untuk dijadikan bahan lelucon. Mau bagaimana lagi?
"Lo harus ganti baju dulu."
"Siap!" Theo ngacir secepat kilat dan muncul kembali dengan seragam sekolah sudah berganti menjadi seragam judo. Entah seperti apa Theo memakai baju yang bisa kurang dari lima detik itu.
"Jadi, kita latihan apa hari ini."
"Pemanasan dulu."
"Tunggu jangan disini! Ikut gue!"
Ameera mengikuti kemana Theo membawanya. Ke halaman belakang rumah yang juga tak kalah luas dan indah dari halaman depan rumah ini.
"Kita latihan disini aja, biar adem." Theo menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon dengan daun yang cukup rindang sehingga sinar matahari tak mengenai mereka.
Ameera hanya menurut saja.
"Mulai!"
Sementara Theo melakukan gerakan pemanasan yang sering dia lakukan sebelum futsal Ameera menghitung sambil berkeliling mencari semacam tongkat.
Dapat.
Ameera menemukan sebuah ranting yang cukup lurus. Setelah mematahkan ujung ranting ia kembali pada Theo masih sambil menghitung.
"Sekarang apa lagi?" tanya Theo bersemangat.
Ameera heran, apa yang membuat cowok ini begitu bersemangat seperti ini. Tapi, lucu juga melihat matanya berbinar seperti itu.
"Lari keliling halaman tiga puluh kali."
"Siap!" Theo member hormat seperti menghormat bendera. Kemudian ngacir untuk melaksanakan perintah Ameera.
Melihat Theo yang bersemangat seperti itu untuk lari tiga puluh keliling halaman besar ini membuat ia tidak bisa berkata apa-apa. Sebegitu bersemangatnya dia sampai tidak menawar sama sekali apa yang ia perintah.
Sudahlah, biarkan saja. Bukankah bagus? Sementara Theo menyelesaikan perintahnya Ameera bisa bersantai di bawah pohon ini. Tidur satu jam sambil menunggu cowok idiot itu menyelesaikan larinya. Tak butuh waktu lama setelah Ameera menguap beberapa kali ia tenggelam dalam dunia mimpinya.
***
"Tenang aja, gue udah atur semuanya." ujar Theo dengan bangganya. "Fajar pasti dateng."
Ameera menghela napas. "Gue harap dia gak lari kayak waktu itu lihat gue."
"Tenang aja, gue gak bilang bareng lo, dia pasti dateng."
"Kalau dia lari pas lihat gue gimana?"
"Ra, kok lo mendadak kayak cewe lemah gini sih kalau urusan Fajar? Kemarin-kemarin aja lo siksa gue."
"Kan beda."
Theo mengangguk-angguk. "Yayaya, seseorang emang bakalan lain dari dirinya kalau berhadapan sama yang namanya cinta."
Tak lama kemudian pintu café berdenting.
Ameera dan Theo menoleh secara bersamaan.
Ameera menatap cemas.
Sedetik kemudian Ameera bisa menghembuskan napas lega. Bukan Fajar yang datang. Melainkan seorang gadis yang langsung menghampiri seorang pria yang duduk tepat di belakang meja yang Ameera dan Theo tempati.
"Yo!"
Baru saja Ameera bernapas lega. Orang yang ia cemaskan itu datang juga. Tengah melambaikan tangan sambil tersenyum pada Theo namun saat menyadari kehadirannya senyum di wajah Fajar pudar seketika.
"Jar sini! Ngapain terus disanan kaya patung aja." Theo menepuk kursi di sampingnya.
Ameera tersenyum kaku.
Saat itu juga mata Fajar membelalak. Cowok itu berbalik dan menabrak pelayan yang akan mengantarkan minuman, membuat minuman itu tumpah mengenai bajunya. Layaknya orang kesetanan, tanpa mengatakan maaf pada pelayan itu Fajar lari secepat kilat keluar dari café.
Ameera meringis. "Sebegitu menakutkannya gue di mata Fajar."
Theo tersenyum menenangkan. "Dia butuh waktu buat menerima kalau lo emang menakutkan, Ra."
"Ck! Tayo!" Ameera menggeram member peringatan.
"Udahlah gapapa. Misi hari ini mungkin gagal, tapi kita masih punya hari esok. Matahari pasti akan bersinar besok, dan gue gak akan menyerah buat menyatukan kalian berdua sebelum matahari benar-benar meredup." ucap Theo lantang layaknya seorang pemimpin pasukan yang menyemangati pasukannya.
Ameera tidak bisa lagi menegakan kepalanya saat menyadari tatapan sebagian besar penghuni café terarah padanya. Theo memalukan sekali.
***
"Udah-udah sini, udah setengah enam!" teriak Bang Zaki dari arah tribun.
Anak didiknya yang sebelumnya sedang membantai habis-habisan penjaga gawang bernama Putra itu dengan tendangan-tendangan mautnya seketika berhenti. Saat itu juga Putra terkulai di bawah gawang.
"Sialan lo Yo!" teriak Putra memaki Theo yang membuatnya kesulitan.
Diantara anak yang lain, tendangan Theo lah yang menurutnya paling mematikan. Tajam, terarah, tepat sasaran, dan selalu tahu celah mana yang bisa di jebol. Membuat Putra hampir mati menjaga gawangnya dari bantaian teman-teman satu clubnya itu. Begini resikonya menjadi penjaga gawang, latihannya harus rela menjadi bahan bantaian teman-temannya.
