36. Bye Haphephobia
Hai... Apa kabar kalian hari ini?
Gue kurang baik, hari Senin selalu menempati tempat nomer satu hal paling gue gak suka ditambah gue lagi terserang penyakit perempuan yang rutin setiap bulan.
Terlebih dari itu, gue harap kalian selalu semangat meniti detik demi detiknya, menjalankannya dengan rasa bahagia, jangan banyak mengeluh. Sebab mengeluh bukan membuat pekerjaan mudah, tapi lebih membuat pekerjaan jadi lebih terasa berat. Fighting!!
Selamat Membaca!!
Jangan lupa Vote sama komentarnya yaa
"Mulut bilang gak suka tapi hati bilang suka."
***
Semua yang ditakuti bisa teratasi, asal kita mau menghadapinya. Percuma mengatakan tak ingin takut lagi kalau menghadapinya hanya di mulut.
Lebam-lebam di tangan Dokter Agnes menandakan seberapa besar usaha Ameera untuk sembuh dari phobianya. Ketakutan tidak bisa terus dipelihara. Ada masanya untuk dihadapi. Dan Ameera sudah mengalami masa-masa sulit menghadapinya.
Sembuh?
Ia tidak tahu. Yang pasti rasa takutnya sekarang sedikit berkurang. Sekarang menyentuh tangan Ilham dan beberapa orang ia sudah bisa, walaupun terkadang masih suka refleks melayangkan tinju jika dikagetkan. Seperti yang terjadi pada Duta beberapa menit lalu sampai dia terkapar di lantai dapur sehingga membuat tubuhnya digotong ke ruang tengah oleh Ilham.
"Lo ngibul yah bilang udah sembuh." Duta meringis saat bangkit untuk duduk dan merasakan perutnya yang terkena pukulan, merasa sakit.
"Belum sepenuhnya sih." Ameera nyengir hambar.
Ilham terlihat melangkah keluar membawa kunci mobil, namun bukan kunci Arjuna. Sudah beberapa bulan ini Ilham tidak mengendarai Arjuna dengan alasan sangat menyayanginya dan tidak ingin membuatnya cape-cape dibawa ke jalanan. Aneh memang. Ilham sepertinya lebih sayang pada Arjuna yang hanya seonggok mesin dibandingkan dengan dirinya.
"Kemana?" Ilham yang sudah berada di ambang pintu menoleh saat Ameera bertanya.
"Ke luar sebentar, beliin makanan buat Duta." Jawab Ilham.
"Bukannya beliin obat atau apa gitu."
Ilham tertawa. "Duta kalau sakit dikasih obat gak bakalan mempan. Dikasih makanan sekarung baru mempan." Katanya sambil mengedipkan sebelah matanya jahil pada Duta.
Duta membalas kedipan mata Ilham. "Sok ner ae Om." Balasnya setuju.
Ameera menatap malas Ilham dan Duta secara bergantian. "Dasar yah, perut karet." Melirik malas Duta setelah menyentil dahi Duta keras-keras. Duta meringis memegangi keningnya namun tawanya malah lebih lebar.
"Ngiri yah lo, papa lo lebih memperhatikan asupan makanan buat gue daripada elo."
"Dipukul lagi mau?" ancam Ameera. Duta bungkam saat itu juga.
"Yaudah papa berangkat." Ilham melangkah keluar, namun baru satu langkah dia berbalik lagi dan menatap Ameera. "Mau nitip sesuatu?"
Ameera berpikir sejenak. Memikirkan barang apa yang habis, sesuatu yang diinginkannya. Kemudian menggeleng. "Gak ada. Udah sana, cepetan berangkat. Anak pungut papa ini nanti lebih menderita."
"Enak aja anak pungut!" Duta memprotes namun dihiraukan Ameera yang balas melambaikan tangan pada Ilham. "Gue anak kesayangan tahu."
Ameera memutar bola mata. "Terserah." Ucapnya sambil berlalu ke arah dapur.
"Ra bikinin minum." Teriak Duta.
Ameera membuka kulkas, mengeluarkan air mineral dingin lalu menutup kulkas setengah membantingnya. "Ambil aja sendiri. Manja!"
"Bukannya manja, gue gak bisa bangun. Siapa juga yang mukul gue. Tanggung jawab Ra, tanggung jawab!" seru Duta.
Ameera tidak menimpali lagi karena selanjutnya ia menuangkan air dingin pada dua gelas yang sudah dia siapkan sebelumnya. Menyimpan kembali air mineral dingin ke dalam kulkas supaya nanti saat dibutuhkan selalu dingin.
"Mulut memang sering berkhianat." Sindir Duta sesaat setelah Ameera meletakan dua gelas minuman dingin di atas meja. Menyindir Ameera yang sebelumnya mengatakan tidak atas permintaan Duta tersebut.
"Ngomong apa lo?" balas Ameera ketus.
"Mulut bilang gak suka tapi hati bilang suka."
"Ngomong apa sih lo gak nyambung. Dari air jadi ke hati."
"Suka-suka gue lah."
"Terserah."
