6. Terimakasih

Hai, ketemu lagi sama Ameera dan Theo di hari Jumat

Selamat natal dan tahun baru yaaa


Jangan lupa vote sama komentarnya, enjoy guys!


***

Theo yang sedang fokus pada ponselnya mendadak merasa terganggu saat seseorang menendang-nendang kursi yang sedang didudukinya.

"Yo, pindah." ucap Fajar sang pemilik tempat duduk.

"Duduk dimana dulu aja, Jar." tanpa menatap Fajar, Theo mengibas-ngibaskan tangannya mengusir tuan rumah dari tempat duduknya.

"Yo, plis." ternyata Fajar masih berdiri disamping tempat duduknya.

Theo menghela napas lalu menghembuskannya keras-keras. Fajar kenapa sih? Biasanya juga sahabatnya ini langsung mencari tempat duduk lain yang kosong kalau tempat duduknya ada yang menempati.

"Pindah ke tempat lo, Theo." Fajar meninggikan suaranya.

Membuat Theo yang tidak suka dengan orang yang mengganggu me time paginya bersama ponsel kebanggaannya berdiri secara tiba-tiba. Akan tetapi saat ia hendak meledak marah mendadak bibirnya terkatup rapat.

Tanpa sadar Theo bergerak mundur dan duduk di kursi sebelah tempat duduk Fajar.

Kemudian Fajar menghempaskan tubuhnya pada tempat duduknya.

Theo mengerjap beberapa kali. Lalu mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat saat ini.

"Lo lagi gak niru gue kan?" tanya Theo sambil menatap tak suka teman sebangkunya.

Bukan main kagetnya Theo penampilan Fajar yang tak berbeda jauh dengannya. Lebam keunguan dan terdapat sedikit robek di sudut bibirnya. Serta tangan kiri yang bergips.

"Lo gak habis dipukulin preman kan?"

Fajar menggeleng keras. Lalu menatap Theo dengan mata menyala-nyala.

"Cewek itu emang bener-bener..." Fajar tidak tahu kata apa yang pas untuk mengungkapkan kesialan yang dialaminya kemarin saat pergi bersama Ameera.

"Ameera?" tebak Theo.

"Lo tahu kemarin dia pukul gue empat kali. Muka gue yang ganteng jadi ternodai kayak gini, tangan gue terkilir, sama perut gue sakitnya minta ampun. Kaki gue juga sedikit pincang. Gak ada apa-apa aja cewek itu main pukul sana-sini. Gue bahkan mengalami kerugian kemarin karena harus bayar kerugian tukang mie ayam yang gerobaknya kebalik. Dan lo tahu berapa orang yang dia pukul kemarin?"

"Berapa?" Theo tanpa sadar bertanya karena terpancing emosi yang ditularkan Fajar padanya.

"Lima belas orang dengan dua orang masuk rumah sakit."

Hening.

Tiba-tiba saja Theo bertepuk tangan sambil bersorak. Kemudian ia meringis saat menyadari bahwa tangan kanannya yang belum sembuh sudah dia buat bekerja keras untuk bertepuk tangan.

Fajar menatapnya keheranan. Hal bagus apa yang pantas untuk di soraki? Sahabatnya memang aneh.

"Hebat!! Hebat!!"

"Apanya yang hebat, Yo!" Fajar benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Theo. "Temen lo baru aja terkena musibah, lo malah bersorak kegirangan kayak gitu? Hebat banget lo!" ucap Fajar sarkasme dengan nada ejekan.

"Jar!" tiba-tiba saja Theo menatap Fajar dengan mata berbinar.

Fajar lagi-lagi dibuat keheranan.

"Ameera kayaknya orang yang tepat buat tempat gue berguru."

Fajar belum sempat menimpali, Theo sudah lebih dulu ngacir keluar kelas dengan semangat menggebu-gebu. Meninggalkan Fajar yang melongo di tempatnya. Niatnya tadi dia curhat tapi bukannya memberikan solusi, sahabatnya malah ngacir penuh semangat seolah ia baru saja memberikan sesuatu yang amat sangat berguna untuknya. Berguru? Berguru apaan? Fajar benar-benar tidak mengerti fikiran Theo yang 99,99 persen aneh itu.

Theo memang benar-benar...teman durhaka.

***

"Hai, Ra!" sapa Theo ramah namun terkesan so kenal so dekat.

