34. Penyebar Gosip
Soundtrack sedang kosong
Happy reading!!
Jangan lupa tinggalkan vote sama komentarnya ;)
"Belum lima menit. Nyokap gue bilang jangan mubadzirin makanan, pamali."
***
"Bagaimana sekarang? Masih gak mau bersentuhan dengan orang lain?" tanya Dokter Agnes pada Ameera yang duduk di hadapanya.
Ameera mengangguk lalu menghela napas.
"Saya tanya," Dokter Agnes melepaskan kaca mata bulan yang bertengger di hidungnya. Meletakannya di samping notes yang sedang ia curat-coret. "Kamu gak mau bersentuhan karena gak mau atau takut?"
"Saya tahu, melupakan tidak semudah yang diucapkan. Tapi, cobalah merelakannya. Semua orang tidak sama. Tidak ada yang sama. Kamu terus merasa takut bersentuhan karena otak kamu tidak mau merelakan pikiran kalau bersentuhan dengan orang itu tidak menakutkan.
"Waktu kecil saya pernah tenggelam dan hampir meninggal. Sejak saat itu saya takut melihat air di kolam. Setiap jadwal renang saya selalu berdiri di pinggir dan hanya melihat. Kamu pasti juga merasa kalau dengan bersentuhan itu seperti monster yang siap membunuh kamu. Itu juga yang saya rasakan saat melihat air di kolam. Itu seperti monster ganas yang siap menenggelamkan saya kalau saya masuk."
Ameera hanya diam sambil menyimak menyimak apa yang Dokter Agnes katakan.
"Sesuatu yang kita takutkan selalu berakar dari sesuatu yang mengerikan. Seperti kamu yang—maaf—hampir dicabuli, dan saya yang hampir tenggelam. Satu hal yang harus kamu ulangi baik-baik dalam kepala kamu. Kita hanya makhluk yang tidak bisa mengindar dari hal yang mengerikan."
"Saya selalu mengatakan hal yang sama pada diri saya sendiri." Timpal Ameera. "Tapi, saya selalu takut."
Dokter Agnes tersenyum. "Mencamkan kalimat itu saja tidak cukup. Kamu harus mencoba menghadapi apa yang kamu takutkan."
"Hadapi apa yang kita takuti." Ameera mengucapkan sebait quotes jadul yang sering orang lain katakan.
Dokter Agnes mengangguk. "Mau mencobanya?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya hendak menyentuh tangan Ameera.
Ameera menatap tangan dokter Agnes ragu-ragu. Setelah menghela napas dan mengumpulkan keberanian akhirnya ia mengangguk.
Ameera memejamkan matanya. Dan...
PLAKK
Tangan Dokter Agnes reflex ia pukul.
Ameera meringis. "Saya minta maaf."
Dokter Agnes tertawa. "Gak apa-apa. Dicoba lagi ya?" Ameera mengangguk.
***
Semua terkesan kembali seperti semula. Dian kembali lagi sekolah dan Ameera berteman lagi dengannya. Ia pikir tidak patut menghakimi orang lain terus-menerus dalam waktu yang panjang meskipun orang itu bersalah. Tidak ada manusia yang murni tanpa pernah melakukan kesalahan bukan. Kesalahan itu sudah manusiawi. Dan manusiawi juga untuk memaafkan lalu melupakan.
"Memaafkan lalu melupakan." gumam Ameera.
Kemudian ia teringat apa yang Dokter Agnes katakan kemarin sore.
"Saya tahu, melupakan tidak semudah yang diucapkan. Tapi, cobalah merelakannya."
Ameera bersitatap dengan Dian secara tidak sengaja. Dian mengangguk lalu tersenyum.
Kalau di pikir-pikir lagi, apa yang Ameera lakukan pada Dian sehingga ia berteman lagi dengannya bukan memaafkan. Karena sejak dulu Ameera sudah memaafkan hal tersebut. Masalah utama kenapa selama ini ia enggan berteman lagi dan mempertahankan hubungan buruk dengan Dian terus berlangsung adalah karena ia tidak merelakannya.
Kemudian yang terjadi pada Theo. Apa yang telah Theo lakukan, apa Ameera juga harus merelakannya?
"Kenapa?" Duta meletakan sekresek jajanan di hadapan Ameera.
Ameera menatap sekresek jajanan itu lalu mendongak. "Gue gak nitip lho. Lo beliin buat gue? Tumben perhatian?" sindirnya.
Duta mencebik lalu duduk di ujung meja Ameera. "Bukan gue yang beliin. Lo kan tahu, jajan aja gue masih sering minta sama lo." Duta nyengir.
Ameera mengangguk-angguk. "Terus siapa kalau bukan elo? Siapa yang peduli gue kelaperan kalau bukan elo, Duta?"