Theo hanya menjulurkan lidah mengejek.
"Tayo dasar Tayo!" Putra mengambil bola dari sudut gawang dan melemparnya pada Theo.
Dengan gesit Theo menghindar.
"Kan kata Bang Zaki anggap kayak lagi maen aja. Jadi, gue gak berbelas kasihan sama lo."
"Hey kalian! Sini! Kebiasaan berantem." teriak Bang Zaki yang berdiri di hadapan anak-anak lain yang duduk di hadapannya sambil menyelonjorkan kaki.
Anak-anak futsal menoleh ke arah Theo dan Putra yang selalu saja berselisih setelah latihan menembak ke gawang. Theo dan Putra adalah pasangan kucing dan anjing di club futsal ini.
"Lo sih!" Theo mengembalikan bola yang sebelumnya Putra lempar padanya. Kemudian berlari menuju anak-anak lain. Disusul oleh Putra di belakangnya.
Theo mengambil duduk di samping Fajar. Merebut begitu saja Tupperware hijau yang hendak Fajar minum isinya itu.
"Ck, orang kaya hobbynya nyolong punya orang." dengus Fajar melihat Theo yang sedang meminum minumannya dengan rakus.
"Makasih. Nanti gue ganti segalon!" ucap Theo sarkas.
"Gak mau! Gue mau sama pabriknya."
"Oke, pabriknya sama karyawan-karyawan, sama gunung-gunungnya gue kasih sama lo."
Fajar hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala.
Kemudian semuanya diam mendengarkan ceramah di akhir latihan yang biasa Bang Zaki berikan. Apalagi kalau bukan jaga makanan, jaga kesehatan, jangan merokok, jangan lupa beribadah, jangan lupa berdo'a sebelum makan, dan yang terakhir yang paling sering dia ceritakan sejak satu tahun lalu menjadi pelatih resmi club futsal SMA Bumi Nusantara adalah ceritanya dulu yang pernah satu sekolah dengan Bambang Pamungkas.
Plis, satu sekolah dengan pesebak bola apa harus di pamerkan. Apalagi Bang Zaki dan si Bambang itu tidak akrab sama sekali. Ya kali, yah kalau dulu dia pernah menjadi pemain bola di tim selevel timnas atau club sepak bola luar negeri seperti Manchester City, Liverpool. Sumpah, ini tidak penting.
"Fajar." Tatapan Bang Zaki melembut.
Fajar terkulai. "Siap bang." Lantas ia berdiri dan mengambil keranjang tempat menyimpam bola dan mulai memungut bola satu persatu.
Tambahan tugas sebagai ketua club futsal Fajar harus memungut bola satu persatu. Entah aturan dari mana itu. Fajar sendiri tidak tahu. Tapi, yasudahlah.
Fajar memasuki gudang penyimpanan bola dan alat-alat olahraga lainnya.
"Derita ketua futsal." Gumam Fajar sambil menyimpan keranjang berisi bola pada kotak kayu besar di sudut ruangan.
Tiba-tiba saja pintu berdebam keras.
Fajar segera berlari menuju pintu. Mencoba membukanya namun itu terkunci dari luar. Orang kurang kerjaan mana yang mengerjainya dengan menguncinya di gudang olahraga ini.
"Woy!!! Siapapun itu pliss jangan kurang kerjaan ada orang di dalem sini!!" Woyy!!! Buka woyy!!!"
"Woy buka!! Gue janji Theo bakalan nraktir lo kalau lo keluarin gue!! Woy!!!"
"Tolong!!! Siapapun itu tolong gue!!! Woy!!! Buka!!!"
"Plis!!! Siapapun yang keluarin gue dari sini Theo bakalan bayar lo berapapun itu!! Buka!!"
Merasa tidak ada yang mendengarnya Fajar melampiaskan rasa kesalnya menendang pintu. Kemudian terduduk lemas dengan punggung bersandar pada pintu.
Fajar menoleh pada jendela berteralis kawat yang kacanya pecah di sudut kiri bawah karena bola. Langit sudah mulai gelap. Sinar jingga yang sebelumnya terlihat di sela-sela awan perlahan mulai pergi.
Sebentar lagi magrib.
Tunggu, dimana dia sekarang?
Gudang olahraga.
Fajar lupa satu hal.
Bukankah gudang ini terkenal ada penghuninya. Si mbak bermuka rata yang dulunya bunuh diri dengan menyetrika wajahnya sendiri.
"Fajar."
Fajar menoleh dengan waspada ke sudut ruangan. Seseorang muncul dari celah antara lemari berisi peralatan softball. Fajar meneguk ludahnya. Matanya membelalak. Keringat sebesar biji jagung keluar. Fajar menutupi wajahnya namun ia masih bisa melihat pakaian putih yang dipakai orang itu melalui sela-sela jarinya.
Apakah itu si Mbak Muka Rata?
"Fajar gue..."
"Mbak muka rata!! AAaaaa!!!!" teriak Fajar sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
Sementara itu gadis dari sela-sela lemari itu tersenyum masam melihat tubuh Fajar terkulai di depan pintu. "Gue Ameera, Fajar."
***
040119
Flower Flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top