Ameera yang sedang melamun memandangi mading sekolah repleks melompat kesamping sampai tak sengaja menabrak pot tanaman di samping mading.

"Jangan seneng banget gitu dong lihat gue nya." Theo nyengir lalu membungkuk sambil mengulurkan tangan kirinya yang tak bergips. "Sini gue bantu."

Ameera itu tak menggubris niat menolongnya. Hanya menatap tajam tangan Theo lalu berdiri tanpa memberi aba-aba. Karena tindakannya itu, sekarang gentian Theo yang terhuyung ke belakang menabrak pot tanaman dan berakhir terlentang di lantai.

Cowok itu meringis sambil memegangi kepalanya yang tak sengaja terbentur pada dinding.

"Tolongin gue." Theo mengulurkan tangannya pada Ameera yang berdiri di hadapannya. Bukannya menolong, Ameera malah mundur dua langkah.

Theo berdecak. Lalu bangkit sendiri.

"Ada apa?" tanya Ameera terkesan malas.

"Lo pukul Fajar?" Theo mendekat, matanya penuh binar.

"Beneran elo yang bikin Fajar bonyok?"

"Lo ikut bela diri apaan?"

"Taekwondo, silat, perisai diri, judo, karate atau apa?"

"Lo latihan bela diri dimana?"

"Lo sabuk apa? Merah, kuning, hijau?"

Ameera kicep. "Dilangit yang biru, Yo." Tidak tahu harus berkata apa saat dirinya diberondong dengan banyak pertanyaan tak berbobot seperti ini oleh pria yang beberapa waktu lalu ia buat babak belur ini.

"Ra?"

Hening.

Theo melangkah mendekat membuat Ameera melangkah mundur menjauhinya. Tatapan mata Theo terlihat serius sama halnya dengan wajahnya. Membuat Ameera kelabakan sendiri memikirkan apa yang harus dia lakukan.

"Lo beneran punya phobia bersentuhan itu?"

"Haphephobia?"

Ameera mematung. Bingung sendiri harus bereaksi seperti apa. Cowok dihadapannya ini terlihat begitu bersemangat seperti anak kecil yang melompat-lompat di samping pedagang gulali. Akan tetapi, bukannya terlihat menggemaskan justru Ameera ingin sekali menghantamkan tinjunya pada wajah cowok bernama Theo ini.

"Beneran lo punya phobia itu?" bibir Theo terkatup sesaat kemudian dia bertepuk tangan sambil tertawa. Lalu meringis karena lagi-lagi lupa bahwa tangan kanannya masih dalam fase penyembuhan.

"Wahhh... pantesan gue gak apa-apa lo main pukul gue aja."

Orang waras manapun yang berada di posisi Ameera saat ini pasti berpikir untuk memasukan orang gila dihadapannya ke rumah sakit jiwa.

Apa lucunya? Apa menariknya phobia yang Ameera miliki?

Aneh.

"Kok lo gak jawab pertanyaan gue sih?"

"Pertanyaan yang mana dulu?"

Theo berdecak. "Semuanya lah."

"Kenapa juge gue harus jawab? Males." Ameera melengos. Berbalik badan hendak meninggalkan cowok gila ini.

Namun, Theo lebih cepat berlari dan menghadang langkahnya. "Jawab dulu."

Ameera memutar bola mata. Menghitung dalam hati berapa banyak pertanyaan yang Theo lontarkan padanya sebelumnya.

"Yang mana dulu? Lo nanya ke gue kayak ngasih soal ujian tahu gak? Banyak!"

"Oke! Gue ulang pertanyaan gue?"

"Satu-satu!" ucap Ameera penuh peringatan. Jangan sampai Theo memberondong lagi dirinya dengan banyak pertanyaan sekaligus.

"Oke!" Theo membentuk huruf O dari jari telunjuk dan jempolnya.

"Fajar babak belur karena elo kan?"

Ameera menghela napas. Dadanya mencelos seketika. Bagaimana tidak, semua orang pun akan merasakan hal yang sama seperti yang Ameera rasakan setelah dia membuat gebetannya babak belur karenanya.

"Iya." Jawab Ameera bersamaan dengan bel jam pelajaran pertama berbunyi.

"Ikut bela diri apaan? Karate, judo, silat, perisai diri, atau apa?"

"Judo." jawab Ameera sejujur-jujurnya. "Tapi dulu. Gue berhenti pas masuk SMP."

Lagi-lagi Ameera menghela napas. Membayangkan dulu ia harus melepaskan hobbynya yang ia jalani sejak kelas satu SD karena alasan phobianya dan tidak mau membuat orang lain dalam bahaya. Padahal Ameera sangat menyukainya. Bahkan saat masuk pun Ameera tidak mendapat paksaan dari pihak manapun. Ia belajar judo murni karena keinginannya sendiri. Sebelum kejadian itu terjadi.

Mengingat betapa Ameera dulu sangat menyukai judo membuat dadanya terasa sesak. Seolah hal itu adalah pintu dari segala rasa sakit yang selama ini terpendam dalam hati Ameera. Pintu yang tidak bisa dikunci ataupun dimusnahkan. Selalu terbuka setiap kali Ameera mengingat tentang judo.

Tiba-tiba saja dada Ameera terasa nyeri sampai ia harus memeganginya sambil meringis.

Rasanya sakit sekali, sedih, takut, dan putus asa karena lagi-lagi tiap detik kejadian itu kembali teringat. Bahkan terasa seperti terjadi lagi. Terasa nyata. Ameera ketakutan.

Tanpa sadar tubuhnya sudah merosot. Ameera kesulitan bernapas. Mencoba untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin namun rasanya sangat sulit. Seperti ada penghalang yang kokoh di tenggorokannya. Air matanya meluncur deras bersamaan dengan ingatan pada hari itu yang kembali terulang di kepalanya.

Sementara itu Theo yang berdiri di hadapan Ameera terlihat kebingungan kenapa cewek di hadapannya ini tiba-tiba bersikap sangat aneh. Theo mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Namun yang dilihatnya hanyalah koridor yang sepi karena bel jam pelajaran pertama baru saja berbunyi. Semua siswa sudah berada di kelasnya masing-masing. Meninggalkan Theo yang sedang kelabakan tak tahu harus berbuat apa melihat Ameera begitu kesakitan.

Theo memberanikan dirinya menyentuh pundak Ameera.

"Lo kenapa?"

Tak ada reaksi apapun. Ameera masih disibukan dengan rasa sakitnya.

"Ra?" Theo memanggil untuk kedua kalinya.

Theo ketakutan sendiri melihat Ameera yang tiba-tiba saja seperti itu.

Ameera mendengar Theo memanggilnya. Namun seluruh tubuhnya tak bereaksi apapun, tak bisa melakukan apapun, rasa sakit ini terlalu menyiksa. Kepalanya terasa berat sampai akhirnya pandangan matanya menggelap.

***

"Emang dasar bandel udah tahu belum sembuh nekad aja kamu."

Samar-samar Ameera mendengar omelan seorang perempuan.

Seorang cowok yang sepertinya sedang kena omelan itu tertawa. "Maaf. Soalnya tadi gak ada siapa-siapa buat dimintain tolong."

Ameera mengerjapkan matanya. Kepalanya masih terasa pusing. Hal pertama kali yang ia lihat adalah langit-langit putih sebuah ruangan dan bagan organisasi PMR di dinding sebelah kanan. Apa yang terjadi padanya sehingga ia bisa berakhir di brangkar UKS saat ini?

"Udah tahu tangan kamu patah. Masih aja nekad gendong orang! Mau tangan kamu gak sembuh-sembuh." Omelan perempuan itu masih belum berhenti.

Ameera menghadapkan kepalanya ke samping kiri dan mendapati seorang petugas PMR yang ia tahu bernama Dafina kelas XII IPA 4 yang sedang mengomeli seorang cowok yang duduk membelakangi Ameera.

Cowok itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Habisnya gimana lagi, Kak."

Ameera sekarang mengenali siapa cowok itu. Theo.

Dafina terlihat gemas dengan tingkah Theo yang duduk berseberangan dengannya itu. Kak Dafina terlihat mengepalkan tangannya untuk digunakannya menjitak kepala Theo. Namun beberapa senti lagi hendak kenap Dafina menarik lagi kepalan tanganya. Saat itu juga Dafina menyadari bahwa Ameera sudah bangun dari pingsannya.

"Lo udah bangun." Dafina beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Ameera.

Ameera mengangguk. "Gue kenapa yah kak?"

"Kamu tadi pingsan di koridor." jawab Dafina seperti biasa berbicara lemah lembut bak putri keraton.

Ameera mengingatnya. Tadi ia kesakitan lagi karena mengingat hari itu. Ameera bangkit dan menyandarkan punggungnya pada dinding.

"Dia yang bawa gue kesini?" Ameera melirik Theo yang sedang asyik sendiri memperhatikan tangannya yang bergips itu.

"Iya, nekad banget dia padahal tangannya belum sembuh." Dafina ikut-ikutan melirik Theo.

Theo berbalik dan tersenyum. Ameera hanya membalasnya dengan senyum tipis.

"Kata Theo tadi kamu kesakitan sambil megangin dada. Kamu gak punya riwayat sakit jantung kan?"

"Enggak kok."

"Atau lo sakit apa?"

"Gak ada. Gue gak sakit apa-apa. Kadang-kadang emang kalau kondisi tubuh gue yang kurang fit suka gitu. Dada gue sakit." entah darimana juga Ameera mengarang hal tak masuk akal seperti itu.

Dafina mengangguk-anggukan kepalanya entah karena percaya atau karena tidak mau membahasnya lebih rinci.

"Yo, nanti kalau kamu ngerasa apa-apa mending ke dokter aja ya takutnya ada apa-apa sama tangan kamu."

Theo mengangkat jempolnya.

"Aku harus ke kelas nih." Dafina menatap Ameera merasa tidak enak. "Ada ulangan fisika soalnya. Gapapa kan aku tinggal?"

"Gapapa kok kak, santai aja. Gue juga nanti pas istirahat mau ke kelas."

Dafina bernapas lega. Pandangannya beralih ada Theo. "Yo."

"Jangan manggil gue Yo kak, gue bukang Tayo." Protes Theo terlihat sebal.

"Theo," Dafina mengulang panggilannya dengan penuh penekanan. "Aku ke kelas dulu. Kamu gak apa-apa kan nungguin Ameera dulu sampe istirahat?"

"Santai aja kak. Gue juga males masuk kelas ini."

Ameera hanya geleng-geleng kepala mendengarnya.

Setelah itu Dafina pun beranjak dari UKS meninggalkan Ameera dan Theo berdua disana.

Theo berdiri dan menghampiri Ameera. Berdiri di sisi kiri brangkar yang Ameera tempati.

"Lo tadi kenapa?" tanya Theo cemas.

"Gak tahu gue juga." Ameera mengangkat bahu.

"Takut banget tadi gue. Muka lo tadi pucet banget sama kelihatan kesakitan banget. Gue pikir lo bakalan mati. Kan serem."

Ameera geleng-geleng kepala.

Kemudian suasana menjadi hening.

Ameera sibuk mengetikan pesan pada Duta mengatakan bahwa dirinya berada di UKS dan tak bisa masuk kelas. Sementara Theo menaikan dirinya pada brangkar yang ada di samping Ameera dan memejamkan matanya dengan ditutupi oleh lengan kirinya. Ameera menatap Theo cukup lama.

"Makasih."

Seketika Theo menegakan posisinya.

"Apa?" Theo seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja Ameera katakan.

"Makasih udah bawa gue ke UKS."

"Apa?" Theo meninggikan suaranya sambil menyodorkan telinga kanannya. Berpura-pura tuli.

Ameera berdecak. Kapan sih ia melihat cowok ini bersikap layaknya seorang remaja normal pada umumnya. Bukannya terlihat seperti anak kecil gila yang membuat Ameera naik darah setiap kali berhadapan dengannya.

"Terimakasih, Yo!" Ameera sengaja meninggikan suaranya beberapa oktaf.

"Gue bukan Tayo." Theo merengut kesal. "Jangan panggil gue Yo!"

"Serah gue lah, Yo." Ameera malah sengaja menekan apa yang diucapkannya.

"Plis, gue bukan Tayo."

"Siapa juga sih yang bilang lo Tayo, Yo!"

Theo menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menutupi kedua telinganya. Tubuhnya berangsur turun berbaring miring membelakangi Ameera. "Terserah gue gak denger."

"Jangan pura-pura tuli, Yo! Tayo!" seakan belum puas Ameera sengaja terus memanggil Theo dengan Yo.

"Serah deh serah!"

Ameera tertawa melihat tingkah Theo yang seperti itu. Menghibur.

***


211218

Flower Flo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top