Ameera terkekeh sambil mengambil sebungkus Tic Tac.
"Theo." Jawab Duta seketika membuat Ameera membuka bungkusan tersebut berantakan. Membuat isi Tic Tac berhamburan.
Duta turun dari meja dan mengumpulkan yang bercecerah di tengah ubin lalu memindahkan pada tangannya. "Sayang banget nih belum lima menit." Katanya lalu memasukan tic tac ke dalam mulutnya.
"Jorok banget sih lo!" Ami yang baru masuk kelas bersama Andini menatap jijik Duta.
Duta nyengir. "Belum lima menit. Nyokap gue bilang jangan mubadzirin makanan, pamali."
"Ih tapi kan lantainya kotor." Ujar Andini.
"Bahkan Rasulullah pernah ngambil makanan yang jatuh ke tanah." Timpal Duta.
Ami dan Andini geleng-geleng kepala lalu menghampiri bangku Dian.
"Serius Theo?" tanya Ameera memastikan.
Duta mengangguk cepat. "Dari tadi dia berdiri di depan kelas sambil pegang ini semua. Gue tanya kenapa gak masuk aja dia malah ngasih itu ke gue terus kabur."
Ameera termenung.
"Kenapa sih?" tanya Duta heran.
"Gue lagi marah sama dia." Mengabaikan bahwa semua makanan ini dari Theo, Ameera tetap memakannya.
"Kok bisa?"
"Gue marah karena ternyata dia yang nyebarin gosip tentang Dian sama Fajar jadian." Jawab Ameera. Ia rasa tidak ada yang harus ia sembunyikan. Cepat atau lambat Duta pasti tahu.
"Tunggu." Duta mengerjap. "Theo?"
"Iya." Ameera mengangguk. "Pantesan aja gue ngerasa ada yang aneh waktu dia nembak gue."
"Tunggu, lo tahu dari mana?" tanya Duta setengah mendesak.
"Gue gak sengaja denger waktu Fajar sama Theo lagi berantem. Dia sengaja supaya gue jauhin Fajar supaya dia bisa deket sama gue."
Ameera mengernyit melihat Duta tiba-tiba mondar-mandir dengan gelisah. "Kenapa?"
Duta tidak menjawab membuat Ameera mengulangi pertanyaan yang sama namun dengan suara yang lebih penuh desakan. "Kenapa?"
Duta berhenti dan duduk di kursi Andini tepat di hadapan Ameera. Cowok gempal itu sejenak terlihat ragu-ragu dan juga takut. Helaan napas Duta terdengar. Ameera semakin penasaran tentang penyebab Duta seperti ini, gelisah, ragu-ragu, dan ketakutan.
"Bukan Theo." Ujar Duta kemudian. Kernyitan di kening Ameera semakin dalam. Tidak mengerti dengan apa yang Duta maksud. "Theo gak tahu apa-apa."
"Maksud lo?"
Duta terlihat semakin gelisah. "Ikut gue." ucap Duta memaksa.
"Apaan sih? Kenapa?" Ameera hanya diam di tempat penuh keheranan. Tidak bergerak sedikitpun.
"Kita harus nemuin Theo sama Fajar." Ujar Duta namun tak menjelaskan apapun kenapa Ameera harus berdiri dan ikut dengannya. "Gue yakin, pertemanan mereka jadi kacau sekarang."
"Gue gak bakalan melangkah sedikitpun sebelum lo ngasih tahu gue ada apa." Tegas Ameera tetap kekeuh.
Duta memutar bola mata. "Gue gak pernah nyangka bakalan sekacau ini."
Ameera semakin pernasaran dengan apa yang Duta bicarakan. Kacau? Apa yang membuat Duta merasa seperti itu?
"Ada yang harus gue jelasin sama mereka berdua." Kata Duta penuh penekanan. "Dan itu ada hubungannya juga sama lo. Makanya lo harus ikut."
"Apa itu Duta? Gue gak akan bergerak sedikitpun sebelum lo jelasin apa yang lagi lo omongin ini."
Duta menunjuk dirinya sendiri dengan gusar. "Gue orangnya." Katanya.
"Ha?"
"Orang yang nyebarin gosip Dian sama Fajar jadian itu gue." Duta mengucapkannya tanpa sadar dengan intonasi yang kencang sehingga seisi kelas termasuk Dian menatapnya.
"Karena gue tahu sejak awal Theo suka sama lo dan..." Duta mengedarkan pandangannya yang kemudian berhenti pada Dian. "Dan Fajar suka sama Dian."
***
Tinggal tiga episod lagi sebelum epilog
Persiapkan diri kalian
Sampai jumpa Hari Jumat!!
Follow : iistazkiati
Fb: Iis Tazkiati N
Fanpage : Book's Slide
270319
Iis Tazkiati Nupus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top