"Ameera." Panggil Duta membuat Ameera mengalihakn tatapannya.
"Apaan?"
"Theo tadi nanyain lo."
"Terus?"
"Masih marah sama dia? Kan Theo gak salah apa-apa. Gue aja yang bermasalah udah lo maafin."
"Gak marah kok." Jawab Ameera sambil lalu.
"Terus kenapa. Katanya lo gak bales chat dia, gak angkat telpon dia juga. Kenapa?"
"Gak tahu." Ameera mengangkat bahu.
"Jangan terus menghindar. Lo suka sama Theo. Kenapa terus lari melawan arah kalau berbalik dan melangkah sedikit bisa sampai pada tujuan?"
***
Hari senin, jam besar yang menggantung di depan front office sudah menunjuk angka 7. Namun lapangan upacara masih lenggang. Bahkan siswa/siswi pun masih berdatangan, bahkan terlihat santai. Tidak seperti hari biasanya, dimana jam tujuh teng semua siswa/I sudah berada di sekolah.
Dikarenakan sekarang adalah musim Ujian Akhir Semester maka dari itu jam masuk sekolah sedikit melonggar setengah jam dari biasanya. Jadi wajar, jika jam tujuh masih banyak yang baru turun dari angkot, dan baru memasukan kendaraannya ke parkiran.
Ameera satu kelas dengan Duta. Denah tempat duduk selama ujian biasanya di acak. Satu kelas biasanya dibagi menjadi dua. Absen awal berada di ruang 6 bersama dengan kelas X IPS 2 absen akhir, sedangkan absen akhir kelas XI IPA 1 di ruang 7 bergabung bersama kelas X IPS 3 absen awal.
Ameera dan Duta baru saja masuk kelas dan langsung menghampiri tempat duduknya tanpa kesulitan mencocokan nomor di meja dengan kartu ujian karena sebelumnya mereka berdua sudah melihat dimana mereka duduk dengan melihat denah tempat duduk yang ditempel di jendela.
Duta duduk di hadapan Ameera, memutar tubuhnya. Seperti biasa meracuni Ameera supaya mau berbaik hati memberikan contekan.
"Makanya belajar. Makan terus kerjaannya." Omel Ameera. Menolak mentah-mentah apa yang Duta inginkan.
"Gue belajar kok." Duta memajukan bibirnya tak terima dengan tuduhan Ameera. "Belajar dewasa menghadapi pacar gue yang anak SMP." Tambah Duta disertai cengirannya.
Tiba-tiba saja seseorang datang dan menggeplak kepala Duta menggunakan kertas fotokopian.
"Andini!" Duta mengelus kepalanya. Menatap tajam Andini, pelaku kriminal yang baru saja melakukan kekerasan padanya.
"Gue aduin ke PBB, lo main kekerasan." Acaman receh Duta sama sekali tak membuat takut Andini.
Ami datang dengan muka ketus. "Mau gue laporin sama Brisia." Ami nyengir. Mengancam Duta dengan menyebut nama pacarnya yang merupakan tetangga Ami.
"Tukang ngadu." Duta melipat tangan di depan dada.
"Ra, kata Duta lo udah gak punya phobia lagi. Bener?" tanya Andini.
Ameera mengerling jahat pada Duta yang dalam semalam sudah menyebarkan berita itu dengan baik. Well, Duta memang penyebar berita paling hebat. Dalam satu malam saja berita ini pasti sudah sampai di telinga Theo.
Tunggu Theo.
Ameera teringat pesan Theo semalam yang tidak ia balas. Bahwa nanti sepulang sekolah akan menunggunya di lapang basket.
Tak lama Dian masuk kelas. Senyum di wajahnya masih bertahan. Di luar pintu Ameera melihat Fajar berdiri dengan senyum tak kalah lebar dengan Dian.
"Balikan lagi?" goda Duta. Alisnya naik turun.
Dian tidak menjawab. Hanya terus berjalan sampai akhirnya tiba di samping meja Ameera. Dian merogoh sesuatu dari saku seragamnya. Origami burung berwarna kuning, dan meletakannya di hadapan Ameera.
"Theo nyuruh gue ngasih ini sama lo."
***
Dian sama Fajar balikan kabar baik bukan sih?
Dan apa tuh maksud Theo ngasih origami burung bangau?
Jangan lupa tinggalkan vote sama komentanya karena Rabu nanti gue bakalan post part terakhir dari cerita Ra? dan Jumat gue post Epilognya. Penasaran gak sama endingnya nih?
Setelah cerita ini tamat, terus pantengin terus work gue ya, karena mulai Senin, 8 April gue bakalan mulai cerita baru, series kedua dari Ra? yang judulnya Craziest Sweet Couple.
Masih cerita dari anak SMA Bumi Nusantara, sekolah khusus para atlet. Tentang kisah Kaline Nafeesa atlet panahan dan Jonathan Chaanakya atlet bulu tangkis. Penasaran kisah mereka? Lebih dulu baca Prolognya yaaa
Follow ig: iistazkiati
Fb: Iis Tazkiati N
See U
010419
Flower